"(Aku takut... Aku takut... Aku ditangkap untuk pertama kalinya... Aku benar-benar takut... Aku seharusnya tidak membantunya...)" pikirnya, wajahnya pucat, tangannya gemetar di dalam air. Ia menekuk tubuhnya di sudut akuarium, seperti berusaha menghilang dari pandangan siapa pun.
Hingga ia melihat dua orang tadi pergi meninggalkan tempat mereka, meninggalkan ruangan itu dalam keheningan yang menegangkan.
"(Ah, kenapa mereka pergi!!)" pikirnya panik. Ketakutannya meningkat, apalagi lampu ruangan itu tiba-tiba mati. Kegelapan melingkupi seluruh ruangan seperti selubung mimpi buruk. Ruangan itu seperti tempat garasi kosong—dingin, sunyi, dan penuh ancaman yang tak terlihat. Mereka sengaja menyimpan duyung itu di sana karena mereka berencana akan mengurusnya besok, dan jika besok benar-benar terjadi, maka Kashiefa mungkin tidak akan pernah bisa kembali ke laut.
"(Tidak... Aku telah ditangkap manusia... Tapi, aku bisa keluar dari air... Aku bisa berubah menjadi manusia dan pergi...)" pikirnya sambil berenang ke atas, mencoba menyentuh permukaan. Namun ternyata akuarium itu tertutup sangat rapat, pelat baja besar menutupinya tanpa celah sedikit pun.
Ia tak bisa keluar ke mana-mana. Ia terkurung. Dan tak ada jalan keluar. "(Aku tak bisa keluar... Kenapa malah jadi begini, seharusnya aku berubah saja menjadi manusia ketika aku menolong pria tadi, jika aku berubah menjadi manusia, mereka juga akan berpikir aku manusia... Kenapa aku bisa tidak waspada... Sekarang tak ada jalan, aku tak bisa kabur...)" dia hampir ingin menangis.
Tapi di sisi luar, Hunter, pria yang ia tolong itu, masuk diam-diam sore itu ke dalam garasi itu, dia benar-benar datang ke tempat seperti itu. Napasnya berat, wajahnya tegang, dan ia menyalakan senter kecil di tangannya, menyapu sekeliling ruangan.
"(Aku tahu pasti di sini tempatnya, baru-baru ini ada pemburu liar yang mengacaukan hutan ini dan mereka berkedok membangun pabrik kayu kecil, padahal mereka hanya ingin berburu dengan ilegal... Tempat ini memang sudah seharusnya dihancurkan...)" Sorot cahayanya terhenti pada akuarium besar yang mengurung seorang duyung cantik. Kashiefa sedang menatapnya dengan ketakutan. Kedua tangannya menempel pada kaca, matanya membulat dalam kecemasan.
Hunter terdiam. "(Aku bahkan langsung menemukan duyung ini, aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat, duyung yang cantik, sisik berkilau dan rambut yang berharga, semuanya berharga, dia adalah sebuah mutiara yang harus dilindungi kerang...)" Ia seakan tak percaya pada apa yang ia lihat. Makhluk itu... duyung itu… benar-benar nyata. Dan lebih dari itu—dia mengenalnya. Dia yang telah menyelamatkannya. "(Aku merasa bersalah karena membawanya kemari, padahal dia pasti tadi ingin menyelamatkanku... Aku terlalu banyak minum air dan tenggelam tapi buaya itu tidak memakanku, mungkin dia yang menyelamatkanku...)"
"(Dia... Dia datang kemari!? Apa dia juga jahat... Aku takut...)" Kashiefa menunduk sedikit, menampakkan wajah ketakutannya yang membuat Hunter terpaku. Hatinya mencelos melihat sorot mata itu. "(Dia ketakutan... Ini semua salahku...)"
Lalu Hunter mendekat dan meletakkan tangannya di kaca. Sentuhan itu membuat Kashiefa terdiam, bingung. Dengan gerakan isyarat dan mulut yang perlahan membentuk kata, Hunter mencoba berkomunikasi. "Aku... Akan... Membantumu, keluar..." ucapnya membuat Kashiefa terdiam yang ternyata dia paham, dia bahkan menatap dengan mata berbinar dan penuh harap.
Tapi Hunter sepertinya berpikir bahwa Kashiefa tidak paham dengan apa yang dia bicarakan. "(Apa wajar jika aku berpikir duyung tidak bisa bahasa manusia? Mungkin aku akan berbicara lagi?) Hei, aku akan... Memecahkan... Kacanya... Menjauhlah..." katanya perlahan, berharap dia mengerti.
Tentu saja Kashiefa memahami maksudnya dengan cepat. Ia berenang menjauh, meski tetap memandangi Hunter penuh waspada.
Hunter terkejut. "(Dia paham dengan apa yang aku ucapkan?! Lupakan, aku urus nanti... Sekarang... Hanya perlu menyelamatkannya...)" pikirnya. Ia mengepalkan tangan, mengambil ancang-ancang, dan tanpa ragu memukul kaca keras itu.
"(Dia mencoba memecahkan hanya dengan memukul?! Tapi, dia akan kesakitan...)" pikir Kashiefa, membelalak.
Satu pukulan tak cukup, tapi sudah cukup untuk menimbulkan retakan kecil. Hunter menarik napas panjang dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk satu pukulan lagi—kali ini lebih kuat dan tepat. Kaca retak hebat, dan suara retaknya menggema keras. Dalam sekejap, kaca pecah dan air mengalir deras keluar bersama tubuh Kashiefa yang terseret keluar tanpa sempat menahan diri. "Ah!" serunya, panik.
Namun, di saat itu, Hunter segera menangkapnya. Tangannya sigap meraih tubuh Kashiefa dan menggendongnya erat dalam pelukannya. Mereka terbasahi oleh air yang terus mengalir dan menimbulkan suara bahkan pandangan mereka sama-sama tertuju, Kashiefa menatap tak percaya bahwa dia telah diselamatkan oleh seseorang yang sama sekali tak memandang hasrat padanya.
Tanpa banyak bicara, ia langsung membawa Kashiefa pergi, meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Bahkan Hunter berlari pergi, tapi siapa sangka kedua pria tadi menyadarinya dan mengecek bahwa akuarium telah pecah bahkan duyungnya tak ada. Mereka sempat melihat Hunter pergi ke sisi hutan. "Cepat tangkap dia!" mereka berdua langsung menyiapkan mobil dan mengejar Hunter.
Kashiefa terkejut melihat ke belakang di mana mobil kedua pemburu itu tampak mengejar. "Ah!" Dia hanya bisa berteriak sementara Hunter berlari lebih kencang tak peduli ekor Kashiefa tergerak ke sana kemari karena sisiknya seperti sebuah gaun transparan.
--
Suara langkah kaki dan deru mobil semakin mendekat. Hunter terus berlari sekuat tenaga, menyusuri jalan setapak di antara pepohonan yang makin rimbun. Nafasnya terengah, peluh bercampur air terus menetes dari wajah dan lehernya, namun ia tak melepaskan Kashiefa dari pelukannya. Duyung itu memandang ke belakang dengan wajah cemas, ekornya yang basah menggesek tanah dan rerumputan, membuat pelarian itu terasa makin berat.
"Aku bisa... Aku bisa... Sedikit lagi ke rawa..." gumam Hunter, berusaha meyakinkan diri.
"Ada mereka di belakang!" jerit Kashiefa tiba-tiba, melihat cahaya lampu mobil yang menyorot dari balik semak. "Lebih cepat, lebih cepat! Mereka melihat kita!!"
Hunter tak menjawab. Ia hanya menggertakkan gigi, memaksakan langkahnya menuruni lereng curam yang mengarah ke wilayah rawa di bawah.
Namun—
SRAKK!!
Sebuah anak panah berujung baja melesat dan mengenai pundak Hunter, menancap begitu dalam hingga tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh.
"Agh...." dia terdengar terkejut kesakitan. Kakinya goyah, pelukannya melemah, namun ia masih berusaha berdiri. Matanya terpejam menahan nyeri yang menyengat.
"Tidak!!" Kashiefa panik, matanya membelalak. Ia langsung meraih tubuh pria itu saat mulai jatuh. "Kau tertembak! Bertahan... Bertahanlah...!"
Hunter terbatuk, darah menetes dari sudut bibirnya. "Ah, sial, aku tidak pernah terluka begini..." gumam Hunter layaknya dia tampak sudah pasrah. Namun darah terus menetes, dan langkahnya makin lemah.
Tak berpikir panjang, Kashiefa menyeret tubuh Hunter, memeluknya dari samping meski perbedaan ukuran tubuh mereka menyulitkan. Ia menggigit bibir, menahan tangis, dan mengerahkan kekuatan dari ekor duyungnya untuk menyeret tubuh itu lebih cepat menuju rawa yang tinggal beberapa meter lagi.
“Bertahanlah! Kita hampir sampai!” teriak Kashiefa, air matanya mulai mengalir.
Hunter mulai kehilangan kesadaran. “Kau… menyelamatkanku… lagi…”
Tapi suara derap langkah dan bentakan dari para pemburu sudah terdengar jelas. "Dia masuk ke rawa! Cepat, jangan biarkan dia lolos!"
Kashiefa menoleh dengan panik. "Tidak... Mereka akan menangkap kita berdua..."
Dan akhirnya—mereka sampai di tepi rawa yang gelap dan berlumpur. Tanpa ragu, Kashiefa menarik Hunter masuk ke dalam air. Begitu tubuh mereka menyentuh permukaan, air seperti menyatu dengan dirinya. Ia menyelamkan tubuh Hunter perlahan, lalu memeluknya erat di bawah air. Cahaya dari atas tak bisa menembus kegelapan lumpur rawa yang dalam.
Di permukaan, para pemburu sampai beberapa detik kemudian. Mereka mengarahkan senter dan panah ke segala arah. Tapi tak ada yang terlihat selain air berlumpur yang bergerak tenang.
“Ke mana mereka?!”
“Mustahil bisa kabur secepat itu!”
“Rawa ini… terlalu dalam dan terlalu gelap…”
Salah satu dari mereka meludah kesal. “Sial! Duyung itu membawa dia masuk! Kita harus cari jalan lain."
Di dasar rawa, Kashiefa masih memeluk Hunter, menatap wajahnya yang pucat. Air bergelembung keluar dari mulutnya.
“Bertahanlah… Kumohon… Jangan mati…” bisiknya pelan, sambil menggerakkan tangannya di sekitar luka itu, mencoba menutupnya dengan ganggang rawa yang bisa menyembuhkan luka minor.
Hingga ia naik ke permukaan dan siapa sangka, dia berhasil menemukan sebuah bunga teratai putih yang mengambang di antara akar akar pohon yang menutupi dan melindunginya. "Bunga kehidupan!" Kashiefa menatap senang membuat Hunter terdiam menatap itu sambil memegang dadanya. "Bunga?" Dia menatap tidak mengerti lalu Kashiefa menyentuh teratai itu. "Tolong, kami membutuhkan kehidupan di sini...." tatapnya lalu bunga teratai itu mengeluarkan sebuah cahaya membuat Hunter merasa silau tapi detik berikutnya, cahaya redup dan dia merasakan dadanya tak sakit. Dia meraba raba dan ternyata lukanya sudah sembuh. "Ini, tidak mungkin?" Dia menatap tak percaya sementara Kashiefa hanya tersenyum lembut.
"Aku mendengar dongeng dari sebuah kerang, dia bilang di rawa ini selalu ada bunga kehidupan, dia bisa menyembuhkan luka apapun, tapi jika lukanya besar seperti menghidupkan orang sekarat, bunga teratai ini pasti mengeluarkan tenaga besar hingga dia layu, kita tak tahu lagi dimana harus menemukan bunga teratai, tapi untung nya, kamu sudah sembuh..." kata Kashiefa nembuat Hunter terdiam mengingat Clarabell yang pasti tahu soal bunga itu juga.
Tapi siapa sangka, salah satu pemburu itu ternyata berjalan menemukan mereka melewati air yang dangkal di area bunga teratai itu. "Di sini kalian ternyata!" dia menatap akan melawan, membuat Kashiefa terkejut dan panik ketakutan. "Tidak!"
Namun dengan cepat, Hunter memukul wajah pria itu bahkan sampai pria itu terjatuh di air dan tak sadarkan diri. Rekan pria itu datang dan terkejut. "Hei! Apa yang kau lakukan, sialan!" dia mengeluarkan anak panahnya tapi Hunter langsung menangkap anak panah itu tepat di tangannya membuat semuanya terdiam. Anak panah itu padahal melesat cepat. "Kau tidak bisa menembakkan anak panah di jarak yang dekat...." tatap Hunter dengan serius hingga dia mendekat menghabisi pria itu sampai membuat kedua pria itu tak sadarkan diri terombang-ambing di air, tak peduli mereka akan mati bagaimana.
Share this novel