Part 15

Romance Series 12467

Shubuh ini hujan turun dengan derasnya. Devit melaksanakan sholat shubuhnya di rumah saja. Senyumnya terus mengembang, manakala teringat peristiwa dadakan yang terjadi dalam hidupnya tadi malam. Juwi, janda yang selalu mencuri perhatiannya kini telah menjadi istri sahnya, walaupun masih pernikahan siri. Tapi Devit berjanji dalam hatinya akan segera meresmikan pernikahan mereka. Lalu bagaimana dengan Sarah? Bukankah dengan Sarah juga pernikahannya harus berakhir. Memikirkan Sarah membuat Devit menjadi iba, ujian yang dihadapi Sarah sangat berat. Semoga Sarah bisa melewatinya.

Beep..beep..

"Ya hallo, Assalamualaikum, Mah."

"Wa'alaykumussalam. Kamu, mama tunggu pagi ini di rumah istrimu."

"Maksud mama, Sarah?"

"Iya, emang istri kamu ada berapa?"

"Eh iya, Ma. Nanti jam sepuluh Devit ke rumah Sarah."

"Kelamaan jam sepuluh. Jam delapan sudah harus disini."

"Tapi Devit ada kelas, Ma. Jam delapan."

"Terserah, pokoknya jam delapan di rumah Sarah. Assalamualaikum."

Devit menutup telponnya, menarik nafas panjang. Memang dia harus segera menyelesaikan masalah ini dengan Sarah juga keluarganya.

Juwi membuat pisang goreng dan ubi goreng untuk sarapan. Karena hujan tak kunjung reda. Juwi menunda untuk membuka warungnya. Ibu menata aneka gorengan itu di atas piring keramik bergambar ayam jago.

"Nih, bawakan sarapan untuk suamimu!" Hu Nur menyerahkan piring tersebut pada Juwi.

"Ah, ga mau,Bu!" Juwi menolak tegas.

"Juwi, ga boleh gitu. Gimana juga pak Devit sudah jadi suamimu, dosa tahu." ucap ibu tak suka dengan sikap Juwi.

"Pokoknya anterin ini, sekalian sama tehnya, buatkan juga. Tidak ada bantahan!" Bu Nur masuk ke kamarnya. Dengan ogah-ogahan Juwi membuatkan teh manis hangat lalu membawanya dengan sepiring  pisang goreng dan ubi goreng.

Devit masih membaca Alqur'an kecilnya di dekat jendela, sembari menikmati semilir angin hujan dan aroma tanah basah yang begitu syahdu. Bacaannya terhenti saat Juwi berjalan mendekati rumahnya. Cepat Devit bangun dari duduknya, bercermin sebentar merapikan rambut, baju dan senyumnya. Tak lupa letak sarung ia perbaiki juga.

Tok..tok..

"Assalamualaikum"  ucap Juwi di balik pintu.

"Wa'alaykumussalam."  jawab Devit dengan semangat. Devit membukakan pintu untuk Juwi. Senyumnya mengembang, namun tidak dengan Juwi, wajahnya cemberut. Membuat Devit semakin gemas.

"Ini sarapan buat Bapak!" Juwi menyerahkan nampan berisi teh manis hangat dan gorengan.

"Ayo sini masuk dulu!" Devit menarik lembut tangan Juwi, entah kenapa Juwi malah pasrah ikut masuk, kakinya dan hatinya tidak singkron.

"Sini duduk!" Devit menyuruh Juwi duduk di kursi dekat jendela, ada dua kursi disana dan sebuah meja kecil. Juwi menurut.

"Istriku sudah sarapan?" tanya Devit lembut sambil menatap netra milik Juwi dengan intens.

" Belum!" sahut Juwi ketus. Juwi tak berani menatap Devit. Takut khilaf lihat bibir merah Devit. Bisik hati Juwi.

"Ya udah makan sama-sama yuk!" ajak Devit sambil menyunggingkan senyumnya.

"Gak, ah. Bapak saja! saya masih kenyang." sahut Juwi lagi.

"Kalau gitu, suapi saya!" titah Devit.

"Dih, udah gede masa disuapin." Juwi memutar bola mata malasnya.

"Kalau nolak, dosa lho." ucap Devit mencolek lengan Juwi. Juwi tersentak, malah mengusap-ngusap lengannya yang dicolek Devit tadi.

"Apa saya makan kamu aja ya?" goda Devit, kini sudah berdiri dari duduknya mendekati Juwi. Juwi melongo, tubuhnya terkungkung di kursi kecil itu, tak bisa kemana-mana. Matanya menutup takut.

"Baa..pak..mau apa?" terbata Juwi berucap, nafasnya seakan tertahan di perut.

"Saya mau kamu Juwi." bisik Devit dengan suara serak.

Cup..

Tanpa aba-aba Devit mencium bibir Juwi dengan lembut. Juwi melotot melihat Devit menutup mata menikmati ciumannya. Semakin Juwi menghindar, maka semakin liar Devit mencecap bibir suaminya. Devit akhirnya melepas ciumannya. Melihat Juwi terengah kehabisan nafas.

"Bibir kamu manis sayang!" ucap Devit sambil menyentuh bibir Juwi.

Pluukk..

Juwi menepuk tangan Devit dari bibirnya.

"Bau balsem ih tangannya!" Juwi mengendus jemari Devit.

"Huaaaa....panaasss." pekik Juwi, bibirnya panas balsam.

Devit terperangah. Dia baru ingat baru saja mengoleskan balsam pada punggungnya.

"Maaf sayang, tadi lupa!" Devit kalang kabut melihat wajah dan bibir Juwi yang merah karena panas balsam dari tangannya.

"Panaasss..." Teriak Juwi sambil berlari ke kamar mandi, membasuh bibirnya yang panas. Devit menelan salivanya susah payah. Merasa takut Juwi akan murka padanya.

Juwi juga mencuci mukanya hingga basah baju kaosnya, tercetaklah dua tali pengaman dari balik kaosnya. Devit semakin susah bernafas.

"Sini, saya obati biar tidak panas lagi, Wi." ucap Devit sambil menarik Juwi keluar kamar mandi. Juwi menurut saat Devit membawanya duduk di atas ranjang.

****
"Ibu cuma suruh anterin sarapan lho Juwi, tapi kenapa malah jadi ada acara bikin adik buat Salsa." ledek Bu Nur saat Juwi kembali dengan baju kusut dan bibir merah. Juwi menahan malu, wajahnya merah merona.

"Kata siapa bikin adik buat Salsa?" tanya Juwi sambil mengulum senyum.

" Oh, jadi baru pembukaannya saja!" ledek Bu Nur lagi.

"Aah...ibu ah." Juwi tersenyum malu-malu lalu masuk ke dalam kamar mandi.

****
Devit sudah berdiri di depan pagar rumah Sarah. Tampak mobil Toyota Rush milik orangtuanya dan dua mobil sedan lainnya milik Sarah dan kedua orangtuanya. Penjaga rumah Sarah, membukakan pagar untuk Devit.
Setelah mengucapkan salam dan sedikit berbasa-basi dengan penjaga rumah Sarah. Devit masuk ke dalam rumah Sarah. Tampak semua orang telah berkumpul. Termasuk Sarah yang menunduk malu di balik hijab panjangnya.

"Assalamualaikum." ucap Devit dan dijawab oleh semua orang yang berada disana. Devit tersenyum kepada kedua orangtuanya, mencium punggung tangan kedua orangtuanya juga mertuanya. Devit memberikan tangannya pada Sarah, lalu Sarah mencium punggung tangan Devit tanpa berani menatap wajah Devit.

"Bagaimana kabarmu ?"

"Apa saya terlihat baik-baik saja? setelah saya diperkosa, sekarang suami saya meninggalkan saya!" lirih suara Sarah tajam menusuk hati Devit.

Devit tidak menjawab, memilih duduk di dekat Sarah.

"Jadi bagaimana kelanjutan acara anak kita ini ?" tanya mama Devit pada calon besannya.

"Kami mohon maaf, Pak,Bu. Sepertinya acara pernikahan anak kita tidak bisa dilanjutkan, kami akan menikahkan Sarah dengan Jono. Tepat seperti tanggal yang tercetak di undangan. Namun kami mengganti nama mempelai pria. Maafkan kami. Sebenarnya kami sangat terpukul dengan semua ini, terutama Sarah." suara Papa Sarah melemah. Sarah meneteskan air mata yang tak terbendung lagi. Devit menarik nafas panjang.

Menatap raut kecewa di wajah kedua orangtuanya juga mertuanya. Devit sudah memutuskan.

"Baiklah, mulai hari ini saya dan Sarah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Saya talak Sarah. Kita berpisah. Maafkan saya." ucap Devit serak, ternyata tak semudah ini juga melepas Sarah. Bagaimana pun dia sudah memiliki perasaan pada Sarah. Air matanya pun menggenang. Sarah berdiri dari duduknya, mencium punggung tangan mertuanya. " Maafkan saya, Ma, Pa." cicitnya pelan, seperti berbisik. Tanpa melihat Devit lagi, Sarah setengah berlari menuju kamarnya.

Meluapkan kesedihan dan kepedihan atas ujian yang Allah berikan padanya. Ia mencintai suaminya, mencintai pernikahannya, namun harus berakhir mengenaskan.

Devit dan orangtuanya pamit dari rumah keluarga Sarah dalam wajah murung. Sarah dan Devit resmi bercerai. Ada sedikit kelegaan di hati Devit namun ada juga kedukaan atas apa yang menimpa Sarah. Devit berharap, Sarah menerima Jono sebagai suaminya, meskipun cara yang Jono lakukan salah.

"Biar kami mengantarkanmu ke kampus." ucap mama Devit, sambil menepuk pundak anaknya.

"Kamu pasti merasa sangat terpukul, Nak. Tapi semua sudah takdir dari Allah. Sabar ya!" ucap Bu Lani menguatkan.

"Rumah kamu kapan selesai, Vit?" tanya papa.

"Mungkin dua minggu lagi, Pa." sahut Devit.

"Baiklah, setelah kamu kembali ke rumah kamu, mama dan papa akan mencarikan jodoh lagi untukmu." ucap papa Devit serius.

"Tidak usah, Pa." spontan Devit menjawab dengan tegas.

"Kenapa?" tanya mama Devit penuh selidik.

"Biar Devit cari sendiri saja, Mah."

"Mama tidak yakin dengan pilihanmu, lihat saja sekarang!" wajah ibu Devit mendadak kesal.

"Sudahlah, Ma. Anak kita baru aja jadi duda, masa udah repot mau nyariin lagi." potong papa Devit menengahi.

"Kalau duda cocoknya sama janda dong ya, Pa?" Devit menyeringai

"Jangan macam-macam kamu!" bentak mama Devit.

"Kamu tidak boleh menikahi janda, titik!"

Devit susah payah menelan salivanya.

"Tapi saya sudah menikahi janda, Ma. " teriak Devit dalam hatinya. Sambil menatap wajah mamanya. Gawat nih!

****

Setelah selesai mengajar di kampus, pukul tiga sore. Devit bergegas menelepon temannya yang menyediakan jasa catering. Devit mengonfirkasi persiapan hidangan untuk di bawa ke rumah kontrakannya sebelum magrib. Saat pagi hari ia sudah menghubungi temannya terlebih dahulu.

Devit tak langsung masuk ke rumahnya, melainkan mendatangi rumah Juwi dan ibunya. Juwi sedang berada di warung bersama Salsa.

"Assalamualaikum, " ucap Devit sambil tersenyum manis pada Juwi. Dengan canggung Juwi mencium punggung tangan Devit.

"Wa'alaykumussalam." sahut Juwi ramah. Begitu juga Salsa.

"Tutup warungnya, De!" titah Devit.

"Lho kenapa, Pak?" tanya Juwi terheran.

"Habis magrib akan ada selamatan acara pernikahan kita, maukan? saya mengundang ibu-ibu dan bapak-bapak sekitaran sini De. Tadi saya sudah telpon pak RT." terang Devit sambil duduk di dekat Juwi dan Salsa.

"Eehhmm... Duh pengantin baru, udah makin nempel aja!" ledek Bu Fitri tetangga Juwi. Juwi hanya memutar bola mata malasnya, menanggapi ocehan tetangganya.

Magrib pun datang, Devit melaksanakan sholat magrib di masjid, dan sepulang dari sana, menggiring bapak-bapak untuk menikmati makan malam di rumah kontrakannya. Tampak Juwi sudah berdandan cantik, sesuai dengan keinginan Devit.

"Bunda jadi penganten ya?" tanya Salsa menatap Juwi dengan takjub. Juwi begitu cantik dengan kebaya putih dan rambut disanggul dengan hiasan melati di kepalanya. Juwi mengangguk, sembari mengulum senyum.

"Om gulu jadi papa Caca?" tanya Salsa lagi.

"Iya sayang, Caca maukan?" Devit menjawab dari depan pintu kamar Juwi. Menatap takjub wajah istrinya yang cantik.

"Caca mau!" ucap Salsa sambil berlari memeluk Devit.

"Yuk, De. Para tamunya sudah datang." Devit mengajak Juwi ke rumahnya. Menyambut tetangga yang memberikan selamat. Devit menggenggam tangan Juwi.

"Jangan pegang-pegang!" bisik Juwi ketus. Sambil mencoba melepas kaitan jemari Devit.

"Kalau tidak mau dipegang, saya cium aja bagaimana?"

Cup...

Belum sempat Juwi menjawab, Devit sudah melayangkan ciuman di pipi Juwi. Tentu saja membuat para tamu bersorak gembira dengan yang dilakukan Devit.

Pukul sepuluh malam, semua tamu akhirnya pulang. Banyak dari mereka memberikan kado dan amplop pada Juwi. Sungguh tak disangka-sangka pernikahan kilat yang ia lakukan, mendapat respon positif dari warga sekitar.

"Saya pulang ya, Pak." ucap Juwi bangun dari duduknya yang tengah memangku Salsa.

Ibu yang duduk tak jauh dari mereka ikut menyahut.

"Pintu rumah ibu sudah tertutup untuk kamu, Juwi. Mulai malam ini kamu tidur disini. Dan Salsa biar menemani ibu di rumah." ibu tersenyum pada Devit, seolah memberikan kode.

"Lha, kok gitu, Bu?" rengek Juwi dengan wajah memelas.

"Kan kamu sudah jadi istri, jadi tugas kamu melayani suami." ucap ibu Juwi lalu beranjak meninggalkan Juwi dan Devit.

"Yuk, Caca malam ini temani nenek tidur, besok baru tidur lagi sama bunda." rayu ibu Juwi pada cucunya. Caca mengangguk patuh.

"Ya udah kalau gitu, saya ganti baju dulu ke rumah, Bu."

"Ga usah De, baju kamu untuk malam ini udah abang siapkan." ucap Devit.

"Abang?"

"Siapa?"

"Saya!"

"Bang Devit, bukan Pak Devit lagi." ucap Devit sambil menyeringai. Akhirnya ibu membawa Salsa ke rumahnya, sedangkan Devit dan Juwi masuk ke dalam kontrakan.

"Kok ga ganti baju, De?" tanya Devit pada Juwi saat melihat Juwi masih memakai pakaian lengkap saat acara syukuran tadi. Sedangkan Devit sudah mengenakan celana boxer selutut tanpa atasan. Perutnya yang rata dan aroma sabun dan sampo membuat Juwi sedikit oleng.

"Ga papa, begini saja," sahut Juwi canggung.

"Yakin ga gerah?" tanya Devit menggoda.

"Engga, saya biasa pakai baju panjang saat tidur," jelas Juwi.

"Bapak kenapa ga pake baju?" tanya Juwi melirik takut ke arah Devit.

"Saya mau menggoda istri saya," bisik Devit manja, membuat Juwi semakin takut.

****

Hayyoo..apakah Devit sukses belah duren??
Hahahaha????
Cuzz vote dan komen??

Novel versi nya sudah tayang di play store ya. Silahkan langsung saja singgah ke sana.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience