oeconomia 11

Romance Series 656

"Bapak tuh, kenapa sih tadi harus begitu? Saya jadi malu banget tau di ejekin temen sekelas," omel Vannesha dari tadi tak henti-henti sejak ia mulai membersihkan ruang tatib.

Boni menatapnya sebentar, lalu lanjut menatap materi yang nanti akan di tes kan saat ujian. "Orang nyatain perasaan cinta, gaboleh?" ujarnya sambil membaca.

Vannesha menghentikan gerakannya, lalu melemparkan tatapan tajam ke pria berjambul itu, "Geli banget sih, sok-sokan bilang nyatain cinta. Tapi cintanya sama cewek yang waktu itu di kantin. Gasuka saya, langsung il-feel bawaannya."

Boni menutup bukunya, lalu menatap Vannesha yang dari tadi belum memalingkan mukanya. "Saya udah bilang berkali-kali. Saya nggak pacaran, jangan cemburu!"

Vannesha menyaltokan kedua bola matanya, bermaksud tidak peduli dan meneruskan pekerjaannya. Berharap ia dapat menyelesaikan dengan cepat dan pergi dari hadapan makhluk entah dari mana asalnya.

Sekaligus, bertemu dengan Bram.

"Kamu suka dia?" tanya Boni memulai percakapan baru secara tiba-tiba. Kalau menurut kata hatinya, ia tidak bisa lama-lama berdiaman dengan Vannesha. Jantungnya akan keluar kalau itu terjadi.

"Siapa?"

"Pria yang tadi pagi."

"Oh," ucap Vannesha sambil menganggukkan kepalanya. Lalu menghentikan pekerjaannya sebentar dan menatap Boni sekilas.

"Bapak, kenal?"

"Saya nanya kamu duluan. Kok malah nanya balik?"

"Hm.. gatau, Pak. Bingung saya."

"Kenapa bingung?" Boni menghembuskan nafasnya lalu menegakkan dirinya di atas kursi. "Makanya, jangan naksir sama saya terus kepicut lagi sama dia. Bingung kan jadi milih yang mana."

Vannesha melebarkan kedua mata. Hidungnya kembang kempis, bermaksud tidak percaya dengan sosok di depannya yang sudah berbicara diluar nalar orang sehat.

"Sembarangan! Mana mungkin saya suka Bapak."

"Biarin. Saya suka kamu tuh."

"Itu kan Bapak, saya mah nggak."

"Kenapa nggak?"

"Karna dari sananya saya emang nggak suka sama Bapak!"

Boni terkekeh pelan, namun lama-lama suara tawanya menjadi sangat besar. Sedangkan Vannesha yang melihat itu langsung menatapnya dengan bingung. Memang sudah sakit jiwa, begitu katanya.

"Coba kamu tanya kepada om Alex, dulu kamu pernah cinta dengan siapa."

Vannesha membelalak, betul juga. Ia teringat bahwa, dulu ia adalah teman masa kecil si Boni Katakan Putus.

"Yaudah, lah, Pak. Kalau saya dulu pernah suka sama Bapak. Itu kan dulu, saya sekarang udah nggak suka lagi. Lagian itu kan masih anak-anak. Saya percaya 100 derajat kalau itu cuman cinta monyet."

"Saya nggak peduli. Kamu milik saya."

"Ngawur! Saya bukan milik bapak, saya milik mama papa saya."

"Saya sudah bilang kalau saya nggak peduli. Sekali saya bilang kamu milik saya, ya milik saya. Jadi, mulai sekarang jangan pernah kamu berinteraksi sama cowok lain selain saya." Boni menegaskan kalimatnya. Vannesha memijit pelipisnya karna sudah tidak tahan dengan kelakuan Boni dari kemarin.

"Bapak kira saya hewan apa, harus nurutin kata majikannya."

"Kamu bukan hewan, dan saya bukan majikan. Kamu itu Nesha, saya Ballbert. Dan saya mencintai kamu!"

"Saya nggak percaya lagi sama kalimat Bapak. Bullshit semua. Apalagi semenjak saya tau kalau Bapak bilang cinta ke semua orang."

Boni berdiri dari kursinya, lalu menatap Vannesha dengan tidak percaya. Ternyata Vannesha sama saja seperti dulu. Tidak pernah berubah dan selalu keras kepala.

"Sembarangan! Emangnya saya pernah bilang ke kamu kalau saya bercanda waktu bilang cinta?"

Vannesha hening sejenak, mengingat kejadian dimana Dara nginap di rumahnya dan berbicara riang tentang Boni Katakan Putus.

Benar juga, selama ini ia tidak pernah bilang bercanda. Sedangkan saat Dara bercerita, Boni mengatakan "bercanda" pada akhirnya. Namun, seketika Vannesha menyadarkan dirinya.

"Sama aja! Bapak sama-sama genit. Saya udah bilang, saya udah ga percaya lagi sama Bapak. Jadi mau Bapak ngomong apapun, saya nggak percaya."

"Saya juga gaperlu kepercayaan kamu. Intinya saya cinta," ucap Boni ikutan keras kepala, menegaskan statement-nya yang sudah ia pendam dari jaman azoikum.

"Saya juga cinta sama Bapak!" bentak Vannesha yang membuat muka Boni menjadi lebih lembut dibandingkan sebelumnya.

"Tapi dulu!

"Bahkan saya nggak inget kalau saya kenal sama Bapak. Atau lebih kasarnya lagi, saya nggak inget kalau Bapak hidup!" Vannesha yang tadi mengeluarkan kalimat bertentangan dengan isi hatinya itu langsung terdiam. Menyesali atas apa yang ia lontarkan, semenjak melihat Boni mengembuskan nafasnya dan menunduk ke bawah.

"Gapapa, saya masih cinta kamu," ucap Boni pelan, bermaksud menyerah untuk melanjutkan debat yang tak kunjung sampai akhir acara. Sedangkan Vannesha menatap Boni dengan penuh rasa bersalah. Seharusnya ia tidak sekasar itu tadi.

Bagaimana pun, sebetulnya Vannesha teringat masa lalunya dengan Boni semenjak ia membongkar box pemberian Dara kemarin.

"Lo tuh ya, dari dulu Dara kasih itu box, tapi malah di buka sekarang. Emang jahat lo jadi temen. Untungnya gue bukan temen lo," omel Lily menyiniskan matanya ke arah Vannesha.

Vannesha tidak menggubris, tetap membuka sebuah album kecil yang sudah berdebu namun masih memiliki kualitas yang cukup bagus.

Ia tersenyum, saat otaknya mulai mengajak hati bekerja sama untuk mengantarkan Vannesha kembali ke masa lalunya.

"Ballbert Tamflakes, kamu sungguh tidak terduga," nah itu suara otaknya yang mulai menggema sampai ke hati. Hingga hatinya sudah tidak tega untuk menyembunyikan rasa cintanya yang sudah tertanam ribuan tahun yang lalu.

Namun, tentu Vannesha tidak bisa semudah itu untuk kembali mencintainya.

Karna sekarang, terjadi perperangan luar biasa antara rasa cinta dan rasa benci yang bergejolak di dalam hatinya.

"Saya tidak tanggung jawab kalau Bapak sakit hati."

"Saya sudah sakit hati dari dulu."

Vannesha mengkerutkan dahinya. Padahal, sepertinya baru kali ini ia berbicara jahat di depan Boni. Namun kenapa sakit hatinya dari dulu. Wah, sepertinya memang Boni sudah gangguan hati.

"Bisa aja bohongnya. Oh iya, jangan sampe karna saya nolak Bapak, Bapak jadi kurangin nilai ekonomi saya, ya!" Vannesha menaikkan alisnya, mencoba mencairkan suasana yang tegang tadi.

"Sembarangan! Siapa yang nembak kamu? Saya belum nembak kamu. Jadi saya belum menerima penolakan," balas Boni tegas di sertai tatapan tajam yang menusuk mata Vannesha sampai matanya terbelah dua.

"Terus, maksud Bapak tadi apa? Bercanda lagi?" Vannesha melepaskan genggamannya pada kain pel, lalu merenggangkan otot tangannya. Sudah lelah ia memegang pel itu dari tadi.

"Nggak bercanda. Ini pemanasan."

"Pemanasan apa lagi sih?"

"Pemanasan untuk menyatakan cinta ke kamu suatu saat."

Vannesha tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Untuk ke-dua kalinya, ia berkata pada dirinya sendiri, Boni Tamflakes, kau sungguh tidak terduga.

"Saya tunggu ya, jangan terlambat. Kalau terlambat 30 menit 40 detik, maka hati saya sudah tertutup." Vannesha tersenyum meledek mengingat kalimat Boni tadi pagi. Sedangkan Boni hanya menatapnya dengan datar, yang membuat Vannesha menghentikan senyumannya.

"Biarin. Saya juga udah nggak peduli lagi, mau kamu masih suka saya kek, atau udah nggak suka saya kek."

"Yakin?" Vannesha menaikkan kedua alisnya. Sama seperti yang sering dilakukan Boni dulu untuk memojokkan dirinya dan membuatnya malu.

"Yakin lah. Karna sekarang tugas saya itu ngebuat kamu jatuh cinta lagi gimana pun caranya."

Vannesha tersenyum, tiba-tiba melupakan rasa bencinya yang masih terpendam dalam hati. Lalu menatap Boni dengan mata berbinar-binar. Sedangkan Boni menghentikan tatapan datarnya.

"Ya, Ballbert."

Vannesha membereskan barang yang ia bawa ke ruangan ini. Boni kembali duduk dan membaca materi untuk ujian yang tadi sudah ia lewatkan. Sekaligus tersenyum kecil, karna Vannesha menyebut namanya seperti dulu. Kemudian ia kembali menatap Vannesha yang hampir berjalan keluar.

"Ingat, saya nggak suka kamu deket sama Bram. Camkan itu."

Vannesha melebarkan matanya lalu berbalik badan. Sehabis kedramatisan yang sudah melewatkan bermenit-menit bergulat tidak menentukan jawaban yang pasti.

Kini Vannesha kembali meluapkan rasa bencinya untuk ke 1000 kalinya.

Namun perbedaannya adalah,

Yang satu ini bercampur dengan sedikit rasa cinta.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience