13. Cemburu - Nino

Romance Series 3885

"Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan seseorang yang dirimu sendiri masih bertanya apakah dia orang yang tepat untuk menjadi pasanganmu atau bukan"

*****

"Di mana Anna, Tante?"

Ratih yang melihatnya sontak terkejut. Ia meminta Alan datang untuk membantunya, tapi sekarang dia malah membuatnya semakin takut. Ia menghampiri Alan yang makin membuat si wanita itu mendekap dirinya dan berusaha meronta-ronta mencoba menepis guncangan dari tangan Alan. Ratih memegang bahu Alan, "Nak Alan, kamu membuat dia ketakutan."

Alan pun tersadar ia telah menyakitinya. Ia menghentikan mengguncang wanita itu. Saat mau melepaskan tangannya dari sisi lengan Alya, si wanita paruh baya itu pun akhirnya kehilangan kesadarannya dan jatuh terkapar.

"Tante Alya!" panggil Alan terkejut. Dengan cepat, ia langsung mengangkat tubuh Alya dan membaringkannya ke ranjang.

Ratih melihatnya pun ikut panik. Ratih langsung mengambil ponselnya untuk menelepon dokter yang biasa menangani pasien-pasien di tempat ini.

"Ada apa dengannya, Nak Alan? Aduh Bude jadi takut nih."

"Alan juga tidak tahu. Kita tunggu dokter saja," jawab Alan.

Setengah jam kemudian, dokter pun sampai dan langsung memeriksa Alya. Ia mengecek satu persatu mulai dari kedua matanya, memeriksa denyut nadinya, tekanan darahnya, suhu tubuhnya dan semuanya untuk mengetahui sebab dari pingsannya.

Selesai mengecek detak jantungnya, ia melepaskan stetoskop pada kedua telinganya. "Dia tidak apa-apa. Dia hanya mengalami depresi dan kelelahan. Biarkan dia istirahat dulu," jelas si dokter tersebut.

"Tidak ada yang seriuskan, Dok?" tanya Alan.

"Tidak," jawab si Dokter. Dan ini resep obatnya dan ingat obat antibiotik beserta vitaminnya harus dihabiskan," pesannya sambil memberikan secarik kertas resep.

Alan menerimanya. "Baik, Dok. Terima kasih."

Dokter pun berpamitan dan keluar kamar diantar oleh Ratih.

Alan masih diam tidak bergeming sambil memandangi wanita yang sedang tertidur itu. Wajahnya masih sama saat terakhir kali ia melihatnya, hanya saja usia memakan kemudaannya, keriput menggerogoti kulit halusnya dan bawah matanya tampak hitam seperti orang tidak tidur berhari-hari.

Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia tidak bersama Anna? Mana Anna-ku?

Rasanya Alan ingin membangunkan Alya segera mungkin dan menanyakan semua pertanyaan ini kepadanya. Tapi, Alan masih menahan dirinya untuk bersabar.

"An..!" panggil Sofie yang tiba-tiba masuk dan menyusulnya karena Alan tidak balik-balik.

Alan menoleh ke samping. "Sofie? "Tante Jihan mana?" tanyanya.

"Dia tertidur. Mungkin kelelahan karena mengobrol terlalu lama. Jadi, ku biarkan saja dia beristirahat. Aku pergi mencarimu karena kamu tidak kembali."

"Maafkan aku, Fie." Alan menunduk.

"Siapa dia, An?" tanya Sofie melihat wanita yang sedang terbaring tidak sadarkan diri.

"Dia.., dia..." Alan menyeret ucapannya karena ia bingung mau memberitahukan ke Sofie atau tidak. "Dia orang tua dari wanita masa laluku, Fie." Akhirnya Alan mengucapkannya juga. Mau tidak mau ia menjawabnya dengan jujur.

Sofie tertegun mendengarnya. Ia ingin melanjutkan bertanya, tapi diurungkannya. Ia melihat raut muka Alan yang terbilang hanya kesedihan yang menutupi wajahnya.

Alan memegang tangan Alya. "Anna..," gumamnya pelan. Alan benar-benar tidak sabar ingin menanyakan tentang Anna, tapi sepertinya hari ini tidak akan bisa karena Alya harus beristirahat total. Mungkin Alan akan menanyakannya esok hari. Ya esok hari aku akan datang lagi.

Akhirnya Alan dan Sofie memutuskan berpamitan pulang dan membiarkan Alya maupun Jihan untuk beristirahat. Sebelum pulang, Alan memberikan dua amplop yang berisikan uang yang telah disediakannya sebelum pergi ke yayasan. Satu amplop untuk biaya pengobatan Jihan dan segala kebutuhan yang diperlukan oleh Jihan dalam satu minggu ke depan. Dan satu lagi adalah uang sebagai bentuk jasa Ratih yang telah merawat Jihan. Alan memang rutin memberikannya jika ia sedang datang berkunjung.

"Sampaikan pada Tante Jihan, besok Alan akan datang lagi," pesan Alan ke Ratih.

"Ya, nanti Bude sampaikan. Kalian hati-hati pulangnya," pesan balik Ratih.

"Baik, Bude. Alan pamit dulu." Alan mencium punggung tangan Ratih dan Sofie pun melakukan hal yang sama.

"Sering-sering datang ke sini ya, Nak Sofie," ujar Ratih dan dijawab anggukan oleh Sofie.

"Ya, Bude," jawabnya.

Akhirnya mobil Alan keluar dari gerbang yayasan tersebut dan mengarah ke arah rumah Sofie untuk mengantarkan Sofie pulang.

Dalam perjalanannya, Sofie memberanikan diri kembali bertanya, walaupun Alan belum tentu mau menjawabnya. Tadi ia sempat mendengar gumaman Alan, walaupun terdengar samar-samar di telinganya. Ia hanya ingin memastikan.

"An, apa Anna adalah nama dari wanita masa lalumu?" tanya Sofie.

Alan langsung menoleh ke Sofie. "Apa tadi aku telah menyebut nama Anna?"

Sofie mengangguk.

Alan membuang nafas kasar. Akhirnya Sofie mengetahuinya juga. Mungkin sudah waktunya aku harus menceritakan tentang wanita masa laluku ke Sofie walaupun tidak semuanya. "Anna adalah anak dari Tante Alya yang tadi terbaring sekaligus wanita dari masa laluku. Terakhir mereka pindah secara diam-diam tanpa sepengetahuanku dan itu sudah berlangsung selama enam belas tahun yang lalu. Aku berusaha mencarinya selama ini tapi nihil. Mereka menghilang tanpa kabar dan tanpa jejak. Aku selalu menunggunya, berharap dan percaya bahwa dia akan kembali padaku," urai Alan akhirnya mau membuka cerita lamanya.

"Jadi yang kamu tunggu hingga sekarang adalah dia?" tanya Sofie lagi.

Alan mengangguk dan tersenyum datar. Ia menjawab sambil menyetir dengan pandangan lurus ke depan menatap jalanan. "Aku percaya kalau dia takdirku, dia akan kembali kepadaku karena janji yang kami buat waktu kecil."

"Janji?" Sofie mengernyitkan dahinya.

"Ya, aku dan dia sudah berjanji akan menikah setelah dewasa. Dan aku tidak akan meninggalkan dia sampai kapanpun."

"Tapi, An, itu hanya janji masa kecil. Bagaimana kalau dia sudah melupakannya dan ternyata dia juga sudah menikah?" Sofie bukan bermaksud membuat Alan sedih atau kehilangan harapannya menunggu Anna. Hanya saja kalau benar ia telah menghilang selama 16 tahun, berarti ada dua kemungkinan yang terjadi. Dia masih hidup dan sudah menikah, lalu hidup bahagia di suatu tempat. Kemungkinan yang lain, ternyata dia sudah meninggal.

"Aku harus memastikan dulu pada Tante Alya, Fie. Kalau benar dia sudah menikah pun aku tidak akan marah. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja dan hidup dengan bahagia. Karena waktu dia kecil, hidupnya pun tidak bahagia layaknya anak-anak lainnya."

Sofie hanya berdehem menanggapinya. "Aku iri sama Anna. Dia mempunyai seorang teman yang sangat baik dan peduli padanya. Kalau sampai dia menikah, aku akan marah padanya karena telah menyia-nyiakan kamu, An."

Alan terkekeh. "Mulai sekarang dan seterusnya juga aku adalah temanmu, Fie. Sampai kapanpun aku akan selalu ada untukmu jika kamu membutuhkanku. Jadi, jangan segan meminta bantuan padaku kalau kamu tidak bisa memintanya pada Nino."

Sofie tersenyum mendengarnya. "Thanks, An. Aku berharap kamu pun bahagia dan segera menemukan Anna-mu."

*****

Mobil Alan pun memasuki gerbang rumah Sofie. Saat ia menghentikan mobilnya, ia dan Sofie melihat sebuah mobil yang tidak asing baginya. Mobil dengan nomor plat khusus N 1 NOF mampu membuat kedua orang di dalam mobil terkejut. Nino??

Alan dan Sofie pun keluar dari dalam mobil. Dari arah dalam rumah, Sofie dan Alan melihat pintu terbuka menampilkan sosok Kanna dan Nino yang keluar bersamaan.

"Sudah kubilangkan mereka habis berkencan," hasut Kanna yang berdiri di samping Nino.

"Aku tidak akan percaya kata-katamu," sahut Nino. Ia berjalan menghampiri Alan dan Sofie.

Kanna mendengus sebal.

Sofie tersenyum melihat Nino. "Kamu sudah lama?" tanyanya.

Nino tersenyum. "Tidak, baru sampai juga," jawab Nino, lalu matanya beralih ke Alan. "Kalian dari mana? Kok tidak memberitahu aku kalau kalian pergi bersama?" selidiknya.

Baru Alan akan menjawab, tapi dengan cepat Sofie langsung menjawabnya. "Gini, No, aku tadi main ke rumahnya untuk berkenalan sama Mamanya. Terus aku dan dia mampir ke panti rehab."

"Oh." Mata Nino beralih lagi ke Sofie. "Kenapa kamu tidak bilang mau main ke rumah Alan? Dari tadi pagi kamu tidak ada kabar, ternyata kamu malah diam-diam menemui Alan," sindir Nino sambil menatap Sofie tajam.

"Aku...," Sofie menunduk sambil menggigit bibir bawahnya. Ia bingung mau menjawab apa lagi. Tidak mungkinkan ia bilang kalau ia sedang mencari tahu semua tentang diri Nino dan Alan?

"Ya tentu saja tidak bilang, kan mereka sedang berselingkuh," celetuk Kanna yang tiba-tiba datang dan langsung menyela mereka.

Sofie langsung mendongak dan menatap tajam ke arah Kanna. "Tutup mulutmu, Kanna! Aku tidak selingkuh. Aku hanya ingin men..."

"Aku yang memintanya datang, No," sela Alan. Ia membela Sofie yang hampir mau mengatakan tujuannya datang ke rumahnya.

Nino menatap kedua orang di depannya, Alan dan Sofie. "Ku harap kalian tidak menyembunyikan sesuatu di belakangku apalagi main belakang," tegur Nino dengan nada sindiran. Ia langsung berjalan melewati Alan dan Sofie menuju mobilnya tanpa berpamitan.

Di dalam mobil, sebelum Nino melajukan mobilnya, ia melihat ke Alan dan Sofie lewat kaca spion mobil yang masih pada berdiri menatap ke arah mobilnya. Pikirannya berkecamuk.

Apa ia cemburu? Tentu saja! Siapa yang tidak cemburu melihat kekasihnya bersama lelaki lain di hari libur begini. Walaupun Alan adalah sahabatnya, bukan berarti ia tidak ada perasaan cemburu. Ditambah kasus pengkhianatan sahabat Papanya masih membekas di pikiran Nino. Ia jadi sensitif dengan namanya persahabatan. Ia hanya takut Alan menusuknya dari belakang atau merebut Sofie dari dirinya.

Nino pun melajukan mobilnya keluar dari rumah Sofie dengan perasaan marah dan cemburu.

Sofie melihat kepergian Nino dengan tatapan sendu. Ia yakin Nino sudah salah paham terhadap dirinya ataupun ke Alan.

"Nanti aku yang akan menjelaskannya pelan-pelan. Kamu tidak perlu khawatir, Fie," celetuk Alan tiba-tiba. Alan tahu apa yang dipikirkan Sofie. Dari tadi ia melihat Sofie diam sambil memandang mobil Nino. Ia yakin tadi Sofie berniat mengejar Nino dan menjelaskannya, tapi Sofie menahan dirinya.

"Kalian sungguh romantis," ucap Kanna. "Upik, Upik, jadi wanita jangan serakah! Sudah punya Nino masih mau mendekati sahabatnya," sindir Kanna disertai suara tawa jahat. "Kalau aku jadi Nino sih sudah aku putusin kau di sini," cibirnya ke Sofie.

Alan menoleh ke Kanna. "Jadi kau yang bernama Kanna ya?"

Kanna melirik Alan, "Ya, kenapa?" tanyanya dengan ketus.

"Kamu cantik," puji Alan.

Kanna terhentak mendengarnya dan langsung menatap ke Alan. "Terima ka..."

"Tapi sayangnya, hatimu tidak secantik wajahmu," lanjut Alan yang ternyata belum selesai berbicara, memotong omongan Kanna.

Sofie ingin tertawa, tapi ia menahannya dalam hati.

Kanna yang tadinya tersipu merasa kesal. "Apa maksud ucapanmu?"

Alan tidak menjawabnya. Ia malah memilih berpamitan dengan Sofie. "Aku pulang dulu ya, Fie?!"

"Ya, An. Hati-hati dan thanks untuk hari ini."

Alan berjalan ke arah mobilnya dan melaju mobilnya keluar dari rumah Sofie.

Sofie pun berjalan meninggalkan Kanna yang masih berdiri melirik Sofie sambil tersenyum menyeringai. Rencana busuk sudah mengendapi otak Kanna. Ia akan melakukan sesuatu hal yang akan membuat hubungan ketiga orang ini berantakan. Tunggu kalian semua!

*****

Setelah Alan pulang dari rumah Sofie, Alan menelepon Nino untuk bertemu. Ia akan berusaha menjelaskannya kepada Nino. Dan akhirnya mereka berdua sekarang berada di salah satu tempat nongkrong di kawasan Jakarta Pusat.

"Sekarang jelaskan kenapa Sofie bisa bersamamu?" tanya Nino sambil menatap tajam. Kemarahan karena kecemburuan yang menyelimutinya belum sirna.

"Tadi malam Sofie habis dipukuli oleh Mama angkatnya, Merry, sampai kepalanya terbentur anak tangga," jawab Alan.

"Apa?" Nino terkejut mendengarnya. "Kenapa tadi dia tidak bilang padaku? Pantesan aku tadi melihat ada plester di keningnya."

"No, mana mungkin Sofie mengatakannya di hadapan Kanna. Yang ada kita akan membuat keadaan Sofie lebih terpuruk lagi kalau Kanna sampai tahu Sofie telah mengadu kepadaku."

"Benar juga sih." Kemarahan dalam diri Nino perlahan memudar. "Lalu apa lagi yang dia ceritakan padamu?" tanyanya lagi. "Aku heran, kenapa Sofie hanya mau bercerita kepadamu dan bukan kepadaku ya?" sambungnya.

"Gini, No, dalam hubungan antar kekasih dan pertemanan itu berbeda. Kadang manusia itu lebih nyaman bercerita ke pacarnya, tapi ada juga yang lebih nyaman bercerita ke orang yang dianggapnya teman atau sahabat. Kita tidak bisa memaksa orang itu untuk bercerita kalau dia memang tidak ingin mengatakannya. Mungkin saja dia malu, mungkin dia gengsi, atau mungkin dia takut. Nah takut di sini juga banyak artiannya. Kita harus lihat dulu dari sudut pandang dan situasinya. Takut dikasihani oleh kekasihnya, takut membuat pacarnya khawatir, takut pacarnya akan melakukan hal-hal yang di luar pikirannya, bisa juga..."

"Cukup, Al." Nino geleng-geleng kepala. Pikiran sahabatnya ini memang terlampau dewasa kalau sedang berceramah, mengalahkan pendeta di gerejanya. Tapi itulah perbedaan antara dirinya dengan Alan. Alan lebih banyak menggunakan otak, alias berpikir dulu sebelum bertindak, sedangkan dirinya lebih suka bertindak dulu baru berpikir akibatnya. Seperti halnya sekarang, ia marah kepada Sofie tanpa meminta penjelasan yang sebenarnya. Akibatnya, hubungannya dan Sofie sekarang bisa dibilang sedang renggang walaupun ia tidak tahu apa Sofie menganggapnya sama atau tidak.

"Jadi sekarang kau jangan marah lagi padanya. Kasihan Sofie. Tadi ku lihat dia sangat sedih saat kau mengacuhkannya."

"Baiklah, nanti aku akan meneleponnya."

"Lalu, apa kau sudah ke tempat Caroline?" tanya Alan.

"Sudah. Tapi aku masih harus berdiskusi dengan Papaku mengenai kerjasama ini. Papa masih marah dengan sahabat yang mengkhianatinya, jadi aku belum berani membicarakan masalah kerjasama. Lagi sensitif," jawab Nino.

"Tanya dulu sama Rendy kenapa dia melakukan semua ini? Kau jangan langsung menge-judge-nya. Siapa tahu dia punya alasan tersendiri kenapa dia sampai melakukannya," pesan Alan memberikan nasehat.

"Baiklah. Kau memang orang yang baik hati, Al."

Dari arah samping meja mereka, terdengar percakapan dua orang wanita yang sedang tengah asyik bergosip. Dan dari arah pintu Cafe, ada wanita lain lagi yang berjalan masuk menghampiri dua orang wanita itu sambil memanggil salah satu nama si teman wanitanya. "ANNA!!" panggilnya.

Alan terhentak dan langsung menoleh ke arah wanita yang berteriak dan mengikutinya sampai ke meja temannya. Alan ingin mengetahui rupa wanita yang dipanggil dengan Anna.

"Hai, Karin..!" sapa si wanita yang bernama Anna. Dan Karin langsung duduk di kursi yang kosong.

Alan menatapnya tanpa beralih. Apa dia adalah Annaku, teman masa kecilku? batin Alan. Alan benar-benar terpaku menatapnya sambil berargumentasi dalam pikirannya.

Alan jadi berpikir, apakah menunggu Anna sampai sekarang ini adalah hal yang benar? Atau malahan salah? Kadang ia bertanya kepada Tuhan, apakah Anna adalah wanita yang tepat untuk menemaninya, menjadi pasangan hidupnya? Kalau memang bukan, kenapa ia tidak bisa melupakannya? Kenapa dirinya masih bergelut dengan masa lalunya, dan tidak bisa move on sampai sekarang?

"Al!" panggil Nino, tapi tidak ada jawaban dari Alan. Ia sampai mengibaskan tangannya di hadapan Alan. "Al! Kau melamun?" Tetap tidak ada reaksi dari Alan, Nino pun mengikuti arah pandangan Alan dan sedikit terkejut karena yang sedang menjadi perhatian sahabatnya itu adalah seorang wanita. Tidak biasanya! Nino memajukan tubuhnya mendekat ke Alan dan menggoyangkan tangan Alan. "ALAN MORGAN!" panggilnya kini dengan nada sedikit keras.

Alan tersadar dan langsung menoleh ke Nino. "Eh? Maaf, No," ucapnya.

Ketiga wanita yang berada di samping mejanya pun ikut menoleh ke Nino dan Alan. Lalu, mereka pun berbisik-bisik.

Nino terkikik melihatnya. "Suatu keajaiban kau memperhatikan seorang wanita." Ia menoleh ke arah wanita yang tadi dilihat Alan, memperhatikan paras wajahnya. Nino memajukan tubuhnya lagi untuk mendekat ke Alan. "Yang baju merah apa baju putih?" tanyanya dengan suara pelan.

"Hah?" Alan terkejut mendengarnya. "Maksudmu?"

"Jangan pura-pura! Kau tertarik kan padanya?" tanya Nino sambil memberi kode mata pada Alan tentang wanita yang dilihat oleh Alan. "Apa perlu ku mintai nomor handphone-nya?" ledeknya.

"Apa sih kau, No! Jangan macam-macam!"

Lalu wanita yang berada di samping meja Alan dan Nino pada beranjak dari kursi mereka. Mereka bertiga berjalan meninggalkan mejanya menuju keluar Cafe. Tapi di sela-sela mereka berjalan, wanita yang bernama Anna berbalik badan untuk melihat Alan sejenak. Dan mata Alan dan Anna pun beradu pandang.

"Cie.. yang sedang lihat-lihatan...," goda Nino. "Benar tidak mau nomor handphone-nya? Nyesel lho tar. Mumpung belum jauh tuh." Nino masih mencoba menggoda Alan. Entah kenapa Nino merasa senang bahwa Alan ternyata masih doyan wanita setelah wanita masa lalunya itu. Aku harus menceritakan ke Bunda kabar baik ini. Dia pasti senang.

Alan melepas pandangannya dari wanita itu dan beralih ke Nino. "Aku hanya terkejut dengan namanya. Namanya sama dengan wanita masa laluku," jelas Alan.

"Oh begitu," sahut Nino singkat. Lalu, ia menghela nafas kasar. "Kau harus membuka hatimu untuk wanita lain, Al." Nino menimpuk Alan dengan tissue, "Padahal aku sudah senang ternyata kau masih doyan wanita. Tadinya ku kira kau sudah berpindah suka lelaki," candanya.

Alan memutar bola matanya. "Kalau sampai itu terjadi, laki pertama yang kugoda adalah kau, No!" ledek balik Alan membuat Nino bergidik ngeri.

"Awas kau sampai berani, Al!" gertak Nino.

Alan tertawa terbahak-bahak karena merasa senang menggoda balik Nino. Ia juga gantian menimpuk tissue ke wajah Nino. "Makanya jangan suka memulai."

Akhirnya perbincangan Alan dan Nino mengenai Sofie dan Anna berakhir perang tissue sampai pelayan kafe menegurnya karena sampah yang berserakkan ke mana-mana.

Setelahnya, Alan hanya berharap besok ia akan mendapatkan jawaban atas pertanyaannya mengenai Anna.

.....

TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience