Wanita dengan mukena batik yang ia pakai, masih terpekur di atas sajadah. Selesai sholat dhuha ia panjatkan doa mohon ampun atas segala kesalahan dan dosa yang telah ia perbuat. Walaupun hati remuk redam dengan semua keadaan ini.
Matanya melirik kalender yang telah ia tandai gambar hati. Lima hari lagi tepatnya, harusnya adalah hari bahagianya, melaksanakan resepsi dengan suami tercinta. Lelaki yang selalu ia kagumi, sejak mengikuti mata kuliah sejarah islam. Namun lima hari lagi, ia malah akan menikah dengan lelaki paling brengsek di muka bumi. Jono Jarin Nugraha.
"Saraah...!"panggil wanita paruh baya, yang merupakan adalah mamanya Sarah. Sedikit tergesa, membuka pintu kamar anaknya.
"Ada apa, Mah?" tanya Sarah kebingungan melihat ekspresi mamahnya.
"Berita apa yang barusan mama dengar, mantan suamimu Devit sudah menikah dengan janda anak satu, apa ini semua Sarah?"
Sarah terdiam, ada yang meremas hatinya. Begitu sakit. Air matanya sudah menggenang.
"Maa...ma, bicara apa?"
"Ya Allah Sarah, si Yuli pembantu kita tetangga janda itu, dia cerita."
"Mereka kepergok Bu RT sedang berciuman, di kontrakan Devit, Wah...benar-benar, tidak punya perasaan, baru dua hari bercerai sudah dapat istri lagi." Mama Sarah memijat pelipisnya keras, tampak rahangnya pun mengeras.
"Untung kamu bercerai dengannya, kalau tidak, maka hati kamu akan sangat terluka, Sar. Karena Devit terlihat sangat menggilai wanita janda itu." ucap Mama Sarah masih dengan emosi yang menggebu. Sarah hanya mendengarkan dengan seksama, tanpa bantahan. Air matanya sudah mengalir deras. Benar dugaan Sarah selama ini, ternyata Devit memang memiliki perasaan pada janda itu.
"Sudah takdir, Mah." ucap Sarah pelan, sebelum akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di atas sajadah. Sesak rasanya.
"Mama akan menelepon orangtua Devit, mereka harus tahu!" Mama Sarah keluar kamar dengan emosi membumbung tinggi.
****
"Kita makan bakso yuk!" ajak Devit pada Juwi yang siang ini tengah menggosok pakaian Devit di kontrakan, Salsa lagi-lagi bermain air di kamar mandi Devit.
"Makan bakso di mana?" tanya Juwi masih sambil fokus, menyetrika sarung Devit.
Cup...
Devit mengecup pipi Juwi cepat.
"Maunya di mana?" tangan Devit sudah berada di pinggang Juwi.
"Di mana aja asal sama abang, eneng mau bang!" ucap Juwi dengan alaynya. Devit terbahak.
Cup...
Devit mengecup pipi Juwi lagi.
"Jangan cium-cium melulu kenapa, Bang?"
"Biarin, ih. Abang gemes sayang!" sahut Devit kini sudah mengusap paha Juwi.
"Abang tangannya belum pernah dicipok setrikaan yaa?" Juwi menatap horor ke arah pahanya.
"Mau nyobain?" tantang Juwi lagi, sambil mengangkat setrikaannya.
Devit menarik tangannya dari paha Juwi.
"Galak banget sih, Neng!" Devit cemberut, sedikit bergeser menjauh dari Juwi, tangannya mengambil ponsel, diliriknya ponselnya, ah iya...sejak menikahi Juwi, Devit tidak pernah mengaktifkan lagi ponselnya. Dia benar-benar tak ingin diganggu.
Salsa selesai bermain air, bajunya basah semua.
"Bunda, basah!" ucap Salsa sambil memperlihatkan baju dan roknya yang basah.
"Ya udah sini ganti dulu yuk!" ajak Juwi mengambil baju ganti Salsa yang memang sudah ia bawa. Dengan cekatan Juwi mengganti baju Salsa, Juwi melihat ke atas ranjang Devit tengah membuka laptopnya, sepertinya serius mengerjakan sesuatu.
"De, abang mau dibuatkan kopi dong!" ucap Devit sambil melihat Juwi.
"Gula abang habis!" sahut Juwi lagi, kini sambil menata baju Devit, yang baru saja selesai ia setrika.
"Kan di warung banyak gula Juwi sayang!"
" iya tahu, trus?"
"Ya kan Juwi bisa ambil ke warung." ujar Devit polos.
"Rugi dong, kalau main ambil aja ga bayar!" sahut Juwi sarkas. Devit malah terbahak. Istrinya ini benar-benar perhitungan, sepertinya akan menjadi mentri keuangan terbaik nih. Gumam Devit.
"Ya sudah, ambil di dompet Abang duitnya, emang berapa sih harga gula?"
"Lima puluh ribu sekilo!" jawab Juwi .
"Wah, mahal ya Wi, pantesan rakyat menjerit. Gula aja sekilo lima puluh ribu, kebangetan emang pemerintah nih!" Devit menuangkan uneg-unegnya, dia ga tau aja lagi diakal-akali Juwi.
Juwi menahan senyum. Mengambil selembar uang merah yang berjejer rapi di dalam dompet suaminya. Juwi pamit ke warung, mengambil gula seperempat lalu membayarnya pada ibu.
"Bahagia banget, anak ibu sampe ga keluar-keluar rumah!" celetuk ibu saat mengembalikan uang kembalian Juwi.
"Baru selesai menyetrika Bu, !" sahut Juwi sambil tersenyum malu-malu. Juwi lalu pamit kembali ke rumahnya, bergegas membuatkan kopi untuk suaminya.
"Abang, kembalian uang gula buat neng ya?"
"Iya ambil aja sayang, ga papa, asal ntar malam jangan sampe gagal lagi lho, Salsanya dikondisikan!" ujar Devit lalu mengedipkan sebelah matanya.
"Oh gitu, jadi maksud Abang, perawan saya seharga kembalian gula?" ucap Juwi dengan ketus, wajahnya ditekuk enam lipatan. Devit terbahak lagi. Lalu mengambil dompetnya. Mengeluarkan kartu tipis bewarna gold .
Juwi pura-pura tidak melihatnya, wajahnya masih ditekuk.
"Ini, pegang sayang!" Devit memberikan kartu tersebut pada Juwi.
"Apa ini, Bang?"
"Buat pegangan istri Abang, isinya ada dua puluh lima juta, dihemat ya" ucap Devit sambil tersenyum manis.
"Beneran, Bang?" Juwi menatap tak percaya, tapi dengan sigap menerima kartu gold tersebut.
Cup...
Juwi mengecup pipi Devit. "Terimakasih Abang!" Devit tersenyum senang, saat pipinya dicium Juwi.
"Kalau gitu, ga usah nunggu nanti malam, sekarang aja yuk!" ucap Juwi yang masih disimak oleh Devit dengan tak paham.
"Salsa, main sama nenek dulu ya, tadi nenek manggil katanya kangen sama Salsa." ucap Juwi pada Salsa, yang saat ini tengah bermain dengan tasbih Devit.
"Iya, Bunda." Salsa bangun dari duduknya, lalu melangkah keluar, diikuti oleh Juwi.
"Buu...!" teriak Juwi cukup kencang, hingga ibunya mengintip dari balik warung. Ekor mata Juwi menarik ke arah Salsa, lalu berkedip pada ibunya, memberikan nyanyian kode.
"Lho bukannya, mau ajak Salsa makan bakso, De?" tanya Devit keheranan.
Juwi berjalan ke arah Devit, sambil membuka kausnya. Devit terbelalak.
"Abang punya paket data, kan?" tanya Juwi setengah menggoda, Devit sudah salah tingkah dengan sikap Juwi yang mendadak agresif. Dengan sedikit gemetar Devit menyalakan ponselnya. Lalu menyambungkannya ke laptop.
"Kita lihat caranya bagaimana?" bisik Juwi sambil tangannya lihai mengetik keyboard laptop. Keduanya menahan nafas melihat adegan di laptop Devit.
"Udah De, matikan aja. Abang udah tahu ada di mana!" suara Devit serak, berbisik di telinga Juwi.
****
Versi nya sudah bisa teman-teman download di google play store ya.
Share this novel