Bukan seperti embun di pagi hari yang mudah menghilang,
Perasaanku tak semurah itu.
• • •
Bram melempar sebuah susu kotak yang baru saja ia beli di Indomaret, sedangkan Boni hanya menatapnya sekilas. Lalu kembali mengoreksi ulangan-ulangan yang harus di selesaikan malam ini.
"Mau dibantu nggak?" tanya Bram yang kini telah berbaring di kasur Boni. Boni hanya menggeleng.
"Kenapa? Masih ngambek karna kemaren gua anterin cewek lo?" Kini matanya beralih melihat Bram yang sedang tersenyum tidak percaya. "Diem aja lo, penikung," jawab Boni ketus.
"Gue suka Dara," balas Bram singkat.
"Tapi, lo chat-in si Nesha, brengsek. Sama aja lo nikung kalo gitu. Gue aja boro-boro nge-chat. Modus nelpon aja langsung dimatiin sama dia." Boni kembali mengalihkan matanya ke lembar ulangan, lalu melanjuti kegiatannya.
"Gue chat juga disuruh Dara, karna dia gamau liat si Nesha galau mulu karna mantannya. Lagian lo ada-ada aja, nyuruh dia putus," ucap Bram lalu mengambil susu kotak yang tadi niatnya ingin ia berikan pada Boni.
"Lah, kalo gitu mah ujung-ujungnya dia baper sama lo."
"Iya, kali. Gue juga baper sama dia."
Boni membelalak. Ia menghentakkan bolpoinnya ke atas meja lalu menatap Bram dengan mata tajamnya. Namun Bram hanya membalas dengan tatapan datar.
"Dara lo?" tanya Boni singkat.
"Gue udah kasih ke Charles. Itung-itung kasian dia dari dulu ngalah buat gue. Sekarang giliran lo yang ngalah. Gue suka Nesha," katanya santai lalu melempar susu kotak yang sudah habis itu ke sembarang tempat.
"Apaan, sih? Tadi Dara, sekarang Nesha. Nggak jelas idup lo."
"Nesha yang bener. Makanya lo ngalah dong."
"Nggak. Charles orangnya nggak tegaan, makanya dia ngalah. Tapi gue orangnya tega, apalagi tipikal laknat kek lo. Gakan pernah hati gua luluh buat mengkasihani."
"Ya, orang Nesha nya aja nggak suka sama lo, ngalah aja napa sih?"
"Ogah. Gue udah suka sama dia sejak gue nafas, terus sekarang lo suruh gue ngalah, Nggak salah lo?"
"Enggak."
"Batu sedimen aja perlu proses pembatuan dulu kalo mau jadi. Masa lo nggak ada proses langsung suka. Yakin tu cinta udah kebentuk? Apa cuman embel-embel doang?"
"Apaan, sih? Intinya gue suka."
Boni mendengus kesal, lalu tidak menggubris kehadiran Bram lagi.
"Mulai minggu depan, dia bakalan berangkat sama gue. Jadi jangan bikin dia malu gitu kayak kemaren. Kasian, tau nggak?" Bram meneruskan ocehannya. Sedangkan Boni tertawa kecil lalu menatap sinis ke arah Bram.
"Silahkan aja, kalau dia mau."
"Kalo dia mau, kasih gue kesempatan buat deketin dia tanpa lo ganggu."
Boni menghentikan tawanya, begitu juga dengan Bram. Mereka bertatapan satu sama lain, seperti para pria yang taruhan di sinetron. Boni memperdalam tatapannya, lalu membuka mulutnya,
"Deal."
• • •
Vannesha mengacak-acak box yang kalau kata Alex, pemberian dari Dara. Sudah hampir 1 jam, tapi ia tidak henti-hentinya berhenti mengobrak-abrik.
"Astaga, Van, gue laper," ucap Lily lalu mengelus perutnya yang daritadi sudah berbunyi namun tidak di gubris.
"Makan," ucap Vannesha singkat.
"Oh, ya, waktu itu kalo ga salah gue liat lo pagi-pagi berantem sama si Botam deh. Waktu hujan gitu," kata Yessie sambil mengemut permen lolipop yang diberi Cella sejak tadi datang.
"Iya, dia marah karna gue dianterin sama Bram." Vannesha kini membereskan apa yang tadi ia acak-acak. Lalu membanting badannya ke tempat tidur.
"Kenapa marah? Dia suka lo?"
"Dia cinta gue," ucap Vannesha santai.
"Geli, pede abis," ucap Yessie lalu ikutan berbaring di tempat tidur. Begitu juga dengan Lily yang masih menahan laparnya.
"Sebetulnya, itu sih kemungkinannya cuman dua." Kalau yang ini anak guru sudah mulai mencurahkan isi otaknya, berharap teori yang akan ia lontarkan diterima semua masyarakat.
"Apa?"
"Antara Botam suka sama lo, atau nggak Botam suka sama Bram." Vannesha membulatkan matanya ke arah Lily. Namun Lily tidak menengok sama sekali.
"Lo nggak pernah denger emangnya? Botam tuh saking gantengnya sampe-sampe di buat gosip kalo dia gay, bahkan ada yang bilang katanya dia ngeliat Botam pegangan tangan sama cowok," lanjut Lily mengoceh.
"Waktu sama Jacob aja dia nggak begitu marah sama lo, tapi giliran sama Bram dia marah besar. Apalagi, waktu lo cerita kemaren, Botam sempet bilang kalo dia ga peduli mau lu hamil atau nggak.
"Ya fix dia naksirnya sama Bram. Jadi singkirin di pala lo kalo dia cinta sama lo."
"Teori konspirasi," ucap Yessie pelan lalu menggeleng-gelengkan kepalanya lalu tepuk tangan, bermaksud tidak percaya kalau Lily bisa sepintar itu.
"Kebanyakan belajar jadi ngawur otak lo." Vannesha menimpuk Lily dengan bantal sekeras-kerasnya. Berharap otaknya sembuh dari genangan pikiran negatif.
"Kenapa sih? Lo kayaknya gamau banget kalo gue bilang Botam gay." Lily mengibas bantalnya. Sedangkan Vannesha diam tidak menjawab apa-pun dan kembali tiduran.
"Bosen, ke rumah sakit aja, yuk?" ajak Lily mengusul. Vannesha dan Yessie mengangguk lalu membangkitkan diri. "Tapi, di rumah sakit kita ngapain, ya?" Ini masih Lily.
"Dengerin dia nafas aja udah seneng gue." Vannesha mengambil tasnya dan mengganti baju yang agak sopan sedikit dibanding tadi.
"Kapan sadar, ya?"
"Gue yakin, habis di cium pangeran dia langsung bangun. Jadi, kenapa lo ga suruh si Charles atau Bram nyium dia? Dara kan suka dongeng," ucap Yessie berulah.
"Dimana-mana ya nunggu pangeran bawa sepatu kacanya balik lah. Dara kan sukanya cinderella bukan snow white."
"Gue rasa sleeping beauty deh, bukan snow white."
Vannesha memutar kedua bola matanya. "Udah sih, emangnya lo pikir para princess itu pernah koma apa? Dan juga, Dara itu sukanya wonder woman bukan cinderella!"
"Apaan, sih? Lo temenan sama dia udah berapa abad? Jelas-jelas dia sukanya wonder woman sama cinderella kok. Gausah ngada-ngada lo."
Yessie membantah mereka berdua, "Udah, woi, udah. Dara sukanya Velion Dapierre. Bukan wonder woman ataupun cinderella."
"Kagak, orang dia suka Charles!" Vannesha menentang.
"Apaan, sih? Kok tiba-tiba Charles? Orang dia sampe teriak-teriak di rooftop kalo dia sukanya sama Pierre. Mulai nggak jelas idup lo kayak Botam."
"Mike suka gue," ucap Yessie mencoba mencairkan suasana walaupun akhirnya tidak berhasil.
"Kagak! Dia sukanya sama Charles."
"Velion!"
"Axdard!"
"Dapierre!"
Dan mereka terus bergulat sampai Alex dan Cella tidak bisa menikmati malamnya hari itu, lalu memutuskan untuk menyerah lalu tidur.
• • •
Boni membaringkan badannya di tempat tidur. Sekarang, rumah sewaannya sudah tenang dan damai sejahtera, karna manusia biadab itu sudah kembali ke habitatnya.
Ia menarik nafas lalu membuangnya secara perlahan, bermaksud melegakan diri karna sudah menyelesaikan tugasnya yang di pending sekitar 1 bulan, demi memperhatikan Vannesha.
Boni memang menyewa rumah. Kecil namun terkesan elegan karna ia menata rumah itu dengan baik. Banyak orang yang ke rumah sewaannya lalu merasa iri dan ingin hidup seperti Boni. Sedangkan Boni hanya tersenyum kecil saat mendengar orang-orang itu mulai berulah.
Dallbert manusia pelit Calling You
Boni membuka matanya lalu langsung mengambil ponsel yang tadi berada di atas meja, tepat samping tempat tidurnya.
"Kenapa, pa?"
"Sini kerumah. Sekalian bawa makanan ya, papa laper banget sampe gabisa napas."
"Nggak mau."
"Kamu yakin nggak mau album yang udah papa janjikan waktu itu?" Boni melebarkan matanya. Benar juga, ia masih punya janji dengan Dallbert. Dan yang menyebalkan adalah, Dallbert selalu mengancamnya untuk melakukan sesuatu dengan album itu.
Boni menutup telponnya. Ia bangkit dari tempat tidur lalu langsung mengambil kunci mobil yang ia taruh di lemari, karna malas untuk menyetir. Sehingga, kadang ia harus meminjam motor tetangganya, atau naik angkot. Sekaligus untuk menghemat biaya yang ia keluarkan.
Ia mengeluarkan mobilnya dari halaman rumah, lalu bergegas untuk kembali ke rumah asalnya, sekalian membeli makanan. Tiba-tiba terlintas lagi di otaknya tentang perkataan Bram yang tadi hampir membuatnya salah meneliti 20 lembar jawaban.
"Ambil aja sana, ambil. Orang Nesha-nya yang bilang sendiri kok jodoh ga akan kemana," gumam Boni keras memanfaatkan kesendiriannya di dalam mobil.
"Lo pikir gue tanpa Nesha bakalan mati gitu? Berhenti nafas? Langsung jantung gue ga detak? Merasa hidup nggak ada gunanya? Frustasi terus bunuh diri?" Boni kini tertawa puas.
"Lo pikir gue kayak remaja alay yang kerjaannya selalu nangis terus bakal galau setengah mati apa?"
"Ballbert? Tamflakes? Kayak gitu?" Ia kini meninggikan suara tawanya.
"Sakit jiwa itu anak," lanjutnya lalu turun sebentar untuk membeli makanan. Boni menengok kanan kiri, siapa tau hari ini ia mendapat keberuntungan untuk bertemu dengan Vannesha. Walaupun faktanya tidak.
"Ah, nyebelin!" bentaknya saat sudah masuk ke dalam mobil. Tentunya seperti itu, karna ia masih normal untuk tidak berteriak tidak jelas di depan umum. Berbeda kejadian, jika ia berteriak di depan kelas. Itu cukup jadi hal yang biasa. Apalagi kalau Boni sudah mulai untuk menjahili Reyhan, pria nakal yang suka merokok dipinggir jalan sambil minum bir dengan anak-anak geng motor-nya.
"Bram liffiedid, lagu ini gue dedikasikan untuk lo, yang setia untuk menikung teman sendiri," ucapnya ngawur.
"Bram oh Bram," nyanyinya asal tanpa menggunakan irama yang menarik.
"Kau tampan namun kau seperti hewan."
"Jika aku bisa menggapai wanita itu untuk saat ini. Maka jadikan lah wanita itu sebagai teman mu dan jangan lah mendekatkan dirimu seperti pelacur yang tidak dapat jatah makan 10 hari."
"Jika kamu masih melakukan itu, maka status mu sebagai hewan akan turun lebih rendah dari nya."
"Kau tau debu? Itu lah diriku."
"Debu yang pernah singgah dalam hatinya, lalu ia siram dengan air banyak hingga aku menghilang seketika."
"Lalu saat aku ingin mencoba untuk kembali lagi."
"Seketika seekor hewan berhati baja langsung menikung dengan sadis. Tanpa memikirkan debu yang sudah bersusah payah."
"Kisah hewan dan debu yang malang." Ia menyudahi nyanyiannya dengan nada tinggi di akhir kata. Ia menghentikan mobilnya, lalu memarkir secara asal. Sengaja untuk membuat Dallbert marah-marah.
"IBU-IBU, BAPAK-BAPAK, SIAPA YANG PUNYA ANAK BILANG AKU, AKU YANG TENGAH MALU DENG-"
"Kayaknya album itu akan ku bakar malam ini," ucap Dallbert yang melipat tangannya di dada. Ia memperhatikan Boni dari jauh yang sudah bertengger di pintu, bermaksud ingin dikasihani.
"Papa, aku mau punya anak."
"Ya, buat anak lah," ucap Dallbert santai lalu membukakan pintu untuk anaknya. Memang, seperti apa yang selalu dikatakan. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.
"Nggak ada yang mau."
"Cari yang mau."
"Mama kayaknya mau."
Mata Dallbert melotot ke arah Boni, sedangkan Boni hanya cengar-cengir tidak jelas lalu menggoyangkan badannya dan lanjut bernyanyi.
"AKU MEMANG PENCINTA WANITA. NAMUN KU BUKAN BUAYA."
"Ballbert, jangan berisik, mama kamu lagi tidur!" kata Dallbert lalu menggerakan jari telunjuknya ke bibirnya. Ia duduk di meja makan dan menunggu Boni memberikan makanan.
"Pa, aku sayang banget sama Nesha." Boni membuka kantong plastik lalu mengeluarkan makanan yang tadi ia beli. Ia membeli sate dipinggir jalan, karna Dallbert hanya suka itu. Kalau katanya sih, Layla, istrinya, yang menganjurkan makan itu terus agar tidak boros uang.
"Vanneshanya udah nggak suka sama kamu, tuh," ucap Dallbert santai, dan mulai memasuki suapan pertama ke dalam mulutnya.
"Biarin, aku aja yang suka."
"Sok tegar."
"Aku emang tegar. Nggak kayak papa, yang mama pergi belanja seharian aja, langsung nangis bilang kangen."
"Wajar, kita sudah menikah."
"Aku juga sudah merencanakan menikah."
"Tapi dia lupa."
Boni mengangguk. Ia sadar perubahan wajah dan bentuk tubuhnya sangat berbeda dibanding ia saat kecil. Jangankan Vannesha, Dara yang bisa menampung banyak memori saja, sampai sekarang masih tidak mengingat siapa dirinya. Walaupun sebetulnya wajar, karna ia memang tidak terlalu dekat dengan wanita itu.
Dallbert menunjuk ke arah barat, bermaksud mengalih pandangan Boni untuk melihat tas kado yang sudah berada di atas meja kecil.
"Itu apa?"
"Buka aja, repot. Gimana mau punya anak?"
Boni mendesah pelan lalu bangun dari tempat duduknya dengan malas. Ia mengambil tas yang dimaksud ayahnya. Lalu membukanya secara perlahan dengan mata yang sedikit ngantuk.
"Uang?" tanya Boni lalu mengangkat satu alisnya, bermaksud bertanya.
"Sebagai bayaran 2 taun kamu udah kerja," jawab Dallbert yang sedang menyingkirkan 3 tusuk sate dari piringnya. Boni hanya mengangguk lalu mengkerutkan kening sambil membuka amplop uang tersebut.
"Papa ganteng banget, kasihnya banyak," ucapnya cenge-ngesan. Dallbert hanya menatapnya sekilas lalu melanjuti menyantap satenya.
Mata Boni membelalak, ia melihat sebuah album yang sudah ayahnya sembunyikan dari 11 tahun yang lalu.
Waktu itu, Dallbert ditugaskan untuk bekerja di New York, sehingga Boni dan istrinya juga harus melanjuti kehidupannya disana. Lalu, demi membuat Boni tidak terjebak menangisi Vannesha, ia menyembunyikan album yang selalu Boni bawa kemana-mana.
Dulu, Boni sering berkata, "Nesha bilang, Belbet halus seling-seling liat. Bial nga lupa ma Nesha."
Buktinya sekarang saja, hanya Boni yang mengingat, walaupun tanpa album. Sedangkan Vannesha melupakannya begitu saja.
Boni masih tidak mengalihkan pandangannya pada satu lembar photo, ia tertawa kecil, sembari mengingat kejadian itu dulu.
"Belbet, kita sembunyi di bawah meja aja, yuk?" ucap Vannesha menggandeng tangan Boni. Saat itu, ia sedang bermain petak umpet dengan teman-temannya yang lain. Dan selalu, Vannesha bersembunyi bersama Boni.
"Tapi, ntal ketauan lho."
Vannesha tidak menggubris dan lanjut mengajaknya untuk duduk dikursi bawah meja. Ia tertawa, karna dapur ini sepi, sehingga pikirnya tidak akan ada yang tau Vannesha dan Boni bersembunyi disini.
"Nesha, jangan belisik. Ntal ketauan!" bentak Boni pelan yang sampai sekarang masih tidak dipedulikan lagi oleh Vannesha. "Nesha!" kini nadanya mulai meninggi. Sedangkan Vannesha masih asik-asiknya tertawa.
Boni yang geram langsung menghadapkan muka wanita itu ke arahnya, dan mencium Vannesha, bermaksud agar ia tidak berisik lagi. Dan tentunya Vannesha menerima bibir Boni dengan senang hati.
"Belbet dali kemalen cium Nesha telus."
"Kalau yang kali ini, kalna kamu belisik."
"Belalti sebenelnya Belbet nga mau dong?"
"Mau. Tapi kata papa Belbet jangan sering-sering, nanti Neshanya bosen."
"Nesha nga bosen. Cium Nesha lagi!"
Dan ciuman berikutnya, tertangkap basah dikamera.
Boni menatap photo itu lalu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia merindukan masa-masa itu. Sedangkan Dallbert yang melihat Boni ternostalgia dengan kenangan masa lalu itu merasa iba.
Boni mengambil photo itu, memasukkannya ke dalam kantong celananya. Lalu menatap photo-photonya yang lain.
"Gue kayaknya bakalan jadi remaja alay yang gua hina di mobil tadi," suara batinnya mulai menggema.
Share this novel