Bab 16: Pintu Neraka, Senyuman Sabrina Langit malam tampak membara oleh cahaya merah yang memancar dari Pulau Sialung. Gugusan awan yang biasanya diam, malam ini tampak menghindar dari pusat bencana yang sedang terbentuk—seakan alam tahu bahwa sesuatu yan

Drama Completed 63

Langit malam tampak membara oleh cahaya merah yang memancar dari Pulau Sialung. Gugusan awan yang biasanya diam, malam ini tampak menghindar dari pusat bencana yang sedang terbentuk—seakan alam tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Di bawah sana, pertempuran belum berakhir.

Ariey Siika, dengan wajah berlumuran darah dan pakaian yang koyak, berdiri di tengah reruntuhan markas rahasia Ordax. Di sebelahnya, Sabrina dalam pelukan hangatnya, tubuhnya masih menggigil setelah kejutan dan siksaan yang dialaminya.

“Maaf aku terlambat,” bisik Ariey lembut, menatap mata Sabrina yang penuh air mata.

Sabrina hanya menggeleng pelan. “Kau datang... itu saja sudah cukup.”

Suara ledakan menggema dari sisi lain markas. Para prajurit sisa Ordax berusaha melarikan diri, namun tidak semudah itu. Ariey telah memerintahkan unit khusus di bawah Operasi Titan-K untuk mengepung seluruh pulau.

Di seberang ruang bawah tanah, Jeneral Mordax—pemimpin utama Ordax—muncul dari kegelapan. Tubuhnya tinggi, berotot, dan berbalut zirah tempur generasi ke-7. Mata kirinya buatan, menyala merah seperti bara neraka.

“Siika...” desis Mordax. “Kau menghancurkan tempat suci kami. Sekarang, kau akan ikut mati bersama kekasihmu itu.”

Ariey menurunkan Sabrina perlahan, mengatur posisi tubuhnya agar tetap bersandar aman di dinding beton.

“Pegang ini,” katanya sambil menyelipkan lolipop ungu ke dalam tangan Sabrina.

“Lolipop ini...?”

Ariey tersenyum. “Kau yang berikan dulu. Sekarang giliranku yang pastikan rasa manis itu tetap ada.”

Dengan kecepatan kilat, Ariey menerkam ke arah Mordax. Tangan kanannya memegang pedang plasma ‘Sembilu Cakra’, sementara tangan kiri menyatu dengan sarung tangan ‘Titan Core’—alat peningkat kekuatan yang bisa melipatgandakan tenaga pukulan.

Benturan pertama membuat seluruh ruang berguncang. Mordax memblokir serangan Ariey dengan tombak mekanikalnya. Percikan api dan energi plasma menyebar, menghancurkan dinding dan atap.

Di luar, langit semakin merah. Armada militer bayangan yang dahulu tunduk kepada Ordax mulai bergerak, mengira inilah saat mereka mengambil alih kekuasaan. Namun, mereka tak tahu bahwa Ariey telah mempersiapkan segalanya.

“Unit Sirius, aktifkan drone penembak. Sapu bersih perimeter laut.”

“Roger that, Panglima!”

Sementara itu, Sabrina mulai mencoba berdiri. Meski lemah, dia tak ingin hanya menonton. Dalam benaknya, latihan-latihan bela diri yang diajarkan Ariey perlahan muncul kembali. Keringat dingin mengucur, tapi dia menegakkan punggungnya.

“Jangan dekat-dekat!” teriak Ariey saat melihatnya.

Namun Sabrina sudah menarik pisau kecil dari ikat pinggang Ariey. Dalam langkah gemetar, dia menyerang dari belakang ketika Mordax mencoba menebas Ariey. Luka kecil itu tak membunuh, tapi cukup mengalihkan perhatian.

Ariey menggunakan peluang itu untuk menusuk perut Mordax dengan pedangnya, lalu meledakkan Titan Core tepat di dada musuhnya.

BOOM!!

Tubuh Mordax terpental jauh, hancur bersama puing-puing beton dan baja. Nafasnya tersisa hanya sebentar sebelum akhirnya padam.

Suasana hening. Sabrina jatuh ke tanah, tubuhnya lelah.

Ariey segera memeluknya. “Kau gila. Tapi luar biasa.”

Sabrina tersenyum lemah. “Aku... belajar dari yang terbaik.”

Dalam perjalanan keluar dari markas yang kini mulai runtuh, Sabrina bertanya pelan, “Kenapa semua ini harus terjadi?”

Ariey menatap langit. “Karena dunia terlalu lama diam. Dan kadang, kita perlu buka pintu neraka agar iblis-iblisnya tahu... kita bukan manusia biasa lagi.”

Tak lama, helikopter militer menyambut mereka. Pulau Sialung ditinggalkan dalam kobaran api, menandai berakhirnya salah satu organisasi paling kejam dunia.

Namun ini baru permulaan.

Sabrina menggenggam lolipop di tangannya sambil bersandar pada dada Ariey.

“Manis...” bisiknya.

Ariey mengecup dahinya. “Selalu akan begitu, selama kita bersama.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience