"Gue gak mau tau, sebagai permintaan maaf lo. Lo musti dengerin kalimat gue baik-baik. Atau gak, gue kutuk ampe cucu lo biar nasibnya sial terus." Wanita yang sedang duduk itu melipat kakinya. Lalu menopang kepalanya dengan satu tangan.
"Lo pasti mau minta deketin lo sama si Charles kan?" ucap Vannesha yang ikutan duduk di depan gadis tersebut.
Dara namanya.
"Sok tau! Tenang aja, gua udah ngelupain rasa cinta gua ke dia. Bahkan sekarang udah hilang semua layaknya plastik yang terbawa ombak."
"Bacotan lo uda kayak majas hiperbola. Langsung aja apa intinya, setan."
"Eits, kalo mau tau, lo musti beliin gua makanan dulu. Soalnya gue laper," ucap Dara cenge-ngesan. Sedangkan Vannesha menatapnya dengan datar. Ingin rasanya menggebuk kepala Dara agar kembali koma.
"Gue beliin kalo lo udah kasih tau."
Dara merengek lalu mendengus kesal. Vannesha hanya bisa menutup telinganya sampai Dara selesai berulah. "Oke. Tapi makanannya tambah 2 kali lipat," tandas Dara yang melipatkan tangannya di dada sambil tersenyum bangga.
"Ya, buruan."
"Permintaan pertama itu, lo harus sering-sering jenguk gue. Terus bilang, Dara cantik semoga lo cepet sembuh ya, gue kangen banget. Selama gue masih di rumah sakit."
"Geli! Nggak mau," tolak Vannesha cepat.
"Oke, gapapa." Kini Dara kembali beranjak dari tempat duduknya dan membaringkan diri di tempat tidur. Ia menarik selimut, bermaksud pura-pura ngambek agar Vannesha menjalani hukuman agar di ampuni.
"Iya ah bawel, udah itu doang? Gampang."
"Gak, masih banyak." Dara mengibas selimutnya dengan riang.
"Kedua, lo musti ngucapin selamat ulang tahun ke gue 2 minggu lagi."
Vannesha melebarkan matanya sampai-sampai bola matanya hampir keluar dari tempat. Untuk kedua kalinya Dara membuatnya sangat teramat kaget. Hukuman macam apa yang mengharuskan seseorang melakukan hal yang ia sukai.
"Sinting lo, pasti gua ucapin lah. Ada-ada aja," ujarnya lalu memutarkan kedua bola matanya.
"Ya, siapa tau gak lo ucapin. Kan lo lupa temen!"
"Lupa apaan, sih? Gue gapernah lupa sama lo ya, tolong camkan itu."
"Bukan sama gue. Tapi lo bahkan lupain Boni!"
"Lo juga lupa tuh sama dia!"
"Kan gue gabegitu deket sama dia dulu. Sedangkan lo, cinta sejatinya malah ngelupain. Kalo gue jadi Boni, gue udah cari cewek yang lebih seksi dari lo."
"Gue udah seksi."
"Muka lo kejedot batu bata. Rata aja masih terlalu bagus untuk lo. Tau cekung gak? Hah?"
"Lo mendeskripsikan diri lo sendiri ya?"
"Gak gue maafin."
"Dih, ngambek." Dara menatap tajam lurus didepannya, sedangkan Vannesha menusuk nusuk pipi wanita itu agar berhenti untuk marah dan kembali berbicara padanya.
"Terakhir, janji sama gue. Lo bakalan jujur sama cinta pertama lo."
Vannesha menaikkan alisnya, guna bertanya apa yang dimaksud Dara untuk hukuman terakhirnya.
"Boni. Lo gaboleh bohong kalo lo ga benci sama dia."
"Tambahan deh. Sekaligus lo harus jatuh cinta sama dia," lanjut Dara yang kemudian mengambil pocky dan memakannya sambil tiduran.
Tatapan mata Vannesha kosong, ia bingung mau berfikir tentang apa lagi. Kali ini otak dan hatinya sedang bermusuhan, jadi ia benar-benar tidak berdaya.
"Gue bingung," ujar Vannesha pelan yang hanya dijawab gumaman kecil dari Dara.
"Gue gabisa bilang gue benci tapi gue juga gabisa bilang kalo gue cinta." Vannesha kini memelas, sebetulnya ia tau bagaimana cara meluluhkan hati Dara agar menghapus hukuman nomor 3 dan tambahannya tersebut.
"Napa?"
"Karna perasaan gue ya, dua-duanya."
Dara menghela nafas, "Yauda deh, anggep aja nomor 3 itu permintaan. Gue minta lo sama dia pacaran, kalo perlu nikah.
"Soalnya gue suka liat lo berdua."
Vannesha menatap sekilas ke arah Dara yang masih asik memakan pocky nya. Ia mengangguk dan tersenyum, sedangkan Dara hanya menaikkan alisnya.
"Nes."
"Apaan? Tumben manggilnya Nes."
"Dari jaman lo liat bumi juga sebetulnya panggilan lo Nesha, setan."
"Oh, lupa."
"Otak lo emang pendek. Ga berakal. Setidaknya walaupun otak gue gangguan, gue masih berakal. Nggak kayak lo."
"Sebentar lagi gue tinju biar lo koma lagi."
Dara terkekeh sampai-sampai bangkit dari tempat tidurnya. Lalu kembali berkata melontarkan kalimat serius yang membuat Vannesha terdiam sementara.
"Kalo lo kecewain gue lagi. Gue bakalan ngambek sampe turunan lo ke 9 lahir."
Dara kembali menarik selimut yang tadi ia lempar. Memeluk boneka yang diberi Charles dari abad 180 sebelum masehi. Lalu mengisyaratkan Vannesha untuk keluar, karna ia ingin tidur. Namun Vannesha tidak menggubris dan tetap terdiam di atas bangku lipat yang ia duduki. Ia memikirkan permintaan Dara yang tidak masuk akal sampai rambutnya yang lurus berubah menjadi keriting. Dan akhirnya, dia memutuskan untuk tidur.
"BANGUN WOI," teriak Lily yang daritadi sudah mencoba untuk membangunkan Vannesha, sampai membuat kegaduhan di rumah sakit.
Vannesha membuka matanya secara perlahan. Lalu melihat Dara yang masih berbaring di tempat tidur dan tertidur nyenyak.
"Dar, bangun," ucapnya masih setengah sadar.
"Heh, lo semalem minum obat sakit jiwa nya si Dara ya? Ampe bisa-bisanya lo lupa temen lo masih koma," ujar Lily geram. Awalnya ia tidak mau membahas, namun karna sejak dari tadi Vannesha sangat menyebalkan untuk di bangunkan, akhirnya ia terpancing untuk marah-marah.
Vannesha yang tadi masih setengah sadar itu langsung membulatkan matanya sebesar bakso.
"Bohong! Orang tadi gua ngobrol sama si Dara. Sembarangan lo. Kata cowok gua, ngomong tuh yang baik-baik. Karna omongan adalah doa."
"Cowok lo? Botam?" balas Lily lalu tertawa melihat Vannesha yang salah tingkah sejak keluar dari ruang tatib kemarin.
"Gak, maksud gua. Temen cowok gua juga pernah bilang begitu. Gak cuman botam doang," kata Vannesha berbohong. Ia bangkit dari tempatnya lalu mengambil tas untuk siap-siap kembali ke rumah. Berbeda dengan Lily yang masih diam di tempat dan menatap Vannesha dengan aneh.
"Lo nggak suka Botam kan?" tanyanya to the point.
"Gak lah, perlu di tanya lagi? Gue benci pake bingo," tukasnya lalu membalikkan badan ke arah Lily.
"Bagus lah. Gue juga gak suka lo sama Botam."
Vannesha membelalak, lalu menatap Lily yang mukanya sudah tidak dapat di deskripsikan keseriusannya.
"Kenapa dah? Tumbenan amat lo ngomong ginian."
"Gak suka aja. Mungkin kalo menurut orang kalian cocok. Kalo menurut gue, gak sama sekali."
Vannesha masih terpaku dengan kalimat yang baru saja di lontarkan Lily. Ia memakai tasnya, dan mulai membalas perkataan wanita itu.
"Emang nggak cocok. Dan gue pun nggak suka, ja-"
"Kalo perlu jauhin," potong Lily yang membuat Vannesha terdiam seribu bahasa karna hatinya baru saja meletus seketika. Terlebih saat ia mulai mencetuskan pedang tajam dan menusuknya sampai jantungnya keluar.
"Kakak gue, suka sama dia. Jadi, untuk kali ini aja gue minta. Jauhin Boni. Atau bisa-bisa hubungan gue sama Lady gapernah akur kayak dulu lagi."
Vannesha menarik dan menghembuskan nafas secara perlahan. Ia menutup matanya. Lalu melihat ke arah Dara yang sedang tertidur entah kapan bangunnya, kemudian ke arah Lily yang sudah melipat tangan di dada.
Ia memijit pelipisnya secara pelan. Lalu kembali mengajak otaknya bekerja sama untuk berfikir.
Jadi, yang harus ia lakukan sekarang itu,
Mengikuti permintaan Dara,
Atau, membantu Lily meluruskan hubungannya,
Oh, atau mengikuti kata hatinya?
Share this novel