2. Wanita Masa Lalu

Romance Series 3852

"Sejak bertemu denganmu, ku yakin bahwa akulah takdir yang akan membahagiakanmu, tapi ternyata ku salah. Kau hanyalah mimpi yang jauh untuk ku genggam."

******

ALAN POV

Aku memarkirkan mobilku di pekarangan rumahku yang sekelilingnya ditumbuhi tanaman dan bunga-bunga kesukaan Mama. Dari dalam mobil, aku melihat Mamaku sedang berdiri sambil menyirami tanaman dengan selang yang dipegangnya. Setelah ku matikan mesin mobilku, aku pun keluar dari mobil BMW putihku dan berjalan menghampiri Mama.

"Ma..," panggilku sambil mencium pipi Mamaku.

Mama membalas menciumi pipi dan keningku, seakan-akan aku baru kembali setelah bertahun-tahun pergi meninggalkannya. "Ke mana saja sih kamu, Al? Sudah dua hari kamu tidak pulang jenguk Mama. Mama kan kangen sama kamu," tanyanya.

See? Baru dua hari aku tidak pulang lho, apalagi sebulan aku tidak pulang.

"Ma, Al kan sibuk kerja. Al tidak ke mana-mana kok. Buktinya Al langsung pulang setelah Mama telepon," sahutku.

"Iya, tapi Mama harus meneleponmu dulu, baru kamu mau pulang," sindirnya kepadaku.

Helaan nafas panjang kukeluarkan kalau sudah berdebat dengan Mamaku. Aku tidak akan bisa mengalahkannya. Karena sehabis ini, dia akan mengeluarkan jurus mautnya yaitu berpura-pura sakit. Padahal diusianya ke 48, Mamaku masih keliatan muda dan segar bugar. Lebih baik aku mengalah saja.

"Jadi, mana yang sakit Ma?" tanyaku dengan nada sindiran sambil memperhatikan seluruh tubuh Mamaku. Aku tahu ini hanya siasatnya agar aku pulang.

"Mama sakit rindu kepadamu," jawab Mamaku dengan entengnya sambil menyentil keningku dengan pelan.

"Auw..," pekikku sambil mengusap keningku.

Tawa Mamaku terdengar di telingaku karena menjahiliku.

Aku tersenyum senang melihat tawanya. "Yuk masuk, Ma!" ajakku sambil merangkul pundak Mama dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Sambil berjalan aku juga berkata kepadanya, "Sepertinya Al akan tidur di sini malam ini."

Mama langsung menoleh, "Benarkah kamu akan menginap?" tanyanya memastikan ucapanku dan langsung ku jawab dengan anggukan. "Mama sangat senang mendengarnya, Al. Kamu mau makan apa? Mama pasti akan masak apapun permintaanmu."

"Apa saja, Ma," jawabku. "Oh ya Ma, nanti sore Nino dan pacarnya akan mampir ke rumah mau bertemu Mama," sambungku memberitahu.

"Oh ya? Sudah lama sekali dia tidak main ke rumah," ujarnya.

"Mulai deh lebaynya. Baru juga seminggu," sahutku. "Sudah ah, Al mau kamar dulu ya, Ma?!" pamitku.

Saat aku mau menaiki anak tangga kedua, Mama langsung memanggilku kembali.

"Al, kapan kamu memperkenalkan pacar ke Mama?"

Sudah ku duga. Pertanyaan Mama ini selalu membuatku ingin berteriak. Karena tidak hanya kali ini Mama bertanya, tapi setiap kali aku pulang Mama akan mempertanyakan pertanyaan yang sama dan aku sungguh bosan mendengarnya.

Aku mendengus sebal sambil menoleh ke Mama. "Sudah berapa kali Al bilang ke Mama, Al belum mau pacaran," jawabku dan ku yakin Mama pasti akan menyahuti ku dengan hal yang sama kepadaku, mengungkit masa laluku.

"Dia tidak akan kembali, Alan! Mama yakin Anna pun sudah melupakanmu. Ini sudah 16 Tahun sejak kepergiannya karena kejadian itu," sahutnya membuat aku memutar bola mataku karena benar saja Mama telah mengungkitnya.

"Al tidak mau bahas itu lagi!" sahutku sambil melanjutkan menaiki tangga.

Sampai depan pintu kamarku, samar-samar aku mendengar Mamaku menangis meratapi nasibku. Baru juga aku sampai dan belum ada setengah jam, aku sudah membuat Mamaku menangis. Itulah kenapa aku tidak mau pulang sering-sering, karena pada akhirnya perdebatan akan terulang dengan hal yang sama serta akhir yang sama. "Maafkan Al, Ma," gumamku pelan. Ku buka pintu kamarku dan masuk ke dalam.

Aku memasuki sebuah kamar yang dulu pernah kutempati saat usiaku 12 Tahun. Dekorasi dan pajangan yang tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Aku sengaja tidak mau merubahnya karena ingin mengenang masa-masa kecilku bersamanya.

Ku lihat satu persatu pigura foto yang berjejer di dinding kamarku. Tidak bosan ku pandangi setiap aku pulang ke rumah ini.

Foto pertama dan kedua yang ku lihat adalah seorang anak lelaki dengan seorang anak perempuan sedang bermain di sebuah taman yang berumput.

Lalu, berlanjut ke foto berikutnya. Foto seorang anak lelaki menggendong anak perempuan ketika menginjak usia 6 Tahun dan aku yang saat itu berusia 8 Tahun.

Aku tersenyum sendiri sambil mengingatnya. Ini semua adalah foto-foto diriku bersama teman masa kecilku yang kupanggil Anna. Dan dia memanggilku dengan panggilan An, sama seperti Sofie memanggilku.

Lanjut ke foto berikutnya. Foto kami dengan memakai seragam sekolah. Ini adalah moment saat kami memulai hari pertama sekolah di mana aku naik ke kelas 3 SD dan Anna masuk ajaran baru kelas 1 SD.

Mataku beralih lagi ke foto berikutnya yang adalah foto-foto Anna yang sudah menginjak usia 9 Tahun.

Saat itu aku memang sangat suka memotret dirinya yang sedang tersenyum, walaupun hasilnya tidak sebagus potretan orang dewasa. Aku mengumpulkan fotonya sampai dirinya berusia 10 Tahun.

Mataku masih terus menjalar ke setiap foto sampai aku terdiam tak bergeming sesaat ketika mataku berhenti pada bingkai foto pada posisi terakhir. Aku memandangi Anna yang tersenyum dengan manisnya di foto tersebut.

Di mana kamu sekarang, Anna?

Sesaat aku melihat senyuman pada teman masa kecilku, Anna, aku jadi teringat pada Sofie. Mereka berdua mempunyai senyuman yang sama-sama cantik. Tentu saja mereka berbeda dalam segi fisik dan waktu.

Akan tetapi ada persamaan pada mereka berdua. Sama-sama harus kulupakan untuk melanjutkan hidupku. Anna hanya masa laluku yang harus segera ku lupakan, dan Sofie masa sekarangku yang juga harus kulupakan. Benarkan?

Aku pun berjalan ke ranjang kecilku. Ku duduk di tepi kasur dan kurebahkan tubuhku di atas kasur. Dan tidak lama kedua mataku terpejam. Aku tertidur lama sampai getaran ponsel di saku celana mengejutkanku dan membuatku sampai membuka mata. Ku rogoh sakuku untuk mengambil benda persegi panjang dengan logo apple di belakangnya. Ku lihat pesan masuk di layar iphone-ku.

From: Nino

Aku otw!

Aku melihat jam di layar ponsel yang sudah menunjukkan pukul 5 sore.

Ternyata aku telah tertidur selama 4 jam!

Aku pun langsung beranjak dan segera keluar dari kamarku menuju kamarku satunya untuk mandi dan bersiap diri.

Satu jam kemudian terdengar bunyi bel rumah. Aku pun langsung turun ke bawah untuk segera membukakan pintu.

"Biar Al saja, Ma. Itu pasti Nino," celetukku membuat Mamaku menoleh ke arahku dan menghentikan langkahnya yang mau berjalan ke arah pintu.

"Ya sudah. Mama siapkan makanan dulu," ucapnya sambil berjalan balik ke arah ruang makan.

Sampai di pintu, sebelum membuka pintu tersebut, aku merapikan rambutku dan pakaianku. Aku memegang gagang pintu dan memutar kunci untuk membukanya, lalu ku tarik ke dalam sehingga pintu terbuka menampilkan sosok Nino dan...?  Aku mencari sosok yang ingin ku lihat, tetapi tidak ada.

"Lho Sofie mana?" tanyaku karena aku tidak melihat Sofie di mana pun.

"Dia ada urusan mendadak jadi dia pulang duluan. Dia menyuruhku untuk menyampaikan permintaan maafnya karena tidak bisa ikut," jawab Nino.

"Oh, ya sudah," sahutku dengan rasa kecewa, tapi berhasil kututupi dengan reaksi biasa saja. "Yuk masuk, No!" ajakku menyuruhnya masuk. "Mama sudah nungguin kamu. Dan siap-siap saja dengan perkataan lebaynya," sambungku sambil berjalan masuk ke dalam disusul Nino di sampingku.

Nino hanya tersenyum mendengar ucapanku. Sampai di ruang makan, Nino menghampiri Mamaku dan mencium pipinya.

"Alo, Bunda!" sapanya dan dibalas oleh Mamaku dengan kecupan di kening dan di pipi sama sepertiku.

"Ke mana saja, No? Sudah lama sekali lho tidak ke rumah?" tanya Mama.

Nino melirikku sesaat dan aku hanya terkikik sambil menatapnya mengisyaratkan, 'benarkan kataku?'

"Maaf, Bun, Nino sibuk. Akhir-akhir ini banyak proyek yang harus Nino kerjakan," jawab Nino.

Mamaku memegang pipi Nino. "Jaga kesehatan ya, Nak. Jangan sampai sakit." Tangannya turun ke pundaknya. "Dan jangan telat makan," sambungnya dengan tersenyum.

Nino tersenyum dan dia memeluk Mamaku. "Iya, Bun! Terima kasih," ucapnya.

Aku tersenyum memandangi mereka. Aku tidak cemburu dengan kedekatan Nino dengan Mamaku. Malah aku seperti mempunyai saudara. Mungkin karena aku dan Nino adalah anak tunggal, jadi kami sudah saling menganggap saudara satu sama lain.

Mama melepas pelukannya ke Nino, "Yuk, kita makan!"

Sampai di ruang makan, Nino dan aku pun duduk di kursi bersebelahan, sedangkan Mama duduk di depan kami berdua agar dirinya bisa menyendoki sayur ke piring kami.

"Mana pacarmu, No? Kata Al, kamu mau datang bersama pacarmu?" tanya Mama sambil menuangkan nasi ke piringnya.

"Dia ada urusan mendadak. Mungkin lain kali Nino akan kenalkan ke Bunda," jawab Nino.

"Oh ya, kata Al, Bunda sakit?" Giliran Nino yang bertanya ke Mama.

Mama hanya terkikik. "Ya sakit rindu sama Alan. Tuh anak mesti Mama telfon dulu dengan alasan Mama sakit, baru deh dia mau pulang," jawab Mama sambil menuangkan sayur ke piringku.

Mendengar jawaban Mama, Nino tertawa pelan. Lalu, dia menoleh ke arahku. "Sering-seringlah pulang Al, kasihan Bunda sendirian," pesannya kepadaku.

"Jadi ceritanya sekarang kau membela Mamaku? Kau telah mengkhianatiku, No," balasku dengan ekspresi merajuk dan dengan tangan ku yang ku pukul pelan ke arah dadaku.

"Lebay kau!" ledek Nino.

Kami pun tertawa bersama.

Selesai makan, aku dan Nino berjalan menuju kamarku. Bukan ke kamar masa laluku, karena tidak ada seorang pun yang aku biarkan masuk ke sana termasuk Mamaku.

Saat Nino sedang melihat buku-buku di rak, Mamaku masuk membawa piring berisi buah.

"No, apa kamu tidak ada teman wanita yang bisa kamu kenalkan untuk Al?"

Nino menoleh. Sambil meletakkan buku yang sedang dipegangnya, Nino menyematkan perkataan. "Sudah puluhan wanita Bun, tapi sepertinya Al tidak tertarik sama sekali. 14 Tahun mengenalnya, tapi Nino bahkan tidak tahu Alan suka wanita seperti apa." Nino berjalan menghampiri Mama.

"Sudahlah, Ma, tolong jangan bahas itu lagi. Al mohon," pintaku.

"Kamu sudah 28 Tahun, Al. Itu adalah usia yang cukup untuk menikah. Namun, kamu selalu beralasan belum mau. Dan itu berlangsung hingga sekarang hanya karena wanita masa lalumu itu," ujar Mama membuat kupingku panas seketika.

Sabar!

"Wanita masa lalu?" tanya Nino menyeletuk karena terkejut mendengarnya.

Selama aku berteman dengan Nino, aku tidak pernah mengungkit masa laluku kepadanya. Dan aku juga sudah menyuruh Mama agar tidak membahasnya di depan Nino, tapi sekarang, akhirnya Nino mengetahuinya karena Mamaku keceplosan bicara.

Karena kesal, aku akhirnya sedikit bersuara keras membentak Mama. "Cukup, Ma! Kalau Mama bahas ini lagi, Al tidak akan pulang lagi ke sini," ancamku. Karena ancamanku, kini aku telah membuat Mamaku mengeluarkan air matanya. Dua kali aku telah membuatnya menangis. Dasar aku anak durhaka!

Buru-buru aku berjalan menghampiri Mama dan merangkulnya dalam dekapanku. "Maafkan Al, Ma. Al tidak bermaksud membentak Mama."

"Mama hanya ingin kamu bahagia dan melanjutkan hidupmu. Dia sudah pergi meninggalkanmu, Al. Sekarang kamu pun harus melupakannya beserta kejadian yang berkaitan dengannya," ucap Mama di sela-sela aku sedang berusaha menenangkannya.

"Ya," jawabku dengan singkat. Namun, aku tidak janji, Ma.

Setelah Mama sudah tenang dan meninggalkan kami berdua di kamar, giliran Nino yang mengajukan pertanyaan kepadaku. "Siapa wanita itu, Al? Wanita masa lalumu yang berhasil membuatmu tidak bisa tertarik dengan wanita lain dan tidak pernah berpacaran sampai sekarang."

.....
TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience