Chariva mengubah papan hari di depan sebuah kandang anjing dari 364 hari menjadi 365 hari, yang artinya sudah satu tahun anjing itu tidak ada yang mengadopsi. Satu tahun penuh ia terkurung di balik jeruji dingin itu, menyaksikan wajah-wajah manusia datang dan pergi tanpa sedikit pun memberi harapan. Jika tidak ada yang mengadopsinya, dalam 10 hari ke depan dia akan disuntik mati—sebuah kenyataan yang menggantung di udara seperti kabut kelabu yang tak kunjung pergi.
"(Inilah yang aku maksud bagaimana aku sudah berusaha keras, tapi ketika waktunya ada hewan yang akan melakukan itu, aku hanya bisa bilang pada diriku bahwa aku sudah bekerja keras membantu dan hasilnya, Tuhan tetap menghendakinya dan tidak ada yang bisa mengubah takdir....)"
Chariva memang tak lain hanyalah seorang gadis yang lemah jika melihat hal itu. Rambut pendek berwarna coklat terang nya tampak sangat terawat, mata coklat dan kulit putih yang sangat lembut, gadis secantik itu memilih untuk menjadi penjaga penampungan hewan terbuang.
Meski hatinya terus tergores tiap kali melihat hewan yang tak beruntung, Chariva tetap berusaha keras untuk menyelamatkannya. Dia bahkan meluangkan waktunya bermain dengan anjing itu yang memiliki semangat hidup begitu besar, seakan dunia luar tak pernah melukainya. Terkadang anjing itu menggonggong pelan, menggoyangkan ekornya, atau menatap dengan mata bulat yang bersinar penuh harapan. Tapi meski begitu, tak ada satu pun yang mengadopsinya. Tak ada mata yang benar-benar melihatnya. Bahkan, tak ada yang tertarik sedikit pun padanya.
Anjing itu hanya bisa memandang orang-orang yang lalu-lalang dari balik kandangnya, dengan pandangan penuh harap yang perlahan-lahan berubah menjadi kehampaan. Ia menunggu, berharap ada tangan yang menyentuhnya dengan kasih sayang, tapi semuanya hanya sia-sia. Sudah terlalu lama ia merindukan sebuah keluarga, tempat pulang, dan dekapan hangat yang belum pernah ia rasakan.
"Baiklah, maafkan aku sayang..." ucap Chariva lirih, suaranya gemetar oleh beban yang menyesakkan dada. Ia menatap anjing itu yang hanya terbaring lesu, seolah tahu bahwa esok adalah harinya untuk pulang ke langit, pergi tanpa pernah mengecap arti sebuah keluarga. Matanya tampak kosong, namun di dalamnya masih tersisa kilauan kecil: kilau penerimaan dan pasrah.
Chariva kemudian menangis tepat di depan anjing itu, air matanya jatuh satu per satu seperti hujan rintik yang membasahi tanah kering. "Hiks.... Kenapa dunia tidak adil sekali padamu..." Ia menangis terisak, sesekali menarik napas panjang, bahkan beberapa kali mengusap pipinya yang kini basah oleh air mata dan debu kandang.
Anjing itu hanya terdiam. Dalam diamnya, ia tahu—ia merasakan betul bagaimana Chariva mengeluarkan rasa sedihnya yang tulus. Perlahan, ia bangkit dari posisi tidurnya yang lemah dan mengangkat tangannya, lalu menyentuh Chariva dengan lembut, seperti ingin mengatakan bahwa tidak apa-apa. Seolah-olah justru ia yang berusaha menenangkan manusia yang mencintainya.
Chariva terdiam. Air matanya masih mengalir tanpa suara. Ia membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan anjing itu, memeluknya seakan tak ingin melepaskan.
Hari itu memang adalah hari terakhir tenggat waktu, dan suasana terasa begitu berat. Udara di sekitar kandang seolah berhenti bergerak, sunyi, dan penuh tekanan. Tapi siapa sangka, ketika Chariva untuk terakhir kali berpisah dengan anjing itu di kandangnya, ada seorang pria yang datang dan mengatakan sesuatu. "Hei, bisa aku lihat anjing itu?" tatapnya membuat Chariva menoleh dari luar kandang, wajahnya masih basah oleh air mata, dan suara hatinya langsung bergetar dengan harapan yang rapuh. Ia mengusap air matanya dan langsung berharap pria itu akan tertarik.
