BAB 18

Romance Completed 9101

Terasa sulit memang saat kita mendapat hukuman atas kesalahan yang tidak kita lakukan. Bukan Vanessa namanya bila ngga bisa menghadapinya. Aku masih bisa menegakkan kepalaku waktu berpamitan dengan teman-teman dibutik. Aku memang ngga membantah waktu ibunya Arga melemparkan selembar foto lamaku bersama Arga. Entah darimana dia mendapatkannya.

"Saya lebih baik menyingkirkan kuman yang hanya akan menjadi penyakit nantinya. Sebelum semuanya terlambat," dia pasti tahu kejadian ini bukan aku yang menyebabkannya. Dia juga tahu aku bukan tipe wanita seperti itu. Dia cuma berperan sebagai seorang ibu yang ngga mau ada masalah dalam kehidupan putranya. Termasuk menyingkirkanku yang dia anggap kuman dalam kehidupan mereka.

Mana mungkin aku bilang pada kedua adikku bahwa aku dipecat hari ini? Aku juga ngga mungkin pulang kerumah jam segini. Kurasa aku ingat satu tempat yang tepat untukku.

Mana mungkin dia sudah ada diapartemennya jam segini? terbukti dari ruangan sunyi yang nyaman dan tenang. Aku selalu sangat menyukai tempat ini. Yang pertama kulakukan begitu sampai adalah berbaring di sofa yang nyaman. Kepalaku benar-benar terasa berat sekarang. Aku sama sekali ngga mau melanggar peraturan yang sudah ditetapkannya untuk ngga menyentuh apapun dirumah ini tanpa seizinnya. Karena itu, hanya sofa lah tempat yang paling tepat untukku.

***

Ada benda hangat yang menempel didahiku waktu aku terbangun dan menemukan aku bukannya berbaring di sofa melainkan kasur. Mataku masih sedikit kabur karena pusing yang masih menyiksa kepalaku. Dia muncul dari balik pintu dengan nampan berisi makanan hangat ditangan.

"Kamu sudah bangun?" dia membantuku bangun dan menahan kepalaku dengan beberapa buah bantal.

"Kamu sudah pulang?" kulihat jam didinding baru menunjukkan pukul 10 malam. Biasanya dia pulang lebih larut.

"Iya. Lebih baik kamu makan dulu, baru minum obat." dia meniup sesendok bubur hangat dan menyuapkannya untukku. Aku merasa ngga pantas menerimanya. Aku seharusnya hanya menemaninya, bukannya mendapat perhatian begini.

"Aku bisa makan sendiri." kuraih sendok yang masih dia pegang, dia lebih cepat menariknya dariku.

"Jangan ngaco kamu. Kepalamu masih pusing kan? Mana mungkin kamu makan sendiri. Ini perintah," aku ngga bisa berkata apa-apa bila dia sudah menyebutkan kata itu.

Dia dengan sabar membantuku makan dan membantuku minum obat. Aku seperti merasa kembali saat masih kecil bersama bunda Ineke yang selalu merawat anak asuhnya dengan sabar jika mereka sakit. Pria ini terlalu telaten untuk ukuran pria single.

"Istirahatlah. Aku mau menyelesaikan pekerjaanku dulu." aku kembali berbaring yang memang sangat kuperlukan. Kulihat dia terlihat sangat serius dengan sesuatu dilaptopnya. Aku sama sekali ngga bisa memejamkan mataku dan lebih memilih memperhatikannya yang seakan berada didunianya sendiri bila sedang kerja begini. Sesekali kulihat dia mengurut-urut pelipisnya memikirkan sesuatu sebelum kembali pada laptopnya.

"Tolong kamu kirimkan kontrak tadi sore..." dia menghubungi seseorang dihanphonenya yang kukira adalah sekretarisnya. "Iya. Via email. Bisa?" dia mengangguk sebelum kembali menjawab. "Saya tunggu sekarang. Maaf merepotkan kamu malam-malam begini,"

Saat ini aku memang merasa resah karena harus kembali mencari pekerjaan pengganti dan ingatan kejadian tadi sore masih membekas dikepalaku. Kalo mereka terlambat sedikit memergoki kami, aku ngga tau apa yang bakal terjadi. Arga yang tadi sore bukan Arga yang kukenal. Pengaruh alkohol merusak akal sehatnya ditambah amarahnya karena penolakanku. Selama kami pacaran dulu dia memang sangat sopan padaku. Ngga ada kontak fisik yang pernah terjadi selain pegangan tangan.

"Aku mau kamu tidur." ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

"Kamu?" seharusnya dia beristirahat, bukannya terus bekerja begini. Kalo dia sakit? siapa yang akan menjaganya? Hei...sejak kapan aku memperhatikannya. aku menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran itu yang berujung pada sakit yang semakin menusuk dikepalaku.

"Arrgh.." rintihku sepelan mungkin sambil berbalik membelakanginya berusaha untuk tidur. Aku harus sembuh besok.

"Seharusnya kamu tidur. Bukannya melamun," kurasakan kasur melesak dan sebuah lengan kokoh memelukku dari belakang. Aku merasa tenang dalam dekapannya seperti ini.

"Kerjaan kamu gimana?" tanyaku padanya yang makin mengeratkan lengannya dipinggangku.

"Aku hampir menyelesaikannya waktu kamu mengaduh."

"Aku mengganggu pekerjaan kamu ya?"

"Iya." sepertinya memang ini yang kubutuhkan. Aku merasa menemukan tempat yang lama kurindukan bernama kasih sayang. Aku ngga peduli dia melakukan ini karena kasihan atau yang lain. Sejak bertemu dengannya aku hampir kehilangan seluruh harga diriku. Sedikit meminta lebih kali ini mungkin ngga akan berpengaruh padanya.

"Boleh aku minta sedikit lebih lama kamu melakukan ini?" ucapku sebelum benar-benar menutup mataku dan tertidur.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience