7. Keterbukaan

Romance Series 3852

"Sampai kapanpun akan aku simpan bunga mawar ini di belakangku dan akan aku ulurkan tangan demi sebuah persahabatan"

******

SOFIE POV

Aku menatap Alan yang masih memperhatikan luka di sudut bibirku. "Aku..," Aku menyeret ucapanku sambil menepis tangan Alan. "Jangan beritahu Nino, An. Ini hanya luka kecil."

Alan terkejut dengan jawabanku. "Jadi Nino tidak tahu kamu terluka?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Apa aku boleh tahu kenapa kamu terluka?" tanya Alan.

Saat aku ingin menjawab, Nino sudah datang dan memotong percakapan kami. "Maaf nunggu lama."

Aku dan Alan menoleh dan langsung bersikap seperti biasa lagi.

"Yuk jalan!" ajakku. Dan kami semua masuk ke lift yang sudah terbuka.

Dalam lift, Nino bertanya kepada Alan. "Kita mau makan apa, Al?"

Dan Alan menjawab dengan bertanya balik. "Kalian mau makan apa?"

Aku langsung menjawabnya. "Aku ingin Nasi Goreng Seafoodnya Bu Asti sebelah kantor kita, bagaimana?" tanyaku.

"Bukankah lusa kemarin kamu habis makan nasi goreng spesial?" tanya Nino. "Kamu tidak bosan? Makan yang lain saja. Kan Alan yang traktir ini."

Aku menggeleng dan mengeluarkan cengiran ke Nino. "Nasi goreng adalah makanan favoritku. Lagipula nasi goreng kan banyak macam dan aku sudah mencobanya dari nasi goreng pete; nasi goreng kambing; nasi goreng biasa, lalu sekarang aku akan mencoba nasi goreng seafood. Yang belum adalah nasi goreng ikan asin. Mungkin berikutnya aku akan mencoba itu," jawabku dan kulihat mereka semua menatapku dengan tatapan terkejut.

Apa ada yang salah dengan makanan kesukaanku?

Alan dan Nino saling bertatapan. Lalu, Alan menoleh ke arahku kembali sambil menyeletukku. "Kamu suka pete?"

Aku mengangguk. "Pete bagus buat mencegah kencing manis."

Jawabanku membuat Alan dan Nino saling terkikik.

"Ku pikir wanita cantik sepertimu tidak akan menyentuh makanan itu?" Kali ini Nino yang berucap dengan nada seakan menyindirku.

"Lho memang kenapa kalau suka dengan pete? Tidak ada undang-undangnya jugakan, wanita cantik dilarang makan pete?" sindir ku balik sambil mengerucutkan bibirku.

Nino merangkul leherku. "Aku senang kamu tidak jaim. Apapun yang kamu suka, kamu harus katakan dan jangan diam-diam. Pokoknya semua kekurangan dan keburukanmu pasti akan aku terima, sekalipun kamu ngorok dalam tidur."

Mendengar Nino meledekku, ku cubit saja pinggangnya sampai dia memekik kesakitan. Sehabis itu, aku mengoceh ke Nino. "Ssshh apaan sih kamu! Kamu kali yang tukang ngorok?!" Aku menoleh ke Alan, "Benarkan, An?"

Namun, tidak ada respon dari Alan. Dia hanya diam dan membisu sambil menatap ke arahku.

"Hey, An....!" panggilku menggoyangkan tangannya. "Kamu melamun?"

Alan tersadar. "Eh, maaf. Tadi kamu bilang apa?" tanyanya kepadaku.

"Lupakan saja!" Aku menggembungkan pipiku karena tidak berhasil mendapatkan pembelaan dari Alan.

Nino terkikik melihatku sambil mengacak pelan rambutku.

Sesampainya di rumah makan dekat kantor, kami pun memulai acara makan siang sampai waktu menyudahi kami dan kami berpisah di depan lift.

Sebelum berpisah dengan Alan, dia memberikanku sebuah obat merah untukku yang aku sendiri tidak tahu kapan Alan membelinya. Itupun juga tanpa sepengetahuan Nino saat Alan memberikannya kepadaku. Alan memang teman terbaik yang pernah ku kenal.

******

Saat ini, aku dan Nino sedang dalam perjalanan menuju sebuah desa yang dipenuhi banyak sawah-sawah. Nino mengajakku liburan karena kesibukan kami yang sangat padat beberapa hari lalu. Sudah tiga hari berlalu, namun Nino benar-benar tidak mengetahui lukaku itu. Aku juga berencana tidak akan memberitahukannya. Biarlah dia tidak tahu. Begini lebih baik.

Tiga jam kemudian kami sampai tempat tujuan dan aku langsung terpana dengan pemandangan yang ku lihat sekarang. Udara yang sejuk, banyak pohon-pohon besar bertengger menutupi silaunya matahari. Sawah yang luas pun menampilkan tanaman padi yang masih menghijau.

Setelah mobil terparkir dan kami keluar dari dalam mobil, Nino langsung menggandeng tanganku untuk berjalan melintasi sawah-sawah.

"Aku sengaja membawamu ke sini karena memang aku lebih suka ke sini daripada ke mall," ujar Nino.

"Aku juga suka kok."

Nino membawaku duduk di bawah pohon yang rindang. Kami sama-sama menutup mata untuk merasakan angin sepoi-sepoi yang berhembus. Keheningan yang tercipta baru beberapa menit pun memudar karena tiba-tiba Nino mengeluarkan suaranya.

"Jadi sekarang, bisakan kamu menceritakan latar belakang kehidupanmu, Beb?" pintanya.

Aku langsung membuka kedua mataku dan menoleh ke Nino.

Nino juga menoleh ke diriku sambil tersenyum miring, menampilkan sebelah lesung pipinya yang dalam. Dia memegang tanganku dan menggenggamnya. "Kali ini aku akan memaksamu untuk menceritakannya kepadaku. Kamu tidak bisa menutupi ini terus selamanya padaku. Aku ingin kamu berbagi semua bebanmu padaku. Terbukalah denganku sekarang. Dengan begitu, aku jadi tahu harus melakukan apa ke depannya."

Jujur aku tidak mengerti maksud ucapan Nino, tapi memang benar kata Nino. Sampai kapan aku harus menutupi ini semua dari Nino? Lama kelamaan Nino pasti akan tahu. Aku menghela nafasku sebelum menjawab pertanyaan Nino.

"Aku adalah anak adopsi, No. Mereka mengadopsiku waktu aku berumur satu tahun. Aku tahu itu karena dua tahun lalu Merry, Mama angkatku yang kelepasan bicara. Ternyata aku bukanlah anak kandung mereka. Kak Vino adalah Kakak angkatku dan wanita yang menghinaku malam itu adalah Kanna, dia adalah Adik angkatku yang berbeda 2 Tahun di bawahku," ceritaku kepada Nino sambil menatap lurus ke depan.

Nino menatapku tanpa beralih.

"Apa kamu mengingat masa kecilmu?" tanyaku dan kulirik Nino menjawab dengan anggukan.

"Aku malah tidak banyak tahu tentang masa kecilku di keluarga itu. Aku sendiri pun pernah menanyakannya kenapa aku tidak bisa mengingatnya, tapi mereka bilang itu hanya pengaruh usia yang bertambah. Aneh memang, walau benar karena usia, setidaknya ada momen yang dingat walapun tidak banyak." Aku menarik nafasku. "Bahkan aku tidak punya foto masa kecilku."

"Kalau kamu benar diadopsi kenapa mereka tidak sayang padamu?" tanya Nino.

Aku mengedikkan bahuku. "Aku sendiri tidak tahu jawabannya. Di antara mereka semua, hanya Papa Roger yang menyayangiku dan membelaku saat aku dihina serta dicaci maki oleh mereka."

Nino berdehem sambil menopang dagu, "Lalu, luka di mulutmu itu, apa keluargamu yang melakukannya?"

Aku terhentak kaget dan langsung menoleh ke Nino. "Ternyata kamu tahu?"

"Sebenarnya aku tidak menyadarinya kalau bukan Alan yang memberitahukan kepadaku."

Sudah kuduga Alan pelakunya!

Lanjut Nino, "Alan bilang, dia khawatir terhadapmu dan menyuruhku mencari tahu keadaan di sekitarmu." Nino mengusap sudut bibirku yang sudah memudar lukanya. "Maap aku tidak menyadarinya."

"Tidak apa-apa." Aku tersenyum ke Nino. Sepertinya aku harus berterima kasih pada Alan.

Nino memegang daguku, "Aku akan mengatur waktu untuk mengenalkanmu ke kedua orang tuaku. Aku mau cepat-cepat membawamu keluar dari rumah itu."

Aku mengangguk. Hatiku merasa bahagia mendengar ucapan Nino. "Terima kasih, No." Aku memeluk Nino untuk sesaat, menaruh kepalaku menyender di bidang dada Nino. Aku sedikit menengadah ke Nino, "Memang orang tuamu ada di Indonesia?"

Nino merangkul bahuku. "Tidak sih, tapi bulan depan mereka mungkin balik ke Indonesia saat aku berulang tahun"

Sela ku bertanya, "Kapan kamu ulang tahun?"

"Cari tahu sendiri." Nino menekan pelan pangkal hidungku.

Aku pun mendengus sambil mengerucutkan bibirku. "Pelit!"

Nino mencium puncak kepalaku. "Aku menyayangimu, Sof."

"Aku juga." Tanpa sadar aku telah membalas perkataannya. Benarkah aku sudah mempunyai rasa ke Nino?

Sebelum pulang, kami berfoto dulu meninggalkan kenangan di tempat ini dan Nino juga memberikan sebuah ciuman lembut di bibirku.

*****

Keesokkan harinya dan seterusnya dengan rutinitas yang sama, pergi bekerja, lalu meeting dan makan siang bersama Alan. Tidak terasa hubunganku dengan Nino sudah berjalan satu bulan lebih dan itu berarti hubungan pertemananku dengan Alan pun tidak beda jauh. Aku bahagia karena hubunganku dengan mereka semua lancar-lancar tanpa ada masalah.

"Kira-kira hari ini Alan akan membawa kita makan apa ya, No?" tanyaku pada Nino yang sedang bergelut pada komputernya.

Nino tidak menjawabku. Keningnya dari tadi dikerutkan menatap laporan dalam layar komputernya.

"Apa ada masalah, No?" tanyaku kembali.

Nino melirikku sekilas. "Sof, bisa kamu bawakan dokumen-dokumen lama di gudang lantai bawah. Kamu coba tanya sama Silvia ruangannya!" perintah Nino.

"Oke, tapi kalau boleh tahu, ada masalah apa?"

Nino menghela nafas, "Ada yang berusaha menggelapkan dana perusahaan. Aku baru menyadarinya dari laporan keuangan tahun lalu."

"Apa?" kejutku. "Baik, aku akan segera ke lantai bawah." Tanpa bertanya lagi, aku langsung bergegas melaksanakan perintah Nino dan menuju ke lantai bawah.

Setelah aku mendapatkan berkas-berkas yang dibutuhkan Nino dalam satu dus, aku berjalan dengan hati-hati karena takut dus yang kupegang jatuh karena sangat berat. Saat sedang berjalan, aku melihat pintu lift mau tertutup. Mau tidak mau aku segera berlari mengejar pintu yang mau merapat itu. Setelah sampai, tangan satuku kumasukan membuat pintu terbuka kembali.

"Sofie? Kenapa berlari?" tanya lelaki di dalam lift.

Aku mengatur nafas ku yang tersengal karena dus yang kubawa ini sangat berat. Aku tertegun melihat lelaki di dalam lift yang ternyata aku mengenalnya. Alan?

"Sini ku bantu bawa!" tawar Alan membantuku.

Dia pasti melihat aku kesusahan membawa, ditambah hak dari sepatuku yang lumayan tinggi membuatku susah berjalan apalagi berlari.

Pintu lift tertutup kembali dan mulai naik ke setiap lantai.

Alan meletakkan paperbag yang dibawanya dan mengambil alih dus dari tanganku. "Kamu bantu aku bawa itu saja," ujarnya sambil memajukan dagunya memberi kode ke paperbag.

