Di bawah matahari yang cerah berwarna oranye, di samping langit segar yang berwarna biru, di atas rumput hijau yang tenang. Dikelilingi oleh banyaknya kucing kesayangan.
Sekejap, langit berwarna merah. Diganti matahari yang menghilang menjadi gelap. Di saat itu, bulan kembali menatap bumi. Kucing-kucing bersiap pulang dan kembali tidur.
Mengingat kesakitan diri yang tidak akan berdarah membuat hati terbilang lemah. Hati ini mulai membawa diriku ke tebing curam untuk memulangkanku ke akhirat. Kucing-kucing hitam menarik bajuku agar tidak jatuh.
Rasanya diri ini ingin menangis membayangkan cinta.
Kaki membawa pulang ke rumah sampai menahan hati ini pergi. Mata ini memandang rumah yang sepi. Mata ini hanya melihat banyaknya kucing yang meminta makan.
Lagi-lagi, hati ini membawa ke ruang gelap dengan menangis sedih. Bahwa aku roh yang sudah lama mati.
Kiasan tersebut ditulis oleh seorang penulis amatir bernama Chariva, itu tertulis di bio miliknya. Dia memiliki blog berisi satu kiasan tersebut dan entah kenapa, semenjak dia mengunggah kiasan itu, semua orang dapat membaca dan mendukung apa yang ia buat. Mereka suka dan berpikir bahwa kiasan itu memang memiliki makna yang besar, apalagi bagaimana penggambaran kucing-kucing yang muncul di setiap kalimat.
"Aku seorang gadis yang masih berusia kurang dari 20 tahun, aku masih muda tentu saja. Sejak kecil aku tidak memiliki orang tua... Aku besar di panti asuhan. Mereka bilang, suatu malam saat hujan deras mengguyur panti asuhan yang sederhana dan penuh keterbatasan itu, terdengar suara tangisan bayi dari balik semak-semak di dekat pagar tua yang dipenuhi lumut. Petir menyambar langit, menerangi malam yang kelam, sementara para pengasuh dengan payung seadanya berlari ke luar, menyusuri suara lirih yang semakin tenggelam dalam derasnya hujan. Di sanalah mereka menemukanku, bayi mungil yang kulitnya menggigil kebiruan, bekas potongan tali pusarku masih basah, dan tubuhku basah kuyup oleh air hujan yang terus mengguyur. Aku menangis begitu keras, seolah tahu bahwa hidup ini baru saja dimulai dalam ketidakpastian. Bayi yang malang, mungkin sudah berjam-jam ditinggalkan di semak itu, seolah-olah tak diinginkan dunia. Tapi tangan-tangan baik menolongku malam itu. Aku beruntung masih bisa hidup hingga hari ini.
Panti asuhan itu, walaupun bangunannya reyot dan makanannya sederhana, adalah tempat di mana aku merasa dicintai. Kami tidak memiliki banyak, tapi kami memiliki satu sama lain. Aku tumbuh di antara ladang kecil yang kami rawat bersama, menanam sayuran dan bunga yang menjadi bagian dari kehidupan kami. Aku punya banyak teman, baik yang seumuranku maupun yang lebih tua. Pengasuh-pengasuh kami adalah sosok hangat yang selalu hadir dengan senyum dan pelukan yang menguatkan. Mereka menyukaiku, sebagian dari mereka sering berkata bahwa aku adalah bayi yang tangguh, anak kecil yang mampu bertahan hidup meskipun sudah dibuang begitu saja oleh orang tuanya sendiri.
Kemudian, setelah aku tumbuh lebih besar, aku harus pergi ke kota untuk menempuh pendidikan yang diberikan oleh suatu sekolah. Aku mendapatkan beasiswa setelah mengikuti ujian masuk yang cukup sulit. Aku memang pintar, tapi hanya jika aku menginginkannya. Maksudku, aku tidak belajar terus-menerus seperti orang lain. Aku hanya akan belajar mati-matian jika besok adalah hari ujian. Setelah ujian selesai, waktuku akan kuhabiskan dengan hal lain... Sekolah bukanlah bagian yang terlalu menyenangkan dalam hidupku. Jadi, aku tidak akan membahasnya lebih jauh karena tidak penting untuk sekarang.
Aku melanjutkan studi hingga tamat SMA, tapi saat hendak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, aku tidak mendapatkan beasiswa. Keadaan memaksaku untuk mencari pekerjaan di kota, karena aku tidak memiliki siapa pun yang bisa membantu dari segi biaya.
Sedikit informasi tentang diriku—aku sangat suka berjalan-jalan ke mana pun. Bahkan, aku gemar touring dengan sepedaku, membawa ransel berisi perlengkapan sederhana, dan menghabiskan waktu menjelajahi tempat-tempat baru. Ada kedamaian tersendiri saat menyusuri alam secara perlahan. Menghilang sejenak dari hiruk-pikuk kota adalah impian kecilku yang selalu kunanti. Kembali ke panti asuhan pun menjadi salah satu keinginan terbesarku, terlebih karena aku sudah lama tinggal di kota sendirian. Teman-teman kecilku dulu juga telah menyebar entah ke mana. Sebagian dari kami terpisah dan tidak pernah lagi saling bertemu. Kami telah menempuh jalan hidup yang berbeda. Dan bagaimana nasib panti asuhan itu sekarang? Sayangnya, tempat itu telah ditutup. Setelah mereka menerimaku dulu, tidak ada lagi anak-anak baru yang datang karena dana operasional semakin menipis. Panti itu terlalu miskin untuk terus bertahan. Maka mereka memutuskan untuk menutupnya dan meminta kami semua untuk tumbuh di tempat lain, di dunia yang lebih keras. Termasuk aku.
Jika dibilang mudah menjalani kehidupan sendirian, mungkin akan terdengar mengada-ada. Tapi nyatanya, aku bertahan. Aku bekerja.
Setelah lulus, aku memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga di tempat penampungan hewan. Mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang—sebuah pekerjaan yang dianggap tidak bergengsi, bahkan dianggap hina oleh sebagian lainnya. Tapi di sinilah aku menemukan sisi kemanusiaan yang paling dalam. Di sinilah aku benar-benar merasakan bagaimana rasanya menjadi makhluk yang ditinggalkan. Setiap kali aku memandangi wajah-wajah hewan yang terkurung di dalam kandang, satu per satu dengan mata mereka yang redup dan tak lagi berharap, hatiku selalu teriris.
Bayangan masa laluku terus menghantui. Aku tahu bagaimana rasanya tidak dicintai oleh keluarga. Bagaimana rasanya dilahirkan tapi tak diinginkan. Mereka di luar sana, yang hidup bersama orang tua mereka, bisa tertawa, bisa pulang dengan cerita, sementara aku... aku hanya bisa menangis dalam diam. Berjuang sendiri dalam dunia yang luas dan dingin.
Inilah rasanya... terlantar.
Tapi aku sadar bahwa di dunia ini, masih ada orang-orang baik. Seperti seseorang yang mengadopsiku dulu. Aku ini ibarat seekor hewan kecil yang dibuang, tapi kemudian ditemukan dan dirawat oleh seseorang yang memiliki belas kasih. Sama seperti hewan-hewan ini, yang kini kusayangi dengan seluruh hati.
Setiap hari, aku menyaksikan bagaimana hewan-hewan baru terus berdatangan ke shelter. Mereka terlihat sedih, kebingungan, dan lelah. Aku merawat yang terluka, tak hanya di kota tapi juga di alam. Kadang aku harus berangkat ke hutan, ke daerah terpencil untuk menolong hewan liar. Ya, aku melakukannya sendiri. Aku terbiasa hidup mandiri, jadi tak ada yang mengeluh.
Kini sudah dua tahun aku bekerja di sini. Setiap pagi, aku bangun dan membuka gerbang shelter seorang diri. Langkah-langkahku menggema di halaman yang masih sepi, saat matahari belum sepenuhnya terbit. Aku menyiapkan segalanya sendirian. Tak setiap hari orang datang ke tempat ini. Tidak setiap minggu ada yang mengadopsi. Tapi aku tetap menunggu, tetap merawat. Shelter ini lebih banyak dihuni oleh kucing dan anjing. Burung hampir tidak ada, karena mereka lebih mudah untuk terbang dan kembali ke alam. Di bagian resepsionis, aku bertugas juga di sana. Ada seekor kucing hitam yang selalu menemaniku, dia tidur di atas meja dan akan membuka matanya perlahan saat aku datang. Aku menamainya Lousi. Seekor jantan yang setia dan misterius. Entah pernah kawin atau tidak, dia hanya menghabiskan hari-harinya bersamaku, seolah mengerti semua kesedihanku.
Setiap hari, aku berbincang dengan petugas kebersihan yang datang membersihkan kandang, juga dengan petugas pemberi makan. Untungnya, aku cukup pandai mengatur keuangan shelter. Semua kebutuhan bisa terpenuhi, dan tempat ini bisa tetap layak dihuni.
Hewan-hewan yang sakit dirawat dengan penuh kasih. Kadang aku bermain dengan mereka di sela waktu. Aku sangat menyukai kucing, tapi anjing-anjing di sini juga selalu mengibas-ngibaskan ekor mereka saat melihatku, seolah minta diperhatikan. Mereka semua menggemaskan. Tapi mengapa tak ada yang ingin membawa mereka pulang?
Yang menyedihkan adalah... jika hewan-hewan ini tidak diadopsi dalam jangka waktu satu tahun dan usia mereka sudah mendekati tua, mereka harus disuntik mati. Itu prosedur shelter. Tidak ada pilihan lain. Setiap kali aku melihat petugas datang membawa suntikan itu, hatiku seakan remuk. Aku tahu, mereka akan pergi. Aku pernah menangis, mencoba berbicara pada atasanku. Tapi dia hanya mengatakan bahwa aku tidak punya wewenang. Tugasku hanya bekerja.
Padahal aku tahu... aku tahu betul bagaimana rasanya dibuang.
Karena itu aku memutuskan sesuatu. Aku tidak akan membiarkan hewan-hewan ini mati sia-sia. Aku mengajukan permohonan untuk mulai melakukan promosi secara aktif. Aku membuat akun media sosial dan membagikan kisah mereka satu per satu. Dan ternyata, itu berhasil. Banyak orang tertarik. Mereka mulai datang ke shelter, memilih hewan-hewan itu sebagai keluarga mereka.
Aku mencatat semuanya. Jumlah hewan yang diadopsi dan jumlah yang masuk hampir seimbang. Itu sudah cukup untuk membuat hatiku tenang. Paling tidak, aku telah berusaha agar tidak ada lagi yang harus merasakan jarum suntik itu. Tidak ada lagi yang harus mati karena tak punya rumah.
Aku bahagia bisa melakukan pekerjaan ini. Hewan-hewan itu mencintaiku. Mereka tahu aku ada untuk mereka... Meskipun aku sadar, tak semuanya bisa kuselamatkan.
Tapi aku telah berusaha. Sepenuh hati.
Paling tidak... aku sudah berusaha yang terbaik.”
Share this novel