Chapter 7 Lady of Sea's

Action Series 502

Setiap kali mengobrol dengan Elu, Kashiefa pasti selalu ingat akan apa yang dia obrolan selalu. Ia saat itu diam sejenak, membiarkan air menyentuh ujung-ujung jarinya.

“Aku pernah tinggal beberapa hari di palung dalam, Elu. Di tempat yang tak pernah tersentuh cahaya. Di sana, suara terdengar seperti gema dari ribuan tahun lalu. Ada arus pelan yang seperti menyelimuti tubuhmu, membuatmu merasa tidak sendirian, walau kau di dalam kegelapan total.”

“Kau tidak takut?” tanya Elu.

“Tidak. Justru di sanalah aku merasa... aku berasal. Kau tahu rasa ketika kau menyentuh air hangat setelah kedinginan lama? Seperti itu.”

Elu mengangguk-angguk dengan cara khasnya.

“Kalau begitu, mungkin laut tidak hanya menyukaimu. Ia menyayangimu.”

Kashiefa menatap Elu, lalu tertawa. “Laut tidak pernah menghakimi. Ia menerima semua yang datang, dan melepas semua yang pergi. Aku belajar banyak darinya, lebih dari yang bisa diajarkan siapa pun.”

Ia berenang memutar, membuat lingkaran di sekitar Elu.

“Kalau aku harus memilih, aku tidak ingin mencari daratan untuk tinggal. Aku ingin tinggal di sini. Bersamamu, bersama gelombang, bersama bintang laut dan suara-suara asing yang hanya aku bisa dengar.”

Elu memutar sekali di udara, lalu mencipratkan air ke wajah Kashiefa.

“Maka jangan pernah pergi. Karena laut juga akan merasa sepi tanpa ceritamu.”

"Hahaha, tapi kan aku suka menjelajah.... Aku suka berbaur dengan manusia..."

"Ya, tapi jangan berlebihan, mereka juga bisa jadi bahaya tauk..." Elu selalu khawatir akan kondisi Kashiefa yang selalu dengan mudah berbaur dengan daratan. Apalagi Kashiefa adalah duyung yang profesional.

Suatu hari terlihat kapal pesiar berada di lautan tenang, kapal besar itu melaju perlahan di tengah birunya samudra, seperti istana mengambang di atas lautan. Cahaya lampu yang menggantung menghiasi pesta yang sedang berlangsung. Musik berdentum halus, gelas-gelas berisi minuman berwarna jingga dan ungu bersulang di tangan para tamu. Gelak tawa membaur dengan suara angin laut yang berhembus, membawa aroma asin dan harum dari makanan yang tersaji.

Orang-orang bersenang-senang. Mereka menari, bernyanyi, menikmati kebebasan dari rutinitas yang telah lama mengikat mereka di daratan.

Namun di salah satu sisi kapal, di tepi pagar besi yang dingin terkena embun laut, seorang gadis kecil berdiri diam. Ia menyandarkan dagunya pada lengannya yang terlipat di atas pagar kapal, memandangi lautan luas yang tak bertepi. Tak seperti anak-anak lain yang sibuk bermain di dalam kapal, ia tak tersenyum. Ia bahkan tidak bicara. Pandangannya kosong, melayang jauh, seolah sedang mencari sesuatu di balik gelombang.

Dia menghela napas. Dalam. Panjang.

Lalu menghembuskannya pelan, seperti ingin melepas sesuatu yang tak bisa ia ucapkan.

Namun, saat matanya terpaku ke horizon yang berkilau keperakan oleh pantulan bulan, sesuatu muncul dari dalam air.

Gadis itu sontak menegakkan tubuhnya. Matanya membesar. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Dari tengah laut yang seolah tak menyimpan apa-apa, seorang perempuan cantik perlahan muncul ke permukaan. Rambutnya panjang, basah, dan jatuh ke punggungnya seperti aliran tinta biru. Ia tampak telanjang, tubuhnya berkilau diterpa cahaya bulan. Ia tak panik. Tak terlihat bingung. Hanya menatap lurus ke arah kapal, dan... ke arah gadis kecil itu.

Mereka saling memandang.

Gadis itu mundur setapak. “(Apakah... dia tenggelam?)” pikirnya.

Namun sebelum ia sempat berteriak, perempuan cantik itu itu tersenyum. Senyuman kecil, tenang, seolah ingin mengatakan, aku tidak apa-apa. Dan tepat saat itu juga, ekor panjang berkilau muncul dari bawah tubuhnya, mengayun lembut ke atas—membuat jelas bahwa dia bukan manusia biasa.

Dia adalah duyung.

Gadis itu membeku. Mulutnya terbuka, tak bisa berkata apa pun. Ia tak bisa percaya bahwa matanya benar-benar melihat makhluk yang selama ini hanya hidup di dalam dongeng.

Duyung itu lalu menyelam perlahan, kembali ke dalam laut.

Namun kisahnya belum selesai.

Arus laut, yang malam itu bergerak liar namun bersahabat, membawa tubuh duyung itu menuju sisi kapal, menyelinap ke dalam saluran air yang terhubung ke kolam renang kapal. Tanpa ia sadari, ia terdorong naik... hingga akhirnya—blup!—ia muncul di dalam kolam renang yang gemerlap, tepat di tengah pesta.

Ia berdiri, diam, menatap sekeliling. Tak seorang pun menyadari kehadirannya. Semua orang sibuk dengan kegembiraan mereka.

Ia naik dari kolam dengan gerakan anggun, lalu berubah menjadi manusia dengan mudah nya. Tubuhnya mengering seolah air tak pernah menyentuhnya. Ia menoleh, melihat sebuah kursi santai, dan di sana tergantung sebuah dress pendek berwarna biru tua—sewarna rambutnya. Ia mengambilnya dan memakainya dengan cepat, mengikat rambutnya seadanya.

Kini, ia terlihat seperti manusia sempurna: cantik, misterius, dan... asing.

Ia berjalan pelan menyusuri pesta. Cahaya lampu menyentuh wajahnya dan membuat semua mata yang melihatnya terpaku.

Seorang nakhoda tampan yang lewat menoleh dan tersenyum sopan, mengangkat topinya.
“Selamat malam, nona.”

Ia menunduk ringan dan membalas dengan senyuman kecil, lalu melangkah lagi.

Seorang pelayan lewat membawa nampan penuh minuman. Ia berhenti sesaat dan menatap wajah wanita itu, lalu dengan tanpa sadar menyodorkan segelas minuman.
"Silakan,” katanya pelan.

Duyung itu—yang kini menjadi manusia—menerimanya dengan anggun. “Terima kasih,” bisiknya.

Lalu seseorang—seorang pria muda, percaya diri dan penuh gaya—mengulurkan tangannya. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap wanita itu seolah ia adalah pusat dunia.

Kashiefa tampak ragu sejenak. Tapi ia kemudian menerima tangan itu.

Sang pria membawanya berputar—sekali, pelan—memamerkan kecantikannya ke orang-orang. Dan benar saja, banyak tamu mulai memperhatikan mereka. Mereka bersorak kecil, bertepuk tangan, memuji dengan gumaman:
“Siapa dia?”
“Cantik sekali.”
“Dia seperti... bukan dari dunia ini.”

Namun Kashiefa tak terlalu peduli. Ia hanya berjalan, melangkah melewati mereka.

Dan saat itulah, ia melihat gadis kecil tadi.

Gadis itu berdiri di pinggir ruangan, masih terkejut. Di tangannya, ia menggenggam sebuah gambar—lukisan duyung yang ia gambar sendiri dengan pensil warna. Gambar itu lusuh, warnanya lembut, tapi nyata.

Kashiefa menghampirinya membuat mereka saling menatap sekali lagi.

Gadis itu memegang gambar itu dengan kedua tangan, lalu mengangkatnya pelan—menunjukkan kepada Kashiefa.

Kashiefa menjadi tersenyum. Ia mendekat sedikit, menunduk, dan meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya.

“Rahasia ini... hanya milik kita berdua.”

Gadis itu mengangguk pelan.

Kashiefa kemudian mulai melangkah pergi.

“(Memang, aku adalah satu-satunya duyung dari air bebas. Aku tidak berasal dari daratan, dan bukan dari kerajaan laut mana pun. Aku telah hidup ribuan tahun, menjelajahi palung terdalam hingga muara-muara yang sunyi. Aku tahu dunia manusia. Aku telah belajar meniru mereka. Aku tahu cara berjalan, cara bicara, bahkan cara mereka mencintai dan membenci. Tapi aku tidak tahu siapa aku. Tidak tahu dari mana aku datang. Dan mungkin aku tidak perlu tahu. Yang kutahu, aku adalah Kashiefa. Duyung bebas yang bisa menjadi apa pun. Aku tidak pernah menunjukkan rahasia ku pada orang orang kecuali mereka yang berhak mengetahui nya...)"

Ia kembali ke laut malam itu, sebelum pesta berakhir.

Rambutnya kembali terurai oleh angin laut, ekornya kembali berkilau diterpa sinar bulan. Di dalam laut, ikan-ikan menyambutnya, karang-karang menyala seolah mengerti bahwa dia telah kembali.

“Dunia manusia indah,” bisiknya, “tapi hanya jika mereka tidak tahu siapa aku sesungguhnya. Karena jika mereka tahu... mereka akan ingin memiliki. Dan laut tidak bisa dimiliki.”

Beberapa menit sejak dia meninggalkan kapal itu, tiba-tiba Elu datang. "Kashiefa!" panggilnya membuat Kashiefa terkejut.

"Kamu masuk ke kapal manusia lagi? Lagi?!" Elu menatap kesal.

"Ehehehe, jangan khawatir Elu, aku berbaur dengan mudah, mereka menyukai ku, mereka tidak menyakitiku.... Aku juga bisa mengendalikan tubuhku dengan mudah..." katanya.

Elu hanya menggeleng menatap datar. "Kamu ini..." tapi kemudian dia teringat sesuatu. "Oh ya, kamu tidak ingin mengecek ke rawa? Mungkin hewan hewan rawa ingin bertemu dengan mu..."

"Oh, ya, baiklah, pagi pagi aku akan ke sana...."

"Tapi tetap berhati-hatilah, di sana banyak orang apalagi dekat dengan hutan, kami tak mau kau terluka Kashiefa... Jangan bertindak bodoh seperti dulu..." tatap Elu dengan khawatir.

"Jangan khawatir Elu, aku baik-baik saja, sampai jumpa..." Kashiefa melewatinya membuat Elu masih menatap khawatir.

--

Sementara itu di sisi lain, tepatnya di sudut pandang Hunter. Dia tengah menatap sesuatu di tempat yang luas, yakni sebuah lautan dan dia ada di pelabuhan barang penuh kargo berwarna-warni.

Dia terdiam dengan wajah sederhananya lalu ponselnya berbunyi, membuatnya langsung menerimanya. Suara seseorang mulai terdengar. "Kerja bagus, Hunter. Kau sudah mengirim persediaan tulip untuk diolah menjadi teh, sampai sini saja. Aku akan memberitahu perusahaan untuk segera menjemput kargo penuh tulipmu untuk menjalin kerja sama di luar negeri. Senang bekerja sama denganmu...." kata suara itu lalu ponselnya mati, membuat Hunter kembali menyimpan ponselnya.

"(Waktu panen tulip tiba dan pekerjaanku bertambah dengan mengirim banyak tulip itu ke pelabuhan untuk dikirim dan diolah menjadi teh. Sekarang, aku hanya harus kembali ke ladang dan menanam lagi bersama orang-orangku....)" Ia menghela napas panjang lalu berjalan pergi dari lautan luas itu dan naik ke sebuah truk kontainer yang sangat besar. Dia bahkan mengendalikan semuanya sendiri. Hunter memang melakukan banyak pekerjaannya sendiri, dia hanya punya sedikit karyawan untuk mengambil dari ladangnya agar uang sisa bisa tetap ia sumbangkan ke orang-orang membutuhkan.

Tapi sebelum dia naik ke truknya, dia melihat ada sebuah poster yang tertempel secara ilegal di kargo kosong di truk kontainernya. Poster itu dibuat dengan profesional dan di sana tertulis, "Penangkapan Duyung sangat penting dan nyata."

"Sial, sejak kapan hantu menempel kertas tidak berguna di tempatku..." Dia kesal dan mengambil poster itu, tapi ia tertarik untuk berpikir. "(Duyung? Memangnya itu ada? Tidak.... Itu pasti ada. Jika Clarabell ada, maka duyung pasti akan ada.... Organisasi yang membutuhkan duyung pasti sangat berbahaya. Aku tak peduli.... Aku sudah punya Clarabell....)" Ia kembali masuk ke truknya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience