Selamat membaca??
Hari ini adalah hari Sabtu, tepat dimana dilangsungkannya acara akad dan pesta pernikahan Sarah dan Jono yang bertempat di aula kampus. Pengantin pria yang harusnya adalah Devit, kini berganti Jono.
Jono hanya di dampingi kedua paman dan bibi serta sepupunya, ada juga teman dan tetangga Jono yang tak lebih dari sepuluh orang. Datang beriringan memasuki aula kampus. Jono tampil rapi dengan beskap warna krem, rambutnya yang gondrong kini sudah dipangkas rapi.
Lancar Jono mengucapkan ijab qabul, Sarah kini sah menjadi istrinya baik secara agama maupun negara. Sarah masih terus saja menitikan air mata. Kedua orangtua Sarah hanya bisa pasrah, saat menatap anak gadisnya yang kini bersuamikan lelaki yang tak jelas. Tampak dari kejauhan, orangtua Devit datang, menghadiri pernikahan mantan menantunya. Banyak diantara tamu yang merasa kebingungan, setahu mereka yang menikah adalah dosen kampus dengan mahasiswa, bukannya mahasiswa dengan sesama mahasiswa. Kasak kusuk yang memuji bahkan mencibir Sarah pun ada.
"Harusnya Devit yang bersanding di sana, Pa. Dengan pesta meriah dan para tamu yang banyak memberikan doa restu." ucap Bu Lani sedih, suaminya menarik nafas panjang.
"Lihat betapa teduhnya wajah Sarah, cantik dan keliatan elegan, beda sekali dengan. selera Devit, janda kampungan itu."
"Sudahlah, Ma. Jangan mulai lagi, semua ini takdir Allah." ujar Papa Devit menenangkan istrinya. Bu Lani beberapa kali memotret momen pernikahan Sarah dan Jono. Lalu mengirimkannya pada Devit. Devit memutuskan tidak hadir pada acara Sarah, ia menjaga perasaan Juwi dan juga Sarah. Ia tak ingin ada keributan jika nanti hadir disana.
Beep..beep..
Pesan gambar masuk ke dalam ponsel Devit. Saat ini Devit tengah fokus di depan laptop, bukannya ia tak ingat dengan acara Sarah, namun ia juga merasakan hal tidak mengenakan di hatinya, seperti ada yang mengganjal. Devit membuka foto yang dikirimkan mamanya. Tampak Sarah sangat cantik dengan gamis bertabur mutiara, tertunduk di depan penghulu. Gamis itu adalah pilihan dirinya dan Sarah. Ada lagi moment ketika Sarah begitu menangis tersedu di depan kedua orangtuanya, jelas sekali ini pernikahan ini, bagai neraka untuk Sarah.
Devit menghembuskan nafas kasar. Menutup wajahnya dengan kasar, beristigfar berkali-kali. Ada setitik air mata di sudut mata Devit. Juwi mengintip dari balik celah dinding antara ruang depan dan ruang tengah. Juwi menyunginggkan senyum kecut. Di kedua tangannya membawa nampan berisi jagung rebus dan teh hangat.
"Assalamualaikum," ucap Juwi berpura-pura baru akan masuk ke dalam rumah Devit. Dengan terburu-buru Devit menghapus air matanya.
"Bang, ini snack dan tehnya," ucap Juwi sambil meletakkan nampan tersebut di samping Devit. Devit hanya tersenyum, nampak jelas wajah sendu Devit, wajah yang belum pernah Juwi lihat sebelumnya.
"Abang kenapa?" tanya Juwi memberanikan diri, menatap Devit cukup lekat.
"Abang ga papa, hanya sedikit sakit kepala aja," sahut Devit sambil matanya tetap mengarah pada laptopnya, tak dilihatnya Juwi yang kini duduk di sampingnya.
"Juwi ambilkan obat ya?" tawar Juwi hendak berdiri, mengambil obat di warungnya. Namun Devit menahan tangan Juwi.
"Abang hanya butuh tidur, Wi," ucap Devit lemah, meninggalkan Juwi yang masih terdiam di tempat duduknya. Devit masuk ke kamar mandi. Juwi melihat sekilas ponsel Devit yang tergeletak, masih dengan foto pernikahan Sarah.
"Apa ini yang membuat Pak Devit terlihat galau?" Juwi bermonolog, lalu meletakkan kembali ponsel suaminya.
"Kamu buka ponsel saya tanpa izin Wi!" suara tegas Devit, tiba-tiba membuat nyali Juwi menciut.
"Maaf, Bang!" Juwi menunduk, Devit mengambil ponselnya lalu melemparkannya ke ranjang.
"Saya permisi ya, Bang. Mau masak dulu," ucap Juwi sedikit tercekat, air matanya hampir saja tumpah. Suaminya yang baru enam hari menikahinya berubah menjadi aneh. Karena tak ada jawaban dari Devit, Juwi bergegas keluar rumah Devit, ia menangis. Devit mencoba menutup matanya, Entahlah rasa apa yang berkecamuk di hatinya, ada perasaan kasihab dengan Sarah, ada juga perasaan sedikit cemburu.
Tapi ia sudah memiliki Juwi sebagai istrinya, bukankah ia mencintai Juwi, tak harusnya ia bersedih dengan pernikahan Sarah. Akhirnya Devit pun terlelap.
Ibu mengetuk pintu kamar Juwi, karena sepulang dari kontrakan Devit, anaknya tidak keluar kamar lagi. Bahkan Salsa masih menonton TV sendirian.
"Juwi, buka, Nak. Kamu kenapa?" panggil ibu dari balik pintu. Tak ada sahutan dari dalam. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang.
Tok
Tok
"Juwi, buka!" suara ibunya kini lebih nyaring. Dengan langkah gontai dan mata sembab serta pipi basah, Juwi membuka pintu untuk ibunya.
"Ya Allah, kamu kenapa, Nak?" Bu Nur melotot panik, dengan keadaan Juwi yang berantakan. Juwi memeluk ibunya, hatinya sakit diperlakukan seperti tadi oleh Devit. Apa salahnya sebenarnya?
Juwi menceritakan kejadian yang baru saja terjadi di rumah Devit. Ibu menenangkan Juwi.
"Rumah tangga itu, tak selalu mulus sayang. Ini adalah salah satunya. Kamu harus bersabar ya, mungkin Devit sedang banyak fikiran," ucap Ibu menenangkan Juwi, membelai rambut panjang anaknya penuh sayang.
"Sekarang, antarkan lauk makan siang ini ke suami kamu." ibu menyerahkan sepirng nasi lengkap dengan ikan goreng, tumis daun pepaya serta bakwan jagung.
Namun Juwi menggeleng, ia tak sanggup harus menerima perlakuan ketus dari Devit lagi, seminggu ia menjadi istri ayahnya Salsa, belum pernah ia diperlakukan seperti ini. Rasanya begitu sakit dan membuat seluruh sendinya kebas. Namun ibu terus saja memberi wejangan kepada Juwi, bagaimanapun Devit, selagi tidak bermain fisik dan berkata kasar, Juwi harus tetap menurut dan patuh.
Dengan sedikit gemetar Juwi berjalan ke rumah kontrakan, meletakkan piring nasi di atas meja, Devit masih tertidur sambil memeluk ponselnya.
Juwi mendekati Devit, memandang wajah suaminya yang teduh dan tampan. Pelan dan sangat hati-hati Juwi mengusap rambut Devit.
"Jika menikahi saya, membuat Bapak menyesal, saya tidak mengapa diceraikan!" bisik Juwi, lalu dengan berderai air mata meninggalkan rumah Devit. Kembali Juwi masuk ke dalam kamarnya, mengunci pintu rapat.
Devit terbangun pukul satu, sedikit gelagapan, karena meninggalkan waktu dzuhur berjamaahnya. Devit melihat sekeliling, dan terpaku pada sepiring nasi dan air putih digelas besar, yang tertata rapi di atas meja kecilnya. Semenjak menikah, Devit tidak pernah melewatkan makan siang tanpa disuapi istrinya.
"Astaghfirulloh Juwi." Devit seketika tersadar yang sudah ia lakukan pada Juwi. Dengan tergesa Devit melangkah ke rumah orangtua Juwi. Tampak ibu sedang menyuapi Salsa. Wajah ibu pun murung.
"Bu, Juwinya ada?" tanya Devit sedikit canggung dengan tatapan Bu Nurul, mertuanya.
"Saya merelakan anak gadis saya menikah dengan kamu, bukan untuk memberikannya air mata ya. Belum satu pekan, kamu sudah membuatnya menangis. Kalau kamu merasa menyesal menikahi anak saya yang janda, lebih baik talak saja!"
Dduuaarr!
Ucapan mertuanya membuat Devit terdiam tak berkutik.
"Mumpung kalian baru menikah siri," lanjut Bu Nurul lagi, sambil melangkah membawa Salsa masuk ke dalam rumah. Salsa hanya menatap aneh Papa Devitnya juga neneknya. Devit menatap rumah Juwi, tampak Juwi mengintip dari jendela, tatapan mereka bertemu. Juwi memilih berlalu dan masuk ke kamarnya. Devit yang tersadar bergegas masuk ke dalam rumah Juwi yang pintunya tidak tertutup rapat. Setelah mengucap salam, Devit mengetuk pintu kamar Juwi.
"Juwi, Sayang, buka pintunya!"
"Maafkan Abang, Wi."
Masih tak ada sahutan. Juwi masih terisak. Ia kecewa pada Devit, kecewa pada mimpinya yang akan bisa meraih kebahagiaan pada pernikahan ini. Miris sekali hidupnya, seminggu menikah dengan ayah Salsa, ia menangis karena ditinggal selamanya. Kini belum seminggu menikah dengan Devit ia menangis kembali, karena sikap suaminya yang berubah. Mungkin benar, Devit hanya terobsesi padanya, bukan benar-benar mencintainya. Ya Allah sakit. Juwi menangis tersedu. Dan Devit tanpa lelah terus saja menggedor pintu kamar Juwi.
****
Devit nyebelin ga sih??????
Share this novel