"Tuan, kau tertarik melihat anjing ini? Dia pasti cocok denganmu..." katanya cepat, seakan waktu terlalu sempit untuk membiarkan kesempatan itu hilang. Dia langsung mempromosikannya dengan nada lembut yang bergetar.
Pria itu menatap anjing itu lalu tersenyum kecil dan mengangguk. "Tentu, aku akan mengadopsinya, lagipula aku memang mencari hewan sebagai teman..." katanya, dan kata-kata itu membuat hati Chariva seolah meledak oleh kebahagiaan yang tertahan. Akhirnya, tibalah seorang pria yang mengadopsi anjing itu, dan Chariva sangat senang melihat itu. Keajaiban benar-benar datang, meski di detik terakhir.
"Terima kasih, terima kasih, kau benar-benar menyelamatkannya..." tatap Chariva penuh haru. Mata gadis itu berkaca-kaca, suaranya terdengar serak tertahan emosi. Pria itu hanya tersenyum kecil, pandangannya menatap sejenak ke arah Chariva seperti ketertarikan yang dalam sebelum akhirnya berkata sesuatu.
"Apa kau penjaga di sini? Heran sekali seorang gadis merupakan penjaga di sini... Kupikir kau hanya figur yang menayangkan promosi di media sosial, ternyata kau juga penjaga di sini..." tatapnya, nadanya terdengar penasaran tapi tidak bernada merendahkan.
"Ah, jadi kau melihat promosiku di media sosial. Jika tidak ada promosi itu, aku juga akan seumur hidup menjadi penjaga hewan yang satu per satu akan disunyi mati... Sekali-kali aku benar-benar berterima kasih padamu..." Chariva membungkuk sopan, tubuhnya ikut merendah bersama rasa terima kasih yang begitu tulus. Anjing di sebelahnya menggonggong pelan, mengibas-ngibaskan ekor, seolah mengerti bahwa suasana ini adalah momen yang baik.
Tapi pria itu memasang wajah seolah tengah memikirkan sesuatu. Sorot matanya berubah—bukan ancaman, lebih seperti rasa tertarik yang mendalam. "Bagaimana jika aku juga minta nomor ponselmu?" Dia mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya, gerakannya cepat tapi tetap santai.
"Eh, untuk apa?" Chariva terdiam bingung. Dahinya mengerut, lalu mendadak ia mengingat sesuatu yang membuat matanya berbinar. "Oh, aku tahu, apa kau ingin bertanya-tanya jika semisal ada sesuatu yang aneh dengan anjing ini kan?" Tatapannya benar-benar polos dan jujur, membuat pria itu mengangguk tanpa ragu sedikit pun.
"Tentu..."
Seketika Chariva mengambil ponsel pria itu dengan semangat yang terlihat dari cara dia bergerak. Jari-jarinya cekatan mengisi nomor, dan wajahnya memerah sedikit karena gugup. "Itu nomorku..."
Kemudian pria itu menatap layar ponselnya, membaca nama yang baru saja muncul di sana. "Chariva? Namamu seperti cerita dongeng yang aku baca ketika aku masih kecil..." tatapnya, suara lembutnya menyimpan kenangan masa lalu yang samar.
"Eh, dongeng?" Chariva terdiam, bingung. Kepalanya sedikit miring, berusaha mengingat dongeng apa yang mungkin pernah ia dengar dengan nama yang serupa.
"Yeah, dongeng... Seorang gadis yang terlantar dan mengharapkan seseorang untuk merawatnya dengan baik, itu semua melambangkan bagaimana hewan terlantar berharap sangat banyak untuk diadopsi..." kata pria itu, menatap lurus ke depan. Suaranya terdengar berat, seolah dongeng itu bukan sekadar cerita anak-anak, tapi memiliki makna lebih dalam.
Tapi Chariva menyadari sesuatu. "(Kenapa apa yang dia katakan... Apa yang dia katakan dalam cerita dongengnya sangat mirip dengan kehidupan bahkan apa yang aku pikirkan hingga saat ini...)" Ia menatap tak percaya, detak jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada sesuatu yang aneh tapi menghangatkan hati dalam setiap kata pria itu.
"Um, bisa aku tahu apa nama buku dongengnya?" tatap Chariva, suaranya terdengar lebih pelan dan hati-hati, seolah ia tidak ingin mengganggu kenangan pria itu.
"Bagaimana jika ketemuan? Aku akan menunjukkannya padamu sekalian aku mencari bukunya, karena sudah sangat lama aku tidak melihatnya, mungkin ada di barang-barangku di rumah... Aku akan menentukan tempat kita ketemuan ketika kau ada waktu? Bagaimana?" Pria itu berbicara tanpa ragu, seolah tawaran itu bukan hal aneh baginya. Nada bicaranya jujur, tanpa kepura-puraan.
Chariva pun mengangguk tanpa ragu. Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih hangat, meskipun matahari sore mulai redup dari jendela belakang.
"Shiftku berakhir pada jam 8 malam..." katanya sambil menunduk sedikit, tak menyadari senyum kecil di bibirnya.
"Bagus, aku akan mengirimi pesan nanti..." tatap pria itu, lalu dia menatap ke arah anjing yang kini menggonggong penuh kesenangan. "Kemarilah, kawan..." dia memegang tali anjing itu dengan lembut, lalu menggiringnya ke arah resepsionis.
"Baiklah, ini data yang harus kau isi..." Chariva mengulurkan selembar kertas formulir. Pria itu menerima dan mulai menulis dengan tenang. Suara goresan pena terdengar jelas di tengah ruangan yang sunyi.
Saat menulis, Chariva terdiam menatap wajah pria itu. "(Berapa umurnya kira-kira... Kenapa dia sangat tinggi dan lebih dewasa dari apa pun, kupikir dia itu pelatih GYM? Bukan? Mungkin tentara? Bukan? Um, kenapa aku malah berpikir soal dia?)" Pikirannya melayang liar, namun wajahnya tetap tenang.
Chariva terdiam tapi pria itu mendadak memanggil. "Hei, aku belum memberitahu namaku, ya?" tatapnya sambil tersenyum kecil. Tangannya mendorong kembali kertas yang sudah ia isi, lalu ia berjalan pergi sambil meninggalkan kata terakhir. "Kau bisa memanggil namaku nanti, sampai jumpa..." Suaranya menggema pelan, seolah meninggalkan jejak.
Anjing itu menggonggong satu kali pada Chariva, seakan pamit, lalu berlari kecil mengikuti tuan barunya.
Chariva terdiam, lalu menatap ke arah kertas itu. Di sana tertulis nama pria itu yang bernama Griffin.
"Oh, Tuan Griffin, nama yang sangat unik sekali... Aku suka namanya... Terdengar seperti... Dongeng?"
--
Tak lama kemudian dia tampak duduk di kursinya menunggu orang orang berkunjung lagi, sembari menunggu, dia menatap media sosial dan kebetulan Chariva terkesan ketika melihat ada konten media sosial di mana ada orang menggunakan filter untuk video kucingnya. Efek itu membuat kucing tersebut memiliki bulu seperti dirajut, membuat Chariva terkesan. “Wah, imut sekali, aku ingin mencobanya.” Ia langsung bangun dan melihat tempat dimana Lousi sering tidur, tapi ternyata, ketika dia melihat ke meja resepsionis, tidak ada kucing itu.
"Eh? Lousi? Um.... Mungkin dia sedang buang air, atau makan?" gumamnya lalu kembali menatap ponsel.
Ketika ada orang berkunjung dan butuh bantuan nya, Chariva juga akan dengan segera melakukan nya. Tapi hingga sore pun, dia sadar, Lousi tidak ada. "Um.... Lousi?" ia bingung melihat sekitar. Tapi kemudian ponselnya berbunyi membuat nya melihat, itu adalah atasan nya membuatnya langusng mengangkatnya. "Bos, apa ada yang bisa aku lakukan?"
"Chariva, besok aku tugaskan kau lagi.... Pergi ke alam, oke?" tanya bosnya yang suaranya seorang pria.
"Ah, besok? Um, baiklah... Aku bisa melakukan nya..." kata Chariva lalu dia menutup ponselnya tapi ternyata ada pesan masuk membuatnya melihat.
~ Ini aku, pria yang mengadopsi anjing terakhir kali. Bagaimana jika kita lakukan besok malam saja? Aku sedang sibuk ternyata.
"Oh, jadi malam ini tidak bisa.... Baiklah..." Chariva kemudian membalas pesan nya hingga pada Shift nya berakhir, dia menutup tempat itu tapi masih khawatir pada Lousi. Meskipun begitu, dia mencoba untuk tenang. "Mungkin dia ketiduran dimana... Besok mungkin sudah menyambutku... Eh, besok kan aku pergi... Ah sudahlah.... Lagipun kucing itu kucing rumahan...."
Share this novel