"Thanks, An." Aku mengambil paperbag yang dia maksud. Karena tercium aroma yang menggiurkan membuatku penasaran, aku merogoh ke dalam paperbag. "Apa ini?" tanyaku kepadanya.

"Makanan. Mamaku membuatkan bekal untuk makan siang kita," jawabnya. Lanjut Alan, "Jadi hari ini kita akan makan siang di ruangan saja. Gapapa kan?" tanyanya.

Aku mendongak ke arahnya dan tersenyum kepadanya. "Tentu saja. Aku sangat suka makanan rumah. Daripada makan di luar, itu tidak higienis," jawabku. "Aku jadi ingin bertemu dengan Mamamu, An. Maaf ya kemarin aku tidak bisa karena ada urusan," ujarku menampilkan mimik muka kecewa.

Kemarin Nino mengajakku ke rumah Alan untuk dikenalkan dengan bundanya, atau mama dari Alan. Tapi, sayangnya aku tidak bisa ikut karena aku harus membuatkan makan malam untuk si Induk Serigala.

"Santai, Fie. Kan masih banyak waktu," sahutnya.

"Benar juga."

Ting! Tanda lift sudah berada di lantai 7. Pintu lift pun terbuka  pan kami berdua keluar bersama.

"Ini apaan, Fie?" tanya Alan.

"Berkas dokumen yang akan dicek ulang semua karena ada penggelapan dana dan baru ketahuan sekarang," jawabku.

"Apa?" Alan terkejut mendengarnya. "Siapa yang berani menggelapkan dana di perusahaan ini? Orang itu punya nyali besar sekali." Perkataan Alan membuatku terkikik.

Alan mengerutkan keningnya. "Ada yang lucu dengan ucapanku?"

"Tidak," tepisku. Entah kenapa aku merasa Alan begitu lucu saat mengatakannya.

Sampai di depan pintu ruangan Nino, aku langsung membuka pintu tanpa mengetuknya dulu, lalu masuk ke dalam bersama Alan. Aku melihat Nino dengan kacamatanya sedang ditemani dokumen-dokumen di mejanya.

"Sibuk, Bro?" tanya Alan.

Nino melirik kami. Dia melepas kacamatanya dan memijit pelipisnya. "Kau bisa lihat sendirikan?" jawabnya.

Nino beranjak dari kursinya dan berjalan pindah ke sofa ruangan. Alan menyusul duduk setelah dia meletakkan dus yang dipegangnya ke lantai.

"Ini An yang bawa, katanya dari Mamanya untuk kita makan," ujarku sambil meletakkan paperbag di meja dan duduk di sebelah Nino.

"Oh ya?" Nino sangat senang mendengar bahwa yang memasak makanan adalah Mama Alan. Dan dia langsung mengeluarkan isi di dalamnya. Dia membuka satu persatu tempat makan yang berisi bermacam-macam sayur dan lauk pauk.

"Ayo kita makan!" seru Alan dan mulai mengambil nasi dan lauk.

Saat kami makan dan berbincang masalah yang sedang dihadapi Nino tentang penggelapan dana yang tadi aku beritahukan, tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sosok wanita cantik berambut panjang.

Kami semua menoleh ke arah pintu dengan makanan di mulut kami.

"Kanna?" panggil aku dan Nino secara bersamaan ke wanita itu.

Ngapain Kanna ke kantorku? Mana tidak sopan lagi tidak mengetuk dulu.

"Hai semua! Maaf aku mengganggu," ucap Kanna. Setelah dia masuk dengan lancangnya, dari arah belakang dirinya  menyusul masuk seorang wanita cantik lagi.

"Hai, No!" Wanita itu tersenyum ke Nino.

"Caroline?" Nino terkejut melihatnya.

Kali ini Alan tidak terkejut dengan wanita di belakang Kanna yang menyusul masuk, karena ternyata Alan juga mengenalnya bahkan sangat mengenalnya.

Aku menoleh ke Nino. "Kamu mengenalnya, No?"

Nino mengangguk. "Dia mantan pacarku, sekaligus cinta pertamaku."

.......
TBC

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience