Chapter 5 Lady of Flower's

Action Series 502

Setelah aku melihat-lihat hal di sana, aku menemukan banyak hal yang sangat luar biasa, termasuk rak-rak buku yang tersusun dengan rapi dan terawat, seakan tiap lembarnya menyimpan rahasia yang hanya bisa dibuka oleh mereka yang bersungguh-sungguh mencari. Di antara deretan itu, ada satu buku tebal dengan sampul berwarna kelam kehijauan dan ornamen bintang kecil yang membuatku penasaran. Aku meraihnya dengan hati-hati, membelai bagian sampulnya yang berdebu tapi indah, dan melihat bahwa buku itu memiliki nama yang unik.

"Orang-orang terfavorit alam semesta."

Apa itu? Aku bertanya-tanya dalam hati, menatap judulnya dengan rasa ingin tahu yang tumbuh makin kuat. Lalu kubuka halaman pertamanya, dan ternyata di sana ada kisah yang tak biasa—sebuah dongeng yang mengisahkan tentang bagaimana alam semesta memiliki orang-orang favoritnya. Mereka bukan sembarang manusia, melainkan mereka yang mewarisi keberuntungan dan dikatakan mampu mempengaruhi, bahkan mengendalikan alur alam semesta itu sendiri.

Aku tidak mengerti sepenuhnya. Tapi rasa penasaranku justru memaksaku untuk terus membaca. Ceritanya membawaku pada nuansa yang entah bagaimana... terasa familiar. Bahkan ada cerita yang mungkin—entah kenapa—terdengar mirip denganku.

Zaman dahulu, konon berdiri sebuah kastil cantik yang menjulang gagah di tengah ladang bunga yang seakan tidak pernah layu, dan di sekitarnya hamparan hutan yang segar, penuh suara gemerisik daun dan aliran sungai yang jernih.

Airnya bening, mengalir perlahan dengan banyak ikan yang bermain, menciptakan gemercik damai yang menyatu dengan suara angin. Hewan-hewan liar hidup berdampingan dengan penuh kedamaian di dekat sana, seolah tak pernah ada ancaman yang mengganggu.

Di tempat itu tinggal lima putri cantik yang masing-masing memancarkan pesona berbeda. Mereka bukan hanya penghuni biasa, melainkan penjaga—penjaga alam dan kehidupan di sekitarnya. Tugas mereka adalah menjaga kedamaian, menyeimbangkan kehidupan antara flora dan fauna, dan memastikan kelestarian lingkungan tetap terjaga.

Mereka hidup berdampingan dengan harmonis, berbagi kisah mereka saat malam tiba. Lilin abadi di tengah ruangan selalu menyala hangat, cahayanya menari-nari di dinding batu kastil yang dingin, menciptakan bayangan yang lembut. Malam mereka tenang, penuh canda dan harapan yang mereka bisikkan satu sama lain. Mereka tidak hanya menjaga alam, tapi juga menjaga satu sama lain—dengan kasih sayang yang dalam dan ikatan batin yang kuat.

Namun, dongeng itu tidak hanya berhenti pada kelima putri. Di halaman-halaman berikutnya, kisah membawa pembaca pada malam paling sunyi di tahun itu, saat bulan bergantung rendah, hampir menyentuh pucuk pepohonan, dan bintang-bintang tampak lebih dekat, seperti menunduk untuk ikut mendengar.

Pada malam itu, para putri duduk melingkar di sekeliling lilin yang tak pernah padam, cahayanya tenang tanpa goyangan angin. Di atas kepala mereka, langit seperti kanvas gelap bertabur cahaya, memantulkan warna-warna yang bahkan tak dikenal oleh manusia—warna yang terasa seperti harapan yang berbentuk, seperti kenangan yang hidup, seperti pelukan hangat yang tak terlihat.

Tertulis bahwa mereka tak saling mengenal sebelumnya. Mereka tak pernah tahu keberadaan satu sama lain. Hanya alam, dengan caranya yang unik dan misterius, yang mempertemukan mereka.

"Ini sangat hebat..." Aku menghabiskan waktu membaca lembar demi lembar cerita itu. Setiap kalimat seperti bisikan magis yang menghidupkan gambaran dalam kepalaku. Cerita itu benar-benar terasa nyata—atau setidaknya... sangat ingin kupercayai nyata. Aku harap suatu hari nanti aku bisa bertemu dengan mereka. Berteman. Menjadi bagian dari kisah yang abadi seperti mereka.

Tepat sebelum aku memutuskan melanjutkan langkah untuk melihat-lihat hutan lainnya, aku berdiri sejenak. Bunga adalah sahabatku—selalu menyambutku di sepanjang jalan. Tapi aku merasa begitu jauh dari pohon. Mereka tinggi, diam, dan kadang terlalu sulit untuk kukendalikan. Sedangkan bunga... mereka hadir di mana-mana, menyapa dengan warna dan aroma mereka.

Mungkin aku bisa mengatakan sesuatu pada Tuan Hunter? Mungkin... dia bisa mengenalkan seseorang padaku? Seseorang yang bisa menemaniku berbicara, agar aku tidak selalu kesepian. Karena itulah, setiap hari aku berjalan-jalan di hutan. Terkadang aku ingin menulis sesuatu. Tapi aku tak ingin merusak alam dengan tinta atau kertas, jadi aku menggunakan cara yang lebih ramah. Aku menyusun batu kecil, atau kerikil, membentuk barisan huruf-huruf. Kadang aku gunakan ranting pohon untuk mengukir tanah yang lembut.

Itu menyenangkan—sangat menyenangkan. Apalagi saat bunga-bunga bermekaran di setiap sudut yang kulalui. Mereka seperti ikut tersenyum melihat tulisanku.

Aku berharap, suatu saat, akan ada orang lain yang membaca tulisanku. Selain Tuan Hunter.

Sementara itu, di sisi lain tempat yang sama, tepatnya di ladang tulip itu, Hunter terlihat keluar dari gerbang besi tua yang ia buka sendiri. Suara engselnya berdecit pelan, mengusik keheningan pagi. Setelah keluar, dia menutup gerbang itu dengan perlahan, dan berbalik menatap hamparan ladang tulip yang melambai-lambai diterpa angin. Warna-warni bunga itu tampak menyala dalam cahaya lembut yang jatuh dari langit mendung.

Hunter tampak seperti pria yang berasal dari kisah lama. Pakaian pemburu yang ia kenakan tampak lusuh namun kokoh. Di punggungnya tergantung busur dengan tali kuat dan beberapa peralatan berburu lain yang menggantung di ikat pinggangnya. Wajahnya serius, namun sorot matanya menyiratkan kenangan dan kelelahan.

Dia tidak langsung melangkah ke kota atau ke ladang. Sebaliknya, dia justru memilih berjalan ke hutan yang sunyi dan teduh. Entah apa tujuannya, tapi langkahnya mantap, seolah telah mengenal tiap sudut hutan itu.

Di atas pohon tinggi, seekor tupai kecil tengah melompat dengan lincah. Matanya besar dan polos, memindai sekitarnya dengan rasa ingin tahu. Hingga mendadak—*suara lembut tapi cepat*—sebuah panah melesat dan menembus dadanya. Tubuh kecil itu terjatuh, tertarik oleh gravitasi, dan membentur tanah tanpa suara.

Hunter berjalan tenang mendekati bangkai tupai itu, lalu mengambilnya dan tersenyum kecil—senyum yang tampak samar antara pahit dan terbiasa.

"(Masih saja sama... Aku tidak pernah berharap aku bisa melakukan ini, tapi mungkin ini akan cocok untukku...)" pikirnya.

Matanya lalu tertumbuk pada hamparan rumput hijau di depan sana. Di atas tanah itu, kerikil-kerikil kecil disusun membentuk tulisan yang begitu rapi dan penuh makna, seperti seseorang menaruh seluruh perasaannya di sana.

"Aku selalu ingin melihat semua orang bahagia..."

Hunter terdiam sejenak, membaca kalimat itu dalam hati. Lalu, seperti ada sesuatu yang menyentuh hatinya, ia tersenyum kecil. "Apa ini Bell yang melakukannya?" gumamnya pelan.

Dia menatap sekitar. Bunga liar bermekaran meskipun tanpa perawatan manusia. Meski sederhana, mereka tumbuh dengan keanggunan yang tidak bisa direkayasa. Tempat itu terasa hidup—hangat—seolah menyambut setiap jiwa yang ingin mengenalnya.

Tak hanya di tempat itu. Dalam beberapa langkah ke depan, setiap jalur yang ia lalui penuh dengan ukiran-ukiran dan susunan kerikil lainnya, masing-masing menyampaikan pesan, harapan, dan impian yang ditinggalkan oleh seseorang—oleh Clarabell.

"(Sangat cantik...)" bisiknya. Ia terus membaca, seolah terhanyut dalam dunia yang diciptakan gadis itu hanya dengan batu dan tanah.

Hingga akhirnya, dari balik semak-semak, terdengar suara lembut ranting menggores tanah. Hunter mendongak, dan di sana, dia melihat Clarabell. Gadis itu tengah berlutut, khusyuk mengukir sesuatu di tanah, tangannya lembut tapi penuh tekad.

Hunter berdiri diam. Lalu ia menggeser kakinya perlahan, membuat suara yang cukup untuk didengar Clarabell.

Clarabell menoleh, kaget namun cepat mengenali sosok di hadapannya.

"Hah? Tuan Hunter, kenapa ada di sini? Dan... (Dia memakai pakaian pemburu?!)"

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hunter dengan nada tenang, lalu berlutut untuk melihat lebih dekat.

"Um, aku hanya sedang melakukan sesuatu yang mungkin bisa dibilang menghabiskan waktu...." jawab Clarabell dengan malu-malu, tapi tetap menatapnya dengan tenang.

"Begitu ya. Bagaimana jika menulis saja di sini...." Hunter meraba sakunya, lalu mengeluarkan sebuah buku tebal. Sampulnya seperti buatan tangan—dari kulit yang keras dan dijahit dengan hati-hati. Clarabell terkejut menerimanya, matanya membelalak melihat betapa miripnya buku itu dengan buku dongeng yang ia baca.

Ia membukanya. Kosong.

"Tulislah apa yang ingin kau tulis di sini. Dengan begitu kau bisa mengingat setiap tulisan yang pernah kau buat..." kata Hunter.

Clarabell tersenyum bahagia, memeluk buku itu seolah harta berharga. "Terima kasih... Eh, ngomong-ngomong apa yang Tuan Hunter lakukan?"

"Hanya berburu.... Seperti nama ku.... Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu agar kau bisa terbiasa denganku. Ke depannya aku ingin kau bisa akrab denganku..." tatapnya lembut.

"Tentu saja..." jawab Clarabell dengan anggukan dan senyum kecil. "(Kupikir kita akan seperti ini terus, Tuan Hunter layaknya orang kedua yang menginginkan mengobrol dengan ku, setelah kedua orang tuaku tidak ada, kupikir dia adalah tempat kedua yang begitu nyaman, apapun yang dia katakan, aku sangat menyukainya dan meskipun dia menyakiti hewan untuk berburu, aku menganggap itu wajar selama dia masih menyukai bunga tulip di ladang nya.... Aku harap aku bisa hidup selamanya bersama dengan nya di hutan ini, kita akan bertemu disetiap hari, mengunjungi satu sama lain... Dan sampai jumpa kehidupan tidak berguna di kota....)"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience