oeconomia 3

Romance Series 656

Vannesha menggeretakkan giginya, menatap sebuah lembaran dengan matanya yang tajam. "Persetanan dengan Boni Tamflakes." Begitu, ujarnya. Vannesha masih tetap melihat ke arah tinta merah yang bertuliskan "50". Padahal malam itu, ia sudah belajar mati-matian agar tidak remedial. Bahkan ia merelakan waktu tidur cantiknya hanya demi memplototi buku ekonomi yang tidak berguna itu.

"Gua 73, lebih nyesek," kata Yessie lalu menyodorkan kertas ulangannya, bermaksud untuk membuatnya melihat bahwa kali ini, Yessie juga ikutan benci sama Pak Boni.

Berbeda dengan Dara dan Lily. Lily mendapatkan 100 walaupun malamnya ia sempat tidak belajar lalu tertidur karna drama korea yang merasuki jantungnya. Sedangkan Dara, ia dapat 35 dan tidak mengusik nilai itu lagi. Toh, dia tidak pernah peduli juga.

"Bentar lagi valentine. Lo nggak kepikiran buat ngasih barang ke mantan lo, Van?" Dara memulai topik, berharap Vannesha melupakan ulangan yang baru saja diberikan. Mata Vannesha berubah menjadi berbinar-binar.

"Rencananya sih, gua mau buat 100 why i love you ke dia!" Vannesha menjawab riang. Lalu tersenyum-senyum sendiri memikirkan bagaimana tanggapan Jacob saat menerima itu nantinya.

"Geli lo. Pacaran aja udah kagak."

"Gak perlu pacaran juga untuk buat kayak gitu," ucap Vannesha menentang. Lalu beralih memasukkan ulangan ekonomi yang berada di atas mejanya, karna setiap kali melihat ulangan itu mood bahagianya langsung hilang seketika.

"Bikin dirumah gue aja, yuk? Nyokap gue kangen sama lo pada," kata Dara mengusul.

Sara Maqueliel, mama angkatnya memang memiliki hubungan yang dekat dengan sahabat-sahabat Dara. Karna Sara selalu meminta mereka ber-3 menjaga anaknya itu agar kejadian dimasa lalunya tidak kembali lagi.

Kalau menurut Vannesha, Dara itu menyebalkan. Apalagi kalau udah emosi sendiri, pasti membuat Vannesha ikutan emosi. Begitu sebaliknya.

Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa gadis seperti Dara memiliki banyak masalah dengan mentalnya. Yang mengakibatkan dirinya harus rutin mengkonsumsi obat-obatan.

Berbeda dengan Vannesha, ia lebih baik mengundur waktu ke masa lalu dan menikmati itu semua, daripada harus menjalani hidup melewati semua ini. Apalagi sekarang Boni si tukang pengisi acara Katakan Putus disekolah sudah masuk kehidupnya.

Keluarganya cukup bahagia, ia anak tunggal dari sepasang suami-istri yang menikah tahun 2024-an.

Keluarganya damai. Mungkin lebih tepatnya cukup sedikit damai. Karna kadang ia harus mendengarkan ayah dan ibunya yang bertengkar karna ibunya pelit memberi jatah malam. Rasanya, kupingnya mau meledak kalau itu sudah terjadi.

"Kapan? Sabtu aja ya," ucap Lily.

Sedangkan Lily, hanya memiliki permasalahan di dalam dirinya yang selalu ia paksakan hingga merusaki batinnya. Terlalu repot sampai ia lupa untuk mencintai dirinya sendiri.

Kalau Yessie, tidak terlalu spesifik. Dia gadis bahagia yang terberkati dan selalu mengandalkan Tuhan dalam setiap jalan hidupnya. Baginya, untuk berkata "anjing" saja, sudah masuk kedalam kategori kasar. Banget.

"Gua nggak ikut," balas Yessie pelan. Mereka bertiga mengangguk, bermaksud tahu bahwa Yessie ada acara keluarga yang sudah ia beritakan dari jauh hari.

"Woi, Vannesha. Lo dicariin sama si Boni di ruang tatib," ucap mike tiba-tiba teman sekelasnya yang hobi bermain golf. Dan tentunya, memainkan wanita juga. Namun untuk saat ini, jabatannya adalah lelaki yang dicintai Yessie.

"Emang sih, jodoh gak bisa dihindar." Dara terkekeh.

"Gue tusuk idung lo sekali lagi ngomong," tukas Vannesha lalu menunjuk jarinya ke arah hidup Dara. "Nih, tusuk." Tantang Dara lalu membesarkan lubang hidungnya.

"Cepet Vannesha!" Ujar Mike sekali lagi tergesa-gesa. "Bisa sabar gak sih? Jadi cowo aja ribet bener lu ya." Vannesha menyipitkan matanya ke arah Mike, layaknya pentolan kelas yang padahal dianggap ada oleh kelasnya saja tidak.

"Bukan itu. Kalo lo nggak kesana dalam jangka waktu 5 menit. Ntar nilai gue dipotong 10 poin. Ogah banget!"

Mike berjalan ke arah Vannesha lalu mendorongnya untuk melangkah lebih cepat. Tidak seperti perkiraannya, tubuh Vannesha yang ramping ternyata memiliki kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya. Apakah cewek ini selalu memakan barbel setiap hari?

• • •

Boni melemparkan sebuah buku kecil yang mencatat semua nilai ekonomi yang selalu Vannesha dapatkan. Tidak ada yang diatas 50. Padahal KKM-nya saja 75.

"Vannesha Agatha Leone, wanita cantik tidak berotak namun berotot yang tidak pernah memiliki nilai bagus, khususnya ekonomi," ucapnya penuh penekanan di kata terakhir. "Dan juga, selalu melanggar peraturan berpacaran selama 3 bulan berturut-turut. Kenapa sih? Mau cari perhatian saya ya?" lanjut Boni percaya diri.

"Boni Tamflakes, pria muda tidak berotot dan tidak berotak. Yang memiliki kepercayaan diri teramat tinggi sampai membuat saya mual. Kenapa sih? Mencoba membuat lelucon ya?" jawab Vannesha kembali menantang.

"Saya nanya serius. Kamu lihat ini." Tangannya menyodorkan buku ke depan muka Vannesha. "Kalau dibiarin, kamu bisa saya buat nggak naik kelas. Saya punya wewenang untuk itu," lanjutnya.

"Dih, apa-apaan."

"Salah satu jalan keluarnya, perbaiki nilai kamu itu. Masalah pacaran masih bisa saya maafkan."

"Harusnya saya yang maafin Bapak!"

"Enak aja. Apa salah saya?"

"Bapak tuh ya, nggak ngerti juga? Bukannya udah saya perjelas di depan UKS minggu kemarin? Bapak mau saya pites atau saya tinju?"

"Kamu peluk lah!"

"Geli, Nggak nyambung banget!"

"Apa nggak nyambungnya?" Tanya Boni menantang lalu menaikkan sebelah alisnya sambil menyungging tipis.

"Bapak hidup aja udah nggak nyambung," tukas Vannesha singkat, membalas perlakuan Boni dengan menyiniskan matanya. Siapa takut untuk berdebat wajah dengan guru seperti dirinya. Vannesha cukup berbakat untuk itu.

Boni tidak mengubris, ia masuk ke tujuan awalnya memanggil Vannesha disini. "Saya tau alamat rumah kamu, dan karna kepala sekolah mengetahui nilai kamu yang sangat buruk. Maka saya ditugaskan untu-"

"Nggak usah," potong Vannesha. "Saya bisa buktiin saya bisa tanpa bapak ngajarin saya! Nanti tunggu ulangan minggu ini."

Alis Boni bertautan padahal ia belum menyelesaikan omongannya tadi. Sebetulnya Boni ini mengatakan untuk membawa Jacob ke rumah Vannesha untuk mengajarkannya. Karna Jacob memiliki nilai yang lebih untuk ekonomi.

Namun, karna ia sudah salah sangka. Boni menjadi tertarik untuk membuatnya semakin kesal.

"Badan usaha?"

"Ya, kalau saya bisa, bapak nggak perlu ajarin saya. Kalau saya nggak bisa, bapak baru saya kasih kesempatan untuk kasih pelajaran tambahan."

"Lah, kamu yang kalah mengapa saya yang dirugikan?" Boni membelalak, muridnya yang satu ini memang benar-benar sudah gangguan jiwa stadium akhir.

"Ya, terus apa?"

"Ya, kalau kamu kalah tidak naik kelas."

"Bapak!"

"Saya serius. Jangan harap saya akan bilang kamu untuk menjadi pembantu saya selama 3 atau 4 bulan. Bahkan menjadi pacar saya. Ini bukan sinetron! Saya nggak sudi."

"Dih, siapa juga yang bilang saya sudi sama bapak?"

"Tidak ada, tuh?"

"Saya mending nggak naik kelas daripada harus diajarin sama bapak."

"Malah kalau kamu tidak naik kelas, kamu akan bertemu saya lebih lama."

Vannesha berfikir sejenak, iya juga, ya. Ia mengigit bibir bawahnya, bermaksud bingung ingin menjawab apa lagi. Tanpa sadar, ia memalukan dirinya sendiri di hadapan Boni Tamflakes.

"Hanya bercanda. Kamu akan naik kelas kalau kamu memperbaiki nilai dan sikap kamu selama sekitar 4 bulan ini. Jangan manyun gitu dong." Boni terkekeh akibat muka Vannesha yang sudah terlihat melas dipandangannya. Sedangkan Vannesha menyorot tatapan tajamnya untuk pria itu.

"Saya benci sama bapak!"

"Saya cinta sama kamu!"

"Gausah sok bilang gitu biar saya baper. Saya gak akan baper sama tampang pas-pasan kayak bapak. Apalagi sikapnya bikin saya il-feel 7 turunan."

"Oh, ya?"

"Iya!" Angguk Vannesha cepat lalu memelototkan matanya ke arah Boni, sedangkan Boni masih terkekeh.

"Kamu lagi berusaha membuat skrip drama ya? Bilang seakan-akan tidak akan baper, tau-taunya beberapa bulan kemudian beneran jatuh cinta. Basi! Mending bilang cinta dari sekarang."

"Dasar nggak waras! Makan tuh cinta. Kenyangin tuh perut, ampe badan lo jadi gembrot juga gue gakan naksir sama orang tua kek lo." Vannesha melarikan diri dari ruangan itu. Berlari pelan memendam rasa bencinya yang sekarang tidak bisa diukur lagi saking beratnya.

Sedangkan Boni hanya kebingungan sambil mengingat apa yang Vannesha katakan tadi.

"Orang tua katanya? Kita cuman beda 3 tahun!"

• • •

"Jadi lo sekarang ke rumah gue cuman numpang belajar ekonomi?" Lily menatap Vannesha dengan tidak percaya. Tidak seperti biasanya Vannesha niat belajar ekonomi seperti ini. Padahal ulangannya saja masih 2 hari lagi.

Vannesha mengangguk, "Biar urusan gua sama si Boni terputus. Kalau bisa gua amnesia biar nggak kenal Boni siapa."

"Heh, gimana sih lo? Ga bisa dengerin juga kalimat calon suami lo kalo udah berkoar di kelas? Katanya ngomong tuh yang baik-baik. Karna omongan adalah doa. Aneh-aneh aja lo mau amnesia." Dara yang daritadi membaca novel ikutan terpancing untuk membahas Boni.

Ya, Dara memang menjodohkan Boni dengan Vannesha habis-habisan. Menurutnya, lucu. Karna ia selalu membenci Boni lalu menajis-najiskan pria itu jika sudah mulai berulah. Seperti tiba-tiba marah sendiri, tertawa sendiri di depan kelas, membahas pelajaran sambil teriak-teriak, bahkan bercerita hantu lalu teriak sendiri untuk membuat murid-murid histeris. Kalau di beberapa novel yang pernah Dara baca. Berawal benci ujung-ujungnya tentu akan jatuh cinta.

"Astaga, Vannesha. Buku ekonomi lo aja udah hancur gini. Mau belajar gimana yaampun," keluh Lily bingung sambil memandang buku ekonomi Vannesha dengan tatapan tidak suka, tidak habis fikir seorang Vannesha memiliki cara yang biasa untuk menunjukan bencinya.

"Pantes aja Botam demen banget manggil lo ke ruang tatib. Ga heran lagi gua," lanjut Lily.

"Nih ya, daripada lo pening mikirin ekonomi sama si Botam. Mending lo, gue kasih kontak cogan. Anak kuliahan lho, masih semester 2. Muda kok." usul Dara lalu menutup novelnya. Namun Vannesha menggeleng.

"Ah, idup lo lebih monoton dari film yang gue tonton, sial."

Vannesha tidak mengubris, ia mengerucutkan bibirnya lalu memainkan ponsel untuk menghibur hatinya yang sedang kebingungan. Bagaimana kalau nanti dia beneran tidak naik kelas?

Tidak lama ia membuka instagram, lalu muncul pop-up chat dari orang yang ia tidak kenali.

"Bram Liffiedid?" Gumamnya pelan, namun terdengar oleh Dara dan juga Lily.

Dara yang mendengarnya itu langsung terkekeh dan tertawa lepas hingga wajahnya memerah. Sedangkan Vannesha hanya menatap teman gilanya satu itu dengan kebingungan.

Bram Liffiedid : halo
Bram Liffiedid : boleh kenalan ga?

Vannesha A : siapa ya?

Bram Liffiedid : temennya Dara

Vannesha A : tau kontak gue dari mana?

Bram Liffiedid : dari Dara lah
Bram Liffiedid : katanya lo buka jasa jual diri
Bram liffiedid : makanya gue chat lo

Vannesha menyipitkan matanya ke arah Dara yang masih terguling ngakak sampai jatuh ke bawah kasur. Tidak jauh beda sama Boni, ia sama-sama menyebalkan. Seharusnya Dara menjodohkan dirinya sendiri dengan Boni, bukan Vannesha.

"Heh laknat, gua sumpahin besok lo mati karna kebanyakan ketawa."

"Aduh, jangan gitu. Kata Botam, ngomong harus yang baik baik." Dara masih belum bisa menghentikan tawanya, mukanya masih berwarna merah, berbeda jauh dengan warna tangannya sendiri.

"Sengaja, dia bercanda kok soalnya bingung mau mulai chat gimana. Akhirnya gua usul itu deh," ucap Dara menenangkan dirinya. Anak ini terlalu receh, sampai-sampai hal tidak lucu seperti itu bisa membuatnya tertawa. Sama seperti harga dirinya, receh.

"Gue nggak mau."

"Ganteng woi, dia temen kecil gue. Dan lo juga sebetulnya. Lo liat aja bapaknya aja udah kek berlian. Ganteng parah. Gua sih kepicut ama bapaknya ya bukan sama Bram-nya." Dara mengambil ponselnya lalu membuka galeri, lalu menyodorkan handphone-nya ke arah Vannesha.

Vannesha membelalak, untuk pertama kalinya kini ia mempercayai Dara. Ternyata ada orang tua yang setampan ini. Namun sekejap ia langsung menyadarkan dirinya.

"Nggak ah, gua sukanya sama Botam." Vannesha masih tampak memperhatikan photo yang di berikan Dara. Sedangkan Dara dan Lily berpaling kaget mendengar kalimat yang baru saja ia cetuskan.

"Lo suka botam?" Tanyanya sekali lagi meyakinkan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience