Di tengah samudra luas, di antara riak cahaya bulan yang menari di permukaan air, hiduplah seorang duyung bernama Kashiefa.
Tak seperti legenda yang menyebut duyung harus bersembunyi jauh di dasar laut, Kashiefa adalah makhluk laut bebas.
"Itu benar, inilah aku, aku adalah makhluk paling bebas, aku terbang di antara lautan luas, tubuhku bisa ke mana-mana dengan mudah dan lautan adalah tempat di mana kehangatanku berada... Semua orang bilang lautan indah tapi mereka belum melihat hal sesungguhnya di dalam lautan, hal yang lebih indah dari apa pun. Lautan yang terlihat seperti langit biru yang tenang bahkan hewan-hewan kecil sampai besar dapat ditemukan dengan mudah.... Aku suka tempatku berada, aku bebas meskipun aku adalah makhluk satu-satunya di sana..."
Ia berenang ke mana saja ia suka, menelusuri karang-karang yang bersinar lembut, menyusuri padang lamun yang menari, dan bersahabat dengan makhluk laut yang tak bisa ditemukan di daratan: ubur-ubur berpendar, hiu ramah, paus biru tua, hingga gurita pemalu yang suka menyapa dengan tinta ungunya.
"Aku selalu bertemu dengan Hiu, seperti sosok seorang pria yang begitu tegas selalu menyapaku..." Kashiefa suka melambai pada Hiu yang selalu datang melewatinya.
Hiu-hiu itu kadang selalu berbeda-beda, ada yang memiliki bekas luka, ada juga yang berjenis berbeda. Mereka tidak pernah memangsa Kashiefa. Justru mereka sangat suka menyentuhkan ujung kepala mereka pada Kashiefa untuk dielus olehnya.
"Hahaha.... Halo, apa kamu ingin berburu lagi, kau benar-benar hewan yang kejam..." candanya sembari mengelus kepala Hiu itu yang terlihat tersenyum memperlihatkan gigi-gigi tajamnya.
"Hiu adalah hewan paling hebat, dia menjaga rantai makanan dengan memangsa hewan kecil maupun lebih besar, terkadang Hiu juga berbahaya, mereka juga akan memangsa manusia jika memang ada kesempatan, tentu saja itu bukan salah mereka, Hiu punya insting berburu yang tidak bisa diubah jadi itu tetap salah manusia karena tidak hati-hati..."
Setelah dirasa cukup pertemuan dengan duyung cantik itu, Hiu itu kemudian pergi untuk melanjutkan perjalanan membuat Kashiefa kembali melambai. Di setiap waktu, dia juga akan bertemu Hiu berbeda. "Mereka yang aku temui kebanyakan punya bekas luka yang berbeda, itu karena mungkin mereka bertengkar atau apa pun itu, atau bahkan lebih parah lagi.... Manusia.... Kita sangat membenci manusia..... Mereka kejam, karena itulah aku lebih suka lautan...."
Tubuhnya tampak seperti terbuat dari lautan itu sendiri: ekor bersisik biru kehijauan yang berkilau ketika terkena cahaya matahari, dan rambut panjang yang mengalir seperti arus pasang, bercahaya halus dalam gelapnya palung terdalam. Matanya—bening seperti kristal es laut—memantulkan ketenangan abadi yang hanya dimiliki oleh makhluk yang telah lama hidup dan belajar dari dunia.
"Selain Hiu, ada banyak hal yang ingin kulihat. Jika aku berenang di tengah, aku juga akan melihat banyak hewan laut. Jika berenang lebih bawah, tentu saja aku menemukan banyak hal. Aku lebih suka melihat gurita cincin yang selalu saja malu-malu kusapa.... Mereka hanya melambaikan tentakel mereka dan corak mereka yang cantik tapi berbahaya untuk manusia.... Semua hewan laut menyukaiku dan aku juga suka akan mereka... Tapi apakah aku akan seperti ini terus?"
Suatu malam, ketika bulan bulat menggantung rendah dan arus terasa tenang, Kashiefa berenang naik ke permukaan, tepat di atas dinding karang tempat biasa ia duduk merenung. Ia tidak sendiri. Seekor lumba-lumba muda bernama Elu berenang di sisinya, penuh rasa ingin tahu.
"Apa kau pernah berpikir untuk meninggalkan lautan, Kashiefa?" tanya Elu, sambil melompat keluar air lalu menyelam lagi dengan gemulai.
Kashiefa tersenyum kecil, membelai air di sekitarnya dengan ujung jarinya. “Tidak pernah. Lautan adalah denyut nadi kehidupanku. Aku tumbuh bersamanya. Aku… diciptakan darinya. Meskipun aku suka dunia manusia, aku mungkin tidak akan berlebihan untuk datang ke daratan dan berubah menjadi manusia, tapi lautan tetap nomor satu, sangat berat untukku meninggalkan lautan meskipun sebentar....”
Elu menoleh, menatap Kashiefa dengan mata bulat penuh rasa penasaran. “Tapi kenapa? Bukankah daratan menyimpan misteri juga? Kau harus berbaur dengan manusia agar kau bisa mempelajari gaya hidup mereka...”
Kashiefa tertawa lembut, suaranya menyatu dengan desir angin malam. “Daratan punya misteri, ya. Tapi lautan punya rahasia. Dan rahasia-lautan adalah puisi yang hanya bisa dibaca dengan perasaan, bukan mata.”
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai bercerita, suaranya pelan namun dalam, seperti ombak yang berbisik di telinga:
“Dulu… saat aku masih kecil dan ekorku belum sekuat sekarang, aku tersesat di arus bawah. Aku terbawa jauh ke timur, ke dasar laut yang gelap dan dingin. Aku ketakutan, menangis, memanggil ibuku, memangnya siapa ibuku, aku lahir tidak dengan siapa-siapa. Tapi tak ada jawaban. Hanya suara paus purba yang terdengar samar, dan kilatan cahaya dari ikan lentera. Saat itulah lautan memelukku untuk pertama kalinya—bukan dengan tangan, tapi dengan keheningan. Ia tidak memberiku jalan keluar… tapi memberiku kekuatan untuk memahami.”
Elu diam, mendengarkan dengan khidmat.
“Sejak saat itu,” lanjut Kashiefa, “aku mulai memperhatikan. Arus tidak pernah diam, tapi ia selalu punya arah. Karang mungkin tajam, tapi ia rumah bagi ribuan makhluk. Bahkan ombak yang tampak kasar… sebenarnya adalah bisikan kesabaran dari bulan pada air.”
Ia memejamkan mata, seakan mengingat sesuatu yang jauh dan hangat.
“Kau tahu, setiap malam, bintang laut naik sedikit ke permukaan, seolah ingin menyapa bintang di langit. Dan aku? Aku juga ingin menyapa, tapi pada lautan itu sendiri. Kadang aku berbicara pada palung. Kadang pada arus deras yang menari liar di pinggir samudra. Lautan mendengarku. Ia tidak menjawab… tapi ia mengerti.”
Elu berkedip pelan. “Itu… terdengar seperti cinta.”
Kashiefa membuka mata, menatap jauh ke ujung horizon, tempat langit dan laut bertemu.
“Lebih dari cinta, Elu. Lautan adalah jiwaku. Di dasar laut, aku mendengar kisah dari fosil kerang purba. Di palung terdalam, aku merasakan napas bumi. Di tengah badai, aku tahu bagaimana lautan mengajari tentang kehilangan dan kembali. Ini bukan sekadar tempat tinggal—ini rumah yang hidup. Rumah yang menghidupi.”
Elu mengangguk perlahan. “Jadi… itulah kenapa kau selalu kembali ke tempat ini?”
“Ya,” bisik Kashiefa. “Di sini aku bisa mendengar suara lautan bercerita padaku. Tentang perahu-perahu yang karam dan dihiasi terumbu. Tentang nelayan yang mengucap doa sebelum menebar jala. Tentang ikan-ikan kecil yang belajar berenang di antara bahaya.”
Ia mengangkat tangannya, menunjuk ke bawah, ke dasar laut yang berkilauan samar.
“Lihat di sana… ada ladang lamun yang menari lembut. Setiap helai daunnya tahu bagaimana cara menari tanpa ragu, mengikuti arus tapi tidak pernah lepas akar. Itu… pelajaran dari lautan juga.”
Malam makin larut. Cahaya bulan jatuh seperti tirai perak di atas permukaan laut. Angin membawa aroma asin dan dingin, menelusup di antara cerita yang belum selesai.
“Kalau suatu hari aku menghilang,” kata Kashiefa lirih, “jangan mencariku di daratan. Aku akan ada di antara ombak. Atau mungkin jadi buih yang menempel di karang. Atau suara nyanyian paus yang tak selesai.”
Elu terdiam, lalu mendekat dan menyentuh sirip Kashiefa dengan lembut. “Kau adalah lautan, Kashiefa. Dan lautan akan selalu bersamamu.”
Kashiefa tersenyum, menatap jauh ke samudra. “Dan aku akan selalu menceritakan kisahnya. Selamanya.”
Meskipun Kashiefa tidak tahu asal-usulnya. Ia hanya tahu, sejak lama, dirinya bisa berbicara dengan penyu tua, menenangkan badai kecil, dan menenangkan anak paus yang tersesat. Ia belajar bahwa kehidupan bukan tentang dari mana asalmu, tetapi tentang ke mana kau melangkah—atau dalam kasus Kashiefa, berenang.
Ia berenang bersama ikan-ikan yang menyala dalam gelap, bermain dengan lumba-lumba yang membuat lingkaran di sekitar tubuhnya, bahkan berbicara dengan bintang laut yang menempel di batu, hanya untuk mendengarkan cerita tentang ombak dari sudut lautan lain.
“Laut ini adalah rumahku,” begitu katanya, “dan aku mencintai setiap detik yang mengalir bersama arusnya.”
Tentu saja, lautan adalah tempat dimana dia bisa merasa tinggal.
Malam itu, bulan menggantung rendah di langit, menciptakan jejak cahaya perak di permukaan laut. Kashiefa mengapung tenang, rambutnya menyebar seperti ganggang hitam di air. Dari kejauhan, terdengar suara khas yang sudah sangat ia kenal.
Ia tersenyum. “Elu... Kita bertemu lagi,” gumamnya, lalu menegakkan tubuhnya dan menepuk permukaan air tiga kali. Tak lama kemudian, kepala seekor lumba-lumba muncul, matanya berbinar cerah seperti biasa.
“Kenapa kau selalu tahu aku sedang ingin bicara?” tanya Kashiefa sambil tertawa pelan.
“Karena arus menyampaikan perasaanmu padaku,” jawab Elu, suaranya seperti lengking lembut yang bisa dipahami Kashiefa tanpa kata-kata.
Mereka berenang berdampingan, lalu berhenti di sebuah lingkaran batu karang yang biasa mereka sebut Tempat Tenang.
“Aku pernah bertanya-tanya,” ujar Kashiefa, suaranya pelan. “Kenapa laut tak pernah menolakku. Seolah-olah... aku memang bagian dari sini sejak awal. Aku tidak punya kenangan tentang rumah, Elu. Tidak ada ibu yang menjemputku, tidak ada ayah yang menungguku. Hanya ombak yang mengajakku bermain, dan kau, yang selalu muncul entah dari mana.”
Elu mengeluarkan suara lembut, seperti gumaman riang, lalu menggesekkan tubuhnya ke lengan Kashiefa.
“Kau tidak berasal dari daratan. Kau dilahirkan dari detak laut itu sendiri.”
Kashiefa tersenyum tipis. “Dulu aku sering duduk berjam-jam di pinggir pantai, mendengarkan debur ombak. Aku merasa... seperti sedang mendengar cerita lama, Elu. Seolah laut sedang berbisik padaku. Dan aku selalu mengerti, meski tak satu kata pun yang diucapkan.”
“Apa yang diceritakan laut padamu waktu itu?”
Ia menarik napas panjang, menatap langit yang dipenuhi bintang.
“Bahwa aku tidak sendirian. Bahwa ada kehidupan yang lebih besar di bawah sini. Aku mulai berenang jauh ke tengah, padahal anak-anak lain takut air. Aku justru merasa semakin damai semakin jauh aku dari pantai. Kau tahu, aku pernah berenang semalaman hanya untuk mengikuti suara lagu paus. Mereka bernyanyi seperti memanggilku pulang.”
Elu melompat kecil, lalu menyelam sebentar sebelum muncul kembali di hadapan Kashiefa.
“Kau memang mendengarkan laut dengan hati, bukan telinga.”
Kashiefa tertawa. “Dan kadang aku terlalu banyak bicara soal laut, ya?”
“Tidak. Ceritamu adalah nyanyian. Laut suka mendengarnya.”
Share this novel