oeconomia 6

Romance Series 656

"Vannesha, lain kali nggak boleh begitu sama om Dallbert. Mau gimana pun, dia tuh lebih tua dari kamu. Dan juga dia itu temen papa." Alex mengomeli lembut Vannesha yang baru saja bangun tidur.

Dallbert sudah pergi sebelum Vannesha bangun. Katanya, ia suka sekali sama Vannesha yang tidak terlalu munafik untuk ceplas-ceplos.

"Papa juga gitu. Bunga tidak akan jatuh jauh dari pohonnya."

"Bunga? Buah kali."

"Nggak mau, aku nggak berbiji."

Alex menghela nafas, ia mengerti akan sulit untuk menghadapi dirinya sendiri. Karna 85% anak itu memiliki gen dari ayahnya. Hanya 1 yang tidak. Sifatnya yang modus ke siapapun.

"Papa kan kalau ngomong gitu bercanda sama dia. Karna kita udah deket. Beda kalau kamu sama dia, dia tuh om-om lho. Udah tua. Harus sopan," ucap Alex menasehati.

"Iya, habisnya aku kesel. Botam tuh ngeselin banget. Rasanya rambutnya mau aku jambak. Masa dari kemaren dia ngancem aku buat nggak naik kelas." Vannesha mendumel. Alex hanya bisa terkekeh mendengarnya.

"Seharusnya kamu nggak dapet gen mama kamu yang memorinya jangka pendek. Biar kamu inget seberapa cintanya kamu sama anak itu dulu."

Vannesha melotot ke arahnya, sedangkan Alex membalasnya dengan senyuman. "Papa mau aku benci sama papa kayak aku benci sama dia? Lagian itu pasti pas aku masih kecil. Nggak tau apa-apa."

"Hem," Alex mencoba mengingat-ingat kenangannya tenang dulu. "Waktu kamu umur 3-5 tahunan sih. Ya lumayan lama, cuman kamu lucu banget waktu itu."

"Lucu kenapa sih? Gak ada yang lucu kalau aku sama dia bareng! Pasti waktu itu umur dia udah 20 tahun kan. Ngada-ngada aja papa."

"Mana ada, kamu cuman beda 3 tahun sama dia. Dia masih muda banget! Cuman Dallbertnya terlalu tegas sampe suruh dia kerja sekarang."

"Lho, berarti dia orang kaya dong. Kan om Dallbert kaya banget." Vannesha menatap ayahnya dengan bingung. Sepengetahuannya, Boni selalu pergi ke sekolah menggunakan motor FR80 dan motor itu sering kali mogok.

"Ya, tapi dia hidup pisah sama orang tuanya. Kamu kok jadi penasaran sama dia? Udah mulai naksir ya?" Alex menyungging bibirnya.

"Nggak. Apaan, sih? Udah papa keluar, aku mau tidur lagi," ujar Vannesha mengusir ayahnya. Dan dengan senang hati pun ayahnya pergi, lalu menggoda Cella untuk mendapatkan jatah malam ini. Sudah tidak heran lagi untuk Vannesha. Kedua orang tuanya sangat frontal di hadapannya.

Vannesha membuka ponselnya dan menatap datar dan dingin ke notifikasi yang masuk. "Dasar, Dara gila," begitu ucapnya, sehabis melihat ada sekitar 560 missed call dari Dara.

"Kenapa?" Vannesha menelpon Dara kembali. Kalau ia tidak menelpon, pasti besok wanita itu sudah berkoar-koar memarahinya karna tidak memperdulikannya lagi.

"Gue berantem sama nyokap, gua nebeng tidur dirumah lu ya."

"Nggak boleh."

"Yaudah, bye. Gua kerumah Bram aja, ngadu kalo calon ceweknya kejam gamau pinjemin rumahnya untuk tidur."

Vannesha membelalak. Iya, benar juga, ia belum membalas chat Bram daritadi. Padahal ia sudah berjanji nanti malam untuk menemani Bram belajar. Dan sekarang sudah jam 11 malam.

"Udah malem, Dar. Kalo lo mau mati diculik abang angkot malem ini sih, ya silahkan aja kerumah gue. Buka 24 jam kok, buruan!" Vannesha menghentakkan suaranya di kata terakhir. Sedangkan Sara langsung mematikan handphone-nya dan pergi kerumah Vannesha.

Bram : lo pasti lagi ngebo
Bram : gue capek nunggu lo daritadi
Bram : gue gajadi belajar, tidur dlu ya
Bram : bye, cantik

Vannesha mendengus kesal namun senang. Kesal karna seharusnya ia tidak tidur tadi. Dan senang karna untuk pertama kalinya Bram memanggilnya cantik.

Vannesha hening lalu berfikir sejenak. Ternyata Dara berguna juga untuk membagikan teman-temannya.

Dara memang punya banyak teman kecil cowok, karna banyak teman ayahnya yang selalu membawa anaknya ke rumah Dara. Termasuk Alex, maka itu mengapa Dara dekat sekali dengan Vannesha.

Tok tok tok

Dara mendobrak pintu kamar Vannesha lalu langsung berbaring di tempat tidurnya. "Asu, gua ketemu si Botam di angkot!"

"Lah, terus gimana?" Tanya Vannesha penasaran.

"Ya, gue diomelin. Katanya kenapa malem-malem cewek keluar. Naik angkot lagi, gabaik. Gitu"

"Terus?"

"Terus karna gue kesel sama mak gue. Jadinya gua lampiasin ke dia, saya jadi ikutan Vannesha untuk benci bapak."

"Terus?"

"Terus dia godain gue! Dia bilang, saya juga ikutan cinta sama kamu," ucap Dara lalu memasangkan mukanya yang merah menahan malu. "Tapi ending-nya dia bilang bercanda," lanjut Dara.

Vannesha menggeleng kepala, bingung dengan alur otaknya Dara. Namun otaknya juga merangsang kalimat yang selalu Boni katakan.

Saya cinta sama kamu.

"Cih," gumamnya pelan, ternyata cowok itu ngomong kesemua penjuru wanita yang ia kenal. Dasar, nggak jauh beda sama playboy pinggir jalan.

"Terus napa muka lo merah sekarang?" Lanjut Vannesha menanya.

"Gue baper masa. Botam ganteng banget, gila hati gua terpana." Dara langsung menutupi mukanya dengan bantal lalu berteriak seperti orang baru jatuh cinta.

"Lo suka?"

"Nggak! Hati gue masih tertuju untuk Velion Dapierre." Dara langsung semangat untuk menentang. Lalu ia menarik selimut untuk bergegas tidur.

"Kata papa gue, tidur gaboleh lebih dari jam 12."

"Kenapa?" Tanya Vannesha.

"Nanti bisa jatuh cinta."

Vannesha sangat kaget dengan jawaban temannya satu itu. Ia benar-benar melototkan matanya kepada Dara yang sudah memeluk guling dan mencoba tidur. Ia mengernyit, dan menahan rasa emosinya untuk mendebatkan kebingungannya.

"Tidur!" Dara membalikkan badannya lalu melotot ke arah Vannesha yang masih belum memalingkan mukanya menatap Dara.

"Lo emang bener-bener harus masuk RSJ, Dar. Demi kebaikan lo juga. Karna dunia ini terlalu jahat untuk cewek autis."

• • •

"Udah gapapa, gue jemput aja. Gue udah on the way ke rumah lu nih," ucap seseorang dalam telpon yang sedang mengarahkan mobilnya ke rumah Vannesha, Bram.

"Kok lo tau rumah gue sih?"

"Dara kan ada dirumah lo. Kayak gatau aja temen lo mulutnya gabisa diem."

Vannesha mengalihkan matanya menatap Dara yang sekarang lagi asyik makan mie buatan Cella. "Enak tante, harusnya tante buka restoran," ucap Dara menjilat. Padahal yang dibuat Cella hanyalah indomie goreng biasa.

"Yaudah," tutup Vannesha.

"Gue baik, Van. Nggak ngebiarin kita naik angkot kesekolah. Bayangin hujan-hujan gini naik angkot." Dara menyelamatkan dirinya. Ia tau sebentar lagi Vannesha akan mengomelinya karna menyuruh Bram menjemput.

"Bingung nih, Pierre udah makan belum yah?" Dara bergumam. Vannesha menatapnya datar. Sudah biasa Dara seperti orang gila yang menanyakan keadaan Pangeran Imajinasi-nya setiap waktu.

"Dara, papa kamu ada di depan lho itu. Dia mau jemput kamu katanya," ucap Alex yang baru saja datang ke ruang makan. Mata Dara berbinar-binar. Akhirnya ia menemukan waktu yang pas agar Bram bertemu dengan Vannesha tanpa ada yang menggangu.

"Oke, om. Oh ya, Van, gue sama bokap gue ya. Lo sama Bram aja," ucap Dara yang makanannya masih tertimbun di mulut. Lalu pamit ke kedua orang tuanya Vannesha.

Beberapa menit kemudian, Vannesha menelan ludahnya. Terlebih sekarang Bram sudah ada di depan rumah dan menyuruhnya keluar. Ia gugup. Sangat gugup.

Bram : apa perlu gue jemput kedalem biar lo buruan keluar?

Vannesha membelalak. Ia pamit ke Alex dan Cella lalu langsung keluar rumah. Dilihatnya Bram yang sudah menunggunya di depan gerbang, lalu berkata, "Buruan, Tuan Putri."

Vannesha tersenyum. Mungkin kini dia menyadari siapa yang akan membuatnya move on dari Jacob.

• • •

"KELUAR!"

Boni menyeret Vannesha dari mobil Bram. Ia menatap Bram dengan sinis. Sedangkan Bram menatap Boni dengan datar. "Lo tau gue suka sama siapa. Gausah takut." Begitu, kata Bram.

"Apaan, sih? Mau lo buat hamil nih cewek juga nggak masalah buat gue." Boni membanting pintu mobil Bram dengan keras. Ia menarik Vannesha menjauhi area parkiran.

"Pelan-pelan, Pak. Sakit banget tangan saya!"

"Mulai sekarang. Janji sama gue. Jangan pernah berangkat sama dia. Atau gue beneran buat lo nggak naik kelas."

Vannesha melototkan matanya. Ia kaget dengan kalimat Boni yang pertama kali memperlakukannya dengan lo-gue.

"Kenapa? Cemburu ya?" Vannesha menyungging bibirnya. Membalaskan dendamnya atas perbuatan Boni kemarin.

"Pokoknya kalo gue bilang gaboleh, ya gaboleh! Batu banget sih lo dibilangin!"

"Suka-suka saya lah, pak. Emangnya Bapak siapa kok ngatur?"

"Gue? Guru lo!"

"Guru doang kan?"

"Emangnya kenapa? Lo mau lebih? Yaudah gue pacar lo! Makanya gue nggak ngebolehin!"

"Amit-amit cabang baby. Ogah banget saya pacaran sama Bapak."

"Intinya kalo lo tetep jalan sama dia, gue nggak segan-segan buat lo nggak naik kelas."

"Emangnya kenapa sih pak?!" Ia melihat muka Boni yang sekarang sudah merah menahan marah. Seketika hasratnya untuk mengajak Boni berdebat pupus.

Untuk pertama kali-nya ia takut melihat muka Boni menahan amarah.

"Gue nggak suka! Perlu gue teriakin sekali lagi depan telinga lo kalau GUE. NGGAK. SUKA. Kalo lo masih berani buat berangkat bareng sama dia, jangan harap dia bakalan hidup dihari selanjutnya."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience