8. Kepercayaan

Romance Series 3852

"Kepercayaan adalah perekat kehidupan. Itu adalah bahan utama dalam melakukan komunikasi yang efektif. Itu adalah prinsip dasar yang mencakup semua hubungan"

*****

Setelah kedatangan dua tamu tak diundang dan masuk tanpa sopan-santun akhirnya acara makan siang mereka bertiga diselesaikan dengan pinjam kekuatan superhero dari The Flash. Tidak ada sampai sepuluh menit mereka sudah selesai makan dan sekarang Nino dan Alan sedang berhadapan dengan seorang wanita yang berstatus sebagai mantan pacar Nino.

Kanna dan Sofie tidak ikut berada di dalam ruangan karena memang yang ada keperluan itu adalah Caroline.

"Sebenarnya ada perlu apa kau ke sini?" tanya Sofie yang berdiri tidak jauh dari samping pintu

"Bukan urusanmu, Upik!" jawab Kanna dengan ketus. Kanna baru menyadari bahwa ternyata Sofie kerja di perusahaannya Nino. "Jadi kamu menjalin hubungan dengan atasanmu sendiri?"

Sofie memutar bola matanya jengah karena males meladeni ucapan Kanna yang sebentar lagi pasti berubah menjadi hinaan atau sindiran.

"Ah, atau jangan-jangan kamu sudah tidur dengannya demi bisa diterima bekerja di sini?" sindir Kanna.

Benarkan?

Dan sindiran Kanna kali ini membuat tekanan darah Sofie naik sampai ke ubun-ubun kepalanya. Dia selalu menerima hinaan Kanna, tapi kali ini menurutnya, hinaannya benar-benar melewati batas kesabarannya. Ia refleks melayangkan tangannya untuk menampar wajah Kanna.

Plak!

Kanna memegang pipinya sambil melirik sinis ke Sofie. "Beraninya kau menamparku, Upik?!

"Itu agar kau bisa menutup mulutmu yang seenaknya itu," sahut Sofie dengan ketus.

Tiba-tiba pintu ruangan Nino terbuka, Caroline keluar ruangan bersama dengan Nino dan Alan.

"Aku tunggu kabar baik darimu, No," ucap Caroline sambil mencium pipi Alan beserta Nino, dan Sofie melihatnya.

"Ya, baiklah. Nanti akan ku kabari lagi," jawab Nino tanpa membalas kecupan Caroline.

Caroline pun berpamitan dengan Nino dan Alan, lalu berjalan menghampiri Kanna dan Sofie. "Yuk, Na!" ajak Caroline ke Kanna.

Kanna pun berjalan mengikutinya sambil mengumpat kepadaku. "Awas kau nanti!" rutuknya pelan ke arah Sofie.

Sofie tidak menyahutinya lagi karena tahu maksud perkataannya itu. Sudah pasti Kanna akan mengadu ke induknya. Ia sudah pasrah akan hukuman yang akan diterimanya nanti. Setelah kepergian Caroline maupun Kanna, Sofie berjalan menyusul Nino dan Alan yang berjalan masuk ke dalam ruangan.

*****

SOFIE POV

Setelah masuk ke ruangan, ku lihat Alan berjalan menuju sofa dan duduk di sana, sedangkan Nino berjalan menuju arah mejanya. Aku sendiri berjalan menuju ke arah mejaku.

Cukup lama keheningan terjadi di ruangan. Tidak ada dari mereka berdua yang mau bersuara setelah pertemuan singkatnya dengan Caroline. Nino yang sudah kembali bergelut dengan pekerjaannya, Alan yang sedang memejamkan mata untuk mengistirahatkan dirinya sejenak. Lalu, dengan aku sendiri? Aku hanya diam saja sambil memandangi mereka berdua.

Aku memandangi Alan sejenak yang tertidur di sofa. Ku pikir dia memang butuh istirahat dari pekerjaannya. Bagaimana pun juga Alan adalah seorang pengusaha yang sama seperti Nino, banyak kesibukan melandanya. Hanya saja Alan berbeda dengan Nino. Alan selalu melakukan semuanya sendiri tanpa sekertaris di sisinya. Mungkin lain kali aku akan menganjurkan ke Alan untuk mengrekrut seorang sekertaris untuknya.

Aku beralih memandang kekasihku, Nino, yang dari tadi diam menatap layar komputernya. Apa dia betulan bekerja? Atau dia sedang memikirkan sesuatu yang berkaitan dengan mantannya. Aku menghela nafas berat.

Sejujurnya aku tidak tahu apa yang sedang Nino pikirkan setelah bertemu kembali dengan mantan pacarnya sekaligus cinta pertamanya. Aku tidak ingin bertanya apapun ke Nino.  Karena bagiku, lebih baik Nino sendiri yang bercerita kepadaku. Ya walaupun aku memang ada hak untuk bertanya dan mengetahui apa yang dibicarakan mereka di dalam karena aku adalah kekasih Nino. Tapi masalahnya, aku bukan tipe wanita pemaksa yang akan memaksa Nino bercerita kalau memang dia tidak mau mengatakannya.

Mantan pacar sekaligus cinta pertama ya? Aku jadi memikirkan dua status itu. Kalau dipikir-pikir, aku sama sekali tidak mengetahui apapun tentang Nino. Nino memang sudah mengetahui sedikit demi sedikit tentang diriku, tapi aku sendiri? Aku malah tidak tahu apa-apa mengenai kekasihku sendiri. Sepertinya aku harus mencari tahu tentang jati dirinya, apa yang disukainya, kelebihan dan kekurangannya serta apapun yang berhubungan dengannya seperti mantannya.

Aku berpikir sejenak. Kira-kira aku harus bertanya ke siapa ya? Yang pasti orang ini harus mengetahui semua tentang Nino dan sudah mengenal lama dengannya. Apa aku harus bertanya langsung ke wanita yang bernama Caroline tadi? Dia kan mantan kekasih Nino. Pasti tahu dong apapun kesukaan Nino ataupun semua hal berkaitan dengan Nino?

Tapi dengan cepat, aku langsung menggelengkan kepalaku untuk mengusir semua pikiran di kepalaku.

Sofie bodoh! Ya tidak mungkinlah bertanya sama mantan kekasih?! Ah bodoh, bodoh!! rutukku sendiri dalam hati.

"Kamu kenapa, Fie?" tanya Alan tiba-tiba membuyarkan semua pikiran bodohku. Dan dia sudah berada di hadapanku sekarang.

Aku menengadahkan kepalaku. "Alan?"

Ah!!

Sebuah ide terlintas masuk ke kepalaku. Kenapa aku tidak bertanya ke Alan saja? Dia kan sahabatnya Nino? Benar-benar deh! Gara-gara efek kedatangan wanita itu, aku malah menjadi wanita bodoh sekarang. Jelas-jelas jawabannya ada di depan mata, aku malah harus memutar otakku. Mending jawaban yang muncul itu brilian, lha ini? Aaggrhh bodohnya! rutukku kembali.

Aku tersenyum lebar melihat Alan. "Tidak apa-apa, An," jawabku atas pertanyaannya tadi. Aku mencoba memberi kode pada Alan dengan mengeluarkan tatapan mata sedikit memelas yang mengartikan aku sangat membutuhkan bantuannya. Semoga Alan bisa membaca arti dari tatapanku ini.

Ku lihat Alan mengernyitkan dahinya menatapku. Aku jadi ingin tertawa melihat kebingungannya.

Alan menoleh ke Nino. "No, aku jalan dulu ya! Aku lupa harus survei proyek yang sedang ku kembangkan," pamitnya.

Nino mendongak sebentar ke Alan yang berdiri di hadapan mejaku. "Baiklah. Hati-hati, ya!" Sehabis itu, Nino beralih menoleh ke diriku. "Sof, antarkan Alan sampai ke lift!" perintahnya kepadaku.

Ah ini kesempatanku minta bantuannya!

"Baik," jawabku. Aku segera mengajak Alan keluar ruangan. "Yuk, An!"

Aku dan Alan akhirnya keluar ruangan meninggalkan Nino sendiri. Dalam perjalanan menuju lift, aku yang sedang berjalan di samping Alan memberanikan diri untuk meminta bantuannya.

"An..!" panggilku kepadanya dan menghentikan langkahku.

Alan menoleh dan ikut berhenti. Dia memutar tubuhnya berhadapan denganku. "Ya, Fie?" jawabnya.

"Hem..," aku berdehem sebentar karena masih ragu untuk mengucapkannya. Aku menunduk sambil memainkan jari-jariku. "Anu, An.., aku mau minta bantuanmu kalau boleh." Akhirnya aku mengatakannya juga.

"Minta bantuan apa? Tentu saja dengan senang hati aku akan membantumu kalau aku bisa," jawab Alan membuatku bahagia mendengarnya.

Dia memang bisa diharapkan.

"Ini, An, aku ingin bertanya tentang Nino. Eh, maksudku mengenai diri Nino semuanya. Aku ingin mengetahui semuanya, karena menurutku aku tidak tahu sama sekali tentang dirinya," pintaku.

Alan tersenyum ke diriku. "Hanya itu saja?" tanyanya dan aku hanya mengangguk. "Aku kira sebuah bantuan yang amat berat," ledeknya kepadaku, setelah itu dia terkikik sebentar.

Aku mengerucutkan bibirku karena melihat dia terkikik. "Jadi? Kamu mau kan membantuku, An?" tanyaku memastikan.

Alan mengangguk. "Tentu saja. Aku harus memulai dari mana? Kalau aku menjabarkan diri Nino sekarang di sini, yang ada aku akan terlambat dan kau pasti dicariin Nino."

Hem.. benar juga!

Aku berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kita mengobrol di luar kantor? Atau mungkin, aku bisa main ke rumahmu? Sekalian aku berkenalan dengan Mamamu. Anggap saja sebagai permintaan maafku kemarin karena tidak bisa datang dan juga sebagai ucapan terima kasihku atas bekal yang dibawakannya. Bagaimana?" tanyaku memberi usul.

"Benarkah kamu mau datang ke rumahku, Fie?" Kini giliran Alan yang bertanya untuk memastikannya dan ku lihat dia sangat senang mendengar aku mau berkunjung ke rumahnya.

"Ya tentu saja. Bagaimana kalau besok? Besokkan libur."

"Boleh. Besok aku akan menjemputmu."

"Tidak perlu, An," tolakku dengan cepat. "Maksudku, aku bisa sendiri. Kamu Line aku saja alamatmu, nanti aku akan cari sendiri."

"Baiklah kalau begitu."

Kami melanjutkan jalan menuju ke arah lift. Sampai di lift, aku menekan tombol turun. Sambil menunggu, aku kembali bertanya ke Alan. "An, wanita yang datang tadi, apa benar dia adalah mantan kekasih Nino sekaligus cinta pertamanya?" Akhirnya aku malah bertanya lewat Alan.

Alan menoleh ke diriku. "Jadi, yang dari tadi kamu pikirkan di dalam ruangan adalah Caroline?"

Dengan berat hati aku mengangguk. "Habis Nino tidak berkata apapun sehabis bertemu dengannya," jawabku. "Aku jadi kepikiran."

Alan mengacak rambutku pelan. "Kamu cemburu ya?"

Deg!

Sentuhan tangan Alan membuatku teringat seseorang. Tapi siapa? Aku membuang nafas panjang karena tidak tahu siapa seseorang itu. Mungkin ini hanya perasaanku saja.

"Aku tidak cemburu," tepisku.

Ting!

Pintu lift terbuka, dan Alan pun melangkah masuk ke dalam lift. Dia menekan tombol lantai basement atau lantai tempat mobilnya terparkir. Sebelum pintu lift tertutup, dia sempat berpesan kepadaku, "Percayalah sama Nino. Dia tidak akan mengkhianatimu. Yang ku tahu sekarang, hanya dirimulah yang dicintainya." Perkataan terakhirnya bertepatan dengan pintu lift yang tertutup rapat.

Aku menghela nafas kembali. Ya Alan benar, aku harus mencoba percaya sama Nino. Aku pun berjalan kembali ke ruangan Nino.

Sampai di hadapan pintu ruangan, samar-samar aku mendengar suara Nino yang sepertinya sedang menelepon.

(Dari dalam ruangan)

"Oke Lin, besok aku akan datang," ucap Nino

......

"Sampai jumpa besok. Bye!"

(Back to Sofie...)

Percakapan yang sebentar telah aku dengar membuatku kembali ragu. Siapa Lin? Carolinekah?

Aku pun membuka pintu dan ku lihat Nino sedang meletakkan ponselnya di meja dan dia tidak menoleh ke diriku sedikitpun. Aku pun kembali ke arah mejaku dan duduk, lalu mulai mengerjakan pekerjaanku kembali.

Pukul 5 sore pun akhirnya tiba, aku langsung membereskan barang-barangku dan bergegas pulang. Entah kenapa sejak aku masuk ke ruangan setelah mengantar kepergian Alan, tidak ada percakapan di antara aku dengannya. Pikiranku sekali lagi mengatakan Nino yang tidak mau diganggu atau aku saja yang terlalu sensitif memikirkan pembicaraan Nino di telepon? Benarkah aku mulai cemburu?

Aku langsung keluar pintu ruangan tanpa pamit ke Nino yang masih bergelut dengan komputernya. Bodoh amat dia marah padaku. Lagipula yang seharusnya marah itu ya diriku. Ku jalankan kakiku dengan kecepatan yang lebih dari biasanya. Namun tanpa kusadari, tiba-tiba cairan bening di pelupuk mataku keluar begitu saja dan membasahi pipiku. Sejak kapan aku menangis? Aku langsung cepat-cepat menyekanya.

Sampai di lift, aku langsung menekan tombol turun dan terus kutekan padahal jelas-jelas lift tersebut masih berhenti di lantai 2. Di kepalaku sekarang hanya terpikir ingin pulang. Baru kali ini aku benar-benar ingin cepat sampai di rumah.

Aku melihat angka yang terpampang di lift. Lama banget nih lift! Angka 3 naik ke lantai 4 begitu terus dan akhirnya angka 7 pun muncul.

Ting! Pintu lift terbuka.

Dengan cepat aku langsung masuk ke dalam lift. Dan aku langsung menekan lantai 1 dan tombol close.

Sambil menyenderkan kepalaku dan memejamkan mata, aku menghela nafas panjang. Saat pintu lift sudah bergerak menutup, tiba-tiba malah terbuka kembali. Ku bukalah mataku karena ingin melihat siapa yang masuk. Dan aku sangat terkejut melihatnya. Orang yang ingin aku hindari malah ikut masuk ke dalam lift.

Bukannya tadi dia masih sibuk dengan pekerjaannya?

Pintu lift akhirnya tertutup rapat dan mulai bergerak turun ke lantai bawah.

Di dalam lift pun hanya keheningan yang terjadi. Ini aneh bukan? Rasa asing menyelimuti kami. Biasanya aku dan dia selalu bercanda di dalam lift, tapi sekarang? Aku dan dia bahkan seperti orang yang tidak saling kenal.

Ting! Pintu lift terbuka.

Ku lihat ternyata sudah lantai 1, itu berarti lantai yang ku tuju sudah tiba. Aku langsung berjalan keluar tanpa menoleh lagi. Namun, saat kakiku melangkah keluar lift, tiba-tiba tanganku ditarik sehingga membuat tubuhku berputar dan menabrak tubuhnya.

Dan dia langsung menekan tombol close, membuat pintu lift kembali tertutup.

Kini di dalam lift, aku berada di dalam pelukannya. Jarak wajahku dengan wajahnya pun hanya beberapa senti. Aku menatap matanya begitupun dia.

"Ada apa denganmu, Beb?"

"Akhirnya kamu membuka suara juga. Ku kira diam sudah menjadi hobi baru untukmu?" sindirku kepadanya.

Dia mengernyitkan dahinya. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti? Kenapa nada bicaramu seakan seperti marah kepadaku?" tanyanya kepadaku.

Aku melepaskan diri dari dekapannya. "Sudahlah, No. Aku tidak mau berdebat denganmu. Aku ingin pulang," sahutku kepada dia yang adalah Nino.

"Siapa juga yang mau berdebat denganmu, Beb?" Nino semakin mendekapku dalam pelukannya.

"Lepasin, No! Ini di dalam lift," tegurku kepadanya sambil mencoba melepaskan diri lagi.

"Biarin! Untuk sebentar saja aku ingin memelukmu."

Aku terdiam mendengarnya.

....

TBC...

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience