Langit malam mulai menyapa, seperti malam-malam sebelumnya Devit tetap mengajar mengaji anak-anak tetangganya. Salsa datang dengan menunduk.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaykumusalam. Eh ada anak Papa. Sini masuk, Cha." Devit menyambut tangan Salsa yang hendak salim. Salsa tersenyum lucu.
"Bunda mana, Cha?" tanya Devit sambil berbisik, saat Salsa telah duduk di pangkuannya.
"Bunda di kamal, mata Mama sakit."
"Oh ya, sakit kenapa?" tanya Devit cukup kaget.
"Mata Bunda besal dan melah," ucap Salsa lagi, sambil membolak balik halaman iqro'nya.
"Caca baca halaman belapa cih, Caca lupa telus, sepelti nenek, titun!" celoteh Salsa.
"Pikun Sayang, bukan titun." Devit membetulkan ucapan Salsa sambil mengulum senyum.
"Caca lucu ih kayak Bunda." Devit mencubit gemas pipi Salsa.
Salsa mulai membaca halaman enam pada iqro'nya. Saat itu, satu persatu murid yang lain mulai berdatangan. Acara pengajian dibuka Devit dengan melafadzkan surah-surah pendek dalam Alqur'an, dilanjutkan dengan antri satu persatu membaca iqro' atau Alqur'annya. Lalu ditutup dengan sholat isya berjama'ah.
Selesai salat Isya, semua anak berhamburan pulang ke rumah masing-masing. Devit pun membawa Salsa pulang ke sebelah. Sebelumnya Devit mematikan lampu, lalu mengunci pintu rumahnya. Ponsel ia matikan dan ia tinggalkan di kontrakan.
"Assalamualaikum," ucap Salsa dan Devit bersamaan.
"Wa'alaykumussalam," sahut Bu Nurmala yang tengah duduk nonton televisi. Salsa masuk begitu juga Devit, keduanya mencium punggung tangan Bu Nurmala.
"Sudah makan belum, Vit?"
"Belum, Bu. Saya mau makan bersama Juwi," sahut Devit sambil menatap pintu kamar Juwi yang tertutup rapat.
"Ya sudah selesaikan sana, pintunya tidak terkunci." Bu Nurmala memberikan waktu pada Devit dan Juwi untuk berbaikan.
"Salsa sama Nenek dulu ya, Nenek punya kolak pisang. Caca mau?" tawar Bu Nurmala pada Salsa untuk mengalihkan.Bu Nurmala membawa Salsa ke dapur. Sedangkan Devit berjalan ke arah kamar Juwi.
Kleek
Pintu kamar Juwi dibuka oleh Devit. Devit menggigit bibir bawahnya, ada rasa takut dan khawatir. Takut Juwi tidak memaafkannya.
"De," panggilnya lembut. Juwi masih memunggungi Devit dengan memeluk guling. Matanya menutup. Devit berjalan ke arah ranjang. Merebahkan tubuhnya di samping Juwi, lalu memeluknya dari belakang. Begitu sampai sepuluh menit berlalu, Juwi masih menutup mata, sedangkan Devit tak mau banyak bicara, ia ingin seperti ini, memeluk tubuh istrinya. Padahal baru beberapa jam diboikot oleh istrinya, membuat Devit sangat merindukan Juwi.
"Maafkan Abang ya, Dek. Abang salah udah ketus sama Juwi, Abang salah sudah memikirkan Sarah. Abang minta maaf ya, De. Abang janji mulai saat ini, tidak ada lagi Sarah dalam memori Abang," bisik Devit lembut pada Juwi. Juwi hanya mendengarkan tanpa bereaksi. Akhirnya dengan cukup keberanian, Devit membalikan tubuh Juwi menghadapnya.
"De, buka matanya," bisik Devit lagi. Sambil mengusap lengan Juwi. Istrinya tetap kukuh memejamkan mata, namun ada air bening yang menetes dari celah bulu mata lentik Juwi. Devit menghapusnya lembut.
"Sudah jangan sedih terus, Abang minta maaf, Abang rela Juwi hukum apapun hukumannya," ucap Devit dengan memelas.
"De." Kali ini Devit mengusap pipi Juwi. Lalu mengecup pelan kening Juwi.
"Abangnya rindu, De," bisik Devit lagi. Juwi hanya diam saja sambil sesekali terisak.
"Abang jahat!" ucap Juwi akhirnya, walaupun dengan masih menutup mata.
"Iya Abang jahat, maafkan Abang ya sayang," ucap Devit mengiba. Juwi membuka matanya yang bengkak.
"Ya Allah, tuh matanya sampe bengkak gini, Abang kompres ya?"
Juwi menggeleng.
"Peluk!" titah Juwi, sambil merentangkan tangannya. Devit tersenyum senang, dengan sigap memeluk tubuh istrinya. Juwi kembali menangis tersedu-sedu, dalam pelukan Devit.
"Juwi kangen Abang, Juwi sedih abang ketus!"
"Iya Sayang, maaf banget. Maaf ya sayang!" Devit masih mencoba menenangkan Juwi, mengusap punggung Juwi.
"Abang harus dihukum," ucap Juwi tegas.
Jadilah jam delapan malam, Devit berlari membelikan martabak, kemudian membeli kipas angin, lalu membelikan pulsa untuk Juwi. Dalam waktu setengah jam sudah harus kembali. Jika tidak tepat waktu, maka Juwi memperpanjang masa boikot Devit.
Juwi menunggu di teras rumah ditemani Salsa yang belum ingin tidur. Memperhatikan jam di ponselnya, sudah hampir setengah jam, Devit belum kembali juga. Juwi menghembuskan napas kasar, melihat ke depan gang, suaminya tak kunjung tiba. Yah, dua menit lagi menuju pukul delapan tiga puluh.
"Hhoo ... hhaa ...Ass..sa..la..mua..laikum," ucap Devit sambil ngosngosan berlari. Devit terduduk di kursi teras dengan membawa satu bungkusan martabak untuk istrinya dan box yang berisi kipas angin duduk.
Juwi mengulum senyum, melihat Devit yang tengah ngos-ngosan.
"Abang belum terlambatkan, De?" tanya Devit setelah ia merasa nafasnya mulai normal kembali.
"Hampir saja," sahut Juwi sambil mengambil bungkusan dari tangan Devit.
"Kasian suami aku keringetan," ucap Juwi sambil mengusap peluh Devit dengan tisu. Salsa keluar dari dalam rumah, dengan membawa secangkir teh manis hangat untuk Devit.
"Terimakasih anak Papa," ucap Devit pada Salsa.
"Abang benar udah dimaafkan?" tanya Devit lagi. Juwi mengangguk.
"Janji Abang ga boleh bicara ketus, apalagi kasar pada Juwi maupun Salsa, kalau Abang begitu lagi, Juwi mau pergi aja!" ancam Juwi dengan sungguh-sungguh.
"Jangan sayang, Abang janji, Juwi ga boleh kemana-mana!" Devit menggenggam jemari Juwi. Juwi menarik Devit masuk ke dalam rumah. Tampak Bu Nurmala memperhatikan keduanya yang telah berbaikan. Senyum wanita paruh baya itu terbit. Semoga rumah tangga anakku selalu dalam lindungan Allah. Doanya dalam hati.
Kini mereka menikmati martabak keju yang dibeli oleh Devit. Salsa bahkan sudah menghabiskan empat potong, ternyata Salsa sangat menyukai martabak keju. Juwi dan Devit sesekali melempar senyuman, menikmati malam syahdu setelah bermaaf-maafan.
****
"Ponsel Devit tidak aktif lagi nih, Pa," rengek Bu Lani pada suaminya. Berkali-kali Bu Lani menghubungi Devit, bahkan dari sore. Namun tidak kunjung tersambung.
"Pasti dia di rumah janda itu!" gerutu Bu Lani dengan kasar, meletakkan pantatnya duduk di sofa.
"Janda itu menantu kita sekarang sayang, berdamai kenapa sih?"
"Tapi Pa, masa iya anak kita dapat janda sih!"
"Ya, emang kenapa kalau janda? Masih muda ini, cantik pula," sahut papa Devit menimpali gerutuan istrinya.
"Pokoknya Mama gak setuju, Mama akan buat Devit berpisah dari janda gatel itu."
"Astaghfirulloh, Ma. Istighfar! Papa gak suka dengan ucapan mama yang mengada-ada," suara papa Devit meninggi. Bu Lani hanya menunduk kesal, saat ditegur suaminya.
"Semua udah jalan Allah, Devit berjodoh dengan Juwi dan Sarah berjodoh dengan Jono. Kalau mama tidak terima, berarti mama mengingkari takdir Allah, bagian dari rukun iman, percaya pada takdir baik dan takdir buruk." panjang lebar papa Devit memberikan pengertian pada istrinya. Kepalanya menjadi sangat sakit, saat berdebat dengan istrinya.
"Besok ada jadwal pengajian di Bu Haji Umi. Mama harus berangkat, hati mama perlu diguyur nasehat, biar tidak nekat berbuat jahat pada anak dan menantu!" ujar Pak Andu tegas pada istrinya. Tampak kening Bu Lani bertaut, senyumnya terbit. Sepertinya ia tahu cara melepaskan Devit dari Juwi.
****
Malam sudah semakin larut, namun Juwi tak kunjung menutup mata. Begitu juga dengan Devit.
"Ga bisa tidur ya, De?" tanya Devit sambil menghadap Juwi, menumpukan kepalanya di tangan.
"Iya, Bang. Kayaknya perasaan Juwi gimana gitu Bang," ucap Juwi lagi.
Devit memeluk Juwi. "Ada Abang di sini, Juwi tidak perlu khawatir."
Juwi tersenyum manis.
"Ngomong-ngomong sejak kapan abang seneng sama Juwi?" tanya Juwi iseng, membuka pembicaraan, karena memang keduanya belum mengantuk.
"Sejak Juwi mengatakan pada Abang, hayo ga boleh ngarakit bom lho ya!" Devit terbahak, bila mengingat kejadian pertama kali bertemu dengan Juwi.
"Kalau Juwi mulai kapan?" tanya Devit penasaran.
"Mmm ... saat hari pernikahan siri Abang dengan Teh Sarah, malam harinya, Juwi melihat foto profil Abang diganti dengan foto Teh Sarah, memakai pakaian pernikahan." Juwi tersenyum kecut.
"Juwi sedih, Juwi cemburu. Dari situ Juwi sadar, kalau Juwi..."
Cup
Devit sudah menutup pembicaraan Juwi dengan bibirnya. Memagut mesra bibi wanita halalnya. Keduanya merajut kasih yang sempat merenggang hari ini, mencoba belajar sabar dan ikhlas, menjalani biduk rumah tangga, yang baru saja mulai mereka tapaki.
Keduanya saling berpegangan tangan, lalu terlelap dalam hembusan angin dari kipas angin baru.
****
Maafkan saya yang baru sempat posting. Semoga masih setia menunggu. Versi lengkap sudah tersedia nya di google play store ya, Kak. Terima kasih
Share this novel