22. Romansa Pengantin Baru

Romance Series 12467

Malam ini Juwi tidak bisa tidur, padahal biasanya pukul sembilan malam, ia sudah terlelap bersama Salsa. Hanya saja, sejak menikah, tidurnya menjadi lebih malam. Tetapi tetap saja, pukul sebelas ia sudah terlelap.

Juwi milirik jam di dinding kamarnya, sudah pukul satu malam. Matanya tak mau juga terpejam. Padahal sejam yang lalu ia baru saja melakukan video call dengan Devit. Dirinya gelisah, hanya berbalik kanan dan ke kiri. Pikirannya melayang pada perkataan mertua perempuannya, juga pada ucapan Devit yang menenangkannya.

Devit mengatakan, perjuangan mereka masih panjang, menikah bukanlah awal dari kebahagiaan saja, namun awal dari ujian kehidupan. Devit juga mengatakan agar Juwi percaya sepenuhnya dengan dirinya, dengan cintanya. Ia akan berjuang, agar Juwi diterima oleh orangtua juga keluarga besarnya.

Air mata Juwi kini sudah tumpah lagi, mengingat suaminya, rasa rindu itu kini kian terasa. Rasanya baru tadi siang mereka bercumbu, namun malam ini tidur terpisah. Rasa pegal dan kebas di area intimnya saja belum sembuh, ditambah lagi luka atas perkataan dari mertuanya. Membuat Juwi merasa nelangsa.

Juwi menghembuskan nafas kasar, melihat di balik pintu, tepatnya di rak kunci. Matanya tajam menatap kunci rumah Devit. Juwi turun dari ranjangnya, dan berjalan pelan mengambil kunci tersebut.

Juwi menuliskan sesuatu di kertas, lalu ia tempelkan di pintu kulkas, agar ibunya membaca pesannya.

Juwi keluar rumah dengan membawa ponselnya. Tak lupa ia mengunci kembali pintu rumahnya dan berjalan sedikit tergesa menuju rumah kontrakannya. Udara malam sangat menusuk tulang, Juwi sedikit bergidik ngeri, karena sangat sepi, tiada hansip yang biasa berkeliling kampung. Juwi menelan salivanya, berjalan cepat.

Prraaang... terdengar seperti suara menabrak kaleng bekas minuman. Juwi tersentak, langkahnya terhenti.

"Settttaaaaaaannnnn, jangan ganggu, pergi ya, saya udah punya suami, pergi ya, jangan ganggu!" Juwi mengoceh tak karuan, dengan keringat bercucuran tak berani menoleh ke belakang. Gemetar membuka pintu rumah Devit.

Blaaamm..cekreekk...cekreeekk...

Juwi menutup pintu lalu menguncinya, tubuhnya kedinginan, sempat Juwi mengintip dari balik jendela, membuka sedikit gordennya, tak terlihat apapun, mungkin hanya kucing. Juwi bernafas lega, mengusap dadanya.

"Untung cuma kucing, kalau setan beneran mah, haduh." gumam Juwi sambil bergidik.
Cepat Juwi menuju kamar mandi, bersih-bersih lalu bersiap tidur. Juwi terlentang di kasur Devit, menciumi bantal Devit yang masih harum shampo Cl***rMan yang beraroma mint, Juwi membauinya dengan dalam. Senyumnya terbit, matanya terpejam.

Tiba-tiba terlintas ide di benaknya. Matanya membulat sempurna, sambil menggigit bibir bawahnya, Juwi melepaskan kancing piyamanya, Juwi terbiasa tidur tanpa menggunakan bra. Setelah semua kancing terlepas, tanpa membuka piyamanya, Juwi mengambil pose menggigit pinggiran baju yang terdapat kancing, sehingga perut dan sebagian dada Juwi terekspose.

Ceklek...ceklekk..

Juwi memotretnya, dengan berbagai pose menggiurkan. Kini Juwi tidur sambil menutup tubuhnya hingga dada, sehingga lehernya yang masih terdapat bercak keunguan, bekas tatto cinta sang suami terpampang jelas. Juwi memotretnya kembali, serta beberapa pose sensual lainnya. Juwi terkikik geli, mengirimkan foto-foto terseksinya kepada Devit. Dengan judul "Abaaaang, cepat pulang."

****
Pagi hari

"Hoooooaaamm..." Devit menguap lebar, membaca doa bangun tidur, masih sambil mengucek matanya. Samar-samar terdengar suara orang menyerukan sebentar lagi masuk waktu shubuh. Devit membetulkan letak sarungnya, entah kenapa kalau pagi, pasti yang di bawah begitu segar bugar. Devit mengambil ponselnya di atas nakas, membuka kunci ponsel, senyumnya terbit, tatkala ada nama istriku sayang di pesan WAnya.

Cepat Devit memencet logo kamera, matanya terbelalak, susah payah Devit menelan salivanya. Begitu banyak pose menggiurkan yang dikirimkan Juwi dan foto terakhir adalah bukit kembar yang hampir terlihat sepenuhnya, tangan Devit gemetar.

"MasyaAllah, rezeki shubuh." gumamnya masih terus menatap satu persatu foto syur istrinya. Terlalu menghayati, akhirnya yang di bawah melakukan pemberontakan.  Devit meringis. "Aduh, Juwi kamu tega sama Abang." pesan itu Devit kirimkan dengan menambahkan emot icon menangis. Devit cepat menghapus semua foto syur istrinya, menyisakan satu saja, dengan pose Juwi memejamkan mata dengan selimut menutup hingga dadanya. Foto yang begitu sensual menurut Devit.
Devit kemudian mandi, lalu bersiap melaksanakan sholat shubuh di masjid.

Sarapan di rumah keluarga Devit begitu menegangkan, mama Devit yang bernama Bu Lani, memasang wajah masam. Devit cuek saja, sudah terbiasa mamanya seperti ini jika sedang marah atau ngambek.

"Kamu tidak usah ngajar hari ini?" ucap Mama Devit ketus, Devit menoleh.

"Mengajar adalah kewajiban saya, Mah. Plis Mama jangan kekanakan!" ucap Devit masih dengan nada datar.

"Nanti kamu malah kabur ke rumah janda itu lagi!"

"Mah, Juwi bukan janda lagi, dia istri Devit  dan Devit mencintai Juwi."

Brraakk...

Bu Lani menggebrak meja. Wajahnya menengang.

"Mah, papa lagi makan, tolong jangan bersikap bar-bar! Mama udah lama ga pengajian ya? Jadi emosi terus bawaannya!" suara bariton papa Devit, membuat mamanya sedikit melunak.

"Maaf, Pa. Habis anakmu ini susah diaturnya!"

"Dia sudah besar, jangan terlalu diatur!"

Devit menatap wajah Papanya yang tegas, berbicara pada Mama.

"Habiskan sarapanmu, Vit! Setelah itu, berangkatlah ngajar!"

Mama Devit akhirnya pasrah, saat mendengar ucapan suaminya. Devit tersenyum penuh arti pada papanya. Dengan cepat Devit menghabiskan sarapannya, lalu pamit untuk pergi ke kampus. Harusnya ini masih jatahnya cuti, ojek online yang ia tumpangi, akhirnya ia belokkan ke arah rumah Juwi.

Juwi tengah asik melayani pembeli, tak menyadari kedatangan sang suami.

"Permisi, mau beli yang punya warung ada ga?" suara Devit samar-sama dari balik etalase warung, Juwi yang sedang berjongkok, menyahut ocehan pembeli ga jelas menurutnya.

"Maaf, Pak. Yang punya warung udah punya suami...Abaaang!" pekik Juwi, setelah tahu siapa yang bicara barusan. Juwi memutar tubuhnya berlari keluar warung, memeluk erat suaminya.

Cup..cup..cup..cupp..

Juwi menciumi gemas pipi suaminya. Devit tertawa renyah penuh bahagia dengan cara Juwi menyambutnya.

"Enak banget dah, pagi-pagi diciumin istri," celetuk Bu Nunung yang hendak berbelanja di warung Juwi.

"Namanya pengantin baru, Bu!" sahut Juwi malu-malu.

"Ibu...Juwi ke sebelah, Abang udah datang," seru Juwi sedikit berteriak memanggil ibunya.

"Di mana Salsa, Wi?" tanya Devit saat tak menemukan Salsa di dekat warung.

"Salsa sedang ikut kelas playgroup di depan gang Bang," ucap Juwi sambil membuka kunci rumah kontrakan.

"Wangi banget sih, istriku. " Devit mencium rambut Juwi. Saat mereka sudah masuk ke dalam rumah.

"Ayo, siapa yang tadi malam nakal?" Devit mencium bibir Juwi dengan gemas.

****

"Bagaimana, mama Abang?" tanya Juwi hati-hati, saat kini mereka tengah melepas lelah, setelah melewati satu putaran.

"Masih ngambek, tapi Juwi tenang aja. Nanti juga mama baik lagi." Devit menenangkan istrinya, mengusap lembut rambut Juwi.

"Kalau mama Abang beneran ga suka sama Juwi bagaimana?" raut wajah Juwi kembali murung.

"Apa Abang akan ninggalin..."

"Hhhhhuuustt..." Devit menutup mulut Juwi.

"Abang ga akan ninggalin Juwi dan Salsa, apapun yang terjadi." bisik Devit lagi. Kini sudah naik kembali ke atas istrinya.

Beep..beep..

Ponsel Devit terus berbunyi, Devit yang tengah asik mencumbu Juwi,dibuat sedikit kesal, ia lupa mematikan ponselnya.

"Angkat dulu, Bang. Kali aja penting!" bisik Juwi diantara tengah-tengah hasratnya.

Dengan malas, Devit mengangkat panggilan tersebut, tanpa memperhatikan siapa yang memanggil.

"Hallo, Assalamualaikum."

"Iya, saya, Mah."

"Apa?"

"Innalillahi..."

"Iya, Mah. Saya ke sana sekarang." Juwi menatap bingung suaminya.

"Ada apa, Bang?"

"Sarah mencoba bunuh diri, De," ucap Devit dengan wajah menegang.

****

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience