oeconomia 1

Romance Series 656

VANNESHA menopang kepalanya dengan kedua tangan, mendengus perlahan, bermaksud untuk melegakan dirinya sendiri.

"Udah, gausah sok sedih lagi. Buruan makan." Lily mengajukan sendok ke mulut Vannesha, dan ditepis begitu saja sehingga membuat makanan itu berserakan kemana-mana.

Lily menahan amarahnya. Tidak mungkin ia memarahi wanita itu jika keadaannya sudah begini, yang ada Vannesha akan tambah badmood dan imbasnya kesemua orang.

"Makan! Ga menghargai orang banget sih. Putus itu masalah lo sama si Jacob, bukan sama Lily. Ga profesional." Dara berdecak kesal.

Jacob menyudahi hubungannya pada Vannesha saat monthsary bulan ke-3. Katanya, ia risih saat Pak Boni mengomeli terus waktu mereka berdua. Padahal, Vannesha cinta mati sampai tidak bisa bernafas, kalau mengingat dia mencintai Jacob.

"Noh, liat sendiri. Jadi repot temen lu," lanjut Dara.

Berbeda dengan Daraline, Lily lebih kalem dan selalu berpasrah kalau ada masalah. Kadang, Lily bisa menjadi seseorang yang menyenangkan, namun bisa juga menyebalkan. Walaupun kebanyakkan menyebalkannya.

"Gua malas menjalani hidup, apalagi abis ini pelajarannya si Botam." Vannesha mulai bersuara, sambil menatap Lily yang sedang membereskan nasi yang tumpah tadi.

"Botam ganteng kok." Lily menyengir lalu mengalihkan pandangannya ke Vannesha. "Apalagi, kalau ngeliat dia lagi bercanda. Lucu banget, ditambah mukanya yang ganteng," lanjut Lily.

"Orang gila." Dara menatap Lily dengan penuh ketidakpercayaan.

"Lo juga lebih gila! Suka sama imajinasi, mana mungkin bisa jadi nyata sih. Dasar nggak waras," ucap Lily menepis kalimat yang Dara ajurkan.

"Jika Tuhan berkehendak, maka itu akan menjadi nyata."

Lily yang berdiam tanpa membalas apapun. Ia kembali membersihkan nasi yang jatuh dan membuangnya ke tempat sampah. "Loh, Lily, kok kamu buang nasi?" Sumber suara itu berasal dari belakangnya, ternyata Pak Boni sudah datang.

"Tumpah, pak."

Boni menaikkan sebelah alis, bermaksud menyudahi percakapannya.

"Hey, sudah silahkan kembali ke tempat duduk semuanya!" Boni mulai mengeluarkan suaranya di depan kelas. Pelajaran yang paling membosankan akan melanda di kelas ini, di jam ini, menit ini, detik ini, dan sekarang.

Boni Tamflakes memang orang yang menyenangkan, namun jangan harap kau bisa menemukan keseruannya saat ia sedang serius. Jika ia serius, maka ia sedang tidak bercanda.

Padahal nama aslinya Ballbert North Tamflakes. Namun karna menurut ibunya terlalu panjang, maka ia menyuruh anaknya menggunakan nama Boni agar gampang diingat. Awalnya Boni menolak, karna jadi tidak nyambung dengan nama belakangnya. Namun demi ibunya, ia harus rela.

Di SMA Charleslouis ini, Boni adalah guru yang paling muda. Ia masih berumur 19 tahun. Menurut ceritanya, ia disuruh mencoba bekerja oleh ayahnya, Dallbert Tamflakes. Keberuntungannya adalah, Dallbert merupakan kerabat dekat dari pemilik sekolah ini. Sehingga, mengajukan Boni untuk bekerja disini cukup mudah.

Padahal, Boni baru saja lulus SMA dan masih semester 2 kuliah. Hanya karna nilai ekonominya sangat bagus dan ia mendapatkan nilai 100 saat Ujian Nasional ekonomi. Akhirnya ia diberi kesempatan untuk bekerja disini.

Kalau ditanyakan apakah Boni menyukai pekerjaannya, jawabannya tentu tidak. Karna Boni bercita-cita untuk menjadi Make Up Artist, mengikuti jejak ibunya. Bukan menjadi guru ekonomi yang bisa membuatnya frustasi. Apalagi sekarang jabatannya menjadi guru tatib.

Dan yang ia lakukan sekarang itu hanya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Karna Dallbert tidak mau memberinya uang jajan jika ia tidak mau mencoba bekerja dalam jangka waktu sekitar 3 tahun.

Hidup memang menyedihkan, begitu kalimat yang sering dilontarkan batinnya.

"Vannesha, sakit? Kalau nggak, lepas jaketnya!" Boni meninggikan suaranya. Vannesha masih berdiam diri dan tidak mengubris kalimat yang Boni lontarkan.

"Ehm, dia sakit pak." Yessie menyelamatkan Vannesha. Kalau saja Yessie tidak bilang, maka Vannesha hanya tinggal menunggu ajal, kapan ia dipanggil ke ruang tatib.

Ini Yessie, anak multitalented yang memiliki paras wajah cantik. Sangat teramat cantik. Namun, ia selalu merendahkan diri berkata bahwa dia gemuk. Padahal, tubuhnya sangat bagus untuk dipadukan dengan wajahnya itu.

"Yasudah, antarkan saja dia ke UKS. Jangan lupa kasih obat," ujar Boni, lalu menyiapkan materi yang akan di bahas, tentang Badan Usaha. Untung saja Vannesha di gusur ke UKS, jadi ia tidak perlu memeningkan otak disaat suram seperti ini.

"Tapi pak, saya lagi malas jalan," ucap Yessie.

Boni menyiniskan matanya ke arah Yessie. Lalu beralih memandang Vannesha yang sudah berpura-pura untuk memasang muka lemah yang terkasihani.

"Ah, menyebalkan." Batinnya.

Boni mulai berjalan ke arah Vannesha, dipandangkan tubuh wanita itu yang sudah duduk lemas. "Masih bisa jalan nggak?" Tanya Boni lembut, tidak mungkin ia mengkasari orang sakit. Ia tidak sejahat itu.

Vannesha hening. Tidak menjawab satupun.

"Tadi sih, waktu saya ngajak ketoilet, dia gabisa bangun pak. Katanya kakinya sakit." Yessie lanjut berujar. Vannesha membelalak.

Tanpa lebih dari 3 detik, Boni sudah menggendong Vannesha dengan bridal style. Gaya gendongan yang sudah di impi-impikan Vannesha dari dulu. Impiannya sih di gendong Jacob, tau-taunya sama Boni, yang membuatnya menjadi benci dengan gaya impiannya sendiri.

Yessie terkekeh pelan, begitu juga dengan Lily dan Dara. Sedangkan, para murid yang lain, mencoba untuk mengejek mereka berdua.

"Hey, saya begini agar saya nggak dimarahin, dari pada saya biarkan anak ini terjun payung disini," tukas Boni cepat berlalu dan meninggalkan tapak kakinya di kelas itu.

Boni menuruni tangga dengan rasa takut. Ia menjelikan matanya ke arah lantai, lalu menguatkan tangannya dan berjalan dengan pelan. Mengapa yang ia gendong lebih berat daripada barbel 80 kg?

"Bapak, turunin saya disini aja lah," kata Vannesha sesampainya di depan ruang UKS

"Emang mau diturunin disini, geer banget sih."

"Siapa juga yang geer sama bapak. Benci iya."

Boni tidak mengubris kalimatnya itu, karna walaupun banyak orang yang menyukainya sebagai guru. Namun banyak juga mayoritas murid yang benci dengan dirinya. Jadi untuk kalimat Vannesha, itu tidak membawa dampak apa-apa.

"Sakit apa? Biasanya dirumah minum obat apa?" Kata Boni. Boni menempelkan telapak tangannya ke kening wanita itu. Tidak panas sama sekali.

"Liver saya luka."

Boni membelalak, ternyata muridnya yang biasa ini memiliki penyakit yang lumayan serius. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan bertemu dengan orang seperti ini.

"Hah serius? Terus kamu bawa nggak obatnya? Kamu udah sering cek ke dokter kan?" Tanyanya cemas. Cemas sebatas murid dan siswa.

"Apa, sih, kepo."

"Nggak, saya serius."

"Orang bapak yang buat liver saya luka, terus ngapain cemas lagi. Harusnya bapak intropeksi diri apa yang salah."

Boni mengkerutkan dahi, alisnya kini bertautan. "Hah kok saya? Jangan bawa-bawa saya dong ke masalah kamu. Memangnya saya pernah mutusin atau PHP-in kamu apa ampe nyakitin kamu begitu?"

"Lah, malah bapak yang masuk ke masalah saya. Coba aja kalau bapak nggak ada, saya nggak akan putus sama Jacob." Suara Vannesha meninggi.

"Oh, putus? Cari baru lah! Gampang dibikin susah. Kayak bakalan mati aja kalau udah putus. Dasar nggak waras."

"Bapak ngomong enak ya?"

"Lagian kan emang bener. Kamu nggak sadar juga? Di sekolah ini tuh dilarang pacaran. Telinga kamu tuh tuli atau memang kamu tidak punya telinga?"

Vannesha mendecak kesal, ia menatap Boni lurus dan setajam-tajamnya. "Awas ya, pak. Saya sumpahin bapak ngelanggar peraturan yang udah bapak buat sendiri!"

Boni mendesah pelan sembari tertawa kecil.

"Nggak akan, nggak pernah, dan nggak akan pernah," jawab Boni percaya diri. Ia menaikkan alisnya lalu mulai menyunggingkan bibirnya. "Kecuali kalau kamu yang buat saya jatuh cinta."

Vannesha menatapnya dengan tidak percaya. Sakit jiwa. Bagaimana bisa-bisanya guru seperti dia bisa diterima di sekolah ini?

"Jangan natap saya seperti itu, saya jijik liatnya. Kamu gapernah diajak bercanda atau gimana?" Boni mulai menertawai Vannesha. Vannesha mentautkan alisnya, "Geli. Ngapain juga bikin bapak jatuh cinta. Ngeliat bapak hidup aja rasanya hormon serotonin saya langsung meledak."

"Ya, terserah kamu. Istirahat yang cukup," ujar Boni lalu meninggalkan Vannesha, kembali ke kelasnya.

"Oh, ya, Vannesha. Naikkan kaos kakimu" Boni membalikkan arah lalu mengarahkan tangannya ke kaos kaki Vannesha.

Di Sekolah Charleslouis ini, memang diwajibkan untuk menggunakan kaos kaki dengan tinggi. Hal remeh yang selalu di ungkit oleh Boni. Bahkan, jika siswa ingin menggunakan jaket saja, harus ijin ke guru piket.

Vannesha menatap Boni namun tidak bergerak untuk menaikkan kaos kakinya. Boni yang melihat itu membalas tatapan sinis yang Vannesha berikan.

"Saya benci sama bapak!" ujarnya lalu membalikkan badan masuk ke UKS. Boni hanya bisa mendengus pelan. Ia membalikkan badannya dan langsung beranjak kembali ke X-IPS 2. Lalu tersenyum sedikit sambil menggelengkan kepalanya.

"Orang gila yang sedang gila akan cinta." begitu, batinnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience