Hari ini libur sekolah, namun tidak libur untuk Vannesha. Ia menatap buku ekonomi dengan seksama. "Babi ngepet," gumamnya pelan lalu mencoba untuk mengerti. Padahal badan usaha merupakan teori yang mudah. Namun karna setiap ia mencoba, langsung terbayang muka Boni. Rasanya mual. Membaca saja sudah enggan, apalagi menghafal.
Apalagi daritadi Lily dan Dara tidak henti-hentinya mengejeki karna ia salah mencetuskan kalimat.
Awalnya, ia ingin mengatakan, "Nggak ah, gua maunya sama Jacob." Namun, karna ia terlalu banyak memikirkan ancaman Boni tentang tidak naik kelas. Kalimat itu terus-menerus mengiasi kepalanya.
Tenang saja, tidak akan tersebar sampai ke hati.
"Udah geh, belajar yang bener. Jangan mikirin Botam mulu. Kayak Botamnya mikirin lo aja," ujar Lily sembari mendengar musik berjudul Mine yang selalu menemaninya setiap malam ia belajar.
"Li, ajarkan gua sekilas."
"Ntar, males."
"Ayolah, emang bener-bener kejam lo ya."
"Minta Dara aja sana!"
"Muke gile lo, orang autis kayak gitu gue tanyain." Vannesha melirik sekilas ke Dara yang sedang tertawa aneh menatap layar ponselnya. Begitu juga dengan Lily. Lalu mereka berdua menatap satu sama lain.
"Udah gue bilang," ujar Vannesha meyakinkan.
Lily mendengus pelan, diambilnya buku ekonomi itu lalu ia membuka lembar per lembar. Lily sudah bersumpah dan berjanji untuk tidak belajar ekonomi, demi menemani Dara yang daritadi merengek dengan suara nyaringnya.
"Gue gabisa bantu, ntar gua kena kutukan si nyonya besar," jawab Lily lalu menunjuk ke arah Dara. "Napa?" tanya Vannesha. "Lo nggak dibolehin belajar buat ulangan besok?" lanjutnya mengerti. Sedangkan Lily hanya mengangguk.
"Yaudah kalau gitu gua juga nggak mau belajar." Vannesha menutup bukunya dengan keras lalu melempar ke arah meja. Tidak perlu memperlakukan buku ekonomi dengan baik, tidak berguna sama sekali.
"Awas lu ya ampe nanti ngerengek kayak si Dara karna nggak tuntas," ancam Lily. Vannesha berdesis, nggak Lily nggak Botam. Semuanya sama-sama suka mengancam.
Vannesha pergi ke ranjang Lily tanpa memperdulikan wanita itu yang masih menatapnya dengan aneh. Ia meloncatkan dirinya, lalu berusaha untuk tidur.
"Gue udah bilang nyokap buat nginep disini. Jangan ganggu gua tidur." Vannesha tidak menggubris Dara yang langsung terpancing untuk mengeluh karna dirinya yang tidak bilang-bilang mau menginap.
Ia mencoba untuk tertidur, tidak memperdulikan ekonomi yang besok akan menentukan masa depannya. Kadang ia teringat Jacob, namun kadang juga ia teringat Bram yang dari kemarin sudah menemaninya chat.
Ya, walaupun, lebih besar memikirkan tentang Botam yang membuat kepalanya berstatus "waspada" untuk meletus.
• • •
"Kalo dia nggak lebih tua dari gue, udah berlumuran ludah dia sekarang. Benci total." Vannesha menggobrak mejanya lalu melemparkan semua barang yang ada di atas meja.
"BONI TAMFLAKES, GUE KUTUK LO JADI KODOK!" teriaknya yang daritadi hatinya masih panas akibat melihat soal yang diberikan.
Yessie melihat Vannesha dengan malu dengan mengarahkan Lily untuk menjauhi jaraknya dengan Vannesha saat ini. Temannya, sudah benar-benar sakit jiwa.
Padahal soal yang diberikan tadi tidak begitu sulit. Bahkan tidak sulit sedikitpun. Bagi Dara, manusia autis yang jarang belajar saja,
"Gampang, cemen kalo nggak bisa," begitu katanya sehabis ulangan selesai.
"Kalo dia kodok, terus lo apa? Putrinya maksud lo? Lo pikir ini dongeng atau apaan hah?" Dara bertanya bermaksud bingung. "Oh, astaga, baru inget gue, lo kan maunya sama si Botam. Pantes aja," lanjut Dara meledek.
