10. Lelah

Romance Series 3852

"Biarlah cucuran air mata ini yang bertutur ketika mulut tak sanggup lagi mengungkapkan sebuah kesakitan. Dan 3 Kata yang paling menyedihkan ialah 'Sesungguhnya', 'Seandainya', & 'Seharusnya'."

*****

(Cerita sebelum kedatangan Kanna dan Caroline ke perusahaan Nino)

Studio Star Idol

Bunyi suara dari hairdryer bergema di ruangan serta obrolan para model yang sedang menunggu pemotretan sambil dirias. Dan salah satu model yang berada di ruangan tata rias itu adalah Kanna. Kanna yang sedang di make up tidak sengaja mendengar pembicaraan dua orang model yang juga sedang dirias di ruangan itu.

"Jadi mantanmu waktu SMP adalah Nino Fernandez? Pengusaha tampan yang sukses di usianya yang terbilang cukup muda itu?" tanya Raisha menatap lawan bicaranya di cermin.

Wanita yang duduk di sebelahnya mengangguk.

Nino Fernandez? Apa dia adalah kekasihnya si Upik?  Aku harus memastikannya, batin Kanna mempertajam pendengarannya.

"Wah kau hebat juga bisa mendapatkan Nino, Lin," puji Raisha. "Terus kenapa putus?" tanyanya.

"Aku lebih memilih mengejar cita-citaku, Sha," jawab si model dengan panggilan Lin. Lanjutnya, "Lagipula waktu itukan Nino masih sangat muda. Dia lebih muda dariku dua tahun, jadi agak aneh sih bagiku."

"Usia mah bukan jadi masalah, Lin. Kalau Nino mau sama aku, walaupun terpaut empat tahun pun aku akan menerimanya dan tidak akan ku lepaskan. Terus sekarang kau tidak menyesal putus darinya?" tanya Raisha lagi.

"Sedikit. Padahal tadinya dia tidak mau pisah, dan mengusulkan untuk menjalin hubungan LDR."

"Terus, terus..," sela Raisha menoleh. Rasa penasaran akan cerita temannya menyelimutinya.

"Ya aku tolak."

"Yaa, kau ini bagaimana sih?!" protes Raisha.

"Habis aku tidak percaya dengan hubungan seperti itu."

Raisha melipat kedua tangannya di dada. "Lha, bukannya sekarang kamu sedang berhubungan jarak jauh dengan Austin? Itu namanya kan LDR juga," sahutnya.

"Ya kan itu dulu, Sha. Penyesalan kan selalu datang belakang."

"Ya, kalau datangnya diawal namanya pendaftaran," timpal Raisha melanjutkan ucapan temannya.

"Tapi, Sha, aku memang sedang mencari Nino sih. Papaku ingin mengajaknya kerja sama membangun proyek."

"Wah, bisa CLBK lagi nih," goda Raisha sambil tertawa.

"Ah kau ini! Tidak mungkinlah! Aku pacaran dengannya dulu itu juga karena coba-coba. Sebenarnya yang ku suka adalah sahabatnya yang bernama Alan. Tapi, aku ditolak karena dia memilih persahabatannya dengan Nino." Ingatan masa lalunya muncul di benaknya.

Flash back...

"Maaf, Lin, aku tidak bisa menerimamu. Sahabatku, Nino, sangat menyukai dirimu. Aku tidak mau menyakitinya," tolak Alan halus.

......

"Aku ingin menanyakan sesuatu sebelum kamu pergi, Al. Apa kamu juga menyukaiku?"

Alan terdiam sejenak. "Aku sedang menunggu wanita di masa laluku kembali, Lin. Jadi, sekali lagi maafkan aku."

Flash back off..

"Wah kisah cintamu rumit juga ya, Lin. Jadi bagaimana kamu bisa menemukan Nino?"

"Aku sudah mendapatkan alamat perusahaannya sih. Mungkin sehabis ini aku akan mampir ke sana. Apa kau mau ikut menemaniku, Sha?"

"Aduh maaf banget, Lin, aku tidak bisa. Sore ini aku ada pemotretan lagi di majalah Girls."

"Ya sudah tidak apa-apa, aku bisa pergi sendiri."

"Hai..!" sapa Kanna tiba-tiba sambil berjalan mendekati Raisha dan temannya.

Mereka berdua menoleh. "Kenapa, Na?" tanya Raisha yang mengenal Kanna, tapi tidak sedekat dengan teman di sebelahnya.

Kanna mengulurkan tangannya ke teman Raisha. "Namaku Kanna. Siapa namamu?" tanyanya.

Teman Raisha sedikit bingung dengan perkenalan yang tiba-tiba ini. Hanya karena tidak mau dibilang sombong, dirinya pun terpaksa membalas mengulurkan tangan ke Kanna dan tersenyum. "Hai juga. Namaku Angelina Caroline."

"Aku mengenal Nino Fernandez. Apa aku boleh ikut bersamamu?" pinta Kanna tanpa basa-basi.

"Oh ya?" tanya Raisha dan Caroline bersamaan.

Kanna mengangguk.

"Baiklah, akhirnya aku tidak pergi sendiri."

Akhirnya Kanna menemani Caroline menuju ke Perusahaan Fernandez Group.

******

Sesampainya di Gedung Fernandez Group, Kanna bertanya kepada bagian informasi ruangan Nino. Setelah mendapatkan jawaban, mereka berdua menuju ke lift. Saat berjalan menuju lift, Caroline pun bertanya ke Kanna, "Apa tidak apa-apa kita main datang saja ya? Biasanya kan harus buat janji dulu."

"Sudah tidak apa-apa," jawab Kanna.

"Kamu itu siapanya Nino, Na?" tanya Caroline.

"Temannya," jawab Kanna singkat.

"Oh."

Sesampainya di lantai yang diberitahukan, mereka berdua menghampiri ruangan Nino. Kanna yang merasa sok kenal dengan Nino dengan PeDe-nya main membuka ruangan Nino begitu saja.

Dan setelah pintu terbuka, Kanna cukup terkejut karena ada Sofie di dalam ruangan. Ini di luar rencananya. Padahal Kanna bermaksud ikut karena ingin mendekati Nino. Tanpa diduganya, ternyata Sofie bekerja di sini sebagai sekretaris Nino.

Dengan perasaan sebal, akhirnya Kanna mengurungkan niatnya hari ini. Ia pun berjalan keluar ruangan dan menunggunya di luar setelah Caroline masuk. Lalu, Sofie pun ikut keluar meninggalkan Caroline, Nino dan Alan di dalam.

Setelah Kanna sempat adu mulut dengan Sofie dan Sofie menamparnya karena hinaan yang terlontar dari mulut Kanna, Caroline pun keluar. Ia berpamitan dan berjalan ke arah Kanna untuk mengajaknya balik.

******

(Back to Sofie di dalam lift bersama Nino)

ANNA POV

"Jadi tuh, alasan dia menelponku adalah dia menyuruhku ke rumahnya besok."

"Apa?" kejutku. Jadi benarkan yang menelepon itu adalah Caroline!

Nino membawaku ke tempat makan dekat rumahku. Di sini dia menjelaskan semuanya kepadaku bahwa kedatangan Caroline hanya untuk mengajaknya berbisnis karena permintaan dari Papanya Caroline.

Nino juga meyakinkan diriku bahwa dia sudah tidak mempunyai perasaan apa-apa lagi ke Caroline dan hanya aku yang dicintainya. Tentu saja pengungkapannya membuat aku tersipu malu dan hatiku sangat bahagia mendengarnya. Kali ini aku akan berusaha mempercayai Nino sesuai pesan Alan.

Tiba-tiba Nino memegang kedua tanganku. "Hanya kamu yang aku cintai sekarang. Lagipula lelaki yang dipilih Caroline dari awal adalah Alan, bukan aku."

Aku tertegun mendengarnya. Di sini aku benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai hubungan mereka bertiga. Tadi Nino dengannya, sekarang Nino menyebut nama Alan juga. Jadi hubungan mereka itu seperti apa?

"Ceritakan padaku, No, tentang hubunganmu dengan Caroline begitu juga Caroline dengan Alan," pintaku.

Dan Nino mulai menceritakan semuanya kepadaku tanpa ditutupinya lagi. Sambil mendengarkan cerita Nino, aku menyeruput minumanku.

Cerita masa lalu mereka itu memakan waktu hampir 2 jam. Untung saja aku tidak tertidur!

"Jadi Alan menolaknya demi menghargai persahabatanmu? Dia tidak mau menyakitimu?" tanyaku.

Nino mengangguk, lalu dia menyeruput Capucinno Latte-nya sejenak. Setelah meletakan cangkirnya kembali di atas meja, Nino melanjutkan perkataannya, "Sampai sekarang saja aku tidak tahu alasan Alan yang sebenarnya menolak Caroline. Tidak mungkin hanya karena aku. Caroline wanita cantik..,"

"Ehem..," dehemku cepat.

Dan ucapan Nino terhenti seketika karena dehemanku barusan. Dia menyadari baru saja telah memuji wanita lain di depanku. Membuatku cemburu saja!

Nino terkekeh geli. "Ya maaf, kamu yang paling cantik kok," pujinya sambil merayuku agar aku tidak marah.

Aku hanya mengerucutkan bibirku dan berpura-pura ngambek.

"Tapi benar, Beb, pasti ada alasan lain. Aku yakin ada misteri dibalik hidupnya Alan," kata Nino menekankan rasa keingintahuannya pada hidup Alan yang banyak teka-teki.

"Misteri?" tanyaku sambil mengerutkan kedua alisku. "Sudah seperti di film-film horor saja," sahutku. Tapi memang benar dengan perkataan Nino, aku baru menyadarinya hari ini. Sampai sekarang aku mengenal Alan, dia tidak pernah bercerita apapun tentang hidupnya kepadaku. Dia jarang tertawa, apalagi kalau sedang bersama-sama, pasti yang terjadi adalah aku harus menyadarkan dirinya yang sering melamun itu. Tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

"Kamu tahu, Beb, waktu aku ke rumah Bunda terakhir kali, tidak sengaja Bunda mengungkit hal yang seharusnya tidak boleh diungkap."

Aku penasaran mendengar penuturan dari Nino. Aku sedikit memajukan wajahku ke arahnya. "Lalu?"

"Ya itu tentang wanita di masa lalu Alan."

Aku terkejut. Aku mengangkat kedua alisku. "Benarkah itu?"

"Iya, tapi Alan tidak mau memberitahukanku karena dia belum siap. Dan aku tidak memaksanya saat itu," jawab Nino.

Aku menopang dagu. "Aku jadi ikut penasaran, No." Mungkin besok akan aku cari tahu sendiri dengan orangnya langsung.

"Oh ya, Beb, besok aku akan ke rumah Caroline, apa kamu mau ikut?" tanya Nino sambil kembali meneguk minumannya.

"Sepertinya tidak bisa. Aku sudah ada janji."

"Dengan siapa?"

"RA.HA.SI.A," jawabku sambil tersenyum. Dan aku langsung menyeruput minumanku sampai habis.

"Kok kamu jadi main rahasia-rahasiaan kepadaku? Aku saja sudah jujur. Tidak adil ah!" rajuk Nino.

Aku pun terkikik melihat sikapnya. "Intinya aku tidak akan macam-macam, ini juga demi kelancaran hubungan kita," kataku.

Alis Nino saling bertautan menatapku.

Perkataan dariku sukses membuat pemilik dari Fernandez Group merasa kelimpungan.

Aku beranjak dari kursi dan berdiri, lalu aku menarik tangan Nino. "Yuk, balik!" ajakku. "Ini sudah malam dan aku takut kena omel dari....," Hela nafasku yang kukeluarkan membuat Nino memelukku tiba-tiba.

Jantungku langsung berdebar kencang.

"No, apa-apaan sih! Malukan, ini di tempat umum." Aku merontah berusaha melepaskan diri karena kulihat semua orang di tempat ini sudah memperhatikan kami.

Belum ada tanda-tanda Nino melepaskan pelukannya.

"Yang ada kita akan ditangkap karena dituduh melakukan hal mesum di tempat umum, No." ujarku yang sudah pasrah kalau akan digiring petugas di sini.

Ini bukan di luar negeri yang bebas melakukan hal-hal berbau mesum, ini Indonesia. Orang akan berpikiran negatif lebih dulu daripada mengetahui kebenarannya. Nino bermaksud apa, tapi beda dengan pemikiran orang-orang yang melihatnya.

Nino akhirnya melepaskan pelukannya dan memegang kedua tanganku. "Sabar ya, aku pasti akan membawamu keluar dari rumah terkutuk itu!" ucapnya sambil menatapku.

Perkataannya membuatku mempunyai kekuatan untuk pulang dan bersiap menghadapi hukuman karena telah menampar Kanna tadi siang.

*****

Setelah mengantar kepergian Nino sehabis mengantarkanku pulang, aku masuk ke dalam rumah. Saat aku masuk, aku sudah melihat Merry dan Kanna sedang berdiri menungguku. Ibarat hewan sedang menunggu mangsanya dengan rasa lapar. Dan aku adalah mangsa mereka.

"Ma..?!" panggilku pelan dan aku berdiri di hadapannya sambil menunduk.

"Mama, Mama! Saya bukan Mamamu!" Merry menghampiriku, lalu menjambak rambut panjangku yang sedang tergerai.

"Auw, auw! Sakit, Ma!" pekikku kesakitan. Aku memegang tangan Merry yang berada di rambutku, berharap dia akan melepaskannya. Dan bukannya dilepaskan, dia malah semakin mengencangkan kepalannya dan menarik kepalaku sampai mendekat ke wajahnya.

"Sakit ya?" tanya Merry.

Aku menahan rasa sakit di kepalaku.

"Pipi anak saya juga sakit. Beraninya kau menampar anak saya?! Lihat saja, kalau bekas tamparanmu di wajah Kanna meninggalkan bekas luka, saya akan mengulitimu!" Merry melepas jambakkannya dan berdalih menamparku dengan sangat keras. Lebih keras dari tamparan sebelumnya, membuatku terhuyung dan membentur anak tangga. "Itu balasan tamparan untuk anak saya!" hardiknya sambil berkacak pinggang.

"MAMI!!" teriak Papa Roger dari jauh, lalu dia segera berlari menghampiriku. "Kamu tidak apa-apa, Sofie?" tanyanya khawatir.

"Tidak apa-apa kok, Pa," jawabku. Aku memejamkan kedua mataku karena merasa sedikit pusing karena benturan keras itu.

Lalu Roger menoleh ke Merry. "Apa-apaan kalian ini?!" bentaknya kepada Merry dan Kanna. Roger sampai geleng-geleng kepala melihat tindakan mereka kepadaku. "Kalian mau masuk penjara atas apa yang kalian lakukan kepadanya?" belanya terhadapku.

Mama mendengus sambil memutar bola matanya. "Papi, Papi, kalau mau membela anak yang tidak tahu asal usulnya ini mending mikir dulu deh! Apa Papi tidak ngaca? Yang seharusnya masuk penjara dari dulu adalah Papi, bukan Mami," sahut Merry yang tidak ada rasa takut sama sekali ke suaminya malah semakin berani melawannya.

Hah? Kali ini aku mendengar Merry sepertinya kelepasan bicara lagi.

Ada apa ini? Apa maksud perkataan Merry kalau seharusnya Papa Roger yang masuk penjara? Apa yang telah dia lakukan?

Ku lihat Papa Roger langsung tidak bergeming dan diam membeku di tempat. "Sofie, masuk sana ke kamarmu! Biar Papa yang mengurus Mama!" perintahnya.

Aku pun tidak punya pilihan selain mematuhinya. Dengan perlahan, aku menaiki tangga untuk menuju ke kamarku dengan sedikit terhuyung. Aku membuka pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat, setelah itu aku melempar kasar tasku ke ranjang. Aku berjalan menghampiri cermin untuk melihat luka yang ku dapat kali ini. Aku duduk di kursi meja rias dan bercermin.

Aku tersenyum miris melihat rupa wajahku sekarang. Sudut bibir yang membengkak kembali padahal belum lama ini baru sembuh. Lalu, sudut keningku yang sedikit robek akibat benturan di tangga tadi.

Apa seharusnya aku laporkan ke polisi ya atas tuntutan kekerasan anak? Pikirku sambil memegang luka di keningku. "Aw..," lirihku yang kesakitan. "Besok aku harus bertemu dengan Alan lagi. Aku harus bagaimana menjawab ini semua?" gumamku.

Aku mengangkat kedua kaki ke kursi dan ku dekap tangan kedua tanganku. Perlahan air mata yang sudah kutahan dari tadi akhirnya sudah tidak terbendung lagi dan keluar deras membasahi kedua pipiku. Aku menangis dalam diam meratapi nasibku

Hari ini mungkin hanya wajah, tapi besok-besok? Bukan tidak mungkin aku akan dibunuhnya kan? Toh aku bukan anak kandung mereka. Memikirkan itu semua membuatku kembali terisak.

Saat aku menangis, tiba-tiba ponselku berbunyi singkat tanda sebuah Line masuk. Aku beranjak dari kursi dan berjalan menuju ranjang untuk mengambil ponselku di dalam tas. Sesudah kupegang ponselku, aku membuka pesan tersebut.

Alan Morgan

Nih alamatnya ya, Fie. Jl. Kemuning 6 blok 4B nomor 18. Pintu warna putih."

Aku kembali duduk di kursi meja rias sambil membalas Line Alan.

Sofie Deandro

Maaf, An, sepertinya kita harus menunda pertemuan kita.

Beberapa detik kemudian bukan balasan dari Alan melainkan sebuah panggilan darinya menggunakan aplikasi Line.

Aku terkejut Alan meneleponku. Aku mengetes suaraku dulu sebelum menjawabnya, karena aku takut Alan menyadari kalau aku habis menangis. Gitu-gitu Alan lebih peka dari Nino. Buktinya luka di sudut bibirku beberapa waktu lalu di mana cuma Alan yang menyadarinya.

Aku pun mengangkatnya. "Halo?"

"Hai, Fie, apa aku mengganggumu?"

"Tidak," jawabku.

Tidak ada suara lagi untuk beberapa detik.

"Kamu tidak apa-apa kan, Fie?"

Pertanyaan Alan kepadaku membuatku malah ingin menangis dan mengadu kepadanya tentang kejadian yang menimpaku, tapi tidak ku lakukan. Aku tidak boleh membawa Alan dalam urusan keluargaku. Walau dia adalah temanku, tapi aku juga baru mengenalnya.

"Aku baik-baik saja," jawabku yang aku usahakan dengan nada normal. Walaupun masih terdengar sedikit parau.

"Ceritakanlah padaku jika kamu membutuhkan teman untuk berbagi, Fie. Aku siap mendengarkannya kalau kamu tidak bisa berbagi dengan Nino. Aku tahu kamu hanya berpura-pura kuat dan selalu ceria di depan aku dan Nino."

Perkataan Alan kini akhirnya meruntuhkan pertahananku yang tadinya aku menahannya agar tidak menangis di telepon. Isakan yang kupendam tercurah juga di pendengaran Alan. Aku pun menangis di panggilanku dengannya.

Tidak ada kata-kata yang keluar dariku, tapi hanya isakan, lirihanku, rasa kekesalanku yang kupendam, tapi tidak bisa ku lampiaskan pada siapapun. Dan sekarang hanya kepada Alan, aku menumpakan semua rasa yang berkecamuk di diriku ini.

Alan sendiri hanya bisa terdiam mendengarkan aku menangis.

Selesainya aku berhenti menangis, Alan membuka suara kembali. "Besok aku akan jemput kamu, Fie. Dan ceritakan semuanya kepadaku apa yang terjadi. Aku tahu kamu tidak mungkin mengatakannya pada Nino."

Aku hanya menjawabnya, "Ya. Thanks, An"

Setelah panggilan kami berakhir, ada sedikit kelegaan dalam diriku. Mungkin karena aku habis menangis. Benar banget kata bijak yang pernah aku baca, bahwa air mata adalah satu-satunya cara bagaimana mata berbicara ketika bibir tak mampu menjelaskan apa yang membuat kita terluka.

Aku meletakkan ponselku di meja rias dan ku tatap kembali wajahku yang sudah tidak karuan, tidak berbentuk lagi tepatnya. Mata yang membengkak dan memerah, bibir yang terluka, serta kening yang sudah agak membiru dengan darah yang sudah kering.

Tiga pertanyaan terlintas dalam pikiranku sekarang sambil memandangi pantulan diriku dengan miris.

Sesungguhnya aku hidup di dunia ini untuk apa?

Seandainya saja aku tidak dilahirkan ke dunia?

Seharusnya orangtuaku membunuhku waktu aku lahir, benarkan?

Aku berbalik badan dan berjalan ke arah ranjangku. Ku hempas tubuhku di ranjang milikku. Kapan semua ini akan berakhir? Aku sudah lelah dengan semua ini.

Sehabis aku mengucapkannya dalam hatiku, ku hela nafas yang amat panjang. Dan tidak terasa aku mulai memejamkan kedua mataku. Mencoba menenggelamkan diriku dalam tidur dan berharap sebuah kebahagiaan akan datang dalam hidupku besok.

.....

TBC

Yuk baca cerita baruku berjudul "Second Wedding". Cek my work

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience