Masalahnya, bukan berapa hari aku mengenalnya, sedekat apakah diriku, atau status dan latar belakang dia, bahkan sejauh mana kita mengenal satu sama lain.
Cinta yang sesungguhnya tidak memerlukan itu semua.
• • •
Bel pulang berbunyi. Vannesha yang daritadi menunggu bel keberuntungannya itu, kini langsung menggunakan sepatu dan merapikan tempat tidur yang dia pakai. Sebelum ia beranjak dari ruangan itu, ia merenggangkan otot-ototnya. Lalu membuka pintu, bermaksud untuk kembali ke kelas.
Ia menelusuri koridor dengan menggenggam botol minum berwarna biru di tangan kanannya. Otaknya terngiang-ngiang lagu yang sering di putarnya akhir-akhir ini. Setelah itu, dirinya disadarkan oleh seseorang yang memanggil namanya.
"Vannesha, abis dari mana?" Orang itu mulai berbicara.
Vannesha membelalak, Jacob kini melihatnya dengan khawatir. Vannesha merubah raut mukanya, sedangkan Jacob menatapnya dengan bingung. Seketika terlintas di hatinya, berharap Jacob masih mencintainya. Namun harapan itu hilang saat terlintas juga nama Boni Tamflakes.
• • •
Flashback 1 minggu yang lalu
"Van, lo emang bener-bener laknat ya. Gua sumpahin lo kalo ngomong sama orang nggak di dengerin," ujar Dara kesal. Remaja itu sudah hampir 30 menit menceritakan tentang film yang ia tonton kemarin. Sedangkan Vannesha, hanya menjawabnya dengan, "Gue pengen pipis, temenin dong."
"Habisnya, bosen. Lu ceritanya dari kemaren gitu-gitu mulu. Semua film lo monoton abis." Vannesha menyengir, Dara hanya bisa menatapnya dengan datar, lalu meneguk air minum yang ia bawa. Sedangkan Lily dan Yessie membahas tentang sejarah yang nanti akan ulangan.
Jangan heran kalau Lily selalu belajar. Kadang ia bisa belajar gila waktu, lalu mengeluh lelah sendiri. Kalau katanya, ia terlalu malu untuk mendapatkan nilai jelek didepan orang lain. Toh padahal, dia tidak hidup untuk orang lain. Untuk apa malu? Membuang-buang waktu saja.
"Bilang aja daritadi lo mikirin si Jacob," tukas Dara sehabis selesai mengkonsumsi air putihnya tersebut.
Sejak 23 hari yang lalu, Jacob dan Vannesha sudah mulai chat-an. Berawal dari salah orang sih, namun takdir mengajak mereka untuk saling mengenal. Mungkin juga untuk saling mencintai.
"Apaan, sih. Orang cuman temen."
"Halah, tetaunya suka." Dara menyungging bibirnya, bermaksud mengejek sekaligus menyindir Vannesha yang jadi tidak memperdulikan dirinya semenjak ia mengenal Jacob. Bahkan Vannesha rela menghabiskan segala waktu tidurnya, hanya untuk call dengan pria itu. Sedangkan kalau untuk Dara, nge-chat pun enggan.
"Heh, emang nggak je.."
"Istirahat dulu, nak. Waktunya sudah habis. Silahkan kembali ke kelas kalian," ujar guru prakarya di depan kelas, Pak Berto, yang tidak sengaja memotong kalimat Vannesha. Guru yang baik dan sangat teramat pendiam. Hanya 1 kekurangannya, jika memberi tugas diluar akal sehat manusia.
"Gua duluan ya sama Yessie," kata Dara sembari membereskan bukunya. "Ini akibatnya karna lo nggak mau dengerin cerita gue tadi. Jangan harap lo balik ke kelas sama temen." Mata Dara menyinis lalu menggandeng Yessie yang masih berusaha menghafalkan sejarah.
"Weh, Van, gue duluan mau ke ruang guru bentar." Sedangkan Lily, si anak pintar bin repot langsung berlari-lari ke ruang guru. Dan meninggalkan Vannesha sendiri, layaknya orang terkasihani yang tidak memiliki teman. Begitu lah Lily, kalau sudah berhubungan dengan pelajaran, nilai lebih penting daripada persahabatan.
Vannesha membereskan bukunya lalu mendengus kesal, ia mengerucutkan bibir. Lalu keluar dari ruang prakarya sambil meratapi nasib. Apa salah dirinya sampai ia harus ditinggali sendiri? Atau mungkin ini kutukkan Dara karna tadi ia tidak mendengarkan ocehannya?
Vannesha menuruni tangga sambil mencuri pandang ke arah kelas Jacob. Mencoba untuk mencari Jacob dari sela-sela badan orang, yang sebetulnya usahanya sia-sia. Lalu mendengus kesal untuk ke dua kalinya.
"Vannesha!" Teriak seorang pria dari belakang saat ia ingin beranjak ke lantai bawah. Pria itu menghampirinya, sedangkan Vannesha langsung membalikkan badannya ke arah pria tersebut.
Ternyata Jacob.
"Oh, ya, lupa. Nih." Vannesha melepaskan jaket yang ia gunakan lalu menyodorkan jaket itu ke arah Jacob, bermaksud mengembalikan jaket yang ia pinjam. Alasannya sih, sakit. Namun tipe modus dengan meminjam jaket sudah tidak asing lagi bagi Jacob.
Jacob mengangguk lalu mengambil jaket yang di todorkan. Lalu mulai membuka suaranya lagi, "Ikut gue sebentar dong," ujarnya lalu menarik lembut wanita itu mengikutinya kearah depan kelas, tepatnya di depan jendela kelas.
"Tunggu sini, gua naro jaket dulu," kata Jacob tersenyum lalu memasuki kelas. Vannesha berpasrah hanya bisa berdiam diri tanpa berani bernafas, mencoba memandang sekelilingnya yang sangat ramai.
Vannesha kembali mendengus untuk ke tiga kalinya. Ia bukanlah orang yang percaya diri di tempat yang ramai seperti ini. Apalagi sekarang, ia hanya sendiri dan semua temannya tidak ada. Emang betulan kutukan dari Dara yang tidak ada habisnya.
Tok tok tok
Ketokan kaca dari jendela kelas Jacob membuat Vannesha mengalihkan arah pandangnya menuju sumber suara. Dilihatnya sebuah kertas yang menempel di jendela, ditulis dengan tinta warna-warni dengan sedikit hiasan di tepi.
Hari ini tanggalnya bagus, begitu tulisnya.
Vannesha menyunggingkan bibirnya, "Ada-ada aja," gumamnya dalam hati.
"Apa yang salah dengan hari ini? Hanya karna bulan dan tanggalnya sama, sudah berarti bagus?" lanjut kata batinnya berkoar.
Lalu kertas itu diganti dengan kertas HVS biasa, yang ditulis dengan spidol papan tulis berwarna hitam. Kalau yang ini tidak ada unsur keseniannya sama sekali.
Liat kanan, tulisnya.
Vannesha memutarkan kepalanya 90° kearah kanan. Ia melototkan matanya saat melihat Jacob tersenyum sambil membawa buket bunga berwarna merah yang dibaluti kain tipis agak gelap.
"Jadian yuk!" tukas Jacob cepat. Vannesha membelalak, alisnya bertautan, bermaksud tidak percaya apa yang sudah terjadi. Ia terdiam sebentar, menatap Jacob dengan bingung.
"Gua suka sama lo, ayo jadian!" lanjut Jacob masih tersenyum.
Vannesha masih tidak percaya, ia mengerutkan dahinya dengan melanjuti tatapan bingung yang ia lontarkan daritadi.
"Gua serius kali ini," ujar Jacob meneruskan kalimatnya yang daritadi tidak mendapat jawaban apapun. Senyumnya yang tadi riang, seketika ingin memudar karna takut menerima hasilnya.
Vannesha merubah tatapannya, ia melihat ke arah lantai. Lalu berfikir sejenak.
"Atau nggak gini aja deh, kalo lu terima, ambil bunganya. Kalau nggak, pergi dari sini."
Orang-orang yang melihat kejadian itu langsung menyoraki Vannesha dan Jacob. Beberapa orang mendukungnya untuk jadian. Sisanya berkata bahwa Jacob itu playboy, tidak cocok untuk Vannesha yang cantik.
Vannesha yang sudah selesai berfikir itu menengok ke arah Jacob yang masih menunggu jawabannya. Ia mengambil bunga yang Jacob berikan sambil tersenyum malu. Sedangkan teriakan orang-orang semakin menjadi-jadi.
Namun, suara mereka tiba-tiba berubah menjadi nyaring sekali. Pengelihatannya yang normal seketika menjadi kabur yang perlahan gelap. Sekilas dilihatnya muka Boni yang berada di kejauhan menatapnya dengan tidak suka. Vannesha menutup telinganya karna tidak tahan dengan gelombang suara yang masuk. Ia memejamkan matanya, bermaksud agar semuanya berakhir.
"Vannesha!"
Ia mendadak terbangun, mencari sumber suara namun tidak menemukan apa-apa. Diteguknya air minum yang ada di samping tempat tidurnya. Vannesha mencoba menenangkan diri dengan menyandarkan dirinya di tembok. Menarik dan membuang nafas dengan perlahan.
"Kenapa di mimpi yang menyenangkan seperti itu bisa-bisanya ada Boni Tamflakes," gumam Vannesha lalu menyaltokan kedua matanya.
Vannesha menatap buku ekonomi yang tergeletak di bawah lantai. Ia mendengus lalu berkata, "Kenapa juga guru sialan itu ulangan setelah 1 hari gue putus?"
Tiba-tiba ia teringat tentang Jacob. Baru saja tadi jam 11 ia putus. Apa sekarang Jacob masih menyayanginya? Vannesha melirik jam yang menunjukkan pukul 1 subuh. Ia menghela nafas lalu menatap langit-langit kamar.
"Perasaan bisa hilang nggak ya dalam waktu 2 jam? Gue takut." Vannesha ngomong sendiri. Dilihatnya, photo Jacob dalam sebuah bingkai kecil di samping tempat tidurnya. Ia tersenyum, berusaha menenangkan diri dan merelakan. Ia tidak mungkin depresi lalu bunuh diri seperti berita-berita di internet. Ia tidak se-lebay itu.
Sebentar-sebentar di tatapnya photo Jacob, dan juga buku ekonomi yang waktu belajar tadi sudah ia coret-coret entah apa jadinya.
Awalnya, ia belajar karna ia tidak mau remedial. Karna kalau dia remedial, potensi untuk bertemu Boni akan menjadi lebih banyak. Terlebih, Boni sudah menjadi seseorang yang kini Vannesha benci. Bukan kini tapi dari dulu. Perbedaannya mungkin sekarang ton kebencian di hatinya semakin bertambah 1kg/detik.
"Tunggu aja, habis gue lulus gua tonjok lu ampe mental." Gumaman-nya yang selalu ia lontarkan semenjak Boni mulai mengganggu waktu Vannesha dan Jacob pacaran.
Vannesha membuka handphonenya. Di chat satu per satu temannya, tidak peduli apakah mereka sudah tidur atau belum. Yessie pasti sudah, karna dia bukan orang yang suka tidur malam. Apalagi Dara, anak cupu yang jam 8 saja sudah tidur. Sedangkan Lily, mau ia sudah tidur atau belum. Pasti tidak akan dijawab karna ia sedang fokus belajar.
Andai saja masih bisa, ia masih tetap bahagia malam ini karna Jacob menemaninya. Toh, bisa berbuat apa lagi. Tuhan berkehendak lain.
Ia kembali menghembuskan nafas, membaringkan tubuhnya. Berharap mimpi itu tidak datang kembali. Dan berharap setidaknya ada 1 orang di dunia yang memperdulikannya saat ini.
Cukup. Hanya saat ini saja.
Vannesha kembali menutup matanya, berusaha menentang dari gejolakan sakit hati yang sekarang melanda menusuk ke semua bagian badannya.
Lalu ia pun tertidur.
• • •
1 Notification!
From Boni Tamflakes :
Vannesha, besok jangan kabur ke UKS lagi ya waktu pelajaran saya!
Flashback End
Share this novel