15. Pilihan : Menyerah atau Melanjutkan

Romance Series 3852

"Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mencoba, jangan sesekali menyerah jika kamu masih merasa sanggup"

*****

ALAN POV

Saat ini wanita yang bernama Anna berada di dalam rumahku tepatnya di ruang makan. Dia akhirnya diundang makan oleh Mamaku karena merasa penasaran akan asal usul wanita selaku tetangga baru yang bernama Anna ini. Dalam acara makan pun tidak ada yang membuka suara sampai selesainya makan. Dan setelah itu, Anna baru diajak berbincang oleh Mamaku di ruang tamu.

"Jadi kamu pindahan dari Manado?" tanya Mama sambil menatap wanita itu.

Dari tadi yang sibuk bertanya macam-macam adalah Mamaku, sedangkan diriku hanya diam mendengarkan sambil melirik ke arah Anna. Aku memang sedikit penasaran juga. Tapi semua pertanyaanku sudah dilontarkan Mamaku kepadanya, jadi aku tidak perlu bersusah payah untuk menanyakannya lagi.

Mataku beralih ke Nino. Sedang apa Nino sekarang? Jawabannya adalah dia sedang tersenyum sendiri sambil menikmati acara introgasi Mamaku kepada si wanita yang duduk di hadapannya itu. Kulihat Nino sangat senang sekali.

Lalu mataku kembali beralih ke Mama lagi, entah kenapa kulihat Mamaku itu bertanya layaknya mengintrogasi seorang calon menantu untukku.

Calon menantu? Tidak, tidak! Aku membuang dua kata itu dalam pikiranku. Sekarang aku harus pastikan dulu namanya.

Wanita itu mengangguk. "Ya, Tante."

"Namamu beneran Anna?" tanya Mamaku kembali seakan memastikan. Dan kali ini pertanyaan ini membuatku memasang telingaku lebar-lebar untuk mendengar jawabannya.

"Itu panggilanku, Tan. Nama lengkapku adalah Rihanna Aloysia," jawabnya.

Jadi namanya Rihanna? Ternyata yang kupikirkan dari tadi ternyata salah. Dia memang bukan Anna-ku. Karena nama lengkap Anna-ku adalah Annastasya Wilona. Walaupun tadi pagi aku mendapat kabar kematiannya dari Tante Alya, aku masih berharap kalau Tante Alya salah dan ini hanyalah sebuah mimpi buruk untukku. Dan jika aku terbangun nanti, semua kembali seperti semula di mana aku masih menunggu Anna ku. Hanya saja, selama tidak ada alat doraemon yang bisa mengulang waktu, hal yang aku inginkan tidak akan mungkin terjadi.

Padahal sebelumnya, aku juga sudah memutuskan untuk melupakan Anna dan membuka lembaran baru, tapi kenapa takdir malah seakan mengajakku bermain-main sekarang. Aku malah dihadapkan dengan wanita yang bernama panggilan sama dengan Anna-ku. Sekali lagi kutanyakan pada Sang Empu. Cobaan apa lagi ini, Tuhan? Apakah dengan kematiannya, Engkau belum juga puas mengacak-ngacak dan memporak porandakan hidupku?

Tentu Tuhan tidak akan menjawab langsung kepadaku. Dia akan menjawab semau Dia, waktunya Dia, untuk yang terbaik bagi kita. Dan kita sebagai umat-Nya hanya bisa pasrah akan takdir yang diberikan, nasib yang harus dijalanin, mau itu susah, senang, kaya, miskin, sedih, dan bahagia.

Sekarang aku hanya punya dua pilihan. Pilihan pertama, apa aku harus mengucapkan selamat tinggal pada Anna-ku dan mulai membuka hatiku untuk wanita lain yang ingin masuk ke kehidupanku? Tapi itu berarti aku harus menyerah dan melupakan ini semua sampai ke akar-akarnya.

Pilihan kedua, aku tidak boleh menyerah sekarang. Kan siapa tahu masih ada harapan, walaupun presentasinya nol koma nol sembilan puluh sembilan persen kalau Annaku masih hidup. Setidaknya, aku ingin mempercayai sebuah keajaiban yang tidak pernah kudapatkan.

Akan aku jawab sampai aku memastikan lagi ini semua? Ya begitu saja. Aku akan pastikan sekali lagi masalah kematian Anna dengan Tante Alya.

"Oh. Orang tuamu di mana? Kerja apa? Kamu di sini tinggal sama siapa?" Mamaku mengajukan deretan pertanyaan membuat Rihanna bingung seketika.

Lihat kan? Mamaku benar-benar cocok menjadi polisi.

Aku pun mulai membuka suaraku untuk menyela omongan Mama. "Ma," panggilku dan Mama menoleh. "Masa tanya sama tetangga baru begitu? Yang ada Mama membuatnya tidak nyaman. Kalau setelah ini dia malah pindah rumah lagi gimana?" Perkataanku membuat Nino terkikik. Aku menoleh ke Rihanna, "Maaf ya, Ri, untuk sikap Mamaku yang banyak bertanya," ujarku. Aku sengaja memanggil dengan panggilan Ri, karena aku tidak mau menganggap dia adalah pengganti dari Anna-ku.

Rihanna pun tersenyum kepadaku. "Ya tidak apa-apa. Tapi, panggil saja aku dengan Anna," pintanya.

"Lebih enak Ri sih dan simple menurutku," tolakku dengan halus. Dan tentu saja hanya Nino dan Mamaku yang tahu alasan kenapa aku menolak untuk memanggilnya dengan Anna. "Tidak apa-apa kan?" tanyaku kepada Rihanna.

"Tidak apa-apa."

"Kamu umur berapa?" Kini giliran Nino yang bertanya.

"26 Tahun," jawab Rihanna. Lalu, dia menoleh ke diriku. "Kalau kamu umur berapa, hem....?" Rihanna menghentikan ucapannya sambil berpikir. "Oh ya, aku saja belum tahu nama kalian berdua," sambungnya.

"Kamu mau tahu namaku atau nama dia?" tunjuk Nino ke diriku sambil bertanya, ya sekalian bermaksud meledek Rihanna dan aku.

"Kalian berdualah," jawab Rihanna agak sedikit canggung.

"Oh." Nino manggut-manggut seakan dia sedang menyusun rencana jahilnya. "Kenalkan namaku Nino Fernandez. Kalau dia...," Nino menunjuk ke arahku. "Alan Morgan."

"Oh. Apa kalian Kakak beradik?" tanya Rihanna lagi.

"Ya anggaplah seperti itu," jawab Nino. "Alan lebih tua dariku dua tahun. Dan usiaku denganmu sama-sama 26 Tahun."

"Oh. Apa kalian sudah menikah?" tanya Rihanna sambil melirik ke arahku.

Nino berdehem. "Belum, kamu mau mendaftar?" tanyanya.

"Eh?" Rihanna menjadi kikuk seketika. "Bu.kan begitu," tepisnya.

Nino tertawa pelan. "Aku hanya bercanda. Alan yang masih jomblo. Kalau kamu mau dekati dia, silahkan, dibuka dengan lebar. Ya kan, Bun?" Nino menyenggol lengan Mama yang duduk di sampingnya. Dan Mama ikut membela Nino dengan memanggut.

Hey, hey, dasar Nino! Benarkan dugaanku, tenyata rencana jahilnya adalah menjodohkanku dengannya. Awas ya kau, No! Aku menatap tajam ke arah Nino.

Nino yang tahu sedang ditatapku berpura-pura mengacuhkanku dan bersikap masa bodoh. Dia malah semakin menggelayut ke Mamaku mencari perlindungan dan pembelaan sambil mengeluarkan senyum jahilnya.

"Oh." Rihanna melirik jam dinding yang berada di ruang tamu. "Tan, aku permisi dulu ya? Soalnya masih ada kerjaan," pamitnya.

"Oh ya, ya, hati-hati dan terima kasih sudah mau makan siang di sini, Anna," ucap Mamaku.

Rihanna beranjak dari sofa, "Aku yang seharusnya berterima kasih, Tan." Lalu Rihanna menoleh ke Nino dan diriku. "Aku pamit dulu." Dan dia berjalan ke arah pintu keluar di antar oleh Mama.

Aku dan Nino hanya memandang kepergian Rihanna, lalu tiba-tiba Nino menyenggol lenganku. "Bolehlah. Cantik lagi."

Aku menoleh ke Nino. "Jangan coba-coba menjodohkanku lagi, No." Aku segera berjalan menuju anak tangga untuk masuk ke dalam kamarku.

"Hey, Al, tunggu!" Nino pun menyusulku.

*****

SOFIE POV

Keesokkan harinya, rutinitas dihari Senin kembali berjalan. Pagi-pagi aku sudah disibukkan oleh pekerjaan rumahku yang wajib ku lakukan sebelum pergi ke kantor. Setelah selesai, barulah aku bisa pergi ke kantor dengan tenang.

Saat aku berjalan menuju mobilku dan hendak membuka pintu mobil, pintu yang sudah terbuka sedikit itu tiba-tiba didorong oleh tangan dengan kasar sehingga tertutup kembali. Tindakan itu membuatku sangat terkejut. Aku menoleh ke sisi sampingku untuk melihat siapa pelakunya.

Kanna?

"Apa-apaan sih kau, Kanna?! Aku sudah telat nih," hardikku.

"Siniin kunci mobil kau, aku mau pakai," pinta Kanna dengan ketus dan memaksa.

Aku mengangkat alisku. "Kau kan punya mobil sendiri, kenapa harus pinjam mobilku?" sahutku.

"Berisik! Cepat sini kunci mobilnya, atau aku laporin ke Mama!" ancam Kanna sambil tersenyum jahat.

Aku menghela nafas kasar. Akhirnya aku mengalah dan memberikan kunci mobilku ke Kanna. Bukan karena takut pada ancamannya, tapi karena aku malas meladeninya. Hal itu hanya akan membuatku telat ke kantor, dan Alan pasti akan memarahiku kalau sampai itu terjadi. Karena pertama, dia tidak suka yang namanya telat. Kedua, dia ada meeting pagi ini dan diriku harus standby di kantor sebelum meeting dimulai untuk mempersiapkan bahan materi meeting.

Kanna tersenyum senang, karena pagi-pagi dia berhasil membuat diriku kesal. Dengan bersiul ria, dia memainkan kunci mobil milikku sambil diputar-putar dengan jari telunjuknya dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Aku pun mendegus sebal. Mau tidak mau aku berangkat dengan menggunakan taksi. Saat aku berjalan keluar gerbang, ada yang menarik tanganku membuatku terkejut kembali dan menoleh ke belakang.

Kak Vino?

Duh!! Tadi Adiknya, sekarang Kakaknya. Benar-benar satu paket lengkap di pagi hari untuk melatih jantung dan batas kesabaranku.

"Aku akan mengantarmu," tawar Vino secara tiba-tiba. Dan tanpa menunggu persetujuanku terlebih dahulu, dia langsung menarik tanganku untuk ikut dengannya masuk ke dalam mobil miliknya. Aku hanya bisa mengikuti dan menurutinya.

Dalam perjalanan, aku melirik sekilas ke Kak Vino. Ini benar-benar aneh, dan aku akan anggap sebagai keajaiban karena aku bisa duduk bareng di mobil miliknya.

Selama aku bernafas dan hidup di keluarga mereka, tak sekalipun Kak Vino memperlakukanku dengan baik. Dan baru hari ini, tidak, tidak, sebenarnya sudah dari kemarin ini Kak Vino tampak baik kepadaku. Terakhir kali, dia membelaku dari kemarahan Merry dan sekarang bahkan dia mau mengantarkanku kerja. Hem...

Apa dia sebentar lagi mau mati? Jadi dia melakukan kebaikan kepadaku demi menebus dosa-dosanya kepadaku? Begitukah?

Aku menggeleng kepalaku karena menyumpahi Kak Vino mau mati. Dia memang jahat, tapi kalau dia sekarang mau memutuskan untuk berubah menjadi orang baik, kan tidak mungkin aku mencegahnya, malah aku akan senang sekali.

Tiba-tiba tangan Kak Vino menyentuh tanganku membuatku tersadar akan pikiranku tadi. Aku melihat tangan Kak Vino, lalu menoleh ke arahnya yang sambil menyetir. "Kak...," panggilku. Dengan perlahan aku menarik tanganku agar terbebas dari sentuhan tangannya.

"Maaf, Sof," ucap Vino sambil menarik tangannya kembali.

Aku langsung mengalihkan pandanganku ke kaca jendela sampingku.

Satu jam kemudian, aku sampai di kantor. Macetnya jakarta membuat kepalaku pusing. Kapan Jakarta terbebas dari macet? Padahal aku sudah bangun lebih awal, tapi tetap saja sampai kantor pun dengan waktu yang sangat mepet.

"Kak Vino, makasih ya," ucapku sambil membuka pintu mobil.

Saat ku mau keluar dari mobil, Vino kembali mencekal tanganku untuk menahan aku keluar. "Pulangnya aku jemput ya?" tawarnya kembali.

Hah? Aku langsung terdiam mematung.

Ini ada apa sih dengannya?

Bukannya aku ingin menolak kebaikan dari seorang Kakak yang mau merubah sikapnya menjadi baik, tapi entah kenapa perhatiannya sekarang membuatku menjadi risih. Aku dan Vino bukanlah saudara kandung. Hem, tidak mungkin kan dia punya perasaan padaku?

Pikiran negatifku kembali menggerayang di kepalaku, membuatku malah semakin takut.

"Tidak perlu, Kak Vino, Sofie bisa sendi..."

Selak Vino dengan berseru keras, "POKOKNYA AKU JEMPUT!"

Perkataannya membuatku terhentak kaget. Sifat aslinya mulai keluar dan sosok aslinya perlahan mulai kembali ke wujudnya semula.

"I..ya..," ucapku spontan mengiyakan karena aku ingin cepat-cepat keluar dari mobilnya. "Sofie masuk dulu. Sudah telat, Kak!" Aku berusaha melepaskan diri dan segera keluar begitu tangannya terlepas dariku.

Aku berjalan dengan cepat ke dalam gedung tanpa menoleh kembali. Aku jadi takut sendiri dengan Kak Vino. Ada apa dengan dia sih?

Sampai di ruangan Nino, aku masuk dengan tergesa-gesa sambil memegang tengah dadaku. Kurasakan detak jantungku maraton.

"Kenapa kamu, Sof?" tanya Nino yang sudah berada di ruangan.

Aku terkejut kembali karena ucapan Nino yang tiba-tiba. Saat aku masuk, aku benar-benar tidak memperhatikan apapun. Begitupun dengan semua orang di lantai bawah yang aku acuhkan karena rasa takutku yang masih menjamahku. Nino yang sudah datang dan sedang duduk di mejanya pun aku tidak tahu.

"Maaf, No," ucapku sambil berjalan ke arah mejaku dan memulai menyiapkan materi meeting.

Dalam meeting yang akan berlangsung, aku diperintahkan oleh Nino untuk memanggil Rendy untuk ikut bergabung. Kata Nino, ia akan memecatnya hari ini, karena perintah dari Papanya. Dan Nino bilang, ia sebenarnya ingin bertanya maksud dan tujuan Rendy menggelapkan dana sesuai pesan Alan, tapi kalaupun ia mengetahui alasan Rendy yang benar pun, ia tidak akan bisa membelanya di hadapan Papanya, apalagi membantunya.

Meeting pun berlangsung. Para pegawai dan atasan yang di bawah dari posisi Nino mulai berkumpul satu-satu di ruangan meeting dan mencari tempat duduk yang kosong.

"Sebelum memulai meeting, saya akan mengumumkan pengumuman penting. Hari ini adalah hari terakhir untuk Bapak Rendy bekerja di sini," ucap Nino kepada semua orang yang hadir sebagai kalimat pembuka.

Dan tentu saja semua orang yang berada di dalam ruangan pun pada terkejut. Setahu mereka, Rendy dikenal dengan sosok yang hangat dan lembut. Ia selalu ramah pada siapa saja dan tak segan-segan mentraktir para pegawainya makan.

Mereka semua saling berbisik dan bertanya-tanya, tapi tidak dengan Rendy yang bersikap biasa saja. Dirinya sudah tahu dirinya akan dipecat karena kesalahan yang ia lakukan. Rendy pun berdebat panjang dengan Jeremy, Papa dari Nino lewat telepon. Saat Rendy mau menjelaskan alasannya pun, Jeremy sudah tidak mau dengar lagi karena kekecewaanya lebih besar daripada mengetahui alasan dibalik Rendy menggelapkan dana perusahaan.

"Untuk alasannya, biar Bapak Rendy sendiri yang akan memberitahukannya kepada kalian." Tanpa menggubris perkataan orang-orang yang sudah mulai ribut itu, Nino kembali mengumandangkan perintah lainnya. "Dan ku harap kalian sudah bisa fokus untuk memulai meeting-nya. Siapkan presentasi yang kalian sudah siapkan untukku."

*****

Meeting pun selesai dengan lancar. Nino keluar diikuti olehku sambil membawa dokumen hasil presentasi para pegawai yang dipilih olehnya. Aku melirik jam tanganku yang berwarna coklat muda, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Dan itu artinya kami telah melewatkan makan siang kami. Alan pasti sudah menunggu dari tadi, pikirku.

Saat Nino membuka pintu ruangannya dan masuk ke dalam, aku yang mengikutinya masuk, tidak melihat tanda-tanda kehadiran Alan di ruangan.

Apa dia tidak datang?

"Tumben Alan tidak datang?" tanyaku ke Nino yang sudah kembali ke mejanya.

"Iya, dia mau berkencan katanya," jawab Nino membuat aku diam terpaku menatap Nino.

Tidak salah dengarkan aku?

"Hah? Alan berkencan? Dengan siapa, No?" Aku bertanya karena sangat penasaran. Bukankah kemarin dia baru mengatakan bahwa dia sedang menunggu Anna-nya, kenapa sekarang kata Nino, dia malah pergi berkencan? Dan kenapa juga aku jadi kepo begini dengan urusan Alan?

"Kamu penasaran banget ya, Sof?" Nino memicingkan matanya melihatku.

"Bukan begitu, No. Hanya saja, kemarin Alan bilang padaku, kalau doa sedang menunggu Anna, wanita dari masa lalunya," jawabku dengan menepisnya.

Aku takut Nino akan salah paham kembali dengan pertanyaanku mengenai Alan. Aku baru mengetahui kemarin kalau ternyata Nino sedikit cemburu pada Alan. Jadinya aku berusaha tidak menyinggung lebih jauh ataupun berbicara mengenai Alan kalau tidak penting banget. Tapi apa ini termasuk penting? Aku jadi ragu sendiri.

Nino yang tadinya mau melanjutkan bekerja jadi beralih menatapku karena mendengar jawabanku. "Kamu sudah mengetahui tentang Anna, Sof?"

Daripada Nino nanti salah paham, lebih baik aku menceritakan yang sebenarnya ke dia. "Kemarin waktu di panti rehab, Alan tidak sengaja bertemu dengan Mama dari Anna. Itulah sebabnya kenapa aku bisa tahu. Lalu, aku juga memberanikan diri untuk bertanya kepada Alan. Tanpa disangka, dia pun bercerita kepadaku," jawabku.

"Oh. Ya, kemarin aku juga ke panti rehab untuk nyamperin Alan, tanpa disangka juga aku malah melihat adegan yang jarang-jarang terjadi. Kamu tahu, Sof, Alan menangis di tengah derasnya hujan. Persis di film-film lho," ungkit Nino sambil terkekeh pelan.

"Oh ya?" kejutku.

Alan menangis? Ternyata seorang Alan bisa menangis juga? Berarti wanita bernama Anna itu memang sangat penting dan membawa pengaruh yang sangat besar untuk hidup Alan.

Nino mengangguk. "Aku tidak tahu penyebabnya apa, tapi sepertinya itu berhubungan dengan wanita masa lalunya, Anna."

"Lalu Alan berkencan dengan siapa, No?" tanyaku lagi yang belum mendapat jawaban dan masih penasaran. Aku juga bingung kenapa aku sangat penasaran dan ingin tahu.

"Anna," jawab Nino.

Eh? Aku mengernyitkan keningku. "Anna? Anna wanita masa lalu Alan?" tanyaku.

"Bukan, bukan," tepis Nino. "Nama panggilannya memang sama, hanya saja dia bukan wanita di masa lalunya Alan. Dia adalah tetangga baru di sebelah rumah Bunda bernama Rihanna," jawab Nino.

"Oh, aku pikir."

Lha, memang kenapa kalau memang dia adalah Anna, si wanita masa lalu Alan? Ada apa denganku sih?

(Suara pintu terbuka)

"Hai, belum terlambat untuk makan siangkan?" tanya lelaki yang tiba-tiba masuk bersama wanita di belakangnya.

Aku dan Nino menoleh ke arah suara tersebut. Baru saja kami membicarakannya dan sekarang dia muncul secara tiba-tiba.

Alan?

Bukankah katanya dia sedang pergi berkencan? Kenapa malah dia datang ke sini? batin Nino.

Aku bertanya-tanya sekarang, Apa dia adalah wanita yang bernama panggilan Anna itu?

.....

TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience