Setelah mengendarai truknya sampai di ladang, Hunter turun perlahan, membiarkan suara deru mesin mereda di antara hamparan tanah yang mulai dipenuhi aroma segar tanah pagi. Ia memeriksa kondisi ladang, memperhatikan dengan seksama di mana beberapa orang pekerja yang datang setiap hari selama sebentar tampak menanam tulip bersama. Gerakan tangan mereka yang cekatan seolah menjadi tarian rutin di atas tanah cokelat yang mulai merekah. Sementara itu, ia kembali ke belakang truk untuk mengambil peralatan berburunya—sebuah busur kayu tua yang terawat baik dan tabung panah yang menggantung di punggungnya.
"(Karena pekerjaanku sudah selesai, tinggal menunggu mereka saja, aku hanya akan berburu....)" gumamnya pelan, suara itu nyaris tertelan angin yang berhembus lembut. Ia kemudian berjalan menjauh dari ladang, meninggalkan hiruk-pikuk kecil para pekerja dan debu yang mengambang di udara hangat.
Kebetulan rute yang ia ambil berbeda hari ini. Langkah kakinya membawanya ke jalur kecil yang lebih jarang dilewati, rutenya lebih mengarah ke sebuah danau rawa yang tenang. Airnya tampak diam, hanya riak kecil sesekali muncul dipermukaan. Jika arusnya diikuti, danau itu akan mengalir langsung ke lautan, menyatu dengan kebiruan horison yang jauh.
Hunter berburu di sana, di antara sunyi yang hanya diisi kicau burung rawa dan desir angin yang melintasi ilalang tinggi. Ia berjalan-jalan pelan, memandangi tempat luas itu dengan tatapan waspada namun tenang, sembari teringat akan poster duyung yang ia cabut tadi pagi di pos masuk. "(Duyung huh? Memang terdengar mustahil tapi bukankah duyung itu berbahaya...)" pikirnya, membiarkan bayangan tentang makhluk mitos itu bermain di kepalanya.
Mendadak pandangannya menatap tajam ke arah seberang danau. Air yang biasanya tenang itu terusik oleh gerakan besar di permukaan—seekor ikan raksasa sedang berenang lambat namun pasti, menimbulkan gelombang kecil yang menjalar. Kesempatan emas untuk berburu dengan mudah. Tanpa membuang waktu, dia lalu mengarahkan busur panahnya. Nafasnya ditahan sejenak, tubuhnya diam seperti patung pemburu, dan siapa sangka, begitu panah itu terlepas, anak panah tersebut langsung mengenai ikan itu, membuatnya terhentak dan mengambang mati di permukaan.
Hunter kemudian turun ke air, langkahnya mantap meski harus menembus danau yang dalam dan dingin. Ia akan mengambil ikan itu, tapi yang tidak ia ketahui, ada bahaya yang sedang mengintainya. Seekor buaya besar, diam-diam mendekat di antara rimbun rerumputan air yang menyamar sebagai arus.
Hunter, yang baru sadar ketika air di sampingnya bergolak, langsung menoleh. Ia menatap ke arah samping di mana mendadak buaya itu muncul dan membuka mulutnya lebar. Gigi-gigi tajam menganga mengarah ke tubuhnya. Hunter terkejut namun reflek bertindak cepat, langsung memegang kedua sisi mulut buaya itu dengan sekuat tenaga, berusaha menahannya agar tidak dilahap. Namun dorongan tubuh buaya yang jauh lebih besar perlahan tapi pasti mendorongnya mundur hingga ia tergelincir, terdorong ke dalam air yang lebih dalam.
Gelombang air pun menelan tubuh mereka yang tengah bertarung hebat, dan dalam sekejap, Hunter menghilang di dalamnya.
Sementara di sisi lain, Kashiefa terlihat berenang di sebuah danau seperti rawa, dia tidak peduli kondisi air karena dia memang bisa beradaptasi di banyak air. Bahkan lumut maupun apapun itu ia lewati dengan mudah layaknya mereka menghindar dengan sendiri jadi Kashiefa tetap bersih sama seperti di lautan.
Ketika sedang berenang di danau, dia melihat banyak hal-hal yang baru, apalagi danau itu jenis seperti rawa, semuanya hijau, banyak lumut dan ikan-ikan yang baru, dan para ikan yang termasuk ke dalam pemangsa tidak ganas padanya, justru mereka menyukainya bahkan buaya sekalipun yang siap menggodanya.
"Di sini berbeda sekali dengan di lautan... Semuanya bahkan kelihatan hijau..." ia melihat sekitar hingga bertemu dengan seekor buaya besar yang menatapnya tajam.
Kashiefa tidak takut, justru dia terkejut bertemu dengan nya dan langsung menyapa. "Halo..." Dia melambai membuat buaya itu mengangkat angkat kepalanya layaknya membalas nya, tapi dia tiba tiba mendorong punggung kashiefa dengan moncong nya membuat Kashiefa bingung.
"Eh kenapa?" Dia mencoba mendengarkan buaya itu. "Apa?! Kau tidak sengaja membuat seseorang terluka?" Kashiefa terkejut mendengar itu, buaya itu tampak menyesal. "Kamu menyerang manusia? Karena manusia itu menyakiti hewan di sini? Begitukah? Tapi, apa kau memakan nya?" Kashiefa menatap lalu buaya itu menggeleng membuat Kashiefa tampak cemas. "Kasihan manusia itu... Aku akan mencarinya..." Dia meninggalkan buaya itu.
Tapi ketika sedang berenang itu, dia melihat ada pria yang tenggelam di sisi lain, tubuh besar itu melayang lemas di dalam air keruh yang memantulkan cahaya keperakan dari langit. Rambutnya terombang-ambing, dan tubuhnya nyaris tak bergerak, perlahan tenggelam seolah ditelan kedalaman. Bahkan kemudian pria itu tampak tak sadarkan diri, membuatnya terkejut dan menahan napas. Gelembung-gelembung udara terakhir keluar dari mulut pria itu, seolah menjadi pertanda genting.
Tentu saja, itu adalah Hunter—pria yang tak sadarkan diri setelah bergelut hebat dengan buaya, yang kini telah menghilang entah ke mana. Entah kenapa, buaya itu tidak memakannya, meninggalkannya begitu saja, seolah ada alasan yang lebih besar dari sekadar naluri pemangsa.
"(Oh tidak, ada orang yang dalam bahaya! Apa yang harus aku lakukan... Aku ingin membantunya tapi, aku bisa ketahuan... Mungkin ini baik-baik saja... Aku yakin dia pria yang baik...)" pikirnya dengan detak jantung yang berdebar cepat, wajahnya menunjukkan kebingungan yang nyata.
Akhirnya, dengan tekad yang tumbuh di tengah kecemasan, dia berenang mendekat. Air terasa semakin dingin, dan beban emosinya semakin berat saat mendekati tubuh Hunter.
"Apa yang harus aku lakukan... Hah?? Aku ingat di dekat sini ada bunga kehidupan... (Bunga kehidupan yang diciptakan oleh seorang putri yang manis... Aku pernah mendengar dongeng yang aku dengar dari sebuah kerang...)" gumamnya, suaranya tertahan oleh gelembung di dalam air.
Ia dengan cepat memegang pria besar itu dan sekuat tenaga menariknya seperti menyeret beban berat yang nyaris tak bernyawa. Tubuh Hunter sangat berat, dan arus bawah air mulai bergejolak seiring gerak mereka. Ia terus berusaha menariknya, meski tubuhnya sendiri mulai kelelahan, ekornya menggeliat melawan arus, berusaha keras menyelamatkan nyawa yang hampir padam itu.
Tapi di sisi lain, ada sebuah perahu kecil yang berisikan dua orang pemburu sedang memancing di kejauhan. Danau itu begitu tenang, nyaris tak bersuara selain bunyi lembut air yang berdesir di tepian perahu mereka.
“Hei, bukankah itu ada orang?” tunjuk salah satu dari mereka sambil memicingkan mata ke kejauhan, mencoba memastikan apa yang dilihatnya.
Namun siapa sangka, dia menyadari bahwa ada ekor panjang yang berkilau keperakan, bergerak dengan indah namun mencurigakan di permukaan air.
“Hah?! Wanita itu duyung!”
“Kau tidak bercanda?!” Yang lain segera menatap tajam, dan mereka benar-benar melihat seekor duyung menarik tubuh seorang pria. Mata mereka membelalak tak percaya, seolah melihat mimpi liar menjadi nyata.
“Duyung… Itu pasti akan membuat untung…” Mata mereka kini dipenuhi hasrat dan ambisi. Tanpa banyak bicara, mereka langsung mengejar Kashiefa.
Kashiefa terkejut melihat perahu itu bergerak cepat ke arahnya. "(Hah?! Manusia?! Mereka melihatku?!)" pikirnya dengan panik. Nafasnya memburu, jantungnya terasa seperti ingin meloncat keluar dari dada. Tapi di sela kepanikan itu, mendadak Hunter yang ia bantu itu tersadar, tubuhnya terangkat perlahan di air dangkal, matanya terbuka setengah sadar. Ia melihat makhluk cantik bermata besar menatapnya dengan khawatir.
“Hah?!!” Bahkan refleksnya terlalu cepat—ia langsung mendorongnya dengan panik, membuat Kashiefa terjatuh di air dangkal itu. "Ah!" teriaknya pelan, ekornya menghantam lumpur saat ia mencoba berenang menjauh secepat mungkin.
Namun suara teriakan datang dari belakang. “Bro! Tangkap dia!!”
Seketika, Hunter yang baru saja tersadar itu memegang ekor Kashiefa dengan kuat, membuatnya tak bisa bergerak bebas.
“Ah! Lepaskan aku!!” teriaknya dengan suara gemetar, matanya penuh rasa takut dan bingung. Ia memutar tubuh, menatap Hunter dengan tatapan memohon.
Hunter membalas tatapannya, seolah baru kini menyadari ekspresi wajah makhluk di depannya. Ketakutan yang tulus, tidak menyeramkan, tidak jahat. Dia memiliki rasa bersalah dan kasihan, matanya menyiratkan kebingungan yang belum terpecahkan—hingga siapa yang menyangka, pria-pria penuh hasrat tadi langsung menangkap Kashiefa dengan jaring kasar.
“Ah!! Tidak!!” Kashiefa tampak panik, tubuhnya terjerat rapat dan ia sudah ditarik ke atas perahu, tak bisa berkutik. Tangan dan ekornya diikat dengan kasar.
“Bro, terima kasih…” Salah satu dari mereka menepuk bahu Hunter yang masih kebingungan, yang dibantu Kashiefa tadi. Tapi Hunter diam, masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tubuhnya masih gemetar oleh pertempuran dan kejadian yang begitu cepat.
Ia melihat Kashiefa yang ditangkap oleh mereka, digiring seperti makhluk yang aneh dan asing. "(Apa yang aku lakukan? Aku melihat seekor duyung? Kupikir dia ingin memakanku… Tapi dia tampak ketakutan… Apa dia… Membantuku?)" pikirnya, mencoba menimbang-nimbang semuanya. Hatinya memberat, tapi mendadak dia melihat ke arah samping yang ternyata ada moncong buaya lagi yang siap akan menyerang nya. Hal itu membuat Hunter terkejut dan reflek menghindar, tapi buaya itu terus memaksa seperti ingin menyerang membuat Hunter terpaksa harus ke daratan. "Apa maumu?!" Dia menatap tegas pada buaya itu yang hanya menatap tajam dari dalam air. Lalu Hunter baru menyadari bahwa buaya itu ingin Kashiefa kembali, duyung itu adalah sahabat hewan air jadi kenapa harus di ambil manusia.
"(Duyung itu harus aku kembalikan…)" bisiknya dalam hati. Perasaan bersalah mulai menekan dadanya.
Sementara itu, Kashiefa sudah dibawa ke suatu tempat yang ia tidak tahu. Bangunan itu sepi, lembap, dan dindingnya dilapisi seng tua yang berkarat. Ia dimasukkan ke dalam akuarium yang sangat besar, airnya dingin dan nyaris tak bergerak. Ia ketakutan, tubuhnya menggigil, dan beberapa kali melihat ke kaca tebal untuk melihat keluar, berharap menemukan seseorang yang bisa menolongnya.
Dia bisa melihat dua orang tadi yang tertawa puas di luar kaca. "Hahaha... Bagus, benar-benar nyata, ternyata duyung itu memang ada, bahkan sangat cantik..."
“Kau benar, besok kita akan bawa ke publik, kau tahu organisasi kerja sama publik itu? Mereka pasti sangat menginginkan hewan ini… Pasti kita dapat untung banyak…”
“Hahaha, bagus… Aku bisa melihat banyak uang di sini…” Mereka membicarakan sesuatu yang tidak bisa Kashiefa dengar karena suara teredam oleh air.
Share this novel