Kehidupan SMA menurutku adalah kehidupan yang paling indah, walaupun banyak drama, tapi menurutku itu adalah sesuatu yang mewarnai kehidupan di SMA tersebut. Oh ya, aku sekolah di SMA International De Mariowell, ya nama sekolah yang unik untuk digunakan di Indonesia. SMA dimana aku bersekolah sekarang diakui sebagai salah satu sekolah yang di segani, apa tidak, SMA ku merupakan SMA termahal, tidak hanya mahal, SMA ku juga di penuhi anak-anak pintar, bahkan kalau bisa di bilang genius, dan tidak hanya menang di mahal dan academic nya saja, unacademic seperti basket, sepak bola dan arts juga tidak kalah saing dengan sekolah-sekolah yang lain, yang penting BEST mungkin satu kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan sekolah ku. Eits, tapi tunggu dulu, bukan bearti aku kaya, aku hanya seorang gadis yang sangat beruntung bisa masuk sekolah ini dengan beasiswa penuh karna nilai ku yang bisa dibilang cukup tinggi, atau bisa dibilang mendekati sempurna. Tapi sayangnya aku lemah di unacademic seperti olahraga, yup, tuhan emang adil, tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Tidak terasa sudah mau naik ke kelas tiga, dan bentar lagi kuliah, siap itu kerja, menikah, berkeluarga, dan ah, apasih yang kupikirkan, jelas masih lama, yang harus kupikirkan adalah bagaimana aku bisa mengajari anak-anak kelas tiga, padahal aku masih kelas dua. Yup, walaupun sekolah SMA, tetapi program study sekolah kami sudah mengikuti program-program universitas agar kami sudah terbiasa nanti pada saat menghadapi kehidupan universitas, ya kata orang sih emang beda jauh banget dan ini juga membuat salah satu alasan kenapa sekolah ini banyak peminatnya. “Lyn..” puk, tiba-tiba suara pak Handoko memecah lamunanku, “Gimana? Udah siap belum? Bapak sebentar lagi ada urusan untuk mengurusi lomba akuntansi seantar SMA, jadi kamu gantiin bapak ya” kata pak Handoko sambil senyum. Ya, pak Handoko adalah guru lama di sekolah ini, beliau sudah mengajar di sekolah ini selama 10 tahun dan sudah di angkat menjadi senior dikalangan guru-guru yang ada. Umurnya yang hamper menginjak 50 tahun dan masih memiliki otak yang tajam, dengan badan yang atletis dan tinggi membuat banyak guru dan murid mengaguminya.
“Eh bapak, ia sudah siap, tapi apa gak salah pak saya yang megajari mereka?” tanyaku ragu. “Hmm? Emangnya kenapa?” tanya pak Handoko sambil mengangkat kedua alis tebalnya itu. “ya kan saya baru kelas dua yang mau menginjak kelas tiga pak, sedangkan mereka sudah mau tamat, masa ia saya yang mengajari mereka” jelas ku mencoba untuk menyadarkan pak Handoko “nanti kalau saya dibully gimana pak” tambahku yang tiba-tiba saja keluar. Astaga kok aku bisa pulak bilang begitu, aduh, tapi emang bener sih, mana ada junior yang pede mengajari seniornya, yang ada kebalik keles. “Oh gak apa apa, kalau bapak gak yakin, napain bapak milih kamu, sudah tenang aja, nanti kalau ada yang jahili kamu, kamu bilang aja ke bapak ya” kata pak Handoko dengan senyum manisnya. “baiklah pak" jawabku sambil masih belum yakin. “Baiklah, bapak pergi dulu ya, kamu juga,udah harus bergegas ke kelas, udah mau mulai itu kelasnya, Good Luck!!” sambil keluar dari ruang guru.
Astaga gimana ini aku belum siap sebenarnya, tapi kenapa ya, materi sudah ku kuasai, apalagi yang ku takuti? Ya pasti itu, aku takut di bully, astaga tuhan, baru kali ini aku dapat tugas untuk mengajari senior. Setelah beberapa saat menenangkan diriku, aku pun menarik napas pelan-pelan dan menghembuskannya. “Yup, let do this!” kataku dengan semangat. Sesampainya di depan pintu kelas, jantungku sangat berdebar-debar, tapi aku heran, kenapa kelasnya sunyi banget, gorden jendelanya juga di tutup, aduh aku jadi gak bisa lihat, ini betulkan kelasnya, ya sudahlah, dengan memberanikan diriku untuk memasuki kelas itu, aku pun memegang gagang pintu yang tidak tertutup sangat rapat itu dan membukanya, dan tiba-tiba
“BUUUUUSSSSHHHHH”
======================================================To be continued.
Share this novel