3. Kanna

Romance Series 3852

"Kadang. Ada beberapa hal tentang perasaan kita yang tak bisa dimengerti oleh orang lain. Siapapun...saat itulah hanya diri kita sendiri dan Tuhan yang bisa kita ajak bicara."

******

NINO POV

Aku terkejut mendengar Bunda menyebutkan wanita dari masa lalu sahabatku. Padahal aku sempat iri dengan hidup Alan yang aku kira selama ini tidak ada beban pikiran. Ditambah, aku selalu melihat dirinya yang kelihatan bahagia bila kami bersama. Namun perkiraanku ternyata salah besar. Dia ada menyimpan sebuah rahasia yang tidak kuketahui. Rahasia masa lalunya sebelum bertemu denganku.

Aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. "Siapa wanita itu, Al? Wanita masa lalumu yang berhasil membuatmu tidak bisa tertarik dengan wanita lain dan tidak pernah berpacaran sampai sekarang," tanyaku kepada Alan.

Aku melihat Alan terkejut dengan pertanyaanku. Setelah itu, dia menghela nafas panjang.

"Aku belum bisa menceritakannya kepadamu, No. Mungkin nanti kalau aku sudah siap," jawabnya kepadaku.

"Kenapa kau menyembunyikannya dariku? Apa aku bukan seorang sahabat yang baik bagimu, sampai kau harus melalui semuanya sendirian?" Pertanyaanku ini membuatnya mengacak rambutnya frustasi.

"Bukan begitu, No. Kau jangan berpikiran seperti itu. Aku hanya belum siap untuk menceritakannya kepada siapapun. Please, jangan memaksaku," desisnya memohon kepadaku.

"Baiklah. Tapi, aku tidak mau lama-lama. Aku tidak ingin sahabatku terus terpuruk akan masa lalunya dan melalui semuanya sendiri," sahutku sambil menepuk bahunya. "Aku balik dulu ya, Al?!" pamitku. "Besok kau ke kantorkan?" tanyaku kepadanya. Dan akhirnya kami berjalan keluar dari kamar.

"Iya lihat besok," jawabnya sambil mengantarkan aku menuju ke pintu.

"Bunda mana?" tanyaku di sela kami sedang menuruni tangga.

"Mungkin dia sudah masuk kamar," jawab Alan.

"Sampaikan pamitku kepadanya."

Alan membalas dengan anggukan.

Sampai di depan mobilku, aku menoleh sebentar ke Alan. "Ingat pesanku, sering-seringlah kau pulang menjenguk Mamamu. Dia sangat kesepian semenjak kepergian Papamu. Hanya kau yang dia punya, Al."

Alan mengangguk saja menjawabku. Aku yakin dia pasti mengerti dengan pesan yang aku sampaikan padanya. Aku membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Aku menyalakan mesin mobil dan melajukan mobilku keluar dari pekarangan rumahnya. Ku lihat dari kaca spion mobilku, dia masih berdiri menatap kepergianku dengan wajah sendu.

Sebenarnya apa yang kau sembunyikan dariku, Al?

*******

ALAN POV

Aku menatap kepergian Nino yang semakin lama menghilang dari pandanganku. Ku hirup panjang udara malam yang berhembus. Masa lalu yang sudah kututupi bertahun-tahun dari Nino akhirnya terbongkar juga sekarang. Aku yakin suatu waktu aku memang harus menceritakan semuanya kepada Nino. Sebenarnya, dia tidak perlu tahu karena ini tidak ada hubungan dengannya. Biarlah aku yang menanggung semuanya sendiri. Toh selama ini aku bisa bertahan dengan masa laluku itu.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah karena udara malam yang semakin dingin menusuk kulit sampai menembus tulangku. Aku berjalan masuk dan menghampiri kamar Mamaku.

Sampai depan pintu, aku mendengar Mama terisak menangis. Aku jadi ragu untuk mengetuk pintu ini. Namun, aku tidak bisa meninggalkan Mamaku seperti ini. Jadi kuputuskan untuk mengetuk pintu.

Tok! Tok! Tok..!

"Ma..," panggilku pelan. Kuputar knop pintu secara pelan dan mendorongnya ke dalam. Ku lihat Mama sedang memegang sebuah bingkai foto. Aku berjalan masuk ke dalam kamar dan mendekatinya yang sedang duduk di pinggir ranjangnya.

Aku duduk di samping Mama dan ku lihat ternyata Mama sedang memegang bingkai foto Almarhum Papa. Saat ku ingin mengeluarkan suara, Mama sudah mengeluarkan lirihannya.

"Mama merindukan Papamu," ungkapnya sambil tersenyum miris. Jari-jarinya meraba foto tersebut. Senyumannya yang menyimpan sejuta kepedihan teramat dalam. Tersenyum dengan air mata yang ku yakin sudah ratusan tetesan membasahi wajah cantiknya.

Melihat kesedihan Mama, aku segera memeluknya untuk menenangkannya. Tapi, pelukanku malah membuat Mama semakin terisak. Padahal hanya pelukan hangat ini yang bisa kuberikan padanya.

Aku mengerti akan rasa rindu yang dia rasakan kepada Almarhum Papa, karena kadang aku juga sangat merindukannya.

Papa meninggalkanku lima tahun yang lalu karena kecelakaan pesawat yang ditumpanginya saat dinas keluar kota. Saat mendengar kabar kecelakaan itu, aku dan Mama hampir tidak percaya. Karena sehari sebelum peristiwa naas tersebut, kami baru merayakan ulang tahunnya yang ke-47. Tidak disangka itu adalah perayaan terakhirnya bersama kami.

Aku mengerti akan pesan yang disampaikan Nino tadi sebelum pergi. Mamaku hanya punya diriku sekarang dan dia mengandalkan diriku. Dia ingin aku bahagia. Aku pun ingin, tetapi aku juga ingin dimengerti karena tidak semudah itu melupakan masa laluku.

"Maafkan Alan, Ma," ucapku kembali meminta maaf padanya. Karena aku tahu, tidak hanya kerinduan yang dia rasakan, tapi kekecewaan yang dia pendam terhadap diriku. "Aku menyayangimu, Ma." Aku melepas pelukanku dan menatap wajah Mamaku yang sudah basah akan air matanya. Aku menyeka air mata di wajah Mamaku sambil berkata lagi kepadanya, "Tapi Al mohon, Mama harus memberikan waktu untuk Al. Tidak mudah melupakan kejadian masa lalu itu."

Tangan Mama terangkat mengusap pipiku. "Maafkan Mama yang memaksamu melupakan kejadian itu," ucapnya dengan memberikan senyuman tulus kepadaku. "Jika dia takdirmu, dia akan kembali padamu. Tapi, berusahalah membuka hati untuk wanita lain yang mau mendekatimu."

Aku memegang tangan Mamaku yang berada di pipiku dan aku mengangguk menjawab perkataan Mama. Aku tersenyum karena Mama mau mencoba mengerti perasaanku. "Terima kasih, Ma," ujarku.

********

Keesokkan harinya, aku membuka mataku karena kilauan cahaya matahari yang sudah muncul menampakkan dirinya. Kicauan dari burung-burung kecil yang menghampiri jendelaku untuk membangunkanku tidur.

Sejak kapan burung-burung berada di jendela kamarku? Aku mengucek sebelah mataku untuk memastikan ini bukan mimpi. Aku seperti di dongeng Cinderella yang dibangunkan oleh kicauan burung.

"Al, bangun!" panggil Mama dari arah luar pintu membuyarkan pikiranku.

"Iya, Ma! Sebentar lagi Al keluar," sahutku sambil beranjak dari ranjang besarku dan berjalan ke kamar mandi untuk bersiap diri.

Setelah pakaian yang ku kenakan rapi dengan dasi hitam sebagai pelengkap, aku menatap pantulan diriku di kaca. "Semoga hari ini lebih baik dari kemarin dan aku bisa melihat senyumannya lagi," gumamku pelan kepada pantulan diriku sendiri di kaca.

Aku berjalan keluar kamar dan menuruni tangga. Ku lihat Mama sedang meletakkan sarapan yang akan ku makan.

"Ma, Al tidak sarapan ya, ada rapat pagi-pagi dengan Pak Kuncoro," ucapku.

Mama menoleh kepadaku. "Yaa, Mama sudah memasak banyak. Mubazirkan kalau tidak dimakan?" sahutnya.

"Ya sudah, Al bawa saja. Nanti siang akan Al makan." Saat aku berjalan menuju pintu, aku memutar tubuhku kembali. "Ma, bawakan lebih ya! Mungkin Al akan makan dengan Nino dan pacarnya di kantornya," celetukku membuat Mama tersenyum mendengarnya.

Sampai di luar pintu, aku berjalan menuju ke arah mobilku. Membuka pintu dan kaca mobil serta memanaskan mesin mobil sambil menunggu Mama keluar. Aku menyender di mobilku sambil melihat jadwal pekerjaanku hari ini di ponselku.

Tidak lama kemudian, Mama keluar sambil membawa paperbag yang berisi makanan yang tadi ku pesan. "Ini!" Mama memberikannya kepadaku dan aku menerimanya. "Dihabiskan ya?! Salam buat Nino dan pacarnya," pesannya.

"Iya, nanti akan Al sampaikan salam Mama untuk mereka. Al jalan dulu ya, Ma?!" pamitku sambil mengecup pipi dan kening Mamaku, lalu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Aku melajukan mobilku sambil melambaikan tangan perpisahan dengan Mamaku. "Bye, Ma!"

"Hati-hati nyetirnya, Al!" pesan Mama yang juga melambaikan tangannya kepadaku. "Sering-sering pulang!" teriaknya kepadaku dan karena aku masih bisa mendengarnya, aku mengeluarkan tanganku membentuk tanda O yang berarti Oke.

********

Tidak terasa selama tiga jam ku habiskan meeting dengan Pak Kuncoro, sahabat dari Papaku. Sungguh sangat melelahkan mengurus ini semua sendiri. Tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh Almarhum Papa kepadaku dua kali lipat besarnya, karena tiga anak perusahaan yang dikelola Papaku dengan sahabatnya ini berkembang dengan pesat dan dibilang sukses menghasilkan nama yang dikenal banyak orang. Tapi, perusahaan Papaku tidak sebesar perusahaan Nino yang berpusat di Amerika dengan 50 cabang yang berpencar ke pelosok Asia. Karena perusahaanku hanya berpusat di Indonesia saja dengan 10 cabang yang sudah berhasil ku bangun sendiri.

Sepertinya aku butuh sekretaris lagi untuk mengatur jadwalku. Ya akan kupikirkan nanti. Sekarang sudah waktunya aku menemui sahabatku untuk makan siang dan mendapatkan energi tambahan dari senyuman yang sudah kurindukan itu.

*******

Setelah memarkirkan mobilku di basement perusahaan Fernandez Groups, aku berjalan menuju lift. Setelah lift terbuka, aku menekan angka 7, lantai di mana ruangan Nino berada. Aku mengambil ponselku untuk memberitahu Nino bahwa aku sudah sampai.

Saat pintu lift mau merapat, sebuah tangan menghalanginya membuat pintu lift tersebut terbuka kembali.

Aku yang sedang melihat ponselku, terkejut dengan wanita yang selama sebulan ini menghantui pikiranku dengan senyumannya.

"Sofie? Kenapa berlari?" tanyaku yang melihat dia sedang mengatur nafasnya yang tersengal sambil membawa sekotak dus. "Sini ku bantu bawa!" Aku membantunya karena sepertinya dia cukup kesulitan membawanya, ditambah lagi hak sepatunya yang tinggi membuatnya susah berjalan.

Pintu lift tertutup kembali dan mulai naik ke setiap lantai.

Aku meletakkan paperbag yang ku bawa dan mengambil dus dari tangan Sofie. "Kamu bantu aku bawa itu saja," ujarku sambil memajukan daguku memberi kode ke paperbag.

"Thanks, An." Sofie mengambil paperbag yang ku maksud. Karena merasa penasaran, dia melihat isi dalamnya. "Apa ini, An?" tanyanya kepadaku.

"Bekal makanan. Mamaku membuatkan untuk kita makan siang," jawabku sambil menatap dirinya yang hari ini seperti biasa terlihat cantik di mataku. "Jadi hari ini kita akan makan siang di ruangan saja. Gapapa kan?" tanyaku.

Sofie mendongak ke arahku dan tersenyum. "Tentu saja. Aku sangat suka makanan rumah kok. Daripada makan di luar, tidak begitu higienis," jawabnya. "Aku jadi ingin bertemu dengan Mamamu, An. Maaf ya, kemarin aku tidak bisa karena ada urusan," ujarnya dengan mimik muka kecewa.

"Santai, Fie. Kan masih banyak waktu," sahutku.

"Benar juga."

Ting!

Tanda lift sudah berada di lantai 7. Pintu lift pun terbuka dan kami berdua keluar bersama.

"Ini apaan, Fie?" tanyaku.

"Berkas dokumen yang akan dicek ulang semua karena ada penggelapan dana dan baru ketahuan sekarang oleh Nino," jawabnya.

"Apa?" Aku terkejut mendengarnya. "Siapa yang berani menggelapkan dana di perusahaan ini? Orang itu punya nyali besar sekali," ujarku membuat Sofie terkikik pelan.

Aku menoleh ke Sofie sambil mengerutkan keningku. "Ada yang lucu dengan ucapanku?"

"Tidak-tidak," tepisnya membuatku jadi penasaran.

Tanpa mengetuk, Sofie langsung membuka pintu ruangan Nino dan masuk ke dalam. Aku melihat Nino dengan kacamatanya sedang ditemani dokumen-dokumen di mejanya.

"Sibuk, Bro?" tanyaku.

Nino melirikku, lalu dia melepas kacamatanya dan memijit pelipisnya. "Kau bisa lihat sendirikan?" jawabnya.

Di saat Nino beranjak dari kursinya dan berjalan pindah ke sofa ruangan, aku meletakan dus yang ku bawa ke lantai dan menghampiri Nino yang sudah duduk di sofa.

"Ini An yang bawa, katanya ini dari Mamanya untuk kita makan siang," ujar Sofie sambil meletakkan paperbag di atas meja dan duduk di sebelah Nino.

"Oh ya?" Nino sangat senang mendengar kalau Mamaku yang memasak makanannya. Dia langsung mengeluarkan isi di dalamnya. Dia membuka satu persatu tempat makan yang berisi bermacam-macam sayur dan lauk pauk.

"Ayo kita makan!" seruku dan mulai mengambil nasi dan lauk.

Saat kami makan dan berbincang masalah yang sedang dihadapi Nino tentang penggelapan dana yang tadi Sofie beritahukan, tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sosok wanita cantik berambut panjang.

Kami semua menoleh ke arah pintu dengan makanan di mulut kami.

"Kanna?!" seru Sofie dan Nino bersamaan ke wanita itu.

Kanna? Siapa dia? Aku pun hanya menaikkan alisku karena tidak mengenal wanita tersebut.

.....
TBC

info:
Cerita Mr.Night (OPEN PO)

Bagi yang berminat atau info lebih lanjut untuk memesan silahkan hubungi:

WA :
IG : lydia_pye
FB : Lydia_Cenz

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience