Sore itu, entah karena kelengahan staf atau kegesitan Savana, kandangnya terbuka. Kucing itu melompat keluar, menyelinap di antara pagar dan rumput, menelusuri jalan hingga ke pinggir kota. Langit mulai menguning, kendaraan berlalu-lalang dengan suara bising dan kecepatan tinggi. Lalu lintas ramai, kendaraan melaju cepat. Dalam sekejap—BRAK!—tubuh Savana terpental dan tergeletak di pinggir jalan, tergeletak di antara kerikil dan bayangan kendaraan yang tak sempat berhenti. Ia tidak mati, tapi tubuhnya terkulai lemah, tidak bisa berdiri. Suara meong-nya lirih dan menyayat, memanggil... Chariva.
Orang-orang yang iba segera membawanya ke klinik hewan terdekat. Suara klakson dan kepanikan sempat mengiringi langkah-langkah mereka yang tergesa.
Chariva yang menerima kabar itu lewat telepon langsung menjadi tak percaya, sosok yang seharusnya ia selamatkan—kenapa dia harus meninggalkan kucing itu? Semua rasa bersalah menumpuk, jantungnya nyaris runtuh karena panik dan sesal. "(Ketika aku mengetahui hal itu, aku langsung pergi dari sana bahkan tak sempat berpamitan pada gadis itu. Tuan Griffin yang melakukannya buru-buru lalu mengejarku bersama anjingnya. Kami akhirnya kembali ke kota dan entah bagaimana, aku benar-benar dibuat menangis oleh kucing itu...)"
Ketika ia sampai dan melihat Savana dengan tubuh penuh perban, matanya langsung basah. Bau obat dan antiseptik memenuhi ruangan, dan suara detak jam dinding seolah menegaskan keheningan. “Savana… aku minta maaf. Ini salahku…”
Savana membuka matanya perlahan. Ketika melihat Chariva, ia mengeong lemah. Nafasnya menjadi lebih tenang. Hanya dengan kehadiran Chariva, rasa sakit itu seolah berkurang, seperti menemukan kembali tempat berlindung yang lama hilang.
Di belakangnya ada Griffin yang menatapnya, diam namun waspada, lalu kebetulan ponselnya berbunyi dan di sana tertulis nama *Hunter*, membuatnya pergi dari tempat itu dan menerima panggilan itu sambil berjalan pelan ke luar ruangan. "Kenapa?"
"Kau sudah sampai di tempatnya kan? Apa gadis itu memang gadis yang selama ini kau cari?" tanya Hunter.
"Soal itu, maafkan aku. Aku kembali ke kota karena suatu hal mendesak. Tolong katakan pada gadis itu, gadis yang ada di hutan itu, untuk mengetahui soal Chariva. Aku akan memberitahumu informasinya, siapa tahu gadis itu tahu soal Chariva....." kata Griffin. Sebenarnya, apa yang sedang mereka sembunyikan? Ruang antara mereka dipenuhi misteri yang tak tersampaikan.
Beberapa pekan kemudian, luka-luka Savana mulai pulih. Bulunya tumbuh kembali di sekitar luka, dan meski gerakannya belum sepenuhnya lincah, matanya telah kembali berbinar. Gerakannya kembali lincah, meskipun ia masih sedikit pincang.
Chariva memutuskan untuk membawanya pulang. “Kamu tidak akan kutinggalkan lagi,” ucapnya mantap, suaranya terdengar penuh keyakinan dan kehangatan yang dulu sempat retak.
Savana kembali mengejar bola, menggigit mainan, lalu memeluk kaki Chariva sambil mendengkur. Chariva tertawa kecil sambil menatapnya, matanya melembut seolah ingin membekukan waktu yang damai itu.
Dalam diam, Savana menatapnya, lalu menggesekkan kepalanya ke tangan Chariva. Sentuhan itu ringan, namun sarat makna, menyatukan hati mereka dalam keheningan yang tak membutuhkan kata.
Tanpa kata, keduanya tahu—ikatan mereka tak lagi bisa dipisahkan. "(Aku senang dia baik-baik saja, bagaimanapun juga dia harus memiliki kehidupan yang layak. Dia tidak pantas berada di kota, jadi karena itulah aku kembali mengatakan pada Griffin untuk membawa Savana kembali ke hutan tempat kita terakhir kali ke sana. Kupikir hutan itu adalah tempat yang baik, apalagi aku bisa memperkenalkannya pada gadis yang saat itu...)"
"Oh, jadi, kau benar-benar ingin mengirimnya. Kalau begitu, itu baik-baik saja, kau tak harus khawatir.... Savana pasti bisa bertahan hidup dengan baik... Aku bisa membantumu mengirimnya...." kata Griffin saat berkunjung di penampungan hewan, membuat Chariva menatap senang. Mereka duduk di sudut ruang, di antara aroma makanan hewan dan suara kucing-kucing lain yang sedang diadopsi. "(Barulah setelah itu, aku berpisah dengan Savana. Jika ada waktu, aku akan mengunjungi Savana. Kami berpisah saat dia mengikuti Tuan Griffin yang mengantar ke hutan itu.... Aku berjanji akan menemuinya lagi... Sehari setelah itu, Tuan Griffin mengirimi ku pesan bahwa dia sedang sibuk, jadi kita sekali lagi mengundur pertemuan soal membahas akan dongeng... Karena kebetulan hari ini adalah hari libur kita seharian, aku jadi harus mencari hal lain yakni touring dengan sepedaku.)"
Langit mendung menggantung di atas jalanan sunyi yang membelah lereng perbukitan. Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Chariva mengayuh sepedanya perlahan, menyusuri jalanan yang sepi dan sunyi. Hanya suara ban sepedanya yang menyentuh kerikil serta desir angin yang sesekali mengacak rambutnya.
Saat melintasi sebuah belokan kecil yang dipagari batu-batu besar, pandangan Chariva menangkap sesuatu yang bergerak. Seekor kucing kecil dengan bulu oranye kecokelatan sedang melompat dari satu batu ke batu lain. Tubuhnya kurus, mata bulatnya menatap dengan waspada, tapi tak ada rasa takut ketika melihat Chariva. "Savana?!" Chariva teringat akan Savana namun itu bukan.
Ia berhenti, memegang rem sepedanya. Ia perlahan turun dan mendekat. Udara di sekitarnya terasa hening, hanya gemerisik daun dan napasnya sendiri yang terdengar. “Hei, kamu sendirian di sini?” tanyanya pelan.
Kucing itu tidak lari. Justru ia melangkah mendekat, kakinya yang kecil meninggalkan jejak lembap di atas batu. Chariva berjongkok, mengulurkan tangannya. Kucing itu mengendus sebentar, lalu menggesekkan kepalanya ke telapak tangan Chariva.
"Kamu pasti lapar..." gumam Chariva lirih. Ia membuka tas kecil di pinggangnya dan mengambil sisa roti isi tuna yang ia bawa. Dengan perlahan, ia menyobek bagian kecil dan memberikannya pada kucing itu.
Tanpa ragu, kucing itu menyantapnya dengan lahap.
Melihat itu, dada Chariva terasa hangat. Di tengah jalanan sunyi yang jauh dari siapa pun, kehadiran makhluk kecil ini terasa seperti keajaiban yang datang diam-diam.
“Bagaimana kalau ikut aku saja? Kamu pasti terlantar kan, aku akan membawamu ke penampungan....” katanya pelan tapi ia teringat. "(Tunggu, jangan penampungan... Kupikir akan lebih baik jika di rumahku dulu...)" tekadnya dengan senyuman sambil menatap mata kucing itu yang bening, seolah-olah ada kesedihan lama yang tak pernah bisa ia ceritakan.
Ia membuka tas kain di bagian belakang sepedanya, mengeluarkan jaket untuk dijadikan alas, dan dengan lembut mengangkat si kucing ke dalamnya. Kucing itu mengeong pelan, namun tidak memberontak. Ia justru terlihat nyaman, meringkuk seperti sudah lama mengenal tempat itu.
Sejak saat itu, mereka selalu bersama. Chariva merawatnya dengan baik dan tak lupa selalu mengajaknya ke penampungan dan memperkenalkannya pada Lousi yang sudah kembali saat itu. Ternyata kucing hitam itu memang baik-baik saja.
Kucing itu diberi nama *Pino*. Bulu oranye lembutnya kadang memantulkan cahaya matahari, dan di lehernya kini tergantung pita kecil warna hijau yang dibelikan Chariva di sebuah kota yang mereka singgahi. Pino adalah pendiam, tapi penuh rasa ingin tahu. Ia suka menatap awan yang bergerak, atau daun-daun yang jatuh dari pohon saat mereka melewati hutan. Saat angin berhembus pelan, ia sering berdiri di atas keranjang sepeda Chariva, membiarkan bulunya tertiup sambil menatap lurus ke depan seolah tahu ke mana arah mereka akan pergi.
“Lucu juga ya, kamu anteng banget di keranjang itu,” kata Chariva suatu hari saat mereka melintasi jembatan kayu di tengah hutan pinus. Kemudian Chariva melihat ada pelabuhan laut yang kecil. "Ah, bagaimana jika mampir?" tatapnya pada Pino yang mengeong lalu sepeda Chariva sampai di sana, dia turun dan melihat ke air di ikuti oleh Pino yang sangat lucu.
"Hm, aku jadi ingin memancing deh, rasanya seperti apa ya jika memancing...." gumamnya, tapi siapa yang menyangka, ada suara kucing mengeong, suaranya sangat panik bahkan Chariva menoleh ke sekitar. "Pino, suaranya dari mana?"
Tapi Pino mengeong ketika melihat laut membuat Chariva kembali menatap laut yang ternyata ada seekor kucing yang terombang ambing mencoba berenang, dia tampak tak bisa ke daratan. "Astaga! Aku harus menangkap nya!" Chariva panik sambil melihat ke sekitar hingga kebetulan menemukan jaring yang di miliki oleh pemancing di sana.
"Tuan, boleh aku meminjam nya?" tatap Chariva membuat pria itu langsung mengangguk melihat kecantikan Chariva, seketika Chariva mengambil kucing itu
Dan beruntungnya, anak kucing itu masih bisa bertahan. Chariva pun segera memberikan pertolongan pertama pada anak kucing itu yang tampaknya kedinginan dan melihat kosong padanya dengan bulunya yang seluruhnya basah.
"Astaga, kasihan sekali, shh, tenang ya, aku menyelamatkan mu.."
Chariva pun segera membawanya ke tepian dan mengambilkan selimut untuknya dan terlihat anak kucing begitu trauma.
"Meong...." Pino bahkan langsung akrab dengan anak kucing itu yang kedinginan dan ketakutan.
"Pino, sepertinya kita harus membawanya pulang.." kata Chariva.
Ia pun memandikannya kembali ketika sampai di rumah agar air laut yang ada di bulunya tidak lagi menempel dan ia pun lepas membaik. Setelah itu, anak kucing itu dikeringkan dengan handuk lembut, bahkan pengering bulu.
Keesokan harinya, dia telah sehat dan membaik berkat Chariva.Bahkan dia mengeong sangat keras jika harus mengeluarkan suaranya
"Lucunya..." Chariva selalu melihat Pino yang tidur dengan anak kucing itu.
"(Entah kenapa hari hariku sekarang luar biasa sekali, bahkan aku sangat bersyukur... Aku telah menyelamatkan banyak hewan untuk balas dendam akan kehidupan ku... Meskipun latar belakang ku tak penting, tapi aku tetap bahagia sekarang... Tapi, aku masih mengharapkan Tuan Griffin bicara padaku soal pertemuan di tempat lain, kita bahkan belum melakukan nya...)" meskipun dia tampak bahagia menyelamatkan banyak heean bahkan dia bisa menikmati hari hari liburnya, tapi ia tetap mengharapkan Griffin untuk tidak sibuk agar mereka bisa melakukan pertemuan. Baginya Griffin sudah menjadi bagian dari apa yang ingin ia bicarakan.
"(Aku ingin tahu lebih banyak soal dia dan bahkan dongeng yang ingin dia bicarakan... Aku sangat penasaran...)"
Share this novel