9. Caroline dan Alan

Romance Series 3852

"Aku hanya bisa mengagumimu dalam diam, aku tidak bisa mengungkapkan semua rasa yg ada di hati ini. Gengsi? bukan, tapi aku sadar diri aja dengan statusku"

*****

ALAN POV

Saat ini aku sedang menyender di sofa ruangan sahabatku sambil memejamkan mataku sejenak karena rasa lelah yang menyelimutiku. Dan tidak terasa sudah beberapa menit ku pejamkan, aku baru teringat akan pekerjaanku. Aku harus survei proyek terbaruku. Aku langsung membuka mataku dan membangunkan paksa tubuhku, lalu meregangkan otot-otot leherku yang sangat kaku dan pegal.

Setelah itu aku melihat ke Nino yang masih sibuk dengan pekerjaannya, ya masalah yang sedang dihadapinya memang sedang berat. Aku pernah menghadapinya dan itu tidak akan selesai hanya dalam satu hari saja. Sudah kubiarkan saja, Nino juga pasti butuh ketenangan.

Lalu mataku beralih ke Sofie. Sedang apa dia?

Ku lihat dirinya seperti orang yang sedang frustasi yang terkena hutang banyak. Dia geleng-geleng kepala? Sebenarnya apa yang terjadi padanya sih? Aku pun beranjak dari sofa dan berjalan menghampirinya. "Kamu kenapa, Fie?" tanyaku kepadanya.

Sofie menengadah ke arahku. "Alan?"

Ku lihat dia tersenyum lebar, senyuman yang selalu menjadi candu bagiku.

"Tidak apa-apa, An." jawabnya atas pertanyaanku tadi.

Aku mengernyitkan dahiku sambil menatapnya karena dia menatapku dengan tatapan yang aku tidak mengerti

Ku putuskan untuk pamit. Aku menoleh ke Nino. "No, aku jalan dulu ya! Aku lupa harus survei proyek yang sedang ku kembangkan," pamitku.

Nino mendongak sebentar ke diriku yang sedang berdiri di samping mejanya Sofie. "Baiklah. Hati-hati, ya!" pesannya. Lalu Nino beralih menoleh ke Sofie. "Sof, antarkan Alan sampai ke lift!" perintahnya kepada Sofie.

"Baik," jawab Sofie. "Yuk, An!" ajaknya kepadaku.

Aku dan Sofie akhirnya keluar ruangan meninggalkan Nino sendiri. Dalam perjalanan menuju lift, Sofie tiba-tiba memanggilku.

"An..!" panggilnya sambil menghentikan langkahnya.

Aku menoleh dan ikut berhenti. Aku memutar tubuhku untuk berhadapan dengannya. "Ya, Fie?" jawabku.

"Hem..," dehem Sofie. Ku lihat dia sedang menunduk sambil memainkan jari-jarinya. "Anu, An.., aku mau minta bantuanmu kalau boleh."

"Minta bantuan apa? Tentu saja dengan senang hati aku akan membantumu kalau aku bisa," jawabku.

"Ini, An, aku ingin bertanya tentang Nino. Eh, maksudku mengenai diri Nino semuanya. Aku ingin mengetahui semuanya, karena menurutku aku tidak tahu sama sekali tentang dirinya," pintanya.

Aku sedikit kecewa mendengar permintaanya, ternyata ini ada hubungannya dengan Nino. Mau tidak mau aku harus membantunya. Bagaimana pun juga Sofie adalah kekasih dari sahabatku sendiri dan aku tidak boleh melewati batas diriku ke Sofie. Sudah cukup aku hanya sebagai pengagum rahasianya.

Aku tersenyum kepadanya. "Hanya itu saja?" tanyaku dan Sofie mengangguk. "Aku kira sebuah bantuan yang amat berat," ledekku kepadanya sambil terkikik.

Sofie mengerucutkan bibirnya. "Jadi? Kamu mau kan membantuku, An?" tanyanya memastikan.

Aku sangat suka melihatnya merajuk. Aku pun mengangguk. "Tentu saja. Lalu, aku harus memulai dari mana? Kalau aku menjabarkan diri Nino sekarang di sini, yang ada aku akan terlambat dan kau akan dicariin oleh Nino."

Tanpa disangka-sangka Sofie mengajukan usul untuk berkunjung ke rumah Mamaku dan tentu saja aku sangat bahagia mendengarnya. "Benarkah kamu mau datang ke rumahku, Fie?" Kini giliranku yang bertanya memastikan.

"Ya tentu saja. Bagaimana kalau besok?" tanyanya.

"Boleh. Besok aku akan menjemputmu." jawabku.

"Tidak perlu, An." tolaknya. "Aku bisa sendiri. Kamu Line aku saja alamatmu, nanti aku akan cari sendiri."

Tolakannya membuatku sedikit sedih. Tapi ya sudahlah, aku yakin dia bisa menemukan alamat rumah Mamaku. "Baiklah kalau begitu."

Selesai berbincang, kami pun melanjutkan jalan menuju ke lift. Sampai di lift, Sofie menekan tombol turun. Sambil menunggu, Sofie kembali bertanya kepadaku.

"An, wanita yang datang tadi, apa benar dia adalah mantan kekasih Nino sekaligus cinta pertamanya?"

Aku terkejut mendengarnya. "Jadi yang kamu pikirkan dari tadi di dalam ruangan adalah Caroline?" tanyaku dengan menebaknya. Dan sepertinya tepat sasaran. Karena Sofie mengangguk menjawabnya.

"Habis Nino tidak berkata apapun sehabis bertemu dengannya," desisnya. "Aku jadi kepikiran."

Entah kenapa aku merasa Sofie begitu lucu. Apa kalau wanita yang cemburu itu seperti ini? Aku pun mengacak rambut Sofie. "Kamu cemburu ya?"

"Aku tidak cemburu." tepisnya.

Ting!

Setelah pintu lift terbuka, aku segera melangkah masuk ke dalam lift. Aku menekan tombol lantai basement atau lantai tempat mobilku berada. Sebelum pintu lift tertutup, aku sempat mengatakan sesuatu kepadanya, "Percayalah sama Nino. Dia tidak akan mengkhianatimu. Yang ku tahu sekarang, yang dia cintai adalah dirimu." Lalu, pintu lift pun tertutup rapat. Ya hanya itu yang bisa kukatakan untuk menghiburnya. Semoga saja berpengaruh untuk Sofie.

*****

NINO POV

Setelah masalah kantor yang cukup membuatku pusing, sekarang aku dihadapkan dengan wanita masa laluku, Caroline. Ia datang untuk mengajakku bergabung dalam bisnis Papanya. Dan tentu saja aku tidak langsung menerimanya. Aku harus minta persetujuan dari Papaku dan juga Sofie. Bagaimanapun juga Sofie adalah kekasihku sekarang.

Ngomong-ngomong soal kekasih, Caroline sendiri adalah cinta pertamaku saat aku masuk SMP. Seorang wanita yang menakjubkan di mataku saat itu karena kecantikan dan kepintarannya. Dia satu kelas dengan Alan, itu berarti dia adalah Kakak Kelasku. Saat itu, dia juga sangat dikagumi oleh para siswa dari berbagai tingkatan di sekolah Widuri Indah, termasuk diriku. Tapi dulu aku hanyalah pengagum rahasianya, karena dia mempunyai kriteria lelaki yang menurutku sangat bertolak belakang dengan diriku.

Alan mengetahui bahwa aku sangat menyukai Caroline karena aku selalu bercerita kepadanya. Tapi Alan selalu mengingatkan kepadaku untuk segera melupakannya, karena Caroline sudah mempunyai pria yang disukainya. Alan mengetahuinya karena dia cukup dekat dengannya. Caroline selalu menempel dekat Alan, walaupun saat Alan sedang bersamaku.

Aku cukup senang jika Alan datang bersama Caroline, dengan begitu aku bisa melihatnya dari jarak dekat dan perlahan bisa berbincang dengannya walaupun hanya sebentar karena jika bersamaku dia sangat pendiam. Tapi lain hal bila dia bersama Alan. Dia selalu berbicara tak henti, dan tertawa yang kadang membuatku iri akan kedekatan mereka.

Dan satu tahun pun terlewat dengan begitu saja tanpa ada perkembangan apapun. Sampai suatu hari Alan memberitahuku bahwa Caroline menyatakan perasaan kepadanya. Aku jadi memutar kembali memori lamaku di kala itu. Karena dia, aku sempat berkelahi dengan Alan karena kupikir Alan membohongiku. Kami tak bertegur sapa lama sampai Caroline datang dan menjelaskan kepadaku semuanya, bahwa ternyata Alan telah menolaknya.

Aku tersenyum mengingatnya, karena ternyata Alan menghargai perasaanku. Dia menolak Caroline dengan alasan bahwa aku menyukainya dan tidak bisa menyakiti perasaanku. Aku jadi merasa bersalah kepada Alan. Dia memang setia kawan.

Sampai sekarang aku benar-benar tidak tahu alasan sebenarnya Alan menolak wanita bernama lengkap Angelina Caroline itu. Wanita cantik yang sempurna menurut kaum adam, ditolak oleh Alan hanya dengan alasan menghargai persahabatanku. Aku yakin bukan itu alasan sebenarnya. Pasti ada alasan yang lebih masuk akal. Dan jujur, aku sangat penasaran akan perasaannya ke Caroline. Aku hanya takut malah diriku yang menyakiti Alan secara tidak langsung. Apabila ternyata Alan juga menyukainya, bukankah berarti aku yang jahat di posisi ini? Aku telah memisahkan dua orang yang saling mencintai.

Dan karena penolakan itu, Caroline malah menjadi dekat denganku. Tiga bulan kemudian, aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku kepadanya dan akhirnya dia menerimanya. Namun, ternyata hubunganku dengannya terjalin hanya sampai kelulusanku saja. Dia memutuskan pindah ke Singapore untuk meraih cita-citanya menjadi seorang model yang sekarang menjadi profesinya.

Padahal aku bersedia untuk menjalin hubungan jarak jauh dengannya, tapi tidak dengannya. Saat ku tanya alasannya, katanya, dia tidak percaya pada hubungan jarak jauh. Jawabannya itu secara tidak langsung mengartikan bahwa itu sama saja dia tidak percaya kepadaku. Dan pada akhirnya aku pun dengan tulus merelakannya pergi meraih cita-citanya, walaupun saat itu masih sangat mencintainya.

Selama berbulan-bulan aku tidak bisa melupakan Caroline, sampai suatu hari aku bertemu dengan Sofie di sekolah baruku. Dan saat itu aku tengah masuk tingkatan SMA. Fisik Sofie tidak jauh berbeda dengan Caroline. Sofie adalah wanita yang cantik dan senyumannya menuai pujian dari para siswa yang melihatnya. Tapi sayangnya, Sofie tidak sepopuler Caroline. Mungkin karena Sofie tidak terlalu suka bergaul dengan banyak murid-murid yang lain. Dia lebih suka berada di kelasnya daripada bergosip ria layaknya para siswi yang lain. Hal itu pun yang membuatku suka dan penasaran tentang dirinya.

Aku tidak banyak tahu tentang Sofie karena dia benar-benar menutup dirinya. Tidak banyak yang tahu tentang jati diri Sofie termasuk teman sebangkunya. Saat aku bertanya kepada Lita, teman sebangkunya itu, dia malah tidak banyak membantuku sama sekali dan malah menjawab dengan tidak tahu. Saat itu aku langsung menggerutu kepada Lita, apa yang kau tahu tentang dirinya sih? Aku jadi kesal sendiri mendengar jawaban dari Lita yang kebanyakan jawab tidak tahunya.

Perasaanku pada Sofie, kuceritakan kepada Alan yang menjadi Kakak Kelasku saat itu. Usia aku dan Alan bertaut dua tahun. Kami bertemu saat aku baru masuk ke SMP di waktu pertandingan basket antar sekolah. Aku dan Alan memang pencinta basket dari dulu, tapi sayang tinggi Alan begitu sempurna, tapi tidak denganku.

Kembali lagi ke topik Sofie. Aku menceritakan semua hal tentang Sofie ke Alan. Aku bilang padanya bahwa aku seperti bertemu bidadari, tapi Alan malah menertawakanku. Aku kesal karena aku tidak bisa mengenalkan langsung ke ke Alan karena aku sendiri berbeda kelas dengannya. Dan seperti biasa, aku hanya menjadi pengagum rahasianya yang cukup memandangnya dari jauh.

Takdir pun berpihak kepadaku karena melihat ketulusanku menyukainya. Dua tahun sudah aku menyukainya dalam diam. Dan saat tahun ajaran memasuki ke tingkat tiga, akhirnya aku bisa sekelas dengannya. Ingin rasanya ku beritakan pada dunia, bahwa aku sangat bahagia kala itu.

"Hai, kenalkan namaku Nino Fernandez. Salam kenal dan mohon bantuannya selama kita sekelas," sapaku waktu itu, saat di mana aku baru memutuskan memilih tempat duduk tepat berada di belakangnya.

Lalu tidak ku sangka dia membalasku dengan sebuah senyuman yang amat kusuka itu. "Hai juga, namaku Sofie Deandro."

Sejak perkenalan itu aku dan Sofie menjadi dekat dan sering bercanda. Aku selalu membuatnya tertawa karena ingin melihat sepasang lesung pipi yang akan muncul jika dia tertawa. Senyum saja sudah terlihat apalagi tertawa, pikirku saat itu.

Dan setengah tahun cukup membuat aku dekat dengan Sofie. Aku meminta saran kepada Alan apa aku harus mengungkapkannya atau tidak. Dan Alan hanya berkata, "jika itu membuatmu bahagia, kenapa juga aku harus melarangnya?"

Bijak sekalikan jawaban Alan? Karena itulah aku sangat cocok dengan Alan dan persahabatan kami pun terjalin lama sampai sekarang.

Saat ku putuskan untuk mengungkapkan perasaanku, ternyata aku malah mendapat kabar dari teman sebangkuku bahwa ternyata Sofie sudah berpacaran dengan Kakak Kelas di atas kami yang seangkatan dengan Alan, namanya Evan Sanders.

Evan Sanders si aktor ganteng itu? No! Jangan samakan lelaki itu dengan aktor ganteng pujaan para wanita. Menurutku kebagusan sekali namanya dan tidak cocok dengan rupanya. Memang sih Evan sangat populer di kalangan para siswi, tapi bukan karena tampangnya, melainkan karena kepintarannya dan jago main alat musik. Aku juga bisa kalau hanya meniup suling atau pianika, rutukku kesal pada saat itu.

Pada akhirnya aku hanya bisa memendam perasaanku sampai hari kelulusan tiba. Aku tidak tahu Sofie mendaftar kuliah di mana. Karena kalau ku tahu, sudah pasti aku akan mendaftar di tempat yang sama. Sayangnya Sofie menutupi rapat-rapat tempat kuliah barunya. Dan akhirnya aku berpisah dengannya tanpa menukar alamat ataupun nomor telepon.

Aku sudah sering kali bertanya kepadanya, tapi Sofie tidak pernah mau menjawabnya. Aku yakin pasti ada sesuatu dibalik senyum cerianya yang selalu dia tunjukkan kepadaku. Sayangnya aku tidak bisa mencari tahu lagi karena sehari sebelum kelulusan, Sofie sudah tidak masuk ke sekolah dan menghilang begitu saja.

Aku mencoba mencari tahu lewat kepala sekolah, tapi ternyata pihak sekolah pun merahasiakan jati diri Sofie dengan alasan keluarga Sofie yang memintanya sendiri.

Dan sekarang, wanitaku muncul kembali di hadapanku setelah tujuh tahun terpisah dan hilang kabar. Kami bertemu kembali di depan lift. Bahkan dia duluan yang mengenaliku.

Takdir apalagi yang datang menghampiriku kali ini? Status Sofie saat bertemu denganku adalah single. Tentu saja aku tidak akan menyia-nyiakannya lagi. Aku menjadikan Sofie sebagai kekasihku dalam waktu dua minggu setelah pertemuan kami, dan dia juga ku terima sebagai sekretarisku sekarang.

*****

Setelah kepergian Caroline, aku langsung kembali bergelut dengan masalah kantor yang tak kunjung selesai. Aku benar-benar tidak tahu harus memulai darimana mengecek semua data dari awal bulan Januari sampai akhir Desember. Aku menghela nafas panjang melihat layar komputerku sendiri.

Pikiranku yang kusut pun akhirnya disadarkan oleh ucapan Alan. Ia berpamitan kepadaku karena dia masih ada pekerjaan dan aku pun mengiyakan. Aku menyuruh Sofie untuk mengantarkan Alan. Setelah itu, aku kembali menatap layar komputerku.

Beberapa menit kemudian, ponselku berdering menampilkan nama Caroline di layar. Setelah pertemuan dengannya, kami bertukar nomor telepon. Aku pun menjawabnya.

"Ya, Lin?"

"Bisakah besok kamu datang ke rumahku? Papaku ingin bertemu denganmu untuk membahas masalah proposal padamu."

"Baiklah, besok aku akan datang."

"Ok, No. Sampai ketemu besok."

"Ya, sampai ketemu besok. Bye!" Aku mengakhiri panggilanku dan menaruh kembali ponselku ke meja. Dan itu bertepatan dengan Sofie masuk ke ruangan.

Aku kembali dengan masalahku tadi. Andai aku punya sihirnya Harry Porter, rasanya ingin kulenyapkan semua dokumen di hadapanku ini. Aku membuka dokumen lama, lalu mengeceknya kembali dengan laporan keuangan di layar komputer. Itu saja yang kulakukan dari tadi sampai akhirnya aku menemukan hasil akhir berapa banyak penggelapan dana yang dilakukan oleh orang kepercayaanku sendiri. Saat aku mengulang kembali hasilnya dan tetap sama, suara pintu terbuka mengagetkanku, membuatku menoleh sebentar.

Ku lihat Sofie keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Ada apa dengannya? Apa sudah jam pulang? 

Aku langsung melirik ke jam tanganku, dan benar saja sudah waktunya jam pulang. Itu berarti aku harus mengantarkan Sofie pulang. Kenapa dia tidak memberitahukanku dan malah main pergi saja meninggalkanku?

Aku langsung merapikan semua dokumen yang bisa ku rapikan dulu. Karena besok aku harus melaporkan hasil laporan akhirnya kepada orang tuaku bahwa sahabatnya telah mengecewakannya.

Aku mengambil kunci mobilku dan bergegas keluar ruangan menyusul Sofie. Dan ku lihat dia sudah berada di depan lift. Saat lift mau tertutup, aku langsung berlari mengejarnya. Untung saja tanganku lebih cepat daripada kakiku. Aku langsung menekan tombol panah ke bawah dan pintu lift terbuka kembali. Aku pun masuk.

Ku lihat Sofie terkejut melihatku. Ada yang aneh dengan dirinya dari tadi. Apa dia sedang ada masalah?

Dan di dalam lift pun kami hanya diam dan tidak ada yang bersuara. Aku yang sibuk bertanya-tanya ada apa dengan Sofie dan dia diam dengan pikiran yang aku tidak tahu.

Ting! Lift menuju ke lantai 1 dan pintu lift terbuka.

Ku lihat Sofie keluar begitu saja tanpa berbicara apapun kepadaku. Dengan rasa kesal, aku langsung menarik tangannya membuat tubuhnya bertabrakan dengan tubuhku dan masuk dalam dekapanku. Buru-buru aku langsung menekan tombol close, agar tidak ada yang melihatnya. Pintu lift pun kembali tertutup.

Dan sekarang di dalam lift, dia berada di dalam pelukanku. Jarak wajahku dan wajahnya hanya beberapa senti. Mata kami saling bertemu dan bertatapan. "Ada apa denganmu, Beb?" tanyaku akhirnya karena penasaran.

"Akhirnya kamu membuka suara juga. Ku kira diam sudah menjadi hobi baru untukmu?" sindirnya kepadaku.

Aku mengernyitkan dahiku karena tidak mengerti ucapannya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti? Kenapa nada bicaramu seperti marah kepadaku?" tanyaku kepadanya.

Dia melepaskan diri dari dekapanku. "Sudahlah, No, aku tidak mau berdebat denganmu. Aku ingin pulang," sahutnya kepadaku.

Aku semakin mendekapnya erat dalam pelukanku dan berkata, "Siapa juga yang mau berdebat denganmu, Beb?"

"Lepasin, No. Ini di dalam lift," tegurnya kepadaku sambil mencoba melepaskan diri lagi dariku.

"Biarin! Untuk sebentar saja, aku ingin memelukmu," pintaku sambil menaruh daguku di pundaknya.

Sofie terdiam dan tidak memberontak lagi.

Lanjutku, "Aku sangat lelah dengan masalah penggelapan dana. Aku benar-benar tidak habis pikir pelakunya adalah orang kepercayaanku sendiri. Dia telah menggelapkan dana hampir sebesar tiga miliar."

"Benarkah sebesar itu Pak Rendy menggelapkan dana perusahaan?" tanyanya sambil terkejut.

"Iya," jawabku. "Padahal aku sangat mempercayainya karena dia adalah sahabat Papaku. Ternyata sahabat pun bisa mengecewakan. Kepercayaan yang diberikan oleh Papaku, baginya hanya dianggap sebagai alat untuk memanfaatkan peluang mensukseskan rencananya. Dia pun tidak sendiri. Dia berkomplot dengan perusahaan saingan Papaku."

"Apa? Ada ya orang seperti itu? Benar-benar tidak disangka sikapnya yang sangat baik dan sopan itu saat bertemu dengannya ternyata hanya kedok belaka."

Bicara hal sahabat, aku jadi teringat Alan dan entah kenapa aku langsung menyeletuk membawa nama Alan dalam masalah ini. "Semoga saja Alan tidak begitu."

"Hah?" Ku lihat Sofie terkejut kembali. "Kenapa jadi bawa-bawa Alan?" tanyanya.

"Tidak, aku hanya takut suatu saat Alan akan mengkhianatiku atau menusukku dari belakang seperti Pak Rendy ini," jawabku.

"Jangan samakan Alan dengan si brengsek itu!" hardik Sofie dan membuatku terkejut. Sofie membela Alan di hadapanku. "Apa yang akan membuat dia mengkhianatimu?" tanyanya. "Bukankah selama ini hubungan kalian baik-baik saja? Kenapa kamu sekarang jadi tidak percaya sama Alan? Ku yakin dia akan sedih jika mendengar perkataanmu ini." Teguran Sofie membuat aku malu sendiri.

"Maaf," ucapku.

"Jangan minta maaf padaku, No, tetapi pada Alan. Kamu telah meragukan dirinya. Kepercayaan yang kalian bangun belasan tahun ini akan retak bagaikan kaca yang terkena anak panah. Dan yang memanah anak panah itu adalah dirimu sendiri yang kamu bidik ke arah Alan. Jika Alan sampai tahu siapa yang memanahnya sudah pasti dia akan terluka. Dan retaknya sebuah kaca tidak akan bisa kembali seperti semula."

Lanjut Sofie lagi, "Kamu tahu, No, tadi aku sempat tidak percaya kepadamu karena mantan kekasihmu yang tiba-tiba hadir itu. Benar kata Alan, ternyata itu karena aku telah cemburu pada Caroline. Dan sebelum Alan pergi, dia mengatakan sesuatu kepadaku agar aku harus percaya kepadamu. Apakah orang seperti itu harus kamu ragukan lagi?" tanyanya kepadaku.

Aku sudah sadar sekarang. Perkataan Sofie benar. Dari dulu Alan selalu menjadi sahabat yang baik bagiku. Walaupun kami pernah bertengkar karena wanita karena kesalahpahamanku, tapi itu juga karena diriku sendiri yang tidak percaya pada Alan. Aku tersenyum mendengarnya karena tidak menyangka Sofie akan berbicara seperti itu kepadaku.

Tunggu! Berarti tingkahnya Sofie yang aneh ini karena...? Aku jadi ingin menggodanya. "Jadi kamu marah dan diam dari tadi karena cemburu?"

Ku lihat wajah Sofie memerah dan dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berputar membelakangiku. Aku juga mendengar dia menggerutu dengan suara pelan yang masih bisa ku dengar. "Orang lagi bahas Alan, kenapa jadi bahas diriku sih?!"

Karena gemas, aku langsung memeluknya dari belakang. "Aku senang kamu cemburu padaku. Thanks buat nasihat dan tegurannya, Beb. Mulai sekarang aku tidak akan meragukan kepercayaan Alan lagi."

Dan bersamaan perkataanku, lift pun kembali bergerak turun menuju lantai basement. Ternyata dari tadi kami berdebat, lift tersebut tidak jalan alias aku belum menekan tombol angkanya. Untung saja tidak ada yang masuk. Nafas kelegaan kukeluarkan.

"Oh ya, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Beb." ucapku di sela-sela lift sedang bergerak turun.

"Mau bicara apa?" tanya Sofie.

"Mengenai pembicaraan Caroline tadi di ruangan." Aku melirik Sofie dengan tatapan ingin menggodanya. "Aku yakin kamu sangat ingin tahu. Benarkan?"

"Sedikit," jawab Sofie singkat. 

"Yakin hanya sedikit?" Aku tersenyum geli saat Sofie mengerucutkan bibirnya kesal. "Oke, oke. Jadi tuh, alasan tadi dia menelponku adalah dia menyuruhku ke rumahnya besok."

Aku melihat Sofie terhentak mendengarnya.

"Apa?"

....

TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience