Series
28
"Aku harus menghentikan suara ini," jawab Rio dengan nada serius yang membuat bulu kuduk Anya meremang. "Aku harus melindungimu, Anya. Suara itu... suara itu mencoba mengambilmu."
Anya menggelengkan kepalanya dengan panik, air mata mulai membasahi pipinya. "Jangan lakukan itu, Rio! Jangan korbankan dirimu untukku! Aku tidak mau kau terluka!"
"Aku tidak punya pilihan lain," balas Rio, suaranya bergetar namun penuh tekad. "Suara itu akan menghancurkanmu jika aku tidak melakukan sesuatu. Aku bisa merasakannya, Anya. Itu menarikmu ke dalam kegelapan, dan aku tidak akan membiarkannya."
Rio mengangkat pisau yang ia temukan di antara puing-puing pesawat—sebilah pisau kecil dengan gagang kayu yang sudah usang—tinggi-tinggi. Cahaya redup dari api unggun yang menyala di luar gua memantul pada bilah tajamnya, menciptakan kilauan yang menakutkan. Ia mengarahkannya ke lengannya sendiri, tepat di atas pergelangan tangan.
Anya berteriak histeris, mencoba merebut pisau itu dari tangan Rio. "Tidak! Rio, kumohon! Jangan lakukan ini! Ada cara lain, pasti ada!"
Namun, Rio terlalu kuat. Ia memegang pisau itu dengan erat, tatapannya terkunci pada mata Anya. "Percayalah padaku, Anya. Ini satu-satunya cara."
"Selamat tinggal, Anya," bisik Rio, air mata mengalir di pipinya. "Aku... aku senang bertemu denganmu. Kau adalah cahaya di tengah kegelapan hidupku. Jangan pernah lupakan aku."
Rio memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, dan menggoreskan pisau itu ke lengannya. Rasa sakit yang luar biasa menyengat kulitnya, namun ia tidak bergeming. Ia tahu bahwa ia harus melakukan ini, demi Anya.
Darah segar memancar deras dari luka itu, menetes ke tanah gua yang dingin. Anya menjerit dan memeluk Rio dengan erat, mencoba menghentikan pendarahan itu dengan tangannya.
Tiba-tiba, suara bisikan di dalam gua berhenti. Gambaran-gambaran mengerikan di benak Anya menghilang seketika. Ia merasa seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang dan mengerikan. Kepalanya terasa kosong, namun lega.
"Rio! Apa yang kau lakukan? Ya Tuhan, Rio!" tanya Anya panik, memeriksa luka di lengan Rio dengan cemas. Darah terus mengalir, membasahi pakaian mereka.
"Aku... aku tidak tahu," jawab Rio dengan bingung, suaranya melemah. Ia merasa pusing dan lemas. "Aku hanya... aku hanya ingin melindungimu."
Anya merobek sepotong kain dari bajunya dan mengikatkannya erat-erat di sekitar lengan Rio, mencoba menghentikan pendarahan. "Kita harus menghentikan pendarahan ini," katanya dengan nada panik. "Kita harus keluar dari sini dan mencari bantuan."
Rio menggelengkan kepalanya lemah. "Tidak... tidak ada waktu. Aku... aku merasa sangat lemah."
Anya menatap Rio dengan air mata yang terus mengalir. Ia tahu bahwa Rio sedang sekarat. Ia tidak bisa membiarkannya mati.
"Jangan bicara seperti itu, Rio! Kau akan baik-baik saja! Aku akan menyelamatkanmu!" seru Anya, mencoba memberikan semangat pada Rio dan dirinya sendiri.
Anya membantu Rio berbaring di tanah gua yang dingin. Ia memeluknya erat-erat, mencoba memberikan kehangatan pada tubuhnya yang menggigil.
"Anya," bisik Rio, suaranya hampir tidak terdengar. "Dengarkan aku. Ada sesuatu yang harus kau tahu."
Anya mendekatkan telinganya ke mulut Rio, mendengarkan dengan seksama.
"Hutan ini... hutan ini tidak seperti yang kita kira," kata Rio. "Ada kekuatan jahat yang bersemayam di sini. Kekuatan itu yang menyebabkan kecelakaan pesawat ini. Kekuatan itu yang mencoba mengambilmu."
Anya merasa merinding mendengar kata-kata Rio. Ia tidak tahu apa yang harus ia percayai. Apakah Rio sedang berhalusinasi karena kehilangan banyak darah, ataukah ada kebenaran yang mengerikan di balik kata-katanya?
"Kau harus pergi dari sini, Anya," lanjut Rio. "Kau harus menemukan jalan keluar dari hutan ini dan memperingatkan orang lain. Jangan biarkan kekuatan jahat ini menyebar."
"Tapi bagaimana denganmu, Rio?" tanya Anya. "Aku tidak bisa meninggalkanmu."
Rio tersenyum lemah. "Aku sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Tapi kau masih punya kesempatan. Jangan sia-siakan kesempatan itu."
Rio meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat-erat. "Janji padaku, Anya. Janji padaku bahwa kau akan selamat. Janji padaku bahwa kau akan memperingatkan orang lain."
Anya menatap mata Rio yang semakin redup. Ia melihat ketulusan dan harapan di sana. Ia tahu bahwa ia harus memenuhi permintaan terakhir Rio.
"Aku janji, Rio," bisik Anya, air mata terus mengalir membasahi pipinya. "Aku janji aku akan selamat. Aku janji aku akan memperingatkan orang lain."
Rio tersenyum puas. "Terima kasih, Anya. Aku tahu kau akan melakukannya."
Rio menarik napas terakhir dan memejamkan matanya. Genggaman tangannya pada tangan Anya melemah, lalu terlepas sepenuhnya.
Anya menangis tersedu-sedu, memeluk tubuh Rio yang sudah tidak bernyawa. Ia merasa hancur dan kehilangan. Pria yang baru saja ia cintai telah pergi meninggalkannya, mengorbankan dirinya untuk menyelamatkannya.
Setelah beberapa saat, Anya akhirnya berhasil mengendalikan emosinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berlarut-larut dalam kesedihan. Ia harus memenuhi janji yang telah ia berikan kepada Rio. Ia harus selamat dan memperingatkan orang lain tentang bahaya yang mengintai di hutan ini.
Anya mencium kening Rio dengan lembut, mengucapkan selamat tinggal terakhir kalinya. Kemudian, ia bangkit berdiri dan melangkah keluar dari gua.
Hutan itu tampak lebih gelap dan menakutkan dari sebelumnya. Suara-suara aneh terdengar lebih jelas dan mengancam. Anya merasa seperti sedang diawasi oleh sesuatu yang jahat.
Namun, ia tidak gentar. Ia tahu bahwa Rio selalu bersamanya, memberikan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi segala rintangan.
Anya berjalan menyusuri hutan, mengikuti jejak kaki yang besar dan dalam yang telah mereka temukan sebelumnya. Ia berharap jejak itu akan membawanya keluar dari hutan ini, atau setidaknya membawanya ke tempat yang aman.
Saat ia berjalan, ia terus memikirkan kata-kata Rio tentang kekuatan jahat yang bersemayam di hutan ini. Ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dan tidak wajar tentang hutan ini. Pohon-pohon tampak seperti memiliki mata yang mengawasi setiap gerakannya. Suara-suara binatang terdengar seperti bisikan-bisikan yang mencoba menyesatkannya.
Anya merasa seperti sedang berada di dalam mimpi buruk yang tidak berujung. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang ia tahu, ia harus terus berjalan dan tidak menyerah.
Tiba-tiba, ia melihat cahaya di kejauhan. Cahaya itu tampak seperti api unggun yang menyala di tengah kegelapan hutan. Anya merasa harapan kembali membara di dalam hatinya. Mungkin, di sana ia bisa menemukan bantuan atau tempat berlindung.
Dengan langkah yang semakin cepat, Anya berjalan menuju cahaya itu. Semakin dekat ia mendekat, semakin jelas ia melihat bahwa cahaya itu berasal dari sebuah perkampungan kecil yang terletak di tengah hutan.
Anya merasa lega dan bersyukur. Ia telah menemukan tempat yang aman. Namun, saat ia semakin mendekat ke perkampungan itu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Perkampungan itu tampak sunyi dan sepi. Tidak ada suara manusia atau binatang yang terdengar. Hanya ada cahaya api unggun yang menari-nari di tengah kegelapan.
Anya merasa curiga. Ia tidak yakin apakah perkampungan itu benar-benar aman. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi di sana.
Dengan hati-hati, Anya memasuki perkampungan itu. Ia melihat rumah-rumah kayu yang tampak usang dan tidak terawat. Di tengah perkampungan, terdapat sebuah lapangan terbuka dengan api unggun yang menyala di tengahnya. Di sekitar api unggun, terdapat beberapa orang yang duduk diam tanpa bergerak.
Anya mendekati orang-orang itu dengan hati-hati. Ia melihat bahwa mereka semua mengenakan pakaian tradisional yang aneh dan wajah mereka ditutupi dengan cat berwarna-warni. Mereka tampak seperti sedang melakukan ritual atau upacara adat.
Anya mencoba menyapa mereka, namun tidak ada yang menjawab. Mereka semua tetap duduk diam tanpa bergerak, seolah-olah mereka tidak melihat atau mendengar kehadirannya.
Anya merasa semakin aneh dan tidak nyaman. Ia ingin segera pergi dari tempat itu, namun ia merasa penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Tiba-tiba, salah seorang dari orang-orang itu berdiri dan menatap Anya dengan tatapan yang kosong dan mengerikan. Orang itu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah Anya.
Kemudian, orang-orang lainnya juga ikut berdiri dan menatap Anya dengan tatapan yang sama. Mereka semua mulai bergerak mendekati Anya, mengelilinginya dari segala arah.
Anya merasa ketakutan. Ia tahu bahwa ia berada dalam bahaya. Ia harus segera melarikan diri dari tempat itu.
Namun, sebelum ia sempat bergerak, orang-orang itu mulai mengucapkan mantra-mantra aneh dengan suara yang serempak dan mengerikan. Anya merasa seperti ada kekuatan gaib yang menariknya ke dalam lingkaran itu. Ia tidak bisa bergerak atau berteriak.
Saat itulah, Anya menyadari bahwa ia telah masuk ke dalam perangkap. Ia telah masuk ke dalam perkampungan orang-orang yang telah dikuasai oleh kekuatan jahat yang telah diperingatkan oleh Rio.
Dan sekarang, ia akan menjadi korban selanjutnya.
Share this novel