Part 13

Romance Series 12467

Selamat membaca??

Sarah menangis sesegukan setelah siang ini dia digagahi lagi oleh Jono. Sarah benar-benar tak mengenalinya, padahal Jono adalah kakak senior abadi di kampusnya.
Karena memang Sarah tak terlalu banyak mengenal kakak seniornya, justru jarena dia terlalu aktif di lingkungan kampus makanya kakak seniornya yang lebih banyak mengenal dirinya.

"Sudah sayang, jangan nangis terus, nanti apartemen abang banjir lho." Jono mencoba menggoda, telunjuknya menyolek lengan polos Sarah.

"Saya mau pulang!" ucapnya pelan, suaranya bergetar.

"Ayo, biar abang antar!" Jono keluar dari selimutnya, tubuhnya polos berjalan santai ke arah kamar mandi, Sarah membuang pandangan. Matanya sudah bengkak dengan air mata, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bagaimana nasib pernikahannya?

Lima belas menit Jono berada di dalam kamar mandi, lalu keluar dengan harum shampo khas lelaki, tubuhnya hanya terlilit handuk sampai di bagian pinggang.

Kemudian memakai pakaiannya dengan santai di depan Sarah. "Bisa ga turunnya?" tanya Jono menggoda. Sarah mencoba merenggangkan kakinya, tubuhnya masih ditutupi selimut sampai leher.

"Sssshhh...aaahh" Sarah mendesis perih menahan sakit.

"Abang gendong sini!" Jono bersiap menggendong Sarah.

Namun Sarah mundur, dirinya sangat takut pada lelaki yang entah siapa ini. kepalanya menggeleng tanda enggan.
Jono menaikkan alisnya.

"Baiklah, kalau tidak mau abang bantu, abang antar kamu pulang dalam keadaan seperti ini mau?" gertak Jono yang membuat Sarah semakin ketakutan. Dia menggeleng keras.
Jono mendekat kembali, menggendong Sarah, ala bridal , sampai ke kamar mandi, lalu menurunkannya pelan, di bak mandi penuh busa yang sudah disiapkan Jono.

"Mau abang mandikan atau mandi sendiri?" Jono tersenyum nakal.

"Pergilah, aku tak mau berdebat." suara Sarah sangat lemah. Akhirnya Jono mengalah dan membiarkan Sarah mandi dengan tenang, cukup lama sejam kemudian Sarah baru keluar dari kamar mandi. Bajunya ternyata ada di balik pintu kamar mandi, lengkap dengan jilbab panjangnya. Tampak Jono sedang menunggunya di atas ranjang dengan aneka hidangan yang menggugah perut. Perut Sarah keroncongan, dari kemarin sore dia tidak makan apa-apa.

"Sini, makan dulu. Baru abang antar." ucap Jono sambil menepuk-nepuk sisi tempat tidur yang kosong. Tanpa bicara Sarah mendekat, jalannya masih sakit, sedikit mengangkang, karena rasa kebas masih sangat terasa . Sarah duduk di ranjang dengan hati-hati, ranjang itu sudah bersih, sepreinya sudah diganti, tak terlihat lagi bercak merah disana.

"Makanlah!" Jono menyerahkan sepiring nasi lengkap sayur dan daging yang dibentuk bola-bola.

"Mau abang suapi?" ucap Jono menatap wajah Sarah dengan penuh damba. Ya Allah ini orang kayak ga punya dosa.

"Ga perlu!" jawab Sarah ketus.

"Ga boleh galak, kecuali mau abang cumbu lagi." titah Jono menatap Sarah sinis. Sarah terdiam, hatinya sakit, hancur. Namun dia tidak boleh egois, ia harus bisa keluar dari tempat ini, lebih baik sekarang ia mengalah. Menurut apapun yang dikatakan Jono, dari pada harus digagahi lagi. Ya Allah setelah ini, Sarah harus sholat sunnah taubat.

Setelah selesai makan, Jono mengantarkan Sarah pulang, sepanjang perjalanan turun ke lobi parkir apartemen, Jono menuntun Sarah, karena Sarah masih sangat sulit berjalan. Sarah tak bisa menolak, karena kalau menolak, maka ia akan kembali digagahi pria laknat ini. Ancaman itu yang berulang kali dilontarkan Jono.

Sepanjang perjalanan Sarah hanya diam saja, begitu juga dengan Jono.

"Sudah jangan cemberut terus! Abang akan tanggung jawab." ucap Jono tegas.

"Aku sudah bersuami." sahut balik Sarah tak kalah ketus.

"Apa suamimu masih mau menerima keadaanmu yang seperti ini?" Jono melirik sengit.

"Abang akan bicara dengan kedua orangtua kamu dan juga Devit, Meminta kalian bercerai dan abang akan menikahimu."

"Kamu gila! Aku tidak sudi."

"Baiklah kalau tidak mau, video kita semalam, pasti akan sampai pada papa, mama dan suamimu."

"Kamu jahat, gila, bajingan, aku benci kamu!" Sarah berteriak histeris memukul Jono dengan sekuat tenaga.

"Abang begini karena abang mencintaimu Sarah!"

"Dari mana kamu bisa mencintaiku, aku saja tak kenal denganmu. Kamu benar-benar psikopat!" hardik Sarah benar-benar marah pada Jono.

"Abang senior kamu di kampus. Jono Jarin Nugraha." Jono memperkenalkan diri.

"Aku tidak kenal."

"Tapi abang sangat mengenalmu, hobi kamu apa, kapan kamu ulangtahun, makanan kesukaanmu apa, warna kesukaanmu apa, semua abang tahu." ucap Jono sombong.

"Kaau.." Sarah tak meneruskan bicaranya, sudah tidak tahu lagi harus bicara apa pada lelaki laknat ini. Mereka sampai di depan rumah Sarah, Jono membunyikan klakson dua kali, meminta pagar dibuka.

"Ingat sayang, tidak ada bantahan apapun. Jika ingin video semalam tidak tersebar." ancam Jono sungguh-sungguh.

Mendengar suara klakson mobil di depan pagar, sontak semua orang di rumah memandang keluar.
"Bik, cepat buka pagarnya!" titah mama Sarah. Devit dan juga mama serta papa Sarah menghambur keluar melihat siapa yang datang. Betapa terkejutnya mereka saat mendapati Sarah baru keluar dari mobil, dengan seorang pria berambut gondrong.

"Jono.." gumam Devit, siapa yang tak mengenal Jono. Mahasiswa abadi di kampusnya. Tapi kenapa bisa Jono ada bersama dengan Sarah istrinya.

"Saraah." panggil mama Sarah, melihat anak perempuannya berwajah sembab. Mama menghampiri Sarah, Sarah ingin sekali berlari memeluk mamanya namun tak mungkin, berjalan saja dia susah. Devit dengan sigap ikut menghampiri Sarah.

"Kamu kenapa Sar?"

"Jono, ada apa ini?" tanya Devit tak sabar.

"Kamu apakan istriku?" bentak Devit. Jono cuek saja, menatap wajah mama dan papa Sarah bergantian, memberikan tangannya hendak bersalaman.

"Saya Jono Jarin Nugraha, Pak-Bu!"

"Boleh kita bicara di dalam saja?"

****
Devit memijat kepalanya keras, tangannya juga kebas dan sedikit bengkak karena belum lama memukuli Jono, hingga Jono hampir pingsan, Devit tak peduli lagi apakah dia akan di penjara atau tidak. Sangat sakit hati Devit saat Jono mengatakan.

Maaf pak, jatahmu sudah buat saya. Kecuali mau bekas saya, tenang, tidak semua saya cipok, masih ada sisa sedikit, jika bapak ingin melanjutkan.

Dada Devit bergemuruh, setelah mendengar bisikan Jono seperti itu, Devit membabi buta memukul Jono. Sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Sarah bersama kedua orangtuanya, dia perlu berpikir apa yang harus dia lakukan.

Devit berjalan dengan gontai menuju kontrakannya Juwi, untung saja kemarin kasur dan barang-barang yang lain belum dia angkat.

"Pak Devit!" panggil Juwi heran, melihat tubuh Devit yang berantakan, dan ada sedikit luka di sudut bibirnya.

"Ya Allah, Bapak dibegal di mana?" Ya Allah Juwi, Devit mati-matian menahan bibirnya agar tidak nyengir mendengar ucapan Juwi.

Devit hanya melihat sekilas pada Juwi, lalu kembali berjalan ke arah kontrakannya.

"Istri bapak tidak ikut?" tanya Juwi lagi, menyamakan langkahnya dengan Devit, tak dihiraukannya warungnya.

Devit menggeleng. "Ya udah sebentar saya ke rumah dulu." Juwi masuk ke dalam ruamhnya, mengambil kotak P3K. Menitip warung pada ibunya.

"Assalamualaikum, Pak." Juwi masuk dengan sedikit ragu. Setelah melihat Devit rebahan di atas karpet sambil menutup kedua matanya. Terlihatbsekali lelah dan penuh tekanan. Devit masih lengkap dengan sepatunya, ia sungguh merasa lelah. Juwi duduk di ujung kaki Devit. Membuka sepatu lalu kaos kaki Devit, Devit membiarkan saja. Dia lelah dengan semua.

"Sini saya obati tangan dan bibir Bapak." Juwi mengambil tangan Devit, membersihkannya dengan kapas basah, kemudian mengeringkannya dengan tisu, lalu diolesi minyak but-but.

Selesai dengan jemari tangannya Devit, Juwi membantu mengobati luka di sudut bibir Devit, dengan mengompresnya dengan es batu yang dibalut handuk. Devit hanya diam saja.

"Bapak istirahat ya, saya buatkan bubur dulu." Juwi langsung keluar rumah Devit.

Sejam kemudian, Juwi mengetuk pintu rumah Devit. Tak ada jawaban. Juwi melirik Devit yang tidur meringkuk, padahal sudah sore dan sebentar lagi magrib.

"Pak, bangun!" Juwi berbisik.

"Mau magrib, makan dulu buburnya." Juwi membangunkan Devit. Devit meluruskan pinggangnya, masih dengan menutup mata, Devit malah berbalik menghadap Juwi yang tengah duduk juga di atas ranjang Devit, cukup berjarak. Seketika, Devit meraih tangan Juwi saat Juwi hendak meninggalkan Devit yang masih terlelap.

"Bapak!" pekik Juwi kaget.

Bugg..

Juwi terjatuh di atas tubuh Devit. Sepersekian detik mereka saling pandang. Juwi mencoba melepaskan diri dari tangan Devit, dadanya semakin berdebar, begitu juga Devit.

Cup....

Devit mencium bibir Juwi dengan rakus, hingga Juwi kehabisan nafas, Juwi sudah memukul-mukul dada Devit namun Devit tetap saja menciumnya. Saat Devit hampir kehabisan nafas, ia pun melepaskan ciumannya, bibir Juwi sampai bengkak dan merah.

"Saya benci Bapak!" Juwi memukul kepala Devit berkali-kali dengan guling.

"Udah punya istri, masih berani cium janda, rasain nih, dasar mata ikan, eh mata keranjang."

Bug..bug...!!

Devit diam saja saat Juwi memukulinya. Hingga akhirnya Juwi cape sendiri.

"Saya akan menceraikan Sarah, lalu saya akan menikahimu!" ucap Devit sambil menatap wajah Juwi yang memerah menahan marah.

*****
Partnya ga jelas banget yaa???? au dah yang penting reader terhibur????
Cuz tinggalkan jejak vote dan komen??

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience