"Telat 2 menit," ucap Boni merobek kertas dari buku tulis kosongnya, bermaksud untuk menulis potongan poin agar diketahui wali kelas.
"Telat 2 menit 3 detik." Ini Yessie. Anak ini telat karna terlalu lama menghabiskan waktunya di toilet, menunggu fesesnya keluar. Walaupun sampai ia masuk sekolah pun, fesesnya masih belum keluar.
"Telat 2 menit 10 detik," kata Boni yang langsung dipandang sinis oleh Mike, kekasih Yessie. Mungkin lebih tepat dikatakannya mantan kekasih. Karna Boni geram melihat nilai Mike yang makin hari, makin menurun.
Untuk saat ini, kondisi hall sudah sepi, karna pelajaran sudah dimulai. Namun Boni sengaja tidak kembali ke ruangannya, demi menunggu Vannesha datang. Walaupun ia tidak tau, Vannesha akan datang atau tidak.
"Eitsss, Bapak sendirian aja. Mau saya temenin nggak?" ucap wanita genit yang langsung mengedipkan matanya, guna menggoda Boni. Lady namanya. Namun, untuk hari ini, iman Boni sekuat tembaga.
"Sana pergi, kelas udah dimulai," ucap Boni datar. Masih fokus untuk menunggu Vannesha datang. Siapa tahu, hari ini ia bisa bergulat lagi dengan wanita itu. Hitung-hitung untuk membayar rasa rindu.
Lalu seketika, rindu itupun lunas. Saat Boni melihat Vannesha berlari-lari menuju gerbang sekolah sambil membawa 3 buku paket dan botol minum biru kesayangannya.
"Telat 30 menit 40 detik. Pakaian tidak sopan, kaos kaki pendek, rambut tidak dikuncir dengan rapi, tidak menggunakan dasi dengan benar. Bayarannya kamu harus nyapu dan ngepel di ruang tatib selama 1 bulan," ucap Boni langsung to the point. Vannesha melihatnya dengan tatapan pasrah.
Ini semua karna ia ketiduran di rumah sakit kemarin, sehingga ia terpaksa kembali kerumahnya dulu dalam keadaan macet. Berbeda dengan Yessie dan Lily, mereka berdua sudah melarikan diri sejak Vannesha tertidur.
"Bapak.. beneran nggak tega?" balas Vannesha dengan nada minta di kasihani.
"Sama sekali tidak."
"Nanti kalo tulang saya encok karna kebanyakan ngepel, atau tangan saya jadi kasar. Gimana nasib suami saya?" kini nadanya semakin memelas.
"Kamu terlalu lebay! Mana ada orang yang mau nikah aja sampe liat tangannya kasar atau nggak."
Vannesha kehabisan alasan, kini ia hanya bisa memanfaatkan mukanya yang memohon minta ampun, demi meloloskan diri.
Bukannya manja ataupun malas, jika Vannesha ngepel di ruang tatib. Maka setiap hari Vannesha akan bertemu dengan pria itu. Menyedihkan sekali.
"Saya tidak terima alasan, intinya mulai pulang sekolah nanti, silahkan membawa kain pel dan tempatnya." Boni pergi meninggalkan Vannesha sambil tersenyum, berbeda dengan Vannesha yang menatap kepergian Boni dengan jutaan kebencian. Ia menendang-nendang lantai untuk melampiaskan amarahnya.
"Kasian atuh lantainya," ucap laki-laki dari belakang yang sedang melihat Vannesha dengan sedikit tertawa.
Vannesha membalikkan tubuhnya, "Kok lo disini? Emang ga kuliah?" tanya Vannesha pada orang itu, Bram namanya.
"Iya, mau ketemu sama lo soalnya," jawab Bram lalu menaikkan alisnya, guna menggoda. Sedangkan Vannesha hanya mengangguk lalu melambaikan tangan, bermaksud untuk jalan ke kelas. Daripada ia ketahuan Boni lalu ditambah hukuman yang lebih berat. Itu lebih seram daripada mimpi buruk.
"Eh, Van." Vannesha menghentikan jalannya, lalu menengok sebentar ke arah Bram yang baru saja memanggil. "Pulang sekolah, kita makan yuk," ucapnya diakhiri dengan senyuman maut.
Vannesha tersenyum hambar, menyadari bahwa Boni si Katakan Putus sudah mengambil jatah waktu pulangnya. Ia percaya setengah hidup, pasti Boni akan memperlambat waktunya saat mengepel untuk bercibir masalah tidak jelas.
"Kalo bisa ya, gue di hukum guru soalnya, kalo ntar gue ng-"
"Vannesha Agatha Leone, hukuman kamu saya tambah, sekaligus membersihkan debu-debu di ruang tatib selama sebulan. Tidak ada alasan lagi, harus dikerjakan," potong Boni yang sudah menenteng buku untuk mengajar 15 menit lagi.
Vannesha menyengir, lalu membalikkan badannya dan lari secepat mungkin ke ruang kelas. Ia menghembuskan nafasnya, membulatkan matanya lalu memukul kepalanya sendiri, bermaksud sadar kalau ia lupa membawa buku paket ekonomi.
• • •
"Kalian tuh ya, bener-bener tega. Emangnya apa susahnya sih buat soal sama jawaban 40 nomor?!" Boni menajamkan matanya ke setiap penghuni kelas. Ia marah saat mengetahui perintahnya hanya dijalankan oleh beberapa anak. Bahkan tidak sampai 5 yang membuat soal benar-benar 40 nomor.
Seketika suasana kelas hening dan pada menundukkan kepalanya kebawah, berharap tidak menjadi sasaran Boni untuk kena omelannya.
"Saya berbaring lemah di UKS, sedangkan kalian yang sehat malah bisa-bisanya tertawa sana sini tanpa mengerjakan tugas dari saya," ucapnya dengan nada dramatis.
"Kurang ajar gak kalo seperti itu?!" Boni meninggikan suaranya. Tidak ada yang berani menjawab, bahkan bernafaspun tidak berani.
"Kurang ajar!" ucap Boni menjawab pertanyaannya sendiri.
Vannesha tersenyum menahan tawa. Apalagi kalau sudah melihat kearah Boni. Pria itu sama sekali tidak pandai untuk meluapkan emosinya. Bukannya bikin menakutkan, malah buat orang menahan nafas untuk menghilangkan hasrat tertawa.
Boni membuka 1 buku dari belasan yang berada di meja di sampingnya. Ia memperhatikan dengan jeli lalu merubah arah matanya untuk mencari pemilik buku tersebut.
"Nathan," tegasnya.
Nathan mengangkat tangannya sambil tersenyum dan tertawa kecil, namun masih menunduk ke bawah. Ia mencoba untuk menatap Boni yang sekarang wajahnya sudah memerah.
"Malah ketawa lagi! Jangan ketawa! Tatap mata saya," tukas Boni merosotkan tatapan tajam masuk ke retinanya. Nathan diam, bermaksud untuk menghentikan tawanya.
Boni yang geram itu mengalihkan pandangannya dari Nathan. Ia menarik nafas, guna untuk menahan amarahnya. "Semuanya tatap saya sekarang."
Vannesha masih menahan tawanya. Beruntung ia duduk dibelakang laki-laki yang memiliki postur tubuh sangat besar. Sehingga Boni tidak bisa melihatnya tertawa.
"Vannesha, tatap mata saya!" bentak Boni mengarahkan suaranya pada Vannesha. Wanita itu reflek untuk kembali duduk dengan tegak, lalu menatap Boni dengan seksama.
"Bapak kenapa sakit? Saya khawatir." Ini Dina, gadis polos yang asal ceplas-ceplos, layaknya anak kecil yang belum di ajarkan rasa malu. Namun karna sikapnya yang seperti itu, membuat Boni meluluhkan rasa amarahnya dan menenangkan dirinya sekejap.
"Saya sakit hati," ucapnya tanpa sadar. Sontak membuat penghuni kelas yang daritadi menahan ketawa langsung mengeluarkan segala jenis tertawanya.
"Saya serius tau. Makanya saya jadi marah-marah," lanjut Boni yang kalau tadi wajahnya merah karna marah, kini karna menahan malu.
Vannesha menggeleng-geleng kepalanya, bermaksud tidak percaya. Lalu tertawa sekeras mungkin sampai ia tidak bisa merasakan sakit di perutnya. "Ternyata seorang seperti Boni Tamflakes bisa jatuh cinta juga?" kata suara hatinya.
Suasana kelas yang tadi hening kini berisik. Termasuk Boni, yang sekarang ikut tertawa hambar saat Yosea, ketua kelas, berkata kepadanya bahwa wanita itu memang menyebalkan. Apalagi kalau sudah marah-marah lalu melampiaskan ke kita.
"Saya juga patah hati, karna Bapak buat saya putus sama Yessie," ucap Mike dengan lantang gagah, seakan-akan ingin mengajak bergulat. Boni menatapnya dengan datar. Lalu tiba-tiba ia mendapat pencerahan untuk mengerjai Vannesha.
"Saya tuh, emang kadang suka risih kalau udah ngeliat orang-orang pacaran," ujarnya sebagai permulaan.
"Apalagi kalau ngeliat cewek-cewek udah berulah. Ada yang sok kecakepan sama pacarnya lah. Ada yang jadi mendekin rok buat diliatin terus, atau kerjaannya berdiri dikaca buat tampil cantik di depan cowoknya." Semua orang yang di depan menyoraki, bermaksud setuju dengan yang Boni katakan.
"Apalagi kalau udah liat orang pacaran ampe jalan aja sama pacarnya terus. Ke kantin bareng, ke perpustakaan bareng, kemana-mana bareng. Ga sekalian tuh ke toilet bareng?" Kini matanya beralih menatap Vannesha. Vannesha masih tertawa, bermaksud belum sadar bahwa sekarang Boni membicarakan dirinya.
"Terus giliran putus salahinnya saya. Ngomel-ngomel mulu kerjaannya. Terus pake bentak-bentak bilang kalo dia benci." Boni kini meninggikan suaranya. Sedangkan Vannesha berhenti tertawa, lalu menyadarkan diri. Terutama sadar bahwa ia masih menyimpan benci pada Boni Tamflakes.
"Kadang ya, saya jadi gemes kalo ketemu sama anak yang kayak gitu. Rasanya mau saya cubit-cubit."
"Belum lagi, waktu dia bersikeras ngomong kalo dia nggak akan suka sama cowok kayak saya. Kamu tuh berharap apa, sih, mba? Berharap ntar ujung-ujungnya saya luluh terus naksir sama kamu? Terus berakhir kayak drakor atau sinetron gitu?"
Boni menarik nafas, menatap Vannesha lalu tersenyum ala playboy kelas akut yang sudah menemukan mangsanya. Ia memasukkan tangannya ke kantong, lalu melanjutkan adegannya untuk meluapkan rasa amarah akibat cemburu.
"KAMU PIKIR HIDUP KAMU BAKALAN KAYAK SINETRON YANG DISUKAIN SAMA ORANG SEMUDAH ITU?"
"TAI KUCING."
"MAKAN TUH SINETRON. MAKAN TUH DRAKOR. MEMANGNYA KAMU PIKIR HIDUP KAMU ITU DI TONTON SAMA BANYAK ORANG APA?"
Seisi kelas tertawa mendengar perkataan Boni yang sebetulnya tidak lucu sama sekali. Berbeda dengan Vannesha yang sekarang menatap Boni dengan tajam karna merasa dirinya dipermainkan. Namun Boni masih menatapnya dengan percaya diri.
"Sudah ya, saya capek. Kalian lanjutin tugas yang saya kasih tadi aja," ucapnya mengakhiri kalimat dramatis yang sudah ia lontarkan. Lalu bergerak mengambil barang-barangnya dan beranjak pergi keluar.
Namun, ia menghentikan tekatnya dan berbalik menghadap kelas yang sudah menanti kepergiannya. Ia mulai mengeluarkan suara seraknya dengan lembut, dan melontarkan segala isi hatinya, yang membuat para murid kaget lalu menyorakinya.
"Saya titip pesan, tolong sampaikan ke Vannesha Agatha Leone. Bilangin aja, gausah sok-sokan bilang benci biar saya suka sama dia-
Karna, saya sudah mencintainya dari dulu."
Share this novel