BAB 3 Turbulensi Kecil Di Awan Senja

Mystery Series 28

Anya mencari tempat duduknya di dalam pesawat yang mulai penuh. Ia mendapatkan kursi di dekat jendela, yang membuatnya senang karena bisa menikmati pemandangan selama penerbangan. Saat ia sedang memasukkan tas ranselnya ke dalam kompartemen di atas kepala, seseorang menyapanya.

"Eh, ketemu lagi."

Anya menoleh dan tersenyum. "Rio! Dunia memang sempit, ya?"

Rio terkekeh. "Atau mungkin ini takdir?"

Anya tertawa kecil. "Mungkin saja. Duduk di sebelahku?"

"Dengan senang hati," jawab Rio, menempatkan tasnya di bawah kursi dan duduk di sebelah Anya.

Suasana di dalam pesawat terasa nyaman dan hangat. Lampu-lampu kabin yang redup menciptakan kesan intim. Anya dan Rio saling bertukar cerita tentang tujuan perjalanan mereka.

"Aku mau mengunjungi temanku di Palembang. Dia kerja di LSM lingkungan," cerita Anya. "Aku butuh liburan dari rutinitas klinik."

"Aku mau hunting foto di Riau. Katanya, ada banyak spot yang keren dan masih alami," balas Rio. "Aku selalu tertarik dengan tempat-tempat yang belum banyak dijamah manusia."

Anya mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan semangat petualang yang membara dalam diri Rio. Ia juga merasa sedikit iri padanya. Rio tampak begitu bebas dan bersemangat, sementara ia merasa terikat dan terjebak.

"Semoga kau mendapatkan foto-foto yang menakjubkan," ucap Anya.

"Terima kasih. Semoga kau juga bisa menemukan kedamaian dan inspirasi di Palembang," balas Rio.

Saat pesawat mulai lepas landas, Anya merasakan sedikit getaran. Ia memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Ia selalu merasa sedikit takut saat terbang.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Rio, melihat ekspresi Anya yang sedikit tegang.

"Aku hanya sedikit takut terbang," jawab Anya jujur.

Rio tersenyum lembut. "Jangan khawatir. Aku akan menjagamu."

Anya membuka matanya dan menatap Rio. Tatapannya yang hangat dan penuh perhatian membuatnya merasa sedikit lebih tenang.

"Terima kasih," ucapnya.

Selama penerbangan, Anya dan Rio terus bercerita dan bercanda. Mereka menemukan banyak kesamaan dalam minat dan pandangan hidup mereka. Anya merasa seperti mengenal Rio sudah lama sekali.

Saat pesawat terbang di atas awan senja, tiba-tiba terjadi turbulensi kecil. Pesawat berguncang sedikit, membuat beberapa penumpang terkejut dan saling berpegangan. Anya mencengkeram lengan kursi dengan erat, merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Rio, melihat ekspresi Anya yang sedikit tegang. Di wajah pria itu pun tergambar sedikit kekhawatiran.

"Aku hanya sedikit takut terbang," jawab Anya jujur, mencoba tersenyum untuk menyembunyikan rasa takutnya.

Rio tersenyum lembut, namun matanya memancarkan ketenangan yang menenangkan. "Jangan khawatir. Aku akan menjagamu," ujarnya, menggenggam tangan Anya dengan lembut.

Sentuhan Rio memberikan sedikit rasa aman pada Anya. Ia mencoba mengatur napas dan memfokuskan diri pada hal-hal positif. Namun, turbulensi semakin menjadi-jadi. Pesawat mulai berguncang lebih keras, membuat lampu-lampu di atas kepala berderit dan bergetar.

Tiba-tiba, seorang anak kecil di kursi depan mulai menangis histeris. Ibunya berusaha menenangkannya, namun sia-sia. Tangisan anak itu menular, membuat beberapa penumpang lain ikut merasa panik.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi?" seorang wanita berteriak dari kursi belakang.

"Apakah kita akan baik-baik saja?" seorang pria bertanya dengan nada cemas.

Pramugari berusaha menenangkan para penumpang, namun suaranya terdengar bergetar. "Tenang, Bapak, Ibu. Ini hanya turbulensi biasa. Kami akan segera melewati area ini."

Namun, kata-kata pramugari itu tidak meyakinkan siapapun. Turbulensi semakin parah. Pesawat terombang-ambing seperti perahu kecil di tengah badai. Barang-barang di dalam kabin mulai berjatuhan dari kompartemen di atas kepala. Tas, buku, dan botol air berhamburan di lantai.

Tiba-tiba, lampu-lampu di dalam kabin berkedip-kedip dan mati. Suasana menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh lampu-lampu darurat yang redup. Teriakan para penumpang semakin histeris.

"Allahu Akbar! Allahu Akbar!" seorang pria berteriak dengan histeris.

"Kami akan mati! Kami akan mati!" seorang wanita menangis tersedu-sedu.

Anya merasakan pesawat mulai kehilangan ketinggian. Ia tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi. Ia menggenggam tangan Rio dengan erat, merasakan telapak tangannya berkeringat dingin.

"Rio..." ucapnya lirih, suaranya bergetar.

"Anya, pegang erat-erat," balas Rio, merangkul Anya dengan kuat. Ia bisa merasakan tubuh Anya gemetar ketakutan.

Saat itulah, pesawat menukik tajam ke bawah. Anya dan Rio berteriak bersama para penumpang lainnya. Suara teriakan, tangisan, dan doa bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang mengerikan.

Masker oksigen otomatis berjatuhan dari langit-langit pesawat. Anya meraih salah satunya dan memasangnya di wajahnya. Ia melihat Rio melakukan hal yang sama.

Kegelapan dan kepanikan menyelimuti segalanya. Anya merasakan tubuhnya terlempar ke sana kemari saat pesawat terus menukik ke bawah. Ia memejamkan matanya, pasrah pada takdir.

"Selamat tinggal," bisiknya dalam hati.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience