4. Keberuntungan

Romance Series 3852

"Hidup adalah Kesusahan yang harus diatasi. Rahasia yang harus digali. Tragedi yang harus dialami. Kegembiraan yang harus dibagikan. Cinta yang harus dinikmati, Tugas yang harus dilaksanakan dan keberuntungan adalah nasib."

*****

SOFIE POV

(Cerita sebelum Sofie menjadi kekasih Nino)

"Jangan takut! Aku akan selalu bersamamu, .....," ucap seorang anak lelaki sambil memeluk erat anak perempuan yang sedang menangis terisak.

"Siapa kamu? Namaku bu.kan..."

"SOFIE!!" Suara teriakan menyelip di telingaku.

Sepertinya ada yang memanggilku.

Aku langsung membuka paksa kedua kelopak mataku karena mimpi yang selalu ku mimpikan setiap malam. Namun dalam mimpi itu, aku tidak mengetahui anak lelaki dan perempuan tersebut. Ku pegang kepalaku yang selalu berdenyut sehabis mimpi itu.

"SOFIE!!"

Aku terkejut dengan panggilan keras yang dilontarkan dari arah luar pintu. Aku menghela nafas berat karena sudah tahu siapa yang berteriak. Tidak bisakah sehari saja dia tidak berteriak kepadaku?!

"SOFIE!!" Teriakan kembali memekakkan telingaku dan makin keras.

"Ya, Ma, aku datang!" jawabku sambil beranjak dari ranjangku. Aku segera berlari ke bawah untuk menemui Mamaku. Saat aku sudah berhadapan dengan Mama di ruang makan, dia langsung mengeluarkan suara kerasnya kembali.

"Kenapa kau belum membuat sarapan??!" tanyanya dengan nada membentak. Dia juga berkacak pinggang sambil menunjuk ke meja makan yang kosong tanpa makanan.

"Maaf, Ma, Sofie bangun telat. Sekarang juga Sofie akan masak," jawabku kepadanya sambil menunduk.

Dia menunjuk dengan telunjuknya di depan wajahku sambil memarahiku lagi, "Sudah saya ingatkan berkali-kali, saya merawatmu untuk kamu bekerja di sini!" Berlanjut dirinya melipat kedua tangannya di dada sambil melanjutkan omelannya, "Dan Mama katamu? Saya mengijinkan kamu memanggil saya Mama hanya di depan suamiku. Selebihnya panggil saya dengan Nyonya! Ngerti kamu?!!" bentaknya. Sebenarnya dia bukan Mama kandungku, lebih tepatnya adalah Mama angkatku.

"Baik, Nyo.nya," jawabku masih dengan menunduk.

"Ada apa ini ribut-ribut?" Seorang lelaki sedang menuruni tangga dan datang menghampiri kami.

Mamaku yang bernama Merry terkejut melihat lelaki di hadapannya. Buru-buru dia menggelayut tangan si lelaki itu saat sudah berdiri di hadapannya. Lelaki itu adalah suaminya sekaligus adalah Papa angkatku. "Ini lho, Pi, Mami hanya menyuruh Sofie membuatkan sarapan," jawabnya dengan nada manja.

Dan yang mengherankan bagiku, perlakuan mereka terhadapku itu bagaikan langit dan bumi. Sangat berbeda!

"Kenapa harus Sofie, Mi?" tanya Roger, nama dari Papa angkatku. "Kan ada bibi," sambungnya dengan suara lembut.

Hanya Papa angkatku ini yang selalu membelaku dari raungan singa betina di rumah ini. Kata Papa, dulu aku diadopsi oleh mereka waktu umurku 1 tahun di panti asuhan Pelita Kasih. Namun, ada hal yang mengganjal di pikiranku dari masalah adopsiku. Kenapa aku diadopsi padahal mereka sudah mempunyai anak? Dan kalau memang benar aku diadopsi oleh mereka, kenapa hanya Papa yang menyayangiku. Kenapa Mamaku tidak? Satu hal lagi yang terasa aneh bagiku. Aku sama sekali tidak mengingat apapun tentang masa kecilku di keluarga ini.

"Pi, Papi lupa ya? Bi Inah kan sudah Mami pecat kemarin karena menggosongkan pakaian Mami yang dibelikan Papi di Hongkong," jawab Merry dengan nada rajukan.

"Ya ampun, Papi lupa. Terus kenapa bukan Mami yang masak?" sahut Roger dengan sindiran halus.

"Papiii!!" jerit Merry sampai memekik ke gendang telingaku.

Spontan aku dan Papa langsung menutup telinga dengan tangan.

"Kalau Mami masak, yang ada kuku Mami ini bisa rusak," gerutunya sambil menunjukkan kuku-kukunya yang berwarna.

"Ya ampun, Mi, kan tinggal pergi ke salon lagi," sahut Roger dengan geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya yang super duper malas.

Papaku saja sampe geleng-geleng kepala, apalagi aku yang melihat mereka. Kenapa Papa mau sama Mama ya? Apa Mama melet si Papa?

Hush! Jauhkan pikiran negatifku!

"Sofie..," panggil Papa dengan lembut membuyarkan lamunanku. "Kamu naik gih! Katanya kamu, ada interview hari ini. Mending siap-siap sana, nanti telat lho." Perintah dari Papaku membuat hatiku tambah menyayangi dirinya. Walaupun dia hanya papa angkatku, tapi aku sudah menganggapnya sebagai Papa kandungku.

"Tidak apa-apa, Pa. Masih sempat kok untuk Sofie masak sebentar. Karena cuma ada nasi, paling Sofie hanya bisa masak nasi goreng yang gampang dan cepat. Gimana, Pa?"

"Ya sudah, Papa sih makan apapun buatanmu," jawab Papa. Lalu, dia melihat sekelilingnya. "Mana Kanna? Suruh dia bantu kamu," ujarnya.

"Sepertinya dia belum bangun, Pa," jawabku kepada Papa. "Sudah tidak apa-apa, Pa. Sofie bisa sendiri."

"Iya. Sofie bisa sendiri, Pi," celetuknya menimpa perkataanku sambil melirik sinis kepadaku. "Biarkan Kanna tidur sampai siang. Dia  kelelahan karena semalam pulangnya malam dari pemotretan," bela Merry kepada anak kandungnya yang bernama Kanna.

Aku punya dua saudara angkat bernama Vino dan Kanna. Vino adalah kakak lelakiku dan Kanna adalah adikku yang usianya hanya bertaut dua tahun di bawahku. Kanna adalah seorang model terkenal. Dan Vino adalah seorang pengangguran yang hanya berfoya-foya menghabiskan uang orangtuanya. Sikap mereka dan perlakuannya padaku sebelas dua belas dengan mama angkatku. Tapi kalau ada maunya, mereka akan bersikap baik kepadaku seperti layaknya saudara kandung.

Aku langsung berjalan masuk ke dapur tanpa menyahut lagi ucapan Merry. Aku mulai memasak nasi goreng yang menurutku tidak sulit dan tidak memakan waktu lama.

Benar kata Papa, hari ini aku akan interview di perusahaan yang aku idam-idamkan, Fernandez Groups. Perusahaan besar dengan cabang di mana-mana. Aku sudah menaruh lamaranku sejak dua minggu yang lalu, dan baru kemarin aku dihubungi oleh HRD perusahaan itu.

Selesai memasak, aku menghidangkan nasi goreng di atas meja makan beserta piring kosong untuk orangtuaku makan. Setelah itu, aku langsung menuju kamarku untuk bersiap-siap.

Selesai merias diriku, aku melihat lagi penampilanku di cermin memastikan bahwa tidak ada yang kurang. Aku memakai kemeja kotak-kotak blueberry dengan rok pensil selutut. Aku harus terlihat rapi di hari pertama interview-ku. Setelah polesan lipstick terakhir di bibirku, aku langsung mengambil tasku dan keluar kamar.

Sampai di ruang keluarga, aku berpamitan dengan mereka yang sedang menonton acara entertainment di televisi.

"Pa, Ma, Sofie berangkat dulu!" pamitku menghampiri mereka, lalu aku mencium punggung tangan Papaku.

"Ya hati-hati, Nak," pesan Papa sambil membelai rambutku. "Semoga kamu berhasil diterima ya!" Doanya membuat aku jadi bersemangat.

"Amin. Terima kasih, Pa." Aku tersenyum ke Papaku, lalu aku berlanjut untuk mencium punggung tangan Mamaku. Belum kucium, dia langsung menariknya.

"Sudah sana pergi!" seru Merry seakan-sekan aku ini benalu yang harus jauh-jauh darinya.

Sudahlah jangan berharap dia akan baik padamu, Sofie! Aku hanya tersenyum miris sambil berjalan menuju pintu rumah.

Aku keluar menuju mobil Yaris ku yang dibelikan Papa dua tahun yang lalu sebagai hadiah kelulusanku. Sebuah mobil kecil berwarna putih, warna kesukaanku. Walaupun bukan mobil mahal seperti yang Kanna punya, tapi aku tetap bersyukur.

Aku pun melajukan mobilku menuju perusahaan Fernandez Groups.

********

Fernandez Groups

Sampai di parkiran, aku langsung menuju receptionist untuk menanyakan lantai berlangsungnya interview.

"Lantai 7," jawab salah satu petugas wanita yang berjaga.

"Oke. Terima kasih, Mba." Aku langsung berjalan menuju lift. Saat aku menunggu lift, tiba-tiba ada lelaki yang baru saja berhenti di sebelahku.

Ting! Pintu lift terbuka.

Aku pun masuk disusul lelaki tersebut. Aku menekan tombol 7 dan ku lihat dia tidak menekan tombol yang dituju. Saat aku ingin bertanya kepadanya, aku tertegun melihat paras wajah lelaki itu.

"Ninokan?" tebakku memastikan.

Ku lihat dia menatapku sejenak. "Sofie?" Gantian dia yang menebak diriku.

Aku pun tersenyum kepadanya sambil menyapanya. "Hai! Sudah lama ya kita tidak bertemu? Kamu bekerja di sini?" tanyaku.

"Iya," jawab Nino. "Kamu sendiri?" Giliran dia yang bertanya kepadaku.

"Aku mau interview," jawabku.

"Oh. Kamu melamar pekerjaan sebagai apa?" tanya Nino lagi.

"Sekretaris," jawabku.

"Hem.." Nino berdehem sambil manggut-manggut.

Ting! Pintu lift terbuka.

Aku pun keluar dan ku lihat Nino juga keluar. "Kamu bekerja sebagai apa?" tanyaku di sela aku berjalan di sampingnya.

"Nanti kamu akan tahu. Aku masuk dulu ya?!" pamitnya dan tanpa menunggu ucapan dariku lagi, dia masuk ke sebuah ruangan sedangkan aku berjalan menuju ke ruang interview.

Aku duduk menunggu dengan antrian yang panjang. Tak ku sangka banyak banget pelamarnya. Aku mendapat nomor antrian yang cukup membuatku bosan menunggu, 40. Sedangkan ini masih nomor antrian 27. Aku menghela nafas panjang. Sabar, Sofie!

Sambil menunggu, aku mengingat kembali lelaki yang tadi bertemu denganku. Nino Fernandez adalah teman sekolahku waktu SMA. Kami lost contact saat kelulusan sekolah karena kami beda tempat kuliah. Setelah kupikir-pikir nama belakang Nino sama dengan perusahaan ini, tapi kurasa bukan dia pemilik perusahaan ini. Mungkin.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, seorang wanita muncul dan memberitahukan kepada kami semua yang menunggu bahwa lamaran telah ditutup.

Lho? Kok ditutup? Aku saja belum dipanggil. Bagaimana sih nih perusahan? Aku pun memberanikan bertanya karena ku lihat tidak ada seorang pun yang mau bertanya ataupun memprotes.

Saat wanita itu mau masuk kembali, aku langsung berjalan menghampirinya. "Tunggu, Mba!" Wanita itu menoleh ke diriku. "Kenapa ditutup? Kami semua yang di sini belum dipanggil," sambungku dengan bertanya.

"Maaf, kami sudah mendapatkan kandidatnya," jawab wanita itu dengan singkat. "Permisi..!" pamit wanita itu, lalu menutup pintu tersebut.

Aku hanya ternganga mendengarnya. Sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa karena itu adalah hak mereka. Ku hela nafas dengan berat sambil mengeluh pasrah dalam hati. Sudahlah, lebih baik aku pulang. Tidak ada gunanya juga aku di sini.

Saat aku memutar tubuhku hendak jalan balik, pintu terbuka kembali.

"Apa anda bernama Sofie Deandro?" tanya wanita yang tadi keluar.

Aku menoleh langsung, lalu mengangguk.

"Kamu dipanggil masuk ke dalam ruangan!" perintah wanita itu.

Aku mengerjapkan mataku tidak percaya. "Aku?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri memastikan. Apa karena tadi aku bertanya, jadi aku akan dimarahi?

"Masuklah! Pak Fernandez menunggu anda di dalam!" seru wanita itu kepadaku.

Aku menelan saliva-ku karena gugup dan jantungku sudah berdegup kencang. Aku akan diapakan ya?

Aku pun berjalan dengan perlahan mengikuti wanita tadi untuk masuk ke dalam ruangan.

Sampai di ruangan, aku dihadapkan oleh sosok lelaki yang duduk membelakangiku. Kulihat dia sedang menelepon seseorang. Aku pun berdiri dan menunduk sambil menunggu dia selesai menelepon.

"Permisi, Pak!" Wanita yang bersamaku menyelak tuannya yang masih tidak menyadari kehadiran kami.

Lelaki itu langsung menoleh dan segeralah dia mengakhiri telponya. "Oke. Nanti ku sambung lagi, Al. Dia sudah datang."

Walaupun aku menunduk, tapi pembicaraannya di telepon terdengar olehku. Dia sudah datang? Apa maksudnya?

"Kamu boleh pergi, Tan!" perintah lelaki itu. Dan ku lirik sekilas, wanita itu telah berjalan keluar ruangan.

"Duduk, Sof!" perintah lelaki itu membuatku mendongak karena dia memanggil namaku.

Aku menatapnya tidak percaya. "Nino?"

Dia tersenyum kepadaku. "Duduklah!"

Aku mengedipkan mataku tak percaya. "Jangan bilang kamu adalah pemilik perusahaan Fernandez Group?" tanyaku yang tadi memang sempat curiga akan nama belakangnya sama dengan nama perusahaan ini.

Dia tersenyum kembali dan mengangguk. "Aku ingin kamu menjadi sekretarisku," pintanya tanpa basa-basi.

Aku melebarkan mataku. "Kamu serius, No?" tanyaku memastikan.

"Apa aku terlihat tidak serius?" tanyanya.

"Bukan begitu. Kamu belum mewawancarai ku, lalu aku juga belum menceritakan pengalaman kerjaku, terus..." Ucapanku terhenti karena dia langsung menyelaku.

"Aku tidak butuh lagi. Aku kan sudah mengenalmu dari sekolah," sela Nino menatapku.

"Tapi...," Aku ingin bertanya masalah gajiku, tapi aku tidak enak hati.

"Mulai hari ini kamu bekerja denganku. Tidak ada penolakan lagi. Kamu akan menggantikan wanita yang memanggilmu tadi. Aku akan meminta dia mengajari dan memberitahukan apa saja pekerjaanmu," jelas Nino kepadaku. Ku lihat dia memanggil seseorang lewat telepon. "Tan, kamu ke ruangan saya sekarang!"

Tidak lama kemudian, wanita tadi masuk kembali.

"Ya, Pak?"

"Sof, kenalkan dia Intan. Dan, Tan, dia Sofie yang akan menggantikanmu. Kamu ajari dia sampai bisa ya?!" perintah Nino.

"Baik, Pak."

Wanita bernama Intan menyuruhku mengikuti dia ke mejanya. Aku pun akan memulai pekerjaanku hari ini juga.

Walau aku masih banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan ke Nino, tapi ya sudahlah lain waktu saja. Toh aku sudah diterima kerja di perusahaan yang ku inginkan sejak lama. Aku berjalan keluar dari ruangan Nino. Di luar ruangan, aku masih melihat para pelamar masih berdiri menunggu dan mungkin mereka berharap akan dipanggil juga sepertiku.

Jangan iri padaku ya? Ini bukan keinginanku lho. Ini keputusan dari pemilik perusahaan ini yang tak lain adalah teman sekolahku, gumamku dalam hati sambil melewati mereka semua.

Mungkin ini sebuah keberuntunganku yang hanya bisa kudapatkan jarang-jarang.

......
TBC.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience