Juwi hari ini pergi ke pasar tradisional, membeli beberapa bahan makanan untuk sepekan ke depan. Sambil sesekali melihat-lihat perabotan baru, untuk mengisi rumahnya bersama Devit.
Rumah yang sedang direnovasi dua hari lagi selesai dan Devit meminta Juwi untuk mulai hunting barang-barang kebutuhan rumah tangga. Seperti hari ini Juwi mampir ke toko gorden, melihat-lihat motif, bahan dan harganya. Juwi sangat gembira, karena Devit mempercayakan isi rumah dengan selera Juwi, Juwi mengulum senyum saat mengingat percakapan mereka tadi malam.
Flashback
"Tukang rumah telpon Abang tadi, De, katanya rumah kita sudah rapi dua hari lagi," ucap Devit saat malam ini mereka tengah duduk di ruang depan kontrakan Devit, sambil menyantap jagung rebus.
"Alhamdulillah, trus Bang. Kita nanti pindah ke sana?"
"Iyalah sayang, masa Abang di sana kamu di sini, siapa yang Abang peluk kalau malam?" Devit menatap Juwi sayang.
Juwi terkekeh. "Kasian ibu tinggal sendirian di rumah," ucap Juwi kemudian.
"Iya juga sih, tapi ibu pasti ga mau kita ajak tinggal bersama kita. Warung dan rumah ga ada yang nungguin."
"Juwi setiap hari boleh ke rumah ibu, Bang?"
"Boleh, yang ga boleh itu ke rumah mantan!" sahut Devit asal sambil berpura-pura manyun. Juwi kembali tersenyum geli melihat Devit.
"Masa iya, Juwi ke kuburan mulu, Bang. Ngerilah." Juwi terkekeh begitu juga Devit.
"Eh iya, nanti Juwi mampir aja lihat-lihat toko perabotan untuk rumah."
"Beneran, Bang?" Juwi mendadak antusias.
Devit mengangguk pasti. "Pilih semua barang yang Juwi suka, nanti tinggal lapor Abang, saat Abang libur, kita belanjain deh."
Juwi memeluk Devit lalu mencium pipi suaminya. "Makasih, Abang," ucap Juwi kembali mencium pipi suaminya.
"Emak-emak kenapa selalu girang kalau disuruh belanja ya?" celetuk Devit.
"Udah bawaan dari orok kali, Bang!" Juwi terkekeh lagi.
"Bener nih, Juwi boleh isi rumahnya? Kan itu rumah Abang."
"Iya tapi sekarang, jadi rumah Juwi. Sertifikatnya nanti Abang ganti atas nama Juwi. Hadiah untuk istri dan calon anak kita nanti." Devit tersenyum melihat ke arah perut Juwi.
"Asal jangan diisi buaya, kadal dan tokek dan monyet lho ya!"
"Iya gaklah, orang buayanya ada di sini." Juwi mencolek pinggang suaminya. Sambil terbahak. Devit memandang tawa istrinya. Rasa bahagia menyeruak di hatinya.
"Abang sayang Juwi," ucap Devit sambil membelai lembut pipi Juwi.
"Juwi ngga tuh," sahut Juwi pura-pura cuek sambil berdiri, lalu berlari ke kamar. Devit mengunci pintu rumah, mengintip Salsa yang sudah terlelap di karpet beralaskan bantal hello kitty.
"Masa sih ga sayang?" Devit sudah memeluk Juwi dari belakang.
"Abang buat Ade biar tambah sayang Abang gimana?" bisik Devit dengan suara serak.
Flashback off
"Mbak suka yang mana?" tanya pelayan toko gorden, membuyarkan lamunan Juwi.
"Ah, saya suka yang biru, nanti saya tanya suami saya dulu ya, Mbak. Boleh saya foto dulu?" izin Juwi pada pelayan toko. Pelayan itu mengangguk, membolehkan Juwi memotret beberapa warna dan bahan gorden. Juwi berpamitan setelah semua info seputar gorden telah ia dapat. Jalannya terasa ringan, meskipun membawa dua kantong besar belanjaan.
Buugh
Tubuh Juwi bertabrakan dengan seseorang. Satu kantong isi belanjaan Juwi berhamburan.
"Aduh!" pekik wanita itu.
Juwi yang juga kaget dengan tabrakan barusan sempat terdiam kebingungan. Perasaan dia sudah memperhatikan jalan.
"Hei, mata kamu ke mana sih?jalan pake nabrak!" ucap ketus wanita itu.
Dengan silau cahaya matahari siang, Juwi memperhatikan wanita cantik berkerudung panjang yang sedang mengomel di depannya.
"Teh Sarah."
"Iya, saya Sarah. Mantan Devit," ucapnya masih ketus.
"Maaf Teh, tadi saya ga sengaja. Sepertinya saya sudah memperhatikan jalan," ucap Juwi kikuk.
"Mata kamu itu jahat, sama kayak hati kamu, perebut suami orang!" Sarah sedikit berteriak, sehingga pengunjung pasar memperhatikan mereka.
"Astagfirullah, Teteh!" Juwi kaget dengan ucapan Sarah. Sepertinya Sarah sangat kesal dengan dirinya.
"Halah belaga istighfar, sendirinya jual kelamin untuk merebut suami orang!"
Plaaak!
Juwi menampar Sarah.
"Jaga ucapan Teteh, saya tidak seperti itu!" Juwi kini sudah sangat emosi.
Sarah memegang pipinya yang ditampar Juwi.
"Ada apa ini?" suara wanita paruh baya yang tak lain adalah Mama Sarah, menghampiri keduanya dan terpaku melihat Sarah yang tengah memegang pipinya yang memerah.
"Oh, ini janda gatal itu!" umpat Mama Sarah tak kalah sengit. Juwi hanya diam, hati dan kepalanya sudah mendidih.
"Kamu apakan anak saya, Hey? Tidak cukup kamu mengambil suaminya?" bentak Mama Sarah lagi. Juwi sudah menahan air mata yang akan tumpah.
"Janda itu menampar Sarah, Ma," ucap Sarah terisak. Juwi melotot heran dengan tingkah kedua ibu dan anak di depannya ini. Semua orang jadi mencibir Juwi dan menatap iba pada Sarah.
"Bawa ke kantor polisi aja, Bu," celetuk seorang pengunjung pasar. Juwi menelan salivanya, kakinya tiba-tiba gemetar membayangkan kantor polisi.
****
Devit baru saja selesai mengajar siang ini, saat mendapat panggilan dari kantor polisi, yang meminta Devit segera ke kantor polisi karena istrinya Juwi sedang mendapat masalah. Dada Devit berdegub begitu kencang, rasa khawatir dan takut menyeruak. Ada apa dengan istrinya? Perasaan tadi pagi pamit mau ke pasar belanja sayur dan ikan.
Dengan gemetar Devit memesan ojek online untuk segera ke kantor polisi. Tak lama berselang hanya butuh waktu lima belas menit, Devit telah sampai di depan kantor polisi, menngendong tas ranselnya. Masuk ke dalam ruangan yang diarahkan petugas di depan.
"Juwi!" pekik Devit saat melihat tubuh Juwi dari belakang. Juwi menoleh ke arah Devit, matanya sudah bengkak karena terlalu lama menangis. Pandangan Devit beralih pada seorang wanita dengan hijab lebar dan seorang wanita paruh baya yang menggunakan hijab juga.
Kedua wanita itu memandang tak suka pada Devit. Devit berjalan menghampiri Juwi. Memeluknya. "Ada apa, Sayang?" ucap Devit penuh kekhawatiran.
"Begini Pak duduk persoalannya." Lalu petugas polisi itu menceritakan hal yang terjadi di pasar, hingga Juwi menampar Sarah.
"Benar itu, De?" tanya Devit memastikan kepada Juwi. Juwi mengangguk pasrah, ia menyesal telah menampar Sarah, ia tak menyangka Sarah mempunyai hati selicik ini. Memutar balikkan fakta, seolah-olah Juwi yang bersalah dan dia korbannya. Padahal kata-kata Sarah yang kejam, membuat Juwi merasa terhina dan tidak terima, akhirnya menampar Sarah.
"Lihat istri kesayangan kamu ini Mas, malah menampar pipi Sarah. Ini kekerasan Mas!" ucap Sarah mengiba minta dikasihani. Berakting sangat bagus, hingga Devit merasa sedikit kasihan.
"Maaf saya terlambat!" suara berat seorang Jono masuk ke dalam ruangan. Sarah menatap tak suka kehadiran suaminya.
"Maaf Pak Devit, kita selesaikan ini secara kekeluargaan saja ya," ucap Jono memutuskan.
"Tidak, aku mau janda gatal itu di penjara!" ucap Sarah ketus. Juwi dan semua yang ada di sana, memandang Sarah dengan tatapan tak percaya. Hanya karena sebuah tamparan, Sarah ingin Juwi di penjara.
Devit menggeleng tak percaya dengan sikap Sarah.
"Sayang, tidak baik seperti itu, memaafkan bukannya lebih mulia, daripada dendam," ucap Jono masih dengan lemah lembut. Ia tahu ini hanya akal-akalan istrinya saja.
"Pokoknya harus di penjara, titik!" ucap Sarah tak kalah ketus.
"Sarah, jangan seperti itu, saya mewakili Juwi meminta maaf atas sikap istri saya!" ucap Devit lemah. Memandang Juwi dengan kasihan.
"Oke, saya akan maafkan tapi dia harus berlutut di kaki saya," ucap Sarah sombong, memandang sinis ke arah Juwi. Petugas kepolisian hanya bisa menghela nafas panjang. Melihat sikap Sarah yang sangat arogan, bertolak belakang dengan hijab yang ia pakai.
"Maafkan saya, tolong jangan penjarakan saya!" Juwi berlutut di lantai, air matanya berurai, membasahi pipi juga bajunya. Perutnya sangat lapar karena ia belum makan. Ya allah belum satu bulan berumah tangga, begitu banyak ujian yang ia dapatkan. Devit memandang iba istrinya, namun tak bisa bicara apa-apa lagi, karena sepertinya Sarah begitu keras dan marah.
Setelah Juwi berlutut, akhirnya Sarah memaafkan Juwi. Jono sedikit menarik paksa Sarah masuk ke dalam mobil, emosinya membuncah, ia tak menyangka wanita lemah lembut yang ia sangat cintai ini, mampu bersikap licik. Jono hanya diam sepanjang perjalanan. Sarah tak kalah sengit, sedikit pun ia tidak melirik suaminya. Ia tahu Jono marah padanya.
Sedangkan Devit dan Juwi berada di dalam taksi online. Devit menggenggam jemari Juwi. "Maafkan Abang ya, De," ucap Devit begitu merasa bersalah pada Juwi.
Juwi sudah terlalu lelah menangis hampir empat jam.
"Saya lapar," ucap Juwi pelan. Devit mengangguk. Dan meminta supir taksi untuk berhenti di restoran cepat saji yang mereka lewati. Juwi makan sambil masih terisak. Entah apa rasa makanan tersebut, Juwi hanya mampu menelannya. Makanan pun habis. Devit memberikan air mineral pada Juwi. Juwi menenggaknya sampai habis.
"Tidurlah, De. Kamu pasti cape," ucap Devit sambil mengusap rambut Juwi yang basah.
"Setelah ini, Juwi tidak tahu. Ada ujian apalagi di depan sana yang mengikuti rumah tangga kita, Bang? Juwi lelah," ucap Juwi sambil menutup mata. Air matanya masih keluar dari balik bulu mata lentiknya.
"Maafkan Abang, De. Abang belum bisa membahagiakan Juwi. Abang mohon jangan menyerah ya, Abang sayang Juwi. Abang ga mau Juwi menyerah," ucap Devit tulus, membawa Juwi ke dalam pelukannya.
****
Share this novel