Fix tidak ada malam pertama, yang ada siang pertama. Tubuh keduanya kini telah segar. Devit sedari tadi mesem-mesem memperhatikan wajah Juwi yang tiba-tiba bersinar. Efek after glow. Juwi masih menggelung rambutnya dengan handuk. Tubuhnya dibalut kaos kebesaran milik Devit dipadukan dengan celana panjang bermotif polkadot. Jalannya sedikit kepayahan, menuju dapur. Untuk mengambil minum.
"Sakit ya, De?" tanya Devit khawatir, ketika melihat Juwi kembali dari dapur, sambil memegang teko air.
"Sakitlah, kayak digigit tawon!" sahut Juwi sambil berjalan aga mengangkang. Devit terbahak, memperhatikan jalan istrinya.
"Ish, bukannya prihatin. Malah ngetawain istri. Besok-besok ga ada deh, apaan yang enak, orang sakit begini." omel Juwi dengan wajah cemberut.
"Eh, namanya baru pertama gitu, De. Nanti-nanti mah, udah ga sakit." terang Devit sambil mengusap pucuk kepala istrinya.
"Maafin ya!" ucap Devit sangat lembut memeluk Juwi. Juwi jadi terharu, air matanya menggenang. Menyambut pelukan suaminya.
"Jadi, sekarang ceritakan tentang istri pertama, Abang!" ucap Juwi saat keduanya tengah menyantap bakso, di warung basko yang terletak, tidak jauh dari rumah Juwi.
"Abang sudah bercerai, De." sahut Devit, matanya menatap lurus ke arah jalanan, tak menyangka bakal mendapati jalan hidup seperti ini.
"Apa?!" Juwi terpekik kaget.
Lalu mengalirlah cerita dari Devit, mulai dari awal menikah, hingga kejadian naas menimpa rumah tangganya dengan Sarah. Entah kenapa Juwi merasa sangat bersalah. Awal mula pertengkaran Devit dan Sarah, adalah karena dirinya. Juwi tidak menyangka kalau Sarah ternyata cemburu padanya.
"Berarti nanti kalau Teh Sarah hamil bagaimana, Bang?"
"Iya itu anak Jono. Karena saya belum menggauli Sarah! "
"Oh, gitu, jadi Abang pendatang baru juga. Pantesan ga tau lobangnya!" sahutan Juwi membuat Devit terbahak-bahak.
"Kok, bisa sih sama Teh Sarah ditahan, sama saya ngga?"
"Karena kamu sangat menggoda sayang." bisik Devit dengan suara berat. Juwi bersemu merah.
Beep...beepp..
"Hallo, Assalamualaikum. Bu!"
"Iya, ini saya dan Juwi ada di rumah.
"Apa? Mama dan papa saya di rumah?"
"Baik, Bu. Saya dan Juwi balik sekarang."
"Ada apa, Bang?" tanya Juwi khawatir. Perasaannya tidak enak.
"Mama dan Papa saya ada di rumah ibu, tampaknya mereka tahu soal pernikahan kita." ucap Devit dengan sirat suara kegundahan. Ia sangat tahu, betapa kerasnya mamanya. Dengan bergandengan tangan, sesekali Devit mencium jemari Juwi.
"Apapun yang terjadi, kamu harus percaya saya ya, Juwi? Apapun yang dikatakan orangtua saya, jangan dimasukkan hati. Orangtua saya memang keras, tapi mereka seperti itu karena sayang pada kami, anak-anaknya." Juwi mengangguk Paham. Perasaannya begitu tidak enak.
Mereka keluar dari kontrakan sambil bergandengan tangan. Mereka berjalan ke rumah Juwi. Jujur saat ini wanita itu begitu takut.
"Assalamualaikum..." ucap Juwi dan Devit bersamaan. Juwi menunduk malu, tangan keduanya masih saling terkait. Ibu membawa Salsa, ke belakang. Ibu tak ingin Salsa melihat kejadian yang tidak seharusnya dia lihat. Kedua orangtua Devit menoleh dengan tajam.
"Wa'alaykumussalam." sahut keduanya. Mama Devit berdiri dari duduknya.
Plaaakk...
Sebuah tamparan pedih dari mamanya mendarat di pipi putih Juwi.
Juwi yang terkaget, cuma bisa memegang pipinya yang panas.
"Mama!!" pekik Devit kaget, melihat yang barusan mamanya lakukan pada Juwi. Juwi menangis tersedu, pelan Devit mengusap pipi Juwi.
"Gara-gara kamu, anak saya jadi menceraikan istrinya, dasar janda gatel. Ga tahu diri. Kamu tahu, siapa anak saya? Hah!" Mama Devit yang bernama Lani itu membentak Juwi sambil menunjuk-nunjuk Juwi dengan tatapan garang.
"Apa yang sudah kamu kasih sama anak saya? Kue apem kamu yang udah dicicipin mantan kamu, iya?"
"Astaghfirulloh, Mama!! jaga ucapan Mama, Juwi tidak seperti itu, Ma." Devit memelas memohon pada mamanya agar berhenti mengumpat Juwi. Juwi masih terisak, tak bisa menjawab. Hatinya sungguh sakit. Ia tidak seperti itu, kenapa orang selalu saja beranggapan buruk dengan statusnya? Tetangga mulai berdatangan, mendengar keributan dari rumah Juwi.
"Kamu bercerai dengan Sarah, maka kamu tidak, boleh menikah dengan siapapun, kecuali atas izin, Mama."
"Saya sudah menikahi Juwi, Ma."
"Ceraikan, sekarang!!" teriak Bu Lani di depan Juwi, dengan mata melotot nyalang.
"Tidak, Ma! Saya mencintainya." sahut Devit cepat, sebelah tangannya merangkul pundak Juwi.
"Kalau gitu, kamu pilih. Orangtuamu atau wanita murahan ini?"
Devit terdiam. Ia harus mengambil keputusan, ia tahu mamanya tidak akan menyerah sampai disini, jika ia lebih memilih Juwi.
"Abang mencintaimu, De. Abang ga akan ceraikan kamu." bisiknya cepat di telinga Juwi, tanpa disadari oleh Mama dan Papa Devit.
"Saya pilih Mama dan Papa." ucapan Devit sangat pelan, namun membuat hati Juwi bagai teriris. Senyum Bu Lani terbit, dengan wajah sedikit diangkat, Bu Lani menarik tangan Devit untuk keluar dari rumah Juwi. Kaitan jemari keduanya terlepas.
Keduanya saling pandang, Devit menarik garis bibirnya tipis, dengan sedikit anggukan pada Juwi. Juwi menggigit bibir bawahnya, menutup kedua matanya, hingga suami dan mertuanya tidak terlihat lagi. Pandangan Juwi gelap, ia pingsan. Ibu dan beberapa tetangga yang berada disana, berteriak histeris saat Juwi terkulai lemas di lantai.
Samar-samar Devit mendengar teriakan tetangga yang mengatakan Juwi pingsan. Sunggu Devit ingin segera kembali menghampiri Juwi, namun tangan ibunya memegang erat dirinya.
Di dalam perjalanan, Devit mengetik pesan untuk Juwi.
"Juwi sayang, maafkan abang ya. Saat ini belum bisa berbuat banyak untuk Juwi. Juwi sabar ya, abang akan mempertahankan Juwi. Abang sayang Juwi, Abang cinta. Kondisinya mama abang pasti sangat kaget, hingga seperti tadi. Maafkan mama ya Juwi sayang. Maafkan. Secepatnya Abang akan menelepon Juwi, jaga diri ya sayang."
Juwi membaca pesan dari Devit, setelah melaksanakan sholat magrib. Air matanya kembali tumpah, sungguh kini ia sudah merindukan suaminya kembali. Cukup lama Juwi baru tersadar dari pingsannya. Setelah diperiksa oleh seorang dokter, yang merupakan tetangga Juwi. Juwi syok, tekanan darahnya turun drastis.
Ibu masuk ke dalam kamar Juwi, menatap iba puterinya. Salsa sedang menggambar di dekat Juwi yang masih duduk di atas sajadah.
"Makan dulu, Wi!" bujuk Bu Nur sambil mengusap pundak Juwi.
"Juwi tidak lapar, Bu. Nanti saja!" sahut Juwi lemah.
"Makan dulu, nanti baru kamu istirahat, Nak!" bujuk ibu lagi dengan suara sangat lembut. Ibunya sangat tahu saat ini Juwi pasti sangat sedih dengan kejadian hari ini.
"Juwi, kangen Bang Devit, Bu!" Juwi kembali terisak. Memeluk ibunya. Dengan lembut Ibu mengusap punggung Juwi, memberinya kekuatan dan rasa nyaman.
"Kamu harus percaya Devit, ya. Ibu yakin, dia akan berusaha meyakinkan orangtuanya untuk menerima pernikahan kalian."
"Juwi takut, Bu!"
"Serem banget punya mertua galak gitu." lanjutnya lagi dengan wajah masih menunduk sedih.
"Percaya sama ibu, suatu saat pasti mertuamu akan sangat menyayangi dan mencintaimu, Nak." ibu mengusap pipi Juwi yang masih sedikit merah.
"Sssstt..sakit, Bu!" rengek Juwi manja. Ibu mengambil minyak but-but di dalam laci lemari, Juwi. lalu mengoleskannya tipis dan sangat pelan, di pipi Juwi.
"Bunda, cakit ya?" Salsa menghampiri Juwi yang menangis. Juwi mengangguk.
"Bunda, cabal ya, nanti pasti, Papa om gulu datang lagi." ucap Salsa dengan polosnya, membuat air mata Juwi kembali bercucuran. Dengan sedikit. gemetar Juwi mengetik pesan untuk Devit.
"Cepat pulang ya, Bang. Ade kangen"
****
Duh, pengantin baru, lagi sayang-sayangnya, eeh...kudu misah.
Cuzz komen dan klik tanda bintang ya
Share this novel