Kurapikan rok serta blus yang kugunakan sambil berjalan menuju kasir tempat aku bekerja. Aku bekerja di sebuah butik besar yang ada di departemen store ini. Aku bekerja disini dari pukul 3 sampai 9 malam setiap harinya. Kecuali hari jumat yang menjadi hari liburku.
Pikiranku masih tertuju pada Putri saat sepasang pria dan wanita memasuki pintu butik dan memilih beberapa pakaian juga sepatu yang di bantu oleh rekan kerjaku yang lain. Mereka terlihat begitu serasi dan bahagia. Apa mereka sepasang kekasih?
"Seenaknya banget sih, kan lo ngga perlu bayarin itu semua." bisik sang wanita dengan malu pada pria di sebelahnya. Entah kenapa aku merasa wanita ini punya kesamaan denganku, apa itu penampilannya? Atau wajahnya? Mata kami jauh berbeda, dia punya mata coklat yang bagus. Rambutnya? Rambut kami memang sama, hanya milikku berwarna hitam, sedangkan dia berwarna coklat. Bibir, dia memiliki bibir tipis yang sama denganku.
"Sekali-sekali kan nraktir lo Ra," yang pria melingkarkan tangannya ke bahu wanitanya dengan santai. Aku sangat iri dengan kebersamaan mereka yang terlihat sangat nyaman dengan keberadaan masing-masing. Kedua rekan kerjaku tanpa malu-malu memandangi mereka dan membuat wanita manis itu kontan melotot pada kami karena merasa kurang nyaman dengan tatapan kami.
"Biasa aja kali liatnya Mba," desisnya sambil berlalu dari kami. Entah kapan aku bisa bersikap sesantai dia.
"Cantik ya Ka, tapi judes." celetuk Rima, rekan kerjaku yang paling junior. "Cowoknya keren banget, mana tajir pula. Kapan ya Rima punya cowok sesempurna itu?" tambahnya lagi sambil membayangkan apa yang baru dia katakan tadi. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Mungkin dia masih bisa bermimpi untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, tapi aku tidak. Sudah lama aku mengubur dalam-dalam sebuah mimpi yang bernama cinta. Sejak mereka meninggalkanku malam itu, sejak itulah aku mengubur dalam-dalam apa yang orang namakan cinta. Kalau orang tuaku saja ngga sudi mencintaiku, bagaimana mungkin orang lain akan mencintaku? Aku hanya tahu kasih sayang. Kasih sayang yang Bunda Ineke berikan untukku saat dia meraihku ke dalam pelukannya malam itu, dan kasih sayang yang kemudian kuberikan pada Devi dan Putri saat membawa mereka tinggal bersamaku. Juga kasih sayang yang sempat kuberikan untuk lelaki yang pernah sempat mengisi hariku dulu sebelum dia memutuskan pergi dariku.
"Kok ngelamun Ka?" kurasakan Rima menepuk pundakku pelan.
"Ngga papa." aku jadi teringat Putri yang sekarang sedang bersama Devi di rumah sakit. Dokter bilang akan memulai proses kemoterapi untuknya besok siang. Aku harus mendampinginya, yang itu artinya aku harus meminta salah satu dari Rima dan Kayla untuk bertukar shift denganku.
"Besok Kak Nessa mau ngedampingin Putri buat kemoterapi, kalian ada yang mau ngga tukar shift sama kakak?" tanyaku pada mereka. Kayla langsung maju selangkah mendekat padaku,
"Biar Kayla aja Ka," tawarnya padaku, seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Aku bersyukur memiliki rekan kerja sepengertian mereka berdua.
"Makasih ya,"
***
Kusapu peluh dingin yang membasahi kening Putri beberapa saat setelah dia memuntahkan habis seluruh isi perutnya. Wajahnya pucat dan sesekali dia masih terisak karena dia merasa proses pengobatan ini terasa sangat menyiksanya. Dengan cepat kubersihkan badannya dan mengganti bajunya dengan baju bersih supaya dia merasa sedikit nyaman. Devi dengan setia berdiri di samping kami dan dengan sigap untuk mengambilkan apapun yang aku butuhkan untuk merawat Putri.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam lewat waktu aku berlari di koridor rumah sakit menuju halte bis terdekat. Begitu Putri sudah tenang dan tertidur, aku bergegas pergi memenuhi tugasku pada pria itu.
Bis yang sepi oleh penumpang yang kutumpangi, menurunkanku tak jauh dari kawasan apartemen yang walau sudah hampir jam sebelas malam begini, masih terlihat sibuk dengan keluar masuknya mobil yang melewatiku saat aku berjalan menuju bangunan berpintu kaca itu. Tanpa mampir ke resepsionis, aku langsung memasuki lift dan menekan angka 15 yang akan membawaku ke lantai tempat dia tinggal.
Ruangan bernuansa laut ini terasa sangat sepi saat aku baru tiba. Kulangkahkan kakiku menuju sofa dan duduk disana tanpa tahu apa yang sebenarnya harus kulakukan dengan berada di apartemen ini. Kupejamkan mataku sejenak sambil memikirkan apalagi yang harus kulakukan untuk mendapatkan biaya lebih bagi kesembuhan Putri. Aku ngga mau terus bergantung dengan pekerjaan ini. Walau dia sama sekali tak menyentuhku, tapi tetap saja, pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang pantas kulakukan.
Share this novel