Vannesha yang kepalanya sudah berasap panas dengan suhu 400° itu langsung menusuk hidung Dara yang sedang terkekeh. "Gue peringatin lo sekali lagi, kalau macem-macem, gue rebut si Bram."
"Rebut aja, Bram doang. Gue gasuka."
"Tapi dia suka lo!"
Dara menatapnya biasa. Mengingat Bram yang dulu selalu menyatakan cinta kepadanya. Eh tau-taunya hanya bercanda.
"Ngaco, tipikal orang kayak Bram mah hatinya kek baja. Lu tau Planet Neptunus? Hatinya sama aja kayak itu! Gabisa ditinggalin."
"Curhat, mba?"
"Kagak, gua kan udah sering bilang. Gua sukanya sama pangeran imajinasi gue. Tau nggak? Velion Dapierre! Perlu gua triakin di telinga lo sekali lagi kalo gua sukanya sama Ve-li-on Da-pie-rre," kata Dara penuh penekanan di setiap kalimatnya.
"Gue nggak peduli, intinya dia suka sama lo."
"Udah, woi." Lily merubah topik lalu menyodorkan obat yang biasanya Dara minum. Dara hanya bisa menarik nafas dengan pelan. Sedangkan Vannesha, berusaha tidak membalas karna Dara memang memiliki gangguan jiwa. Semuanya menoleh bersama-sama saat ada terdengar sumber suara memanggil salah satu dari mereka.
"Vannesha Agatha Leone, kamu ikut saya sini ke ruang BK."
Vannesha menatap bu Trala dengan malas, dia sudah mencoba untuk menaikkan kaos kakinya, bahkan jika dilihat dari atas sampai bawah, ia sudah menjadi murid teladan. Demi menghindar dari Boni Tamflakes. Jadi dia salah apa lagi sekarang?
"Malas bu, ibu yang butuh, ya ibu yang datang ke saya."
"Kamu sudah mulai keterlaluan ya! Kamu cepat ikut saya atau kamu proses dengan guru lain."
"Saya kan udah bilang, ibu yang ke saya! Emangnya saya butuh ibu apa? Nggak sama sekali. Jadi stop suruh saya ngikut ibu!" Bentakan Vannesha semakin keras membuat beberapa sorot mata tertuju kepadanya. Bu Trala yang memiliki riwayat sakit jantung itu langsung pasrah dan meninggalkan kelas.
"Van, lo nggak boleh gitu. Nanti masalahnya makin ribet. Jangan karna lo putus sama si Jacob, imbas lu ampe kemana-mana. Nanti bisa-bisa lo kena sama kepala sekolah." Lily menasehati.
"Diem, nggak ada sangkut pautnya sama Jacob. Gua gasuka sama dia."
"Tapi masih sayang." Ledek Dara.
"Dar, kalo otak lu nggak gangguan. Muka lo udah gue blender sekarang," ucap Vannesha frontal. Dara yang mendengar kalimat itu langsung terdiam dan tidak melanjuti apa-apa. Ia sadar, ia memang gangguan jiwa.
"Sorry, kelepasan. Gue lagi emosi," lanjut Vannesha lalu meletakkan kepalanya di atas meja. Ia baru saja menyesal atas apa yang baru saja ia perbuat.
Kalau saja ia menurut, sepertinya bencana tidak akan melanda sekarang.
Ia melihat ke bawah, masih sambil tiduran. Matanya tertuju oleh Boni yang sedang jalan ke kantin bersama beberapa gerombolan wanita. "Dasar ganjen," begitu, batinnya.
Salah satu wanita itu tiba-tiba menggandeng tangan Boni lalu langsung memeluknya, sedangkan Boni hanya menerimanya dengan pasrah.
Boni melepaskan gandengannya lalu berjongkok untuk menaiki kaos kaki remaja wanita yang tadi menggandeng tangannya. Lalu melepaskan jaket yang digunakan.
Ia mengusap pelan rambut wanita itu, lalu teman-temannya yang lain menyorakinya. Sedangkan wanita itu langsung memeluk kembali Boni sembari tersenyum. Boni membalas pelukannya.
Vannesha mengigit bibir bawahnya lalu meremas kasar rok yang digunakan. Ia mengeram kesal. Gadis itu membuka kaca jendela dengan cepat dan kasar. Menguatkan tenaga dan memperbesar gelombang pita suara.
"BONI TAMFLAKES, DI SEKOLAH ITU DILARANG PACARAN! TELINGA KAMU SUDAH TULI ATAU KAMU MEMANG TIDAK PUNYA TELINGA?"
Share this novel