Serangan di Hutan

Action Series 708

Bab 19 : Serangan di Hutan

Langit di atas hutan berubah kelam, seakan mendung yang berat bersekongkol untuk menutupi cahaya bulan. Seraphina berdiri di tepi pohon-pohon tua, pandangannya menyapu hutan yang tampak seperti labirin gelap tanpa ujung. Udara dingin menyelinap melalui celah-celah pepohonan, membawa bisikan samar yang terdengar seperti nyanyian kuno—atau mungkin, peringatan.

Ia mengeratkan jubahnya, tampak gugup seiring langkah kecilnya menembus belukar. Di sinilah semuanya dimulai. Tempat di mana ia pertama kali tiba di dunia Avalon yang aneh ini. Tempat di mana misteri itu bermula.

Dedaunan di atas kepalanya bergemerisik pelan, tapi terasa seperti ratusan mata mencintainya dari kegelapan. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga liat yang hampir layu, menciptakan perpaduan yang menusuk hidung dan mengingatkan Seraphina pada malam-malam penuh rahasia di istana.

Tiba-tiba, ranting patah di kejauhan. Seraphina berhenti, tubuhnya menegang. Ia menahan napas, telinganya menangkap seperti suara kecil. Angin berdesir, membawa bunyi langkah-langkah berat yang semakin mendekat.

“Siapa di sana?” suaranya bergetar.

Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang mencekam, sebelum suara itu muncul lagi—lebih dekat, lebih berat. Seraphina mundur selangkah, kakinya menginjak ranting yang rapuh, mematahkan keheningan malam.

Dari balik kegelapan, sosok-sosok bayangan mulai bermunculan. Mata mereka berkilauan merah seperti bara api kecil, tubuh mereka hampir menyatu dengan kegelapan. Mereka bukan manusia, itu jelas. Mereka adalah makhluk-makhluk bayangan, seperti dongeng kelam yang hidup di balik mimpi buruk.

Seraphina berlari. Jubahnya tersangkut di semak berduri, tetapi ia menariknya dengan paksa, tak peduli dengan robekan yang terbentuk. Napasnya memburu, tubuhnya menabrak ranting dan batang pohon, tetapi ia tak berhenti.

Langkah-langkah bayangan itu semakin dekat, jejak mereka berat tapi gesit, seperti serigala yang memburu mangsa. Seraphina menoleh, matanya menangkap kilatan tajam dari sosok yang memimpin di depan—lebih besar, lebih ganas dari yang lain.

“Aku harus menemukan jalan keluar,” desisnya. Namun hutan itu seperti bermain dengannya, berputar-putar tanpa ujung.

Tiba-tiba, tanah di bawah kakinya berguncang. Seraphina terjatuh, tubuhnya terhempas ke tanah yang dingin. Ia berusaha bangkit, tetapi salah satu bayangan telah melompat, mencengkram lengannya dengan cakar tajam.

Seraphina menjerit, meronta sekuat tenaga. Namun cengkraman itu terlalu kuat, menariknya lebih dalam ke kegelapan. Mata makhluk itu berkilat penuh kebencian, mulutnya menyeringai dengan gigi tajam yang siap menelan dunia.

“Seseorang, tolong aku!”

Saat itu juga, cahaya terang memancar dari arah berlawanan. Panas dan menusuk, seperti sinar matahari yang tiba-tiba meledak di tengah malam. Makhluk-makhluk bayangan itu meraung, mundur dengan kepulan asap hitam dari tubuh mereka. Seraphina terbatuk, pandangannya kabur oleh air mata dan debu.

“Seraphina!” Suara yang dalam dan perintah memecah keheningan.

Ia menoleh dan melihat sosok tinggi dengan jubah gelap, pedang berkilauan di tangan. Adrian. Wajahnya serius, matanya menatap tajam ke arah makhluk-makhluk yang masih mengintai di kegelapan.

“Jangan bergerak. Aku akan mengurus mereka,” katanya.

Serap hina merasakan detak jantungnya melambat, kehadirannya membawa rasa aman yang mendadak. Namun ketegangan belum hilang sepenuhnya.

Adrian mengayunkan pedangnya, cahaya dari bilah pedang itu membelah kegelapan seperti petir. Satu demi satu, makhluk-makhluk bayangan itu menghilang, meninggalkan kepulan asap yang lenyap di udara.

Namun sebelum yang terakhir musnah, ia sempat berbicara, “Ini belum berakhir, Seraphina. Sang kegelapan akan segera datang.”

Kata-katanya terhenti saat tubuhnya lenyap, menyisakan aroma belerang yang tajam.

Adrian berbalik, menatap Seraphina yang masih terjatuh di tanah. “Kau baik-baik saja?”

Seraphina mengangguk lemah, tetapi matanya tetap tertuju ke arah tempat makhluk itu menghilang. Perasaan tak nyaman menguasai hatinya, seolah ada sesuatu yang lebih besar menunggu di balik kegelapan hutan itu.

**

Adrian baru saja menurunkan pedangnya ketika suara gemeretak kembali terdengar di antara pepohonan. Bayang-bayang di sekitar mereka bergolak seperti kabut hitam yang hidup, mengerumuni hutan dengan kecepatan yang tidak wajar.

“Yang Mulia, mereka kembali,” Seraphina berbisik, matanya membulat, tubuhnya mematung dalam ketakutan yang hampir melumpuhkan.

Adrian menggeram pelan, berdiri di depan Seraphina dengan postur siap bertarung. “Tetap di belakangku. Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan pandangan dariku.”

Cahaya dari pedang Adrian kembali menyala, memotong kegelapan seperti suar kecil yang penuh harapan. Namun kali ini, makhluk-makhluk bayangan itu tampak lebih banyak, lebih berbahaya. Mereka bergerak dalam formasi yang nyaris sempurna, seperti tentara bayangan yang terlatih.

Angin mendadak berhenti. Hutan menjadi sunyi, mencekam. Seakan-akan dunia sedang menahan napas.

“Kita tidak bisa melawan mereka di sini,” gumam Adrian. “Mereka terlalu banyak. Kita harus keluar dari hutan ini.”

Seraphina mematuhinya, tetapi langkah dia tertahan oleh rasa takut yang menyelimuti tubuhnya. “Ke mana kita harus pergi? Hutan ini seperti labirin.”

Adrian menoleh, menatap Seraphina dengan mata yang penuh tekad. “Percayalah padaku. Ikuti aku, dan jangan berhenti, apa pun yang terjadi.”

Tanpa menunggu jawaban, Adrian menggenggam tangannya dan menariknya berlari menembus rimbunan dedaun. Cabang-cabang pohon mencakar kulit mereka, tetapi mereka terus maju. Di belakang mereka, suara langkah kaki makhluk-makhluk bayangan terdengar semakin keras, menggema di antara pepohonan seperti drum perang.

“Mereka tak pernah lelah mengejar kita ya?” Seraphina tersengal, kakinya hampir terkilir saat melompati akar pohon yang mencuat dari tanah.

Saat mereka mencapai area yang lebih terbuka, tanah di bawah kaki mereka mendadak bergetar. Seraphina tersandung, hampir terjatuh jika Adrian tak segera menangkapnya.

“Seraphina!” Adrian mendekapnya erat. “Kau baik-baik saja?”

“Ya, aku bisa berdiri,” jawabnya, mencoba menenangkan napasnya. Namun, pandangannya langsung teralihkan ke depan. Dari balik bayangan pepohonan, makhluk terbesar dari kelompok itu muncul.

Tinggi, dengan tubuh yang hampir transparan dan mata merah yang menyala seperti bara api. Cakar-cakarnya panjang dan tajam, cukup untuk merobek batu sekalipun. Makhluk itu melangkah pelan, tetapi setiap langkahnya terasa seperti palu yang menghantam tanah.

“Sang Penjaga Bayangan,” bisik Adrian.

“Apa maksud Yang Mulia?” Seraphina menatap Adrian, panik.

“Legenda kuno menyebutkan makhluk ini sebagai pelindung rahasia kegelapan. Ia tak pernah muncul kecuali jika seseorang mendekati sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi.”

Seraphina teringat petunjuk yang ia cari di hutan ini, sebuah rahasia yang mungkin bisa menjawab segala pertanyaannya tentang masa lalu ibunya. “Apakah makhluk itu muncul karena aku terlalu dekat dengan kebenaran?” pikirnya.

Adrian mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. “Kita harus menghentikannya. Jika tidak, kita tidak akan pernah keluar dari sini hidup-hidup.”

Sernaphina mundur selangkah, tubuhnya gemetar. “Bagaimana caranya? Makhluk itu terlalu kuat.”

“Percayalah padaku. Tetap di sini. Aku akan mengalihkan perhatiannya.”

“Yang Mulia, tunggu! Jangan!”

Namun Adrian telah melompat maju, pedangnya bersinar terang di tengah kegelapan. Seraphina hanya bisa menatap saat pertarungan sengit terjadi di depannya. Suara dentingan logam dan raungan makhluk itu memenuhi udara, menciptakan simfoni mengerikan yang bergema di seluruh hutan.

Share this novel

Guest User
 

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience