6. Tidak Terduga

Romance Series 3852

"Terkadang kamu harus menunjukkan sisi buruk dan lukamu hingga kamu dapat melihat siapa yg bisa menerima dan tetap memilih tuk jadi teman atau pendampingmu."

******

SOFIE POV

Dua minggu sudah berlalu sejak insiden wanita rubah berkedok Nenek Lampir itu dan hubungan aku dengan Nino pun tidak ada masalah. Nino sudah menjelaskan semuanya kepadaku tanpa ada yang ditutupinya. Aku tidak marah padanya saat dia dengan jujur mengatakan bahwa memang benar adanya dia mempunyai hubungan dengan Shintia sebelum bertemu denganku. Yang tidak benar itu adalah foto yang kulihat, ternyata itu adalah foto editan.

Ya ampun tuh si Rubah, kerajinan banget sampe ngedit foto segala demi membuatku panas!

Saat ini, Nino sedang mengantarku pulang. Kami baru selesai makan malam dengan pihak yang kami ajak untuk bekerja sama dalam proyek baru Nino. Sampai di pekarangan rumahku, Nino membukakan pintu untukku keluar dari dalam mobil. Dan saat Nino ingin mengecup keningku, dari arah pintu masuk rumah keluarlah Vino. Dia mengeluarkan deheman keras membuat Nino jadi salah tingkah.

"Ka Vino..?" Aku segera mengenalkan Nino dengan Kakak angkatku. Mereka pun saling bersalaman.

Selang beberapa menit, mobil CRV hitam milik Kanna masuk ke pekarangan rumah. Dia keluar dan berjalan menghampiri kami. "Wah si Upik punya pacar ya?" sindir Kanna kepadaku.

Kanna memanggilku dengan sebutan Upik, kependekkan dari Upik Abu.

Aku menghelus dadaku. Sabar Sofie!

Nino mendekatiku dan berbisik. "Siapa Upik?" tanyanya.

Selama aku mengenal Nino dari sekolah, aku belum pernah sekalipun menceritakan semua tentang diriku ataupun keluargaku padanya. Mungkin yang Nino tahu tentang diriku, aku adalah wanita yang bahagia tanpa masalah. Aku yang mempunyai orang tua yang menyayangiku dan saudara yang mengasihiku. Tapi kenyataannya adalah kebalikannya, dan aku masih belum siap untuk menceritakan kepada Nino.

Jawaban pertanyaan Nino pun dijawab oleh Kanna karena bisikan Nino tadi terdengar sampai ke telinganya. "Upik itu adalah Sofie. Kami memanggilnya dengan sebutan Upik Abu, karena dia bekerja sebagai babu di rumah ini," jawabnya disertai senyuman menghina.

Kulirik sekilas ke Nino untuk melihat responnya dan dia tampak tertegun sesaat. Wajar saja dia akan terkejut.

Sudahlah, apabila nanti karena ini Nino akan memutuskan hubunganku, aku sudah pasrah.

Kulihat, Nino masih diam dan tidak menjawabnya.

"Kalau melihat dari responmu, kau pasti tidak tahu apa-apa mengenai Upik Abu ini ya?" Kanna menggeleng kepalanya sambil melipat kedua tangannya di dada. "Sayang sekali lelaki tampan sepertimu harus menjalin hubungan dengan Upik Abu. Lebih baik kau jalan denganku. Aku adalah seorang model terkenal. Daripada dia, hanya seorang babu."

Hinaan Kanna diiringi tatapan sinis kepadaku. Aku tahu dia hanya iri padaku. Bukan dari rupa saja aku lebih unggul, tapi dari sekolah para lelaki yang mendekatinya pasti lebih memilihku daripadanya. Aku tidak menangis dengan ejekkannya karena diriku sudah malas untuk menanggapinya ataupun membalasnya. Aku sudah terbiasa dengan semua hinaannya dari saat aku memakai rok warna biru sampai rok warna abu-abu.

Kalau Vino? Dia hanya diam saja melihatku tanpa membelaku. Aku juga yakin dia ikut menertawakanku dalam hati. Apabila Kanna sudah mengeluarkan deretan kalimat menghina kepada diriku, bahkan kalau Vino mau, dia akan ikut-ikutan menjelekkanku di hadapan teman-temanku atau teman-temannya.

Maka dari itulah, kenapa aku jarang bergaul dan tidak mempunyai teman dekat. Aku hanya takut mereka semua tidak bisa menerima kekuranganku. Aku adalah wanita yang diadopsi, yang bahkan tidak tahu siapa orang tua kandungku sendiri. Tapi dari itu semua, kadang aku bertanya kepada Tuhan, apa aku tidak berhak mendapatkan kebahagiaan?

Nino akhirnya berbicara. "Bagiku tidak masalah walau dia hanya seorang babu. Aku mencintainya. Aku memang tidak tahu latar belakang Sofie yang sebenarnya, tapi aku tidak akan memaksa dia untuk menceritakan kehidupan kelamnya padaku. Dan satu hal yang aku ketahui sekarang bahwa Sofie tertindas di rumah ini. Aku jadi ingin cepat-cepat menikahinya agar bisa membawa dia keluar dari rumah hantu ini," ujarnya.

Perkataannya ini benar-benar membuatku terharu akan pembelaannya terhadapku. Nino jadi seperti Papa Roger. Hanya Papa dan Nino yang mau membelaku dari hinaan para serigala ini.

"Rumah hantu?" Kanna mendengus. "Apa maksudmu?"

"Kau tahu sendiri jawabannya!" Nino akhirnya berbisik kepadaku, "Aku pulang dulu ya!" Nino berpamitan sambil mengecup keningku. "Sabar ya, aku pasti akan membawamu keluar dari rumah ini secepatnya," sambungnya dengan suara pelan setelah mengecupku. Tanpa berpamitan dengan Kanna dan Vino lagi, Nino masuk ke dalam mobil Mercy-nya dan keluar dari pekarangan rumahku. 

Satu hal yang kutangkap dari omongan Nino. Bukankah ini seperti lamaran untukku? Bolehkah aku bahagia setelah ini? Itu berarti aku akan cepat-cepat bebas dari kawanan serigala. Senangnya hatiku!

Kebahagiaan memang dirasakan olehku, namun tidak dengan Kanna yang sudah berdecak sebal dengan ucapan Nino. Baru kali ini ada lelaki yang mempermalukannya. "Awas kau ya!" Kanna menunjuk ke diriku. "Akan ku adukan ke Mama!" gertaknya yang menyalahkan ke diriku.

Kanna dan Vino pun masuk ke dalam rumah diikuti diriku di belakang mereka. Ku hela nafas panjang karena aku harus menyiapkan telinga lebar-lebar untuk mendengar raungan induknya serigala.

Benar saja kataku. Sampai di dalam rumah, Kanna mengadu ke Merry semuanya. Selesai Merry mendengar cerita Kanna, dia langsung menghampiriku dan melayangkan pukulan ke pipiku dengan keras.

Plak!

Ku pegang wajahku dengan satu tanganku. Satu tangan satuku yang lain ku kepal dengan kuat agar air mata yang ku tahan ini tidak keluar. Aku menoleh ke Merry dengan tatapan sendu. Ku lihat sekilas Kanna juga sedang tersenyum menyeringai ke arahku. Dia memang paling suka melihatku tertindas oleh Merry.

"Beraninya kamu mempermalukan anak saya! Kau itu bukan siapa-siapa!" hardik Merry dengan nada antagonisnya.

"Kalau aku bukan siapa-siapa, kenapa kalian mengadopsiku? Aku tidak meminta kalian untuk mengadopsiku. Lebih baik dulu aku dibesarkan di panti asuhan daripada aku tidak diakui dan kalian malah menganggapku sebagai pembantu. Aku ini juga manusia yang berhak mendapatkan kebahagiaan, Ma!" sahutku.

"Beraninya kau melawan saya!" Merry yang tidak menerima aksi protes sahutanku hendak melayangkan sebuah pukulan kembali, tapi tangannya ditahan oleh anak lelakinya yang tak lain adalah Vino. Dan itu membuatku tertegun tidak percaya dengan apa yang kulihat.

"Sudahlah, Ma," ucap Vino sambil menenangkan Merry.

Dan lagi-lagi aku diliputi rasa tidak percaya. Aku menatapnya dengan mulut ternganga. Tidak terduga, seorang Vino yang mengucapkannya.

Apa dia Vino yang kukenal? Seorang yang biasanya selalu ikut menindasku. Apa dia kesambet hantu penunggu rumah ini yang baik hati? Atau malah otakku yang eror setelah dipukul Merry? Rentetan pertanyaan ini berkecamuk di kepalaku dan sepertinya hanya Vino sendiri yang bisa menjawab.

Merry dan Kanna melihat ke Vino dengan mata yang melotot. Mungkin bukan hanya aku yang terkejut, reaksi mereka berdua pun sama.

"Apa-apaan kamu, Vino! Kenapa kamu jadi belain dia?" tegur Merry dan ditimpa dengan ucapan Kanna. "Iya, Kak, kenapa kau tiba-tiba belain si Upik?!"

"Masuk ke kamar, Sof!" perintah Vino. Dan aku menurutinya tanpa menoleh lagi.

Dari atas, samar-samar aku mendengar perdebatan antara Vino dengan Merry dan Kanna. Sebenarnya aku ingin menguping, tapi tidak kulakukan karena aku sudah kelelahan. Lelah fisik dan otak karena pekerjaanku, ditambah lelah hati karena selalu membiarkan mereka semua menindasku.

Aku memasuki kamarku dan menaruh tasku di atas ranjangku. Aku menghampiri meja riasku dan bercermin untuk melihat keadaan wajahku yang terkena pukulan dari Merry. Sudut bibirku sudah mengeluarkan sedikit darah. Aku harus mencari cara agar Nino tidak mengetahuinya besok. Aku menarik nafas panjang.

*****

Keesokkan hari, seperti biasa aku bangun pagi-pagi buta untuk membuatkan sarapan pagi untuk penghuni keluarga ini. Setelah semuanya selesai, aku langsung bersiap-siap untuk berangkat kerja.
Di dalam kamar, saat aku hendak membuka pakaianku, aku mendengar suara dari arah luar pintu. Aku refleks langsung berteriak, "SIAPA ITU?" Kupakai lagi pakaianku, lalu berjalan menuju ke pintu. Ku lihat pintuku telah sedikit terbuka.

Sepertinya tadi aku sudah menutup rapat pintu. Kenapa ini terbuka? Aku mengernyitkan keningku karena bingung. Aku berusaha tidak memikirkannya dan menganggap anginlah penyebab pintu ini terbuka. Akhirnya ku tutup kembali pintu kamar dan menguncinya rapat-rapat.

Setelah berganti pakaian, aku pun merias diri dan tidak lupa menutupi luka di sudut bibirku dengan make up yang aku tiru dari video youtube. Semoga saja Nino tidak menyadarinya, ucapku dalam hati sambil mengolesi foundation ke arah yang terluka.

Sambil memastikan lukaku sudah tertutup rapat, tiba-tiba dering pesan masuk ke ponselku. Aku segera mengambilnya dan membukanya.

From :  Nino

Aku sudah di depan rumahmu. Keluarlah..

Pesan dari Nino itu membuatku langsung bergegas mengambil tasku dan keluar kamar. Namun, saat aku membuka kamar, aku terkejut dengan seorang yang berdiri di depan kamarku. "Kak Vino?" panggilku sambil mengerutkan dahiku. "Ada apa, Kak?"

Ku lihat Vino gelagapan untuk menjawab pertanyaanku. "Ti.dak.. itu.. hem.. pacarmu sudah datang. Ya,ya, pacarmu yang kemarin sudah menunggu di depan," jawab Vino dengan terbata.

"Oh. Ya, Kak, ini aku mau menemuinya. Terima kasih, Kak. Aku pergi kerja dulu, Kak!" pamitku langsung melewati Vino dan menuruni tangga.

Sampai di luar rumah, aku berjalan menghampiri Nino sambil mengeluarkan senyumanku seperti biasa. "Pagi!" sapaku kepadanya.

Nino pun membalasku dengan senyumannya yang manis. Dia dan aku sama-sama mempunyai lesung pipi yang dalam. "Pagi, Sayang!" balas sapa dari Nino untukku.

Aku bernafas lega karena sepertinya Nino tidak menyadari luka di sudut bibirku. Ini bagus! Kalau Nino sampai menyadari dan menanyakannya, aku pun tidak tahu bagaimana akan menjawabnya. Jawab berbohong apa jujur?

Nino membukakan pintu mobil untukku masuk ke dalam mobil, setelah itu dia menyusul masuk ke dalam kursi kemudi. Kami pun berangkat tanpa menyadari bahwa ada seseorang telah memperhatikan kami berdua dari jendela.

Sesampainya di kantor, aku dan Nino langsung menuju ruang rapat karena pihak perusahaan yang kami ajak kerjasama datang memberikan jawabannya. Dan rapat pun berlangsung sampai siang.

"Terima kasih atas kepercayaannya, Pak Adi," ujar Nino sambil berjabat tangan dengan Pak Adi, rekan bisnisnya.

"Sama-sama. Saya sangat tertarik dengan proposalmu. Ya semoga proyek baru kita menghasilkan keuntungan yang banyak," sahut Pak Adi sambil tertawa.

"Amin," sambung Nino. Nino dan aku mengantar Pak Adi sampai ke lift.

"Bagaimana kalau kita makan siang bareng, No?" ajak Pak Adi sambil menunggu lift. "Ini sudah jam makan siang dan saya yang traktir kali ini."

"Saya mau banget Pak Adi, tapi maaf saya sudah ada janji," tolak Nino dengan sopan.

"Pengusaha muda seperti anda memang sibuk ya?" sindiran Pak Adi membuat Nino tersenyum kecut.

"Bagaimana kalau besok dan saya yang akan datang ke kantor anda?" usul Nino.

"Sudah tidak apa-apa, No. Saya mengerti kesibukkan anda." Ucapan Pak Adi bertepatan dengan bunyi lift dan pintu lift pun terbuka. "Saya balik dulu," pamit Pak Adi sambil berjalan masuk ke dalam lift diikuti kedua orang karyawannya.

"Sekali lagi maaf, Pak Adi." Dan pintu lift pun tertutup. Nino menarik nafas sambil menoleh ke arahku. "Kau tahukan kenapa aku menolak makan siang dengannya?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk dan tersenyum.

Kami berdua berjalan menuju ruangan Nino dan saat membuka pintu, sudah ada Alan yang sedang menunggu kami berdua untuk makan siang bersama. Kegiatan yang selalu dilakukan Alan setelah aku berkenalan dengannya serta membuat Nino tidak bisa pergi makan dengan yang lain, seperti Pak Adi contohnya. Nino lebih memilih makan siang dengan sahabatnya itu. Suatu kegiatan yang sepele tapi sanggup membuatku terharu akan arti kebersamaan yang jarang kudapatkan di rumahku.

Kami bertiga pun keluar dari ruangan untuk pergi makan siang di luar. Saat berjalan, Nino minta ijin ke toilet. "Sebentar Al, aku ke toilet dulu."

Alan pun mengangguk. "Ku tunggu di depan lift."

Kepergian Nino ke kamar mandi, Alan mengajakku untuk menunggu Nino di depan lift. Saat menunggu lift dan Nino, Alan memandangiku sekilas dan tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arahku sambil mengerutkan dahinya. Aku sangat terkejut saat jari Alan menyentuh sudut bibirku.

"Kau terluka ya, Fie?" tanya Alan dan membuatku tidak bisa berkata-kata. Tidak terduga olehku malah Alan yang bisa melihat lukaku. Padahal aku sudah berusaha menutupinya dengan tebal memakai foundation.

"Aku...."

.....

TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience