14. Pertanyaan dan Jawaban

Romance Series 3852

"Tak ada hal paling indah selain sebuah perjumpaan setelah melewati penantian yang panjang, kapankah hari itu tiba duhai kasihku? Aku menunggu jawabannya."

*****

ALAN POV

Keesokkan harinya, setelah aku membuka mataku, aku langsung bersiap untuk mengunjungi Panti Rehab kembali. Aku sudah sangat penasaran akan pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak dalam pikiranku untuk minta dijawab. Tanpa sarapan, aku langsung pergi menuju ke panti tersebut. Dalam perjalananku, aku mengirim pesan ke Mamaku, memberitahukannya bahwa aku kembali ke panti dan telat untuk pulang ke rumah.

Karena waktu masih pagi dan jalanan sangat sepi, aku tiba di tempat tersebut tidak sampai satu jam. Aku langsung keluar dari mobil dan berjalan untuk menemui Bude Ratih di ruangannya tempat biasa dia singgah.

"Bude..!" panggilku sambil mengetuk pintu yang tertutup. Namun, tidak ada jawaban dari Bude Ratih.

Apa mungkin dia belum bangun? Aku melirik ke jam tanganku untuk melihat waktu. Bisa jadi Bude masih tidur karena waktu masih menunjukkan pukul tujuh kurang. Aku memutuskan tidak melanjutkan mengetuk pintu, tapi aku langsung berjalan menuju ruangan Tante Alya.

Tok! tok! tok!

Aku mengetuk pintu dengan pelan sambil memanggil, "Tante Alya...!" 

Karena aku tidak mendengar ada jawaban dari dalam kamar. Aku pun mencoba membuka pintu tersebut dengan perlahan sambil berkata, "Permisi, Tante..."

Saat pintu terbuka agak lebar, Aku melihat Alya sedang duduk sambil menyender di ranjangnya dengan tatapan lurus ke depan, tapi yang kulihat tidak ada tanda-tanda kehidupan di sorot matanya. Aura mata yang gelap menyirat bagi siapa saja yang melihatnya. Aku pun yakin, Tante Alya tidak akan sadar kalau diriku sedang berjalan masuk menghampirinya. Perlahanku mendekati dirinya dan duduk di pinggir ranjang sambil menatap wajah sembabnya.

Aku membuka suaraku dengan pelan, "Tante, ini Alan. Apa Tante masih mengenal Alan?" tanyaku.

Alya tidak menjawabnya dan masih diam tidak bergeming.

"Yang dulu tinggal di sebelah rumah Tante, teman main Anna." Saat aku melanjutkan perkataanku menyinggung nama Anna, ada respon darinya. Perkataan ku itu membuat kedua mata Tante Alya dan wajahnya bergerak menuju arahku duduk.

"Anna..," desis Alya pelan. "Anna, anakku." Mata Alya langsung melirik ke kanan dan ke kiri. "Mana anakku? Di mana dia?" Tiba-tiba ia berteriak histeris ke diriku. "MANA ANAKKU? MANA ANNA?" Kini giliran Alya mengguncang lenganku sambil mengerang. "MANA DIA? KAMU MENCULIKNYA KAN?" ANNA!!!" serunya sambil menangis.

Aku langsung memeluk Tante Alya sambil menenangkannya. "Tenang, Tante..," desisku yang ikut-ikutan menangis karena melihat ibu dari wanita masa laluku menjadi seperti ini. Jiwa dan mentalnya benar-benar terganggu dengan sebab yang tidak ku ketahui. Kini pertanyaan yang mau ku ajukan ke Tante Alya, jadi kuurungkan karena memang sudah tidak berguna. Aku sudah mengetahui jawabannya dulu sebelum aku bertanya.

Namun, aku benar-benar membutuhkan sebuah jawaban. Dan aku benar-benar tidak tahu kepada siapa lagi yang bisa menjawab pertanyaanku itu. Ditambah sekarang pertanyaanku bertambah lagi. Kenapa Tante Alya menjadi seperti ini? Sepertinya aku harus ekstra sabar untuk mencari tahu semua jawabannya.

Setelah Tante Alya menjadi tenang dalam dekapanku, ku lihat kedua matanya semakin meredup dan dia tertidur. Aku pun hanya bisa mengelus rambut Tante Alya sambil berpikir apa yang akan aku lakukan sekarang dan ke mana aku harus memulai mencari tahu?

Setengah jam Alya tertidur dan masih dalam dekapanku. Tiba-tiba matanya terbuka kembali dan dia melepaskan diri dari dekapanku. Ku tatap dirinya yang sedang melihat wajahku tanpa berkedip. Ku lihat bola mata Tante Alya bergerak-gerak seperti sedang memperhatikan alisku, mataku, hidung dan mulutku bahkan bentuk wajahku. Tanpa terduga, Tante Alya membuka suaranya, "Kamu telah berubah banyak, Nak Aan."

Perkataan Tante Alya barusan membuatku terkejut. Bahkan kejutan dari alat defibrilator tidak ada apa-apanya lagi dibandingkan dengan perkataannya. Aku langsung menyadari ternyata Tante Alya masih mengingatku, bahkan panggilan masa kecilku pun diingatnya. "Tante masih mengingat Alan?" tanyaku penasaran. Aku mengenyitkan keningku sambil menunggu jawaban darinya.

Tanpaku sangka, Tante Alya mengeluarkan sebersit senyuman. "Tentu saja. Kamu adalah pangerannya Anna."

Rasanya aku ingin berjingkrak di dalam ruangan itu. Aku merasa bahagia, karena itu berarti pertanyaanku sebentar lagi akan terjawab. Aku tersenyum. "Tante masih ingat saja." Aku memegang tangan Tante Alya. "Tante, apa yang terjadi pada Tante?" tanyaku.

"Apa yang terjadi?" jawab Tante Alya dengan sebuah pertanyaan balik ke diriku.

"Ya, Tan, apa yang terjadi sama Tante? Kenapa Tante bisa seperti ini?" Aku mengulang kembali pertanyaan tadi ke Tante Alya.

Alya menatap wajahku dan tanpa kuketahui ternyata sebuah kilasan ingatan masa lalu berputar di memori otak Tante Alya.

"Ayo, Na, kita pergi dari sini!" ajak seorang wanita yang adalah Alya sendiri, hanya pada saat itu umurnya masih sangat muda dibandingkan umurnya sekarang.

"Kita mau ke mana, Ma?" tanya si anak perempuan yang berumur 10 Tahun.

"Kita pindah ke mana pun, asal jangan di sini lagi." Alya membereskan semua barang-barang anak perempuannya dan dirinya. Setelah semua selesai, ia menarik tangan anaknya dan langsung berjalan keluar dari rumahnya.

Mereka berdua berjalan dalam cahaya malam yang meneranginya. Di jalanan yang agak gelap, mereka berdua bergandengan tangan dan terus berjalan tanpa berhenti. Ia berniat menjauh dari rumah terkutuknya itu. Langkahnya terus maju untuk mencari kendaraan yang bisa ia naiki.

Saat sampai di persimpangan, Alya hendak menyebrang. Namun, karena ia tidak menoleh kanan kiri lagi, sebuah mobil dengan kecepatan kencang dan arah setiran yang berbelok-belok akhirnya menabrak Alya dan anak perempuannya. Alya terpental ke pinggir jalanan, sedangkan anak perempuannya bernama Anna terpental membentur sebuah sisi trotoar.

Sebelum Alya kehilangan kesadarannya, ia masih melihat Anna yang terbaring dengan darah kepalanya. Dan saat itu Anna pun memanggil Alya sebelum kesadarannya juga meredup, "Mama.."

"TIDAK!!" seru Tante Alya tiba-tiba, lalu ia menggelengkan kepalanya untuk membuyarkan ingatannya tersebut. "ANNA!!" Ia kembali berteriak dan mulai histeris kembali.

Aku terkejut karena perubahan Tante Alya yang kembali meradang. Ada apa sebenarnya ini? Aku benar-benar kebingungan sekarang. Baru tadi aku merasakan senang sesaat bahwa aku akan mendapatkan jawaban dari pertanyaanku. Tapi sekarang? Apa aku harus kembali dihantui pertanyaannya yang belum terjawab itu?

Aku memegang lengan Alya dan menguncangnya sambil berkata, "Kumohon, Tante, ceritakan pada Alan apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dengan Anna?" tanyaku yang mulai tidak bisa berpikir jernih dan terus memaksa Tante Alya untuk bercerita dan berharap bisa menjawab pertanyaanku.

"Ada apa ini?" Tiba-tiba Ratih datang dan mimik wajahnya terkejut melihat keadaan yang sama seperti kemarin yang dialami Tante Alya dan posisi diriku yang sama, yaitu membuatnya ketakutan. "Aduh ada apa lagi ini, Nak Alan?" tanyanya panik kembali.

Tante Alya menutup kedua telinganya sambil menggeleng kepalanya. Kedua matanya ditutupnya seakan dia tidak mau kilasan ingatan itu keluar lagi dalam kepalanya. "Annaku telah mati. Aku telah membunuhnya. Kalau saja aku tidak memaksa Anna ikut bersamaku, dia pasti masih hidup."

Apa? Anna telah mati?

Guncangan tanganku mulai berhenti. Aku menarik tanganku dari sisi lengan Tante Alya, lalu perlahan mulai mengepal kedua tanganku. Jadi selama ini diriku hanya menunggu orang yang sudah meninggal? Apakah itu adalah sebuah jawaban dari pertanyaanku selama ini? Anna-ku telah mati.

Aku beranjak dari dudukku dan berdiri. Aku berjalan keluar dari kamar Tante Alya dengan pikiranku yang masih bergumul dan menggantung.

"Nak Alan, mau ke mana?" tanya Ratih yang melihatku keluar begitu saja melewati dirinya dan mengacuhkannya. Dan aku pun tidak menjawab pertanyaan Bude Ratih.

Aku makin berjalan tanpa arah, yang dipikiranku hanya satu. Anna telah tiada. Dia telah meninggalkan diriku untuk selamanya. Enam belas tahun sudah, penantianku kini telah sia-sia dan hancur berkeping-keping. Air mataku yang sudah teurai tanpa kusadari mulai turun membasahi kulit wajah coklatku.

Aku menengadah ke atas langit, hendak bertanya kepada Sang Pencipta. Kenapa Dia begitu kejam kepada diriku? Bahkan aku tidak diberikan kesempatan untuk mengucapkan perpisahan saat dia tiba-tiba pergi meninggalkanku enam belas tahun yang lalu.

Kenapa, Tuhan? Aku begitu tulus menunggunya untuk menepati sebuah janji masa kecil yang sebenarnya bisa saja aku ingkari, tapi tidak kulakukan karena aku benar-benar ingin bersamanya untuk menjaganya, melindunginya dan membuatnya bahagia. Tapi, apa yang kudapat dari sebuah penantian panjang dan ketulusanku? Sebuah kabar kematian!

Kenapa dulu Dia mempertemukanku dengan Anna? Dan kenapa sekarang Dia pun yang memisahkan kami, bahkan Dia tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengannya sebelum maut merenggut nyawanya? Padahal aku sangat merindukannya.

Aku menatap ke langit yang sudah dipenuhi awan gelap, berharap mendapatkan jawaban dari Sang Empu. Namun, bukan jawaban yang kudapat. Tetesan air hujan yang mulai turun membasahi wajahku, pakaianku, bahkan rumput yang kupijak sekarang. Inilah jawabannya! Bahkan langit pun ikut menyaksikan kesedihanku yang teramat pedih dengan mengeluarkan hujan. Dan biarlah airmata kepedihanku ini mengikut dengan air hujan yang turun.

Kepergian dirimu menjadi tangisan yang hebat bagiku. Sebab tiada lagi yang dapat mewakili dirimu di dunia ini dan jika ku tahu duluan akhir dari semua ini, aku tak akan mengenal dan jatuh cinta padamu. Sungguh sakit hati yang terjatuh.

Selagi terguyur air hujan yang sudah deras, tiba-tiba sebuah payung menutupi atas kepalaku dan tidak membiarkan air hujan membasahiku lagi.

Aku mendongak untuk melihat siapa yang memayungiku. Dan aku tersenyum melihatnya.

Dia memelukku untuk memberikan  kehangatan dan kekuatan kepadaku agar aku bisa melewatinya. Padahal dia tidak mengetahui apa yang membuatku menjadi lelaki cengeng dengan bermandikan hujan layaknya anak-anak kecil, tapi dia tidak peduli. Dia memberikan sebuah pelukan yang memberikan arti kepadaku, 'ini lho arti dari keberadaanku dalam persahabatan yang kuulurkan untukmu'.

Ya lelaki yang berdiri di hadapanku adalah Nino Fernandez, sahabatku.

Setelah melihatnya, aku jadi berpikir, apa memang sudah waktunya aku harus melepaskan Anna dan mulai membuka lembaran baru, hati yang baru untuk wanita lain seperti kata Mamaku dan sahabatku?

Apakah aku bisa?

Karena bukan hanya Anna yang harus kulupakan, tapi kejadian di masa laluku yang berkaitan dengan Anna pun harus segera ku lupakan.

Kali ini aku harus yakin bisa menjawabnya tanpa harus bertanya lagi. Ya inilah saatnya belajar melupakan dan saatnya membuka lembaran baru.

Nino membawaku masuk ke dalam ruangan kosong dan langsung meminjam handuk pada Bude Ratih. Setelah handuk diberikan olehnya, Nino memberikannya kepadaku, lalu dia kembali pergi untuk mencari baju pengganti buat diriku.

Beberapa menit kemudian, Nino berhasil mencari pinjaman setelan baju untukku yang sudah basah akan air hujan.

"Kau dapat darimana ini, No?" tanyaku dengan menerima baju pemberiannya.

"Sudahlah, kau pakai saja." Nino mendegus kasar. "Itu berhasil kudapatkan dengan mengeluarkan uang banyak. Dasar orang-orang pelit," gerutu Nino membuatku terkikik.

"Thanks, No," balasku kepadanya. Aku segera mengganti pakaianku yang basah itu dengan pakaian kering yang didapat dari Nino. Setelah selesai aku kembali bertanya padanya, "Kok kau tahu aku di sini?"

"Aku meneleponmu tapi tidak diangkat-angkat, jadi aku menelepon Bunda, dan dia memberitahukan ku bahwa kau di sini," jawab Nino.

"Sepertinya ponselku ketinggalan di mobil," ucapku.

"Oh."

Sebelum kami pulang, aku menemui Tante Alya kembali untuk melihat keadaannya. Dan untung saja, dia tengah beristirahat setelah meminum obat pemberian dari Bude Ratih. Lalu, tidak lupa aku mampir ke ruangan Tante Jihan untuk menjenguknya sebentar dan menyuapinya makan. Setelah dia minum obat dan beristirahat, aku pun berpamitan padanya untuk membiarkan Tante Jihan beristirahat.

Aku berpamitan dengan Bude Ratih dan berpesan padanya kalau terjadi sesuatu dengan Tante Alya, ia harus segera melaporkan kepadaku. Tentu saja aku juga menyelipkan uang tambahan buat Bude Ratih untuk membantuku menjaga Tante Alya dan merawatnya serta memenuhi semua kebutuhannya termasuk pengobatannya. Bude Ratih pun menyanggupinya.

"Alan pulang ya, Bude? Alan usahakan lusa atau minggu depan ke sini lagi."

"Nak Alan hati-hati nyetirnya ya dan kamu juga Nak Nino," pesan Ratih kepada kami berdua.

"Siap, Bude!" seru Nino sambil tersenyum.

Akhirnya mobil Nino dan mobil Alan keluar dari gerbang. Mereka berdua sekarang melaju menuju ke rumah Alan.

*****

Kedua mobil memasuki gerbang rumah Bertha. Mereka berdua mengunjungi rumah Bertha yang memang sudah jadwal mereka berdua berkunjung apabila Sabtu dan Minggu tidak ada acara. Alan dan Nino pun keluar dari mobil mereka masing-masing. Dari dalam mobil tadi, mereka berdua sudah melihat Bertha berdiri sambil tersenyum.

"Bunda!" panggil Nino menghampirinya dengan sedikit berlari, membuat Bertha senang melihat kehadiran lelaki yang sudah dianggapnya anak kandung.

"Nino, Bunda kangen padamu," ucap Bertha sambil memeluk Nino dan mencium pipi serta keningnya.

Kebiasan yang dilakukan Bertha kalau bertemu dengan anak-anaknya. Dan ia melakukan hal sama ke Alan, setelah itu mereka bertiga masuk ke dalam rumah.

"Mama senang kalian berdua datang bersama. Kalian mengobrolah dulu, Mama mau masak kesukaan Nino," ucapnya lalu ia berjalan ke arah dapur dan memanggil Mbah Ijah, pembantu rumahnya, untuk membantunya.

"Bunda selalu saja bersemangat dalam hal memasak," ujar Nino membuat Alan terkikik.

Mereka berdua duduk di ruang keluarga sambil menonton acara TV.

"Oh ya, Al, nanti kita bertiga ke rumah sebelah ya untuk menyapa tetangga baru kita?!" perintah Bertha dari arah dapur.

"Ada tetangga baru?" tanya Alan yang terkejut. Rumah sebelah yang dimaksud Bertha adalah rumah yang dulu ditempati Anna sebelum kepergiannya. Dan rumah itu dibiarkan kosong selama 16 Tahun akibat kejadian dulu. Alan mengernyitkan keningnya. "Memang masih bisa ditinggali, Ma? Bukannya rumahnya sudah hancur karena dibiarkan kosong begitu saja?"

"Rumahnya sudah bagus, Al. Kamu saja yang kalau datang tidak merhatiin. Sudah dua bulan yang lalu rumah itu direnovasi dan baru kemarin selesai," jawab Bertha.

"Al tidak merhatiin, Ma. Ya sudah nanti kita ke sana untuk melihat dan menyapa tetangga baru itu," sahut Alan.

(Acara TV yang bersuara)

"No, sudah baikkan dengan Sofie?" celetuk Alan bertanya sambil menatap layar TV.

"Sudah kok. Kemarin malam aku sudah meneleponnya. Dia minta maaf padaku duluan karena tidak memberinya kabar. Terus aku juga sudah minta maaf karena telah marah padanya tanpa penjelasannya," jawab Nino.

"Baguslah kalau begitu."

Selesai memasak dan meletakan semua sayur ke atas meja makan, Bertha berjalan menghampiri Alan. "Yuk Al, No, kita ke tetangga sebelah!" ajaknya. "Sekalian Mama mau mengundangnya makan siang bareng."

"Secepat itu, Ma?" tanya Alan.

"Ya, Bun, jangan dululah. Perkenalan dulu saja," sahut Nino.

"Sudah kalian diam saja. Tetangga baru kita itu adalah wanita yang sangat cantik. Siapa tahu kamu bisa dekat dengannya, Al," sahut Bertha melirik ke Alan.

"Ya ampun, Bun, kalau begitu Nino setuju deh," ucap Nino yang sangat mendukung bundanya kalau sudah menyangkut wanita untuk sahabatnya. Nino merangkul pundak Bertha dan mengajaknya jalan bersama meninggalkan Alan yang sudah geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya dan mamanya.

Sampai di rumah sebelah, Nino menekan bel sebanyak dua kali. Selang beberapa detik, dari dalam rumahnya terdengar suara wanita. "Tunggu sebentar!" Dan pintu pun terbuka.

Dan benar saja, saat pintu terbuka muncullah sosok wanita cantik yang kira-kira seumuran dengan Nino. "Ya, ada perlu apa?" tanya wanita itu.

Nino terpaku melihat wanita ini. "Kamu kan?" Nino mencoba mengingat-ngingat. Saat sudah mengingatnya, Nino langsung menyeletuk. "Ah, kamu wanita di Cafe itu!" Jari telunjuk Nino mengarah ke wanita di hadapannya. "Kalau aku tidak salah namamu adalah...," jeda Nino sebentar sambil mengingat kembali. "Anna kan?" tebaknya

Alan yang berada di belakang Nino terkejut dan langsung melirik ke wanita yang berdiri di luar pintu.

"Anna?" tanya Bertha yang ikut terkejut juga. Apakah dia adalah...? Bertha langsung menoleh ke puteranya, Alan.

....

TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience