12. Pertemuan tak terduga

Romance Series 3852

"Setiap orang memiliki cerita yang tak bisa kita pahami semuanya"

*****

"Sekarang aku sudah menceritakan semua tentang diriku. Aku mau sekarang giliran kamu yang menceritakan tentang dirimu dan wanita masa lalumu," pinta Sofie kepada Alan.

Alan terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka itu keluar dari mulut Sofie. "Kamu ingin mengetahuinya sendiri apa kamu disuruh oleh Nino, Fie?" tanyanya.

"Aku yang ingin tahu. Aku ingin mengenalmu, An. Dan sebenarnya aku ke sini jugakan ingin mencari tahu semua tentang Nino. Jadi kamu bisa ceritakan semuanya kepadaku," jawab Sofie.

Alan menghela nafas. "Baiklah. Aku akan menceritakan tentang Nino dan diriku. Tapi, bagian mengenai wanita masa laluku, maaf, aku belum bisa karena aku belum siap."

Sebenarnya Sofie ingin memaksa Alan, tapi ia tidak punya hak. Kalau memang Alan belum siap, ia tidak bisa memaksa. "Baiklah, aku tidak akan memaksa."

Dan Alan pun mulai bercerita. Cerita yang dimulai dari asal mula bertemunya ia dengan Nino di sebuah pertandingan basket, lalu menjadi dekat dan akrab. Setelah itu, Alan memberitahukan tentang semua apa yang Nino suka dan tidak suka dalam hal makanan, film, buku dan apapun. Kalau mengenai dirinya, Alan hanya memberitahu kalau papanya sudah tiada, dan ia anak tunggal sama seperti Nino. Terakhir ia memberitahukan tanggal ulang tahun Nino. "Oh ya, Nino sebentar lagi ulang tahun ya?" ujar Alan yang teringat setelah memberitahukannya ke Sofie.

"Kalau begitu, kita harus membuat acara surprise buat Nino," usul Sofie.

"Ya. Nanti kita akan bicarakan itu dan mengatur semuanya diam-diam."

"Ku dengar orang tuanya akan datang, An?" tanya Sofie.

"Aku belum dengar hal itu malah," jawab Alan.

"Kata Nino, dia akan mengenalkan aku pada orang tuanya dan juga dia akan melamarku, An. Nino akan membawaku cepat-cepat keluar dari rumahku."

"Benarkah? Bagus dong." Setelah mengatakan itu, hati Alan seakan terkoyak. Ucapan Alan berbeda dengan hatinya. Di satu sisi, Alan sangat senang mendengar Nino akan membawa Sofie keluar dari rumah yang dianggap neraka baginya, tapi di sisi lain, yaitu hatinya, ia merasa sesak dengan pemberitaan ini. Kalau benar Nino akan melamarnya, itu berarti hubungan dirinya dengan Sofie perlahan akan berubah lagi. Alan harus tahu diri dengan posisinya lagi setelah itu.

"Ya. Aku sangat menantikannya."

(Suara pintu terbuka)

"Al, Nak Sofie, yuk kita makan siang dulu!" ajak Bertha.

"Yuk, Fie!" ajak Alan, lalu ia berdiri begitu juga dengan Sofie yang beranjak dari duduknya. Mereka berdua berjalan keluar dari kamar Alan, mengikuti Bertha menuju ke ruang makan untuk menyantap makan siang.

*****

"Bagaimana, Nak Sofie, dengan makanannya?" tanya Bertha.

"Enak banget, Tan. Sofie bisa nambah kalau begini," jawab Sofie dengan sebuah pujian.

"Wah, Tante senang lho mendengarnya. Kalau begitu, jangan ragu-ragu untuk nambah ya?! Biasanya kan wanita agak sensitif dengan berat badannya tuh," ujar Bertha sambil menyendoki sayur untuk Sofie.

"Ya, Tan, makasih banyak. Kalau masalah berat badan memang rata-rata wanita pasti kepikiran. Soalnya naikin berat badan itu sangat mudah hanya dalam hitungan menit, tapi turuninnya? Setengah mati lho, Tan," sahut Sofie membuat Bertha terkekeh.

"Benar katamu. Tapi kamu jangan diet-diet, nanti sakit," pesan Bertha.

"Sofie tidak pernah diet. Palingan hanya mengurangi makan malam saja."

"Oh begitu? Baguslah. Tapi kalau tengah malam kamu merasa lapar, kamu bisa mengonsumsi buah," usul Bertha.

"Iya, Tan. Terima kasih."

Akhirnya mereka selesai makan, tapi mereka belum beranjak dari sana karena masih menikmati buah yang sudah disiapkan oleh Bertha.

"Al, kamu kapan ke panti rehab lagi menjenguk Tante Jihan?" tanya Bertha disela mereka sedang menikmati santapan buah.

"Nanti setelah antar Sofie, Al mampir deh," jawab Alan.

"Siapa Tante Jihan, An?" tanya Sofie.

Bertha terhentak mendengar panggilan Sofie ke anaknya. "An?" gumamnya pelan. "Nak Sofie, panggil Alan apa?" tanyanya memastikan.

Sofie menoleh ke Bertha. "An, Tan. Kenapa ya?" tanyanya bingung.

"Ah, tidak." Bertha menoleh ke Alan yang ternyata juga sedang menoleh ke dirinya. Alan memberi kode lewat matanya agar kali ini mamanya tidak keceplosan bicara apapun mengenai wanita masa launya yang bernama Anna.

Sofie hanya mengernyitkan dahinya bingung. Ada yang salah dengan panggilanku?

Setelah makan buah, mereka pindah ke ruang tamu, kecuali Bertha yang sedang membereskan piring-piring kotor.

"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi, An. Siapa Tante Jihan?" tanya Sofie yang penasaran.

"Dia adalah Kakak dari Papaku. Dia mengalami gangguan mental karena ditinggal mati oleh suami dan anaknya," jawab Alan.

"Kenapa tidak dimasukkan ke rumah sakit jiwa?"

"Sudah. Cuma dia selalu berontak dan mengatakan kalau dirinya tidak gila. Menurutku, dia hanya depresi karena kehilangan suami dan anaknya. Akhirnya aku membantu mengeluarkannya dan membawanya ke panti rehab. Ku kira dia bisa perlahan sembuh di sana, tapi dia malah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara."

Sofie mendengarkannya dengan seksama. Ternyata semua orang di dunia ini mempunyai ceritanya sendiri. Tapi, kenapa di dunia ini banyak sekali orang yang mengalami penderitaan? Tidak hanya Sofie yang ingin mencari orang tua kandungnya, ternyata ada juga yang sedang menderita karena kehilangan keluarganya. Hidup kadang tidak adil.

"Aku jadi ingin bertemu dengan wanita itu," ucap Sofie.

"Apa kamu mau ikut bersamaku untuk bertemu dengannya?" tawar Alan dengan bertanya.

"Benarkah boleh?"

"Tentu saja. Tante Jihan akan senang mendapatkan teman baru," jawab Alan tersenyum.

Sofie pun tersenyum, setelah itu ia melihat Bertha sedang mencuci piring, ia pun berinisiatif untuk membantunya. Sofie beranjak dari duduknya dan membantu Bertha di dapur.

Alan hanya melihatnya sambil tersenyum. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan ke seseorang.

"Sini ku bantu, Tan," tawar Sofie sambil mengambil piring yang sudah dicuci bersih oleh Bertha.

Bertha menoleh dan sedikit terkejut dengan Sofie yang sudah berada di sampingnya. "Tidak usah, Nak Sofie, nanti tanganmu akan kotor," tolak Bertha.

"Tidaklah, Tan. Sofie juga sudah terbiasa kerja di rumah."

"Oh ya? Pasti hidupmu sangat berat ya?" celetuk Bertha seakan ia mengetahui hidup Sofie.

Sofie terdiam dan tidak menjawab. Ia memilih menyibukkan dirinya membantu Bertha meletakkan piring-piring bersih ke tempatnya. "Selesai." Sofie mengambil lap bersih dan mengusap tangannya yang basah setelah mencuci tangannya.

*****

Di sisi lain...

Dari pagi Nino membuka matanya, ia sudah dihadapkan dengan pekerjaannya. Kemarahan Papanya akan penggelapan dana Rendy, sahabatnya, membuat Nino harus ekstra hati-hati sekarang dalam bekerja. Papanya berpesan tidak boleh lagi mempercayai orang sampai seratus persen. Dan alhasil sekarang Nino benar-benar melakukan semuanya sendiri, mengecek ulang pekerjaan dari para pegawainya walaupun itu sudah direka ulang oleh seorang manager sekalipun.

Bunyi pesan pun mengejutkan Nino. Ia menoleh ke ponsel yang berada di atas meja, lalu mengambilnya. Ia membuka dan membacanya.

From : Caroline

Jangan lupa datang ke rumahku ya, No. Papaku menunggumu. Kamu masih mengingat rumahku kan?

Nino pun membalas pesan Caroline.

To : Caroline

Masih. Nanti jam 11 aku jalan ke rumahmu.

Nino melihat jam di layar ponselnya dan itu menunjukkan pukul 10 pagi. Nino meletakkan ponselnya kembali dan mulai meregangkan otot-otot lehernya yang pegal akibat menunduk selama tiga jam. Ia harus bersiap-siap ke rumah Caroline. Sebenarnya ia malas. Di hari libur begini, bukankah lebih baik ia menghabiskan waktu bersama Sofie? Nino melihat ponselnya dan tidak ada pesan dari Sofie sama sekali. Kira-kira Sofie sedang apa ya? Kok dia tidak ada kabarnya?

Dua jam kemudian...

Saat ini, Nino sudah berada di ruang tamu bersama Rudi, Papa dari Caroline. Mereka langsung mengobrol masalah proposal yang akan diajukan oleh Rudi untuk kerjasamanya dengan Nino.

"Gini, Om, Nino harus menanyakan dulu sama Papa masalah kerjasama ini. Kemarin perusahaan Nino sedang dilanda masalah penggelapan dana, jadi Nino masih mengurus hal itu."

"Oh begitu. Pinta Om, kamu harus membaca proposal dari Om dulu baru kamu dan Papamu memutuskan, bagaimana?" tanya Rudi.

"Tentu, Om. Kami pasti akan membaca dulu. Nanti setelah membaca akan kami putuskan menerima atau tidak," jawab Nino.

"Baiklah." Rudi tersenyum dan mengubah arah topik. "Apakah kamu sekarang sudah mempunyai pacar, No?"

Nino menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu sambil tersenyum. "Sudah, Om," jawabnya.

"Sayang sekali kalau begitu. Padahal tadinya kalau belum, Om akan sangat senang kalau kamu mau kembali lagi dengan anak Om."

"Apa sih Papa! Oline itu sudah mempunyai pacar," celetuk Caroline yang tiba-tiba datang dan ikut nimbrung ke pembicaraan mereka.

"Sudah Papa katakan berulang kali kalau Papa tidak akan setuju dengan hubunganmu bersama Austin. Lelaki yang berprofesi sebagai model tidak akan bisa membahagiakan kamu. Yang ada kamu akan disakitinya," omel Rudi.

"Tidak semua model begitu Papa," sahut Caroline.

Nino mengeluarkan deheman berusaha melerai perdebatan mereka yang sebentar lagi akan memanas. "Ehem.."

Rudi dan Caroline pun menoleh.

"Maaf, No, kami jadi ribut di depanmu," ucap Caroline.

Setelah perbincangan mereka menghabiskan waktu sampai sore, Nino pun berniat pamitan.

"Nino pulang dulu ya Om?! Ada pekerjaan yang masih harus Nino kerjakan," pamit Nino ke Rudi.

"Baiklah."

"No, bisa tolong antarkan aku ke studio tempat ku bekerja? Soalnya mobilku sedang di bengkel. Jalanmu searah dengan studioku kok," pinta Caroline.

"Baiklah," jawab Nino.

Akhirnya Nino dan Caroline pergi bareng dalam satu mobil menuju Perusahaan Star Idol.

*****

Kembali ke Alan dan Sofie...

Alan dan Sofie sampai di Panti Rehabilitas Mental dan klinik jiwa sehat 'Cahaya Jiwa'. Ia mengajak Sofie untuk masuk ke dalam. Alan berjalan menuju ruangan tempat Ketua Yayasan berada untuk menyapanya.

Sampai di pintu bertuliskan Ketua Yayasan yang sedang terbuka lebar itu, ia pun mengetuk dengan pelan. "Permisi, Bude," sapa Alan melihat seorang wanita paruh baya sedang duduk sambil membaca buku.

Wanita dengan rambut yang dikonde menengadah untuk melihat siapa yang menyapanya. "Eh, ada Nak Alan," sapa wanita itu sambil melepas kacamata bacanya yang bertengger di hidungnya dan meletakannya di meja beserta buku yang sedang dibacanya. Ia berdiri dari kursi duduknya dan menghampiri Alan. "Sudah lama lho Nak Alan tidak datang ke sini."

"Maaf, Bude, Alan banyak pekerjaan." Alan menyium punggung tangan si wanita yang berpakaian motif batik.

Wanita paruh baya itu melirik ke wanita yang dibawa Nino. "Pacar kamu ya, Nak Alan?" tanyanya sambil tersenyum manis ke Sofie.

"Bukan, Bude. Dia teman Alan, namanya Sofie," jawab Alan memperkenalkan. Alan menoleh ke Sofie. "Fie, dia Bude Ratih, Ketua Yayasan panti rehab ini."

Sofie pun tersenyum dan ikut mencium punggung tangan Ratih.

"Nak Sofie, senyumnya cantik sekali," puji Ratih.

Alan tersenyum mendengarnya. Senyuman ini juga yang membuatku jatuh hati kepadanya.

"Terima kasih, Bude," ucap Sofie.

"Oh ya, Bude, Alan mau ketemu sama Tante Jihan. Apa dia sehat?" tanya Alan menyela.

"Dia sehat. Hanya saja...," jeda Ratih sambil menghela nafas. "Kamu tahu sendiri dia tidak mau berbicara dengan siapapun di sini. Hanya kepadamu saja ia mau berbicara," lanjut Ratih.

"Boleh Alan ketemu dengannya sekarang?" pinta Alan.

"Yuk Bude antar."

Ratih mengantar Alan dan Sofie ke kamar tempat Jihan berada. Sampai di kamarnya, Ratih membuka pintu dengan pelan. Saat membuka pintu, sebuah bantal melayang ke arah mereka. Ratih pun kembali menutup pintu dengan cepat. Lalu terdengar teriakan dari arah dalam kamar.

"Pergi kalian! Aku tidak gila. Aku hanya ingin anak dan suamiku!" teriak Jihan sambil menangis terisak. "Leo, di mana kamu Nak?" Jihan meraung keras dalam kamarnya.

Ratih menoleh ke Alan dan Sofie. "Kamu lihat sendiri kan, Nak Alan? Setiap orang yang membuka pintu, dia pasti akan berteriak begitu."

"Biar Alan saja Bude," pinta Alan menggantikan posisi Ratih untuk membuka pintu. "Tante Jihan, ini Al. Apa Al boleh masuk?" tanyanya meminta ijin sambil mengetuk dengan pelan.

"Alan?!" sebut Jihan. Tidak lama kemudian, pintu terbuka kembali dan menampilkan wajah Jihan yang sudah tidak karuan akibat menangis dan berteriak tadi. "Masuk, Nak!" suruhnya. Ia segera menarik tangan Alan masuk tanpa melihat ke Ratih ataupun Sofie.

Ratih dan Sofie yang berdiri di luar pintu hanya menyaksikan Alan yang berhasil masuk tanpa dibentaknya.

"Maaf ya, Nak Sofie. Kamu harus memakluminya. Dia begitu karena kehilangan anak dan suaminya," jelas Ratih.

"Ya, Bude." Sofie terdiam sejenak. "Anu Bude, suami dan anaknya kenapa ya kalau boleh tahu?" tanya Sofie yang akhirnya penasaran.

"Meninggal karena kecelakaan pesawat," jawab Ratih.

"Sungguh kasihan," sahut Sofie sambil melihat kedekatan Alan dengan Jihan.

"Al kok jarang datang mengunjungi Tante sih?" tanya Jihan merajuk.

"Ya maaf banget, Tan. Tapi Al janji deh...," Alan memegang tangan Jihan. "Nanti Al akan sering ke sini mengunjungi Tante," sambungnya. Alan duduk di samping dan berhadapan dengan Jihan.

"Benar ya, janji lho?" Jihan mengulurkan jari kelingkingnya ke Alan.

Alan mengulurkan jari kelingkingnya juga dan mengikat kesepakatan kepada Jihan. "Ya. Al janji. Tapi, sekarang Al mau mengenalkan teman Al dulu ke Tante. Tante mau menemuinyakan?"

Jihan mengangguk.

Alan menoleh ke Sofie yang masih berdiri di luar pintu. "Sini, Fie, masuk!" panggilnya untuk masuk.

Sofie pun berjalan masuk menghampiri Alan sambil tersenyum manis ke arah Jihan.

Alan pun mengenalkan Sofie ke Tantenya. Dan Jihan sangat senang melihat Sofie apalagi senyumannya yang memberikan warna bagi orang yang melihatnya.

"Pacar kamu ya, Al?" tanya Jihan menggoda Alan.

"Bukan, Tante. Dia teman Alan," jawab Alan.

"Nak Alan, Bude tinggal dulu ya?! Bude mau melihat pasien yang baru datang pagi ini," sela Ratih untuk berpamitan.

Alan menoleh. "Ya, Bude."

Alan, Jihan dan Sofie akhirnya berbincang dengan keseruan yang orang-orang tidak akan menyangka bahwa Jihan adalah seorang yang sedang sakit. Dari luar memang ia terlihat biasa, tapi dari dalam hati dan jiwanya, tidak ada yang tahu dengan penderitaan yang dirasakannya.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari Ratih. "NAK ALAN!!!"

Alan terkejut karena namanya dipanggil dengan keras. Ia segera beranjak dari ruangan Jihan dan berlari menuju arah luar kamar.

Alan mencari-cari asal suara tersebut. Dan begitu melihat Ratih melambaikan tangannya, ia pun segera berlari menghampiri Ratih. Tapi sebelum Alan keluar dari kamar, ia sempat menoleh ke Sofie untuk memintanya membantu menjaga tantenya dan Sofie menyanggupinya.

Saat sampai depan kamar tempat Ratih berdiri tadi, Alan masuk untuk melihat apa yang sedang terjadi. "Ada apa, Bude?" tanyanya panik. Ia melihat Ratih sedang berusaha menenangkan seorang wanita paruh baya dengan penampilan kusut dan berantakan sedang mencoba menyakiti dirinya sendiri.

"Tolong, Nak Alan, dia mau membunuh dirinya sendiri dengan gunting," jawab Ratih.

Alan mendekati wanita paruh baya itu yang sedang meringkuk di pojokkan dengan wajah yang tertutupi rambut sambil memegang gunting kecil.

"Bu..?!" panggilnya. Alan memanggil dengan sebutan ibu karena ia tidak tahu harus memanggil dengan sebutan apa. Alan hanya menafsirkan usianya yang hampir sama dengan mamanya dari rambut. Selipan rambut putih di sela-sela rambut hitamnya. "Anda baik-baik saja?" Alan mencoba berjalan mendekatinya sambil bertanya padanya.

Wanita itu memeluk lututnya, tubuh kurusnya gemetar ketakutan. Ia mencoba mendongak perlahan untuk melihat ke arah Alan. "Aku tidak pantas hidup," lirihnya sambil menangis.

Saat Alan sudah berada di hadapannya, ia pun berjongkok dengan satu dengkul menyentuh lantai keramik. Tangannya terangkat untuk menyingkirkan rambut kusutnya yang menghalangi wajah wanita paruh baya itu. Saat melihat paras wajahnya, Alan tampak sangat terkejut. "Tante Alya??" sebutnya. Alan menyebut nama itu sontak membuat memori otaknya berputar ke masa lalunya. Dan refleks Alan pun langsung mengguncang bahu wanita paruh baya itu. "Anna di mana, Tante?"

.....

TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience