11. Deja Vu

Romance Series 3852

"Hidup akan selalu membawa air mata, senyuman dan kenangan. Air mata akan mengering. Senyuman pun perlahan memudar. Namun, kenangan akan senantiasa tertanam."

****

ALAN POV

(Cerita saat Alan berpisah dari Sofie di Lift)

Aku bahagia mendengar bahwa Sofie akan datang berkunjung ke rumahku. Aku pun langsung menghubungi Mamaku bahwa besok aku akan berkunjung ke rumahnya bersama Sofie. Walaupun Mama sempat tertegun mendengarnya karena Sofie datang tanpa Nino, tapi aku berhasil menjelaskan bahwa Sofie datang untuk berkenalan, dan juga sebagai permintaan maafnya karena tidak datang waktu itu serta ucapan terima kasihnya untuk makanan yang dibawakan oleh Mamaku. Dan Mamaku hanya menjawab dengan satu kata, oh.

Malam harinya, saat aku sedang mengerjakan pekerjaanku, tiba-tiba aku teringat untuk memberikan alamat rumah Mamaku kepada Sofie. Aku pun mengambil ponsel di sebelahku dan mengetik pesan Line kepadanya.

Alan Morgan

Nih alamatnya ya, Fie. Jl. Kemuning 6 blok 4B nomor 18. Pintu warna putih."

Setelah terkirim dan kulihat dia sudah membacanya. Aku menunggu balasannya. Dan beberapa detik kemudian, balasan Line darinya muncul.

Sofie Deandro

Maaf, An, sepertinya kita harus menunda pertemuan kita.

Aku membuka lebar mataku membaca pesannya. Aku kecewa karena dia membatalkan janjinya. Karena keingintahuanku akan alasan kenapa Sofie membatalkan janjinya, aku pun meneleponnya melalui aplikasi Line.

Terdengar sapaan dari Sofie. "Halo?

Eh? Ada yang beda dari nada suaranya.

"Hai, Fie, apa aku mengganggumu?"

"Tidak."

Benar suaranya berbeda. Apa dia sedang mengalami sesuatu?

Aku tidak mendengar suara lagi untuk beberapa detik. Aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya dan memastikan bahwa dirinya dalam keadaan baik.

"Kamu tidak apa-apa kan, Fie?" tanyaku.

"Aku baik-baik saja."

Tidak mungkin baik-baik saja tapi suaranya seperti orang habis menangis. Aku tahu dia pasti sedang mengalami masalah. Entah kenapa batinku mengatakan seperti itu.

"Ceritakanlah padaku jika kamu membutuhkan teman untuk berbagi, Fie. Aku siap mendengarkannya kalau kamu tidak bisa berbagi dengan Nino. Aku tahu kamu hanya berpura-pura kuat dan selalu ceria di depan aku dan Nino."

Dan setelah aku mengucapkan perkataanku, terdengar suara isakan dari Sofie. Dia menangis! Sekarang aku malah jadi bingung harus mengatakan apa kepadanya untuk menghiburnya. Akhirnya aku hanya terdiam dan membiarkannya menangis agar hatinya lega. Dari sebuah isakan menjadi luapan tangisan yang menjerit.

Aku ingin tahu kenapa Sofie menangis. Aku harus mencari tahu pelan-pelan walaupun itu aku harus melanggar batasanku terhadap hubungan Sofie dan Nino. Aku tidak akan membiarkan siapapun melukai Sofie.

Beberapa menit pun berlalu sampai aku tidak mendengar lagi suara tangisannya.

"Besok aku akan menjemputmu, Fie. Dan ceritakan semuanya kepadaku apa yang terjadi. Aku tahu kamu tidak mungkin mengatakannya pada Nino."

"Ya. Thanks, An."

Jangan bersedih, Fie. Karena itu membuatku terluka.

Aku mengakhiri panggilanku dengannya. Ya, besok aku akan mencari tahu semuanya meskipun aku harus memaksanya.

*****

Seorang anak lelaki menempelkan plester di kening seorang anak gadis yang terluka. Si anak lelaki tersebut mengobatinya dengan sangat pelan dan hati-hati takut si anak gadis itu merasa sakit.

Selesai mengobati, si anak lelaki berkata ke si anak perempuan, "Selesai. Lukamu pasti akan sembuh dengan cepat karena aku sudah mengobatinya."

"Maacih, ....," ucap manja si anak gadis sambil tersenyum.

Si anak lelaki itu memeluknya untuk memberinya kekuataan kepada si anak gadis. "Aku akan selalu berada di sisimu, ..."

"Siapa kamu?" gumamku dalam tidur. "Kenapa kamu selalu muncul dalam mimpiku?" Aku menggeleng kepalaku untuk membuyarkan mimpiku.

Lalu tiba-tiba mimpi itu berganti menjadi mimpi yang lain.

"Ayo Na, kita pergi dari sini!" ajak seorang ibu-ibu paruh baya yang wajahnya tersamarkan.

"Kamu siapa? Siapa yang kamu panggil? Namaku Sofie," gumamku kembali. Lalu aku pun membuka mataku dan beranjak dari posisi tidurku menjadi duduk.

Seluruh tubuhku mengeluarkan keringat dingin, dan kepalaku kembali berdenyut dengan hebatnya. Bahkan rasa sakit ini lebih sakit dari kemarin-kemarin. Aku memegangi kepalaku sambil menahan rasa sakit yang tidak pernah hilang setelah mimpi tersebut.

Aku pun segera membuka laci nakas di sebelah ranjangku mencari obat sakit kepala yang biasa ku minum. Setelah kudapatkan, ku ambil gelasku yang berada di atas laci. Aku langsung mengambil dan meminum obat tersebut. Ku senderkan tubuhku sesaat di sisi ranjang dan kupejamkan mataku sambil menarik nafas panjang. Ada apa denganku sebenarnya? Siapa mereka semua? Dua pertanyaan yang keluar sendiri dalam benakku.

*****

Keesokan harinya karena aku bangun terlalu pagi diakibatkan tidak bisa tertidur lagi setelah mimpi itu, aku memilih bangun dan menyelesaikan semua tugas babuku. Setelah selesai, aku pun langsung bersiap diri karena hari ini aku jadi main ke rumah Alan. Aku sudah memberikan alamat lengkapku padanya lewat pesan Line. Dan tidak sampai satu jam, Alan sudah berada di pekarangan rumah.

Aku memeriksa kembali dandananku di cermin. Aku mengepang rambutku ke samping, menutupi semua luka dengan foundation, ya walau masih terlihat samar dan Alan juga pasti akan menyadarinya. Dan karena terburu-buru aku hanya memakai baju ala kadarnya, kaos dan celana panjang serta flatshoes.

Sesampainya di bawah, aku melihat Kanna sedang berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman. Aku mendengus sebentar, biang ribut sudah bangun! Supaya aku tidak ditanya macam-macam, lebih baik aku langsung mempercepat langkahku. Tapi sia-sia, sampai depan pintu, Kanna memanggilku.

"Woi, Upik!" panggilnya membuatku berhenti seketika. "Mau ke mana pagi-pagi? Kau sudah membuat sarapan untuk kita?" tanyanya.

Aku menoleh ke Kanna. "Sudah. Aku mau pergi sebentar." Aku membuka pintu dengan cepat, lalu meninggalkan Kanna yang sedang melihat makanan di atas meja makan.

Aku langsung menghampiri Alan dengan langkah cepat. "Hai, An!" sapaku sambil tersenyum.

"Hai!" sapa balik dari Alan.

"Yuk jalan!" ajakku memberi kode untuk cepat pergi dari sini. Dan sepertinya Alan mengerti.

Kami berdua langsung masuk ke dalam mobil dan Alan langsung menancap gas melaju mobilnya keluar pekarangan.

Tanpa ku ketahui ternyata Kanna sudah melihatku dengan Alan lewat jendela samping pintu. Dan dia pun mengeluarkan senyuman licik beserta rencana jahat di dalam benaknya.

*****

Mobil Alan memasuki pekarangan rumah Mamanya. Dan di sana telah berdiri seorang wanita yang lumayan berumur berdiri menyambut kedatangan mereka.

Sofie dan Alan pun keluar dari dalam mobil dan mereka berjalan menghampiri sang Mama.

Sampai di hadapan sang Mama, Alan mengenalkan Sofie ke Mamanya begitupun sebaliknya.

"Kenalkan Ma, ini Sofie. Dan Fie, ini Mamaku, Bertha."

"Pagi, Tante!" sapa Sofie tersenyum.

Bertha pun terpana melihat senyum Sofie. Entah kenapa Bertha merasa tidak asing dengan Sofie. Ia refleks memeluk Sofie membuat Sofie terkejut. Tapi, keterkejutannya berubah menjadi senyuman karena ia pun sangat merindukan pelukan hangat dari seorang ibu yang tak pernah ia dapatkan dari Mama angkatnya, Merry.

Alan hanya tersenyum melihat pemandangan tersebut. Ia senang mereka berdua langsung akrab satu sama lain. "Alan tidak dipeluk nih, Ma?" goda Alan ke Mamanya.

Bertha pun melepas pelukannya dari Sofie dan memicingkan matanya ke Alan. "Jangan bilang kamu cemburu sama Sofie?" goda balik Bertha ke puteranya.

"Apa sih, Ma." Bermaksud menggoda Mamanya, malah ia yang kena sendiri godaan dari Mamanya.

Sofie tertawa mendengarnya. Sofie merasa nyaman dengan kehangatan keluarga ini, padahal ia baru pertama kali datang.

Bertha pun langsung memeluk erat Alan, lalu mencium pipi dan kening puteranya. "Mama sangat merindukanmu." Ucapannya yang sudah menjadi hafalannya setiap anak lelakinya datang. "Yuk masuk!" ajak Bertha kepada Sofie.

"Ya, Tan." Sofie berjalan mengikuti Bertha disusul Alan di belakang dirinya.

Sampai di ruang tamu, Bertha menuju dapur menyiapkan minuman. Selesainya, ia membawa sebuah nampan berisi dua gelas minuman dan kue-kue kecil untuk Sofie. "Di minum ya, Nak Sofie."

"Ya, Tan. Seharusnya tidak perlu repot-repot," kata Sofie sambil membantu meletakkan gelas yang teruntuknya dan Alan.

Bertha duduk di sampingnya sambil menatap wajah Sofie. "Kamu cantik banget ya, Nak Sofie," puji Bertha. "Pantes saja anakku Nino, kepincut olehmu."

"Ah, Tan, bisa aja. Tante juga cantik kok," puji balik Sofie.

"Tapi kenapa wajahmu terluka?" tanya Bertha dan aku tertegun mendengarnya. Ku lirik ke Alan sekilas yang sedang menatapku.

"Ya itu adalah pertanyaanku juga, Fie. Kenapa dengan wajahmu? Kamu tidak pintar menyembunyikannya," tanya Alan.

Anak sama Ibu sama saja pekanya!

"Luka ini? Hem, aku terjatuh akibat kecerobohanku," jawab Sofie dengan berbohong.

Dan tentu saja kedua orang di hadapan Sofie tidak percaya. Bertha tidak akan memaksa Sofie bicara jujur, tapi lain hal dengan Alan.

Alan akan memaksa Sofie untuk bercerita. Baginya, ini pasti ada hubungannya dengan semalam dia menangis.

"Ya sudah, tante tinggal masak dulu. Hem, kamu mau makan apa, Nak Sofie?" tanya Bertha. "Tante akan masakkin buat kamu."

"Apa saja deh, Tan. Sofie tidak pemilih."

Bertha tersenyum, setelah itu ia menoleh ke Alan. "Al, obatin dia!" perintahnya sebelum ia pergi menuju arah dapur.

Alan pun mengangguk. "Yuk, Fie!" ajaknya yang sudah berdiri.

Sofie pun ikut berdiri. "Kita mau ke mana?"

"Kamarku. Aku akan mengobati lukamu di kamarku karena kotak obatnya ada di sana."

"Oh." Sofie pun mengikuti Alan dari belakang.

Sampai di dalam kamar Alan, Sofie tertegun dengan kamar Alan yang sangat rapi dan tidak berantakan layaknya kamar lelaki biasanya. Ia jadi membandingkan dengan kamar Kakaknya, Vino, yang sangat berantakan. "Kamarmu sangat rapi," ucap Sofie sambil memperhatikan isi kamar Alan.

"Tentu saja rapi." Alan terkikik. "Aku jarang tidur di sini. Setiap hari Mamaku pasti akan membereskan kamarku jika aku tidak ada." Alan berbicara sambil mencari kotak obat.

"Oh begitu. Mamamu sangat menyayangimu, tidak seperti Merry. Aku sangat iri." Tanpa sadar Sofie menyebut nama Mama angkatnya dan membandingkannya.

Setelah menemukan kotak obatnya, Alan mengambil dan membawanya. Ia menyuruh Sofie duduk di pinggir ranjang. Alan membuka kotak obatnya dan mengambil obat merah.

"Ini akan sedikit sakit, tapi kamu harus tahan," ucap Alan.

"Ya."

Alan pun perlahan mengolesi obat merah ke kening Sofie yang terluka serta meniupnya. Ia sangat pelan dan hati-hati mengolesinya karena takut Sofie merasa sakit.

Sofie hanya memandangi Alan yang sedang mengobatinya sambil menahan sakit akibat perih yang keluar dari sentuhan obat merah tersebut ke lukanya.

Setelah selesai mengolesi, Alan mengambil plester untuk menempelkannya ke luka tersebut. Kali ini pun Alan melakukannya dengan sangat perlahan dan hati-hati. Selesai mengobati, Alan berkata ke Sofie, "Selesai. Lukamu pasti akan sembuh dengan cepat karena aku sudah mengobatinya."

Perkataan Alan membuat Sofie teringat akan mimpinya semalam. Ucapan yang sama yang dilontarkan oleh anak lelaki dalam mimpinya, tapi sayangnya Sofie benar-benar tidak tahu siapa anak lelaki tersebut.

"Maacih.." Sofie bertingkah seperti anak kecil yang manja. Ia tersenyum ke Alan sambil mengucapkannya.

Dan kali ini, giliran Alan yang teringat akan wanita masa kecilnya. Cara pengucapan terima kasihnya Sofie mengingatkannya tentang Anna yang sampai sekarang ia tidak tahu keberadaannya. Alan membalas Sofie dengan sebuah senyuman juga.

"Jadi, Fie, bisa kamu ceritakan apa yang terjadi padamu mengenai luka-luka ini?" tanya Alan sambil merapikan dan menutup kotak obatnya.

Sofie pun memutar tubuhnya ke depan sambil menghela nafasnya. Ia memainkan jari-jari tangannya sambil bergumul dalam hatinya. Sepertinya aku sudah tidak bisa menghindar lagi dari Alan.

Dan suara Sofie mulai terdengar di telinga Alan. Ia mulai bercerita tentang jati dirinya yang sebagai anak adopsi; ia sebagai babu di rumahnya itu; dua saudara angkatnya yang tidak suka kepadanya dan selalu menghina dirinya; Papa Roger yang baik hati dan selalu membelanya dari amukan Merry; ingatan tentang masa kecilnya yang tidak diingatnya sama sekali; foto dirinya yang tidak ia ketahui dari dia kecil serta kejadian semalam yang menimpa dirinya sampai terluka.

Alan mendengarkan dengan seksama tanpa beralih dari pandangannya ke Sofie. Cerita Sofie pada bagian keluarganya berhasil membuat Alan mengepal kedua tangannya karena merasa kesal karena keluarganya tega melakukan kekerasan terhadap Sofie sampai begitu parah. Bagi Alan, hidup Sofie sangat kasihan dan hampir mirip dengan wanita masa kecilnya yang selalu disiksa oleh Ayah tirinya.

"Tidak ada yang menyayangiku selain Papaku, An. Aku merasa sendiri," lirih Sofie sambil terisak.

Melihat Sofie terisak, Alan refleks memeluk Sofie yang sudah mengeluarkan tangisan di bagian Sofie menceritakan kejadian waktu semalam.

Sambil memeluknya, Alan berkata kepada Sofie, "Aku akan selalu berada di sisimu, Fie. Jadi, jangan pernah merasa sendiri."

Perkataan Alan kembali lagi mengingatkan Sofie akan mimpinya. Yang anehnya, perkataan Alan ini seperti magic yang berhasil mengeluarkan kekuatan dan penghiburan untuknya. Dan juga pelukan dari Alan begitu hangat dan Sofie merasa sangat nyaman. Deja Vu kembali dirasakan Sofie. Ia seperti pernah dipeluk sebelumnya dengan rasa yang ia rasakan sekarang. Tapi, lagi-lagi Sofie menepisnya. Mungkin ini hanya perasaanku saja.

Tangisan Sofie mulai mereda. Kesedihannya seakan lenyap mengikut airmata yang keluar. Berkat Alan, ia berhasil mengeluarkan sisi lemahnya yang selama ini dipendamnya. Ia hanyalah wanita biasa yang juga membutuhkan sandaran dan tempat berkeluh kesah yang bisa ia lampiaskan. Dan saat ini, hanya Alanlah tempat ia mengadu dan melampiaskan semua kesedihannya.

Sofie memang mempunyai Nino, tapi entah kenapa ia tidak bisa menceritakan semuanya ke Nino seperti ia menceritakan semua ke Alan. Aneh bukan? Kalau ditanya alasannya apa, Sofie pun tidak bisa menjawabnya. Mungkin ini hanya masalah kenyamanan.

Akhirnya Alan mengetahui semua kehidupan Sofie. Alan pun berjanji kepada Sofie akan membantu apapun jika Sofie butuhkan. Ia juga berjanji tidak akan meninggalkan Sofie walaupun dirinya harus berperan sebagai status teman bagi Sofie. Baginya, itu sudah cukup.

"An..," panggil Sofie. "Kamu bilang akan membantuku apa sajakan?" tanyanya sambil menatap Alan.

"Ya, apa saja," jawab Alan.

"Bantu aku untuk menemukan orang tua kandungku," pinta Sofie.

Alan terhentak mendengarnya. "Tapi..,"

"Kamu kan sudah berjanji padaku, apa saja," sela Sofie.

Alan bukan mau menolak permintaan Sofie. Dengan kekayaan yang Alan punya, ia bisa saja menyuruh orang mencari informasi yang diminta Sofie. Namun yang menjadi keluhan Alan adalah faktanya. Jika faktanya ternyata orang tua Sofie itu masih hidup, itu adalah kabar bagus, tapi bagaimana kalau tidak? Bukankah itu malah akan menyakiti hati Sofie?

"Aku bisa saja membantumu, cuma..." Sebelum Alan melanjutkan ucapannya, Sofie menyela kembali.

"Jika yang kamu takutkan bahwa orangtua kandungku ternyata sudah mati, dan aku akan kecewa, itu salah. Justru malah bagus! Ternyata aku jadi tahu dan senang kalau kebenarannya mereka tidak membuangku." Ucapan Sofie ini terlontar begitu saja tanpa ia pikirkan lagi. Tidak tahu apakah benar kalau ia akan merasa senang? Atau malah kebalikannya, ia akan bersedih karena tidak bisa bertemu dengan mereka.

"Baik. Aku akan membantumu," ucap Alan dengan yakin.

Sofie tersenyum mendengarnya. "Thanks, An. Sekarang aku sudah menceritakan semua tentang diriku. Aku mau sekarang giliran kamu yang menceritakan tentang dirimu dan wanita masa lalumu."

....
TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience