"Terbakar api cemburu?" Boni tertawa melihat tingkah Vannesha daritadi. Ia langsung pergi memanggil wanita itu lalu menariknya ke ruang tatib, seperti biasanya.
"Bukan cemburu, tapi balas dendam!"
"Saya nggak pacaran, jadi jangan cemburu. Karna pacar saya itu cuma kamu." Boni menyungging bibir sambil menaiki 1 alisnya. Memasang muka playboy kelas kakap.
"Gak nyambung. Sok-sokan bilang saya pacar bapak lagi. Ngaco."
"Jadi kamu nggak mau jadi pacar saya?"
"Ya, gak lah! Gila aja. Muka bapak kayak Justin Bieber atau Shawn Mendes aja, saya masih ogah. Apalagi kalo muka bapak sejelek ini."
"Kamu baru saja menghina karya Tuhan, ya?" Boni meninggikan suaranya. Pria religius itu selalu terpancing jika suka merembet ke topik yang serius. Matanya menyinis ke arah Vannesha.
"Hah, nggak kok." Vannesha menatap kebawah, ia melipat tangannya. Baru saja dia kena masalah sama Bu Trala, jangan sampai masalahnya sama si tukang Katakan Putus tambah berat.
Bukan takut, tapi ogah.
"Nanti saya bilang ke guru agama kamu, nilai sikapnya jadi C," ucap Boni bercanda. Padahal awalnya ia tidak mau seserius itu karna memang ia sadar tampangnya yang pas-pasan. Namun karna melihat muka Vannesha yang terlalu imut untuk dikerjai, maka itu menarik perhatiannya.
"Ih, bapak."
"Apaan?"
"Please, pak. Jangan dong. Nanti potensi saya nggak naik kelas makin besar. Saya janji deh, saya bakal turutin perintah bapak. Saya bakal belajar ekonomi dengan giat, tidak pernah pacaran disekolah lagi, pake kaos kaki bakalan tinggi. Dan ga akan bilang muka bapak jelek." Vannesha memohon.
"Halah, ngomong doang bisanya, lakuin nggak." Boni menyodorkan UH ekonomi yang baru saja tadi ulangan. Ia sengaja memeriksa punya Vannesha dulu, karna wanita itu punya janji dengan dirinya. Terlihat tinta merah bertulisan angka 74.
"Bapak! Jadi orang tuh jangan pelit-pelit banget dong. Itu tinggal 1 lagi tuntas. Bapak emang bener-bener jahat ya sama saya. Apa karna saya bodoh di ekonomi, jadinya Bapak begitu ke saya?"
"Sekali lagi kamu membantah, saya beneran bilang ke guru agama."
"Ah, maaf, pak."
"Nggak dimaafin."
Vannesha mengeram kesal, ia meremas rok yang ia kenakan lalu membuka mulutnya, "Bapak juga! Bapak malah pacaran disekolah. Saya juga bisa menuntut kepala sekolah biar nilai sikap Bapak jadi Z!" ucap Vannesha mengancam.
"Saya nggak pacaran. Mau saya bilang berapa kali? Saya. Nggak. Pacaran," ujar Boni penuh dengan penekanan di setiap kalimatnya. Ia memang tidak pacaran, namun ia melakukan hal seperti orang pacaran.
"Saya nggak peduli, intinya saya liat Bapak pelukan sama cewe. Jadi hipotesisnya Bapak pacaran." Vannesha melipat tangannya di dada. Jangan karna dia guru, hanya dia saja yang bisa mengancam. Vannesha juga bisa.
"Kenapa sih? Kalo pelukan emang sudah tentu pacaran? Gausah sok-sokan tegar, kalo cemburu bilang aja!" Boni menghentakkan mejanya, alisnya bertemu dan memasang muka marah.
"Saya nggak cemburu. Saya mau balas dendam karna Bapak udah buat saya putus sama Jacob!"
"Cari baru!"
"Nggak gampang lah. Saya tau bapak mukanya kayak bule, makanya gampang punya cewek."
"Bukan kayak lagi, saya emang keturunan bule."
"Nggak peduli, intinya jangan mentang-mentang muka Bapak kayak bule, bisa bilang gampang buat cari pacar baru. Muka saya kan nggak kayak Bapak!"
"Merendahkan diri?"
"Itu mengatakan kejujuran, daripada saya pede abis padahal muka saya pas-pasan," ujar Vannesha meledek.
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Karna perasaan saya bilang begitu!"
"Berarti perasaan kamu salah, saya mau kok sama kamu!" Mendengar jawaban Boni, Vannesha langsung menjijikkan mukanya. Guru ini lebih sakit daripada Dara.
"Sayanya gak mau sama Bapak!" tukas Vannesha.
"Tapi, saya mau!" Boni menegaskan kalimatnya.
"Sama kakak kelas yang tadi aja, gausah sok-sokan mau sama saya. Dasar pendusta."
"Udah saya bilang berkali-kali. Jangan cemburu, saya nggak pacaran!"
"Saya juga udah bilang berkali-kali. Saya nggak peduli."
"Oh," ucap Boni datar mengakhiri perdebatan. Bukan karna skakmat atau bingung ingin menjawab apa. Hanya saja Vannesha terlalu keras kepala untuk dilawan. Ia menyenderkan badannya ke bangku. Mentidaklanjuti percakapan yang pasti tidak akan menemukan hasil akhirnya.
Selama beberapa detik terdiam, akhirnya ia mencoba menyetorkan topik yang baru saya ia ingat.
"Cuci toilet sana, sebagai hukuman kamu nggak sopan sama Bu Trala." Ia mulai membuka mulutnya. Vannesha menatapnya dengan kaget.
"Nggak ma-."
"Kamu mau cuci toilet 1 minggu ini atau ngepel diseluruh penjuru sekolah selama sebulan?" potong Boni.
Vannesha menggeretakkan giginya, ia mendobrak meja dan berdiri dari hadapan Boni. Menunjuk Boni dengan tangannya. Matanya menyinis.
"Untuk kesekian kalinya saya bilang. Saya benci sama Bapak!" Vannesha langsung pergi dari ruangan. Menutup pintu itu dengan keras. Membuat beberapa orang yang berada diluar kaget mendengarnya, lalu menatap Vannesha dengan aneh.
"Dan untuk kesekian kalinya saya bilang, saya cinta sama kamu," gumamnya pelan sambil tersenyum tipis.
• • •
"Van, makan dulu," ucap mama Vannesha lembut, Cella namanya. "Nanti temen papa ada yang mau dateng, kamu juga harus mandi habis ini," lanjutnya.
"Siapa?"
"Om Dallbert," kata Cella sembari menyiapkan makanan untuk anaknya. Vannesha mengangguk, lalu meneguk air putih yang berada di depannya.
"Van, gimana sekolah?" Ini ayahnya, namanya Alex. Cella dan Alex memang benar-benar memiliki tampang diluar batas. Namun, tidak untuk Vannesha.
"Bagus-bagus aja. Kalau aku nggak naik kelas, papa sama mama marah nggak?"
"Kamu sudah menjawab pertanyaanmu sendiri," ucap Alex lalu ikut makan bersamanya. Vannesha mendesah pelan. Semoga Boni tidak sejahat itu untuk membuatnya tidak naik kelas.
Cella menyipitkan matanya ke arah luar pintu. "Aku rasa, itu Dallbert." Sedangkan Alex tidak menggubrisnya dan tetap melanjuti makanannya. Begitu juga dengan Vannesha, tidak terlalu peduli.
"Alex Leone, lo mau buka pintu atau gua timpuk pala lo sama batu sedimen kayak dulu." Sumber suara itu dari luar rumah. Alex yang tadi tidak peduli langsung tertawa kecil lalu membukakan pintu untuk sahabatnya.
"Lo mau diem atau gua gaet istri lo kayak dulu," balasnya sambil menyungging bibirnya. "Cell, ceraiin aja, emang nggak guna cowok lo." Dallbert menyiniskan matanya, bermaksud bercanda, lalu mengalih pandangannya kepada Vannesha.
"Hai adik manis, masih inget aku nggak?" Tanyanya dengan lembut layaknya memperlakukan balita. "Nggak om, saya sudah dewasa," balas Vannesha cuek.
"Udah gue duga sih, Lex. Anak lo nggak jauh beda sama bapaknya. Sama-sama lupa temen."
"Lo kan emang pantes dilupain."
"Tega bener lo," kata Dallbert. Ia beranjak dari ruang makan untuk pergi ke ruang tamu yang tidak terlalu jauh. Begitu pun dengan Alex.
"Gimana anak lu?" Alex membuka dialog.
"Udah jarang ketemu, dia gue paksa kerja biar dapet duit sendiri. Hitung-hitung biar gedenya ntar nggak kayak lo," ucap Dallbert lalu terkekeh. Alex langsung menimpuknya dengan bantal dan meninjunya pelan.
"Palingan ntar anak lo kek bapaknya. Mukanya jelek." Balas Alex mengejek.
"Sorry, ya. Anak gue emang kayak gue. Tukang modus tapi setianya sama 1 cewek. Emang kayak lo?"
"Gue setia kok, tanya aja Cella."
"Halah, ngomong sini sama pantat gue."
Alex tidak menggubris, ia memainkan ponselnya mengurusi proyek yang sedang ia kerjakan. Sedangkan Dallbert memakan permen dan menyelipkan bungkusannya di segala penjuru sofa.
"Pa, aku mau duit."
"Untuk apa?" Alex mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Beli box kecil, untuk valentine. Aku mau kasih ke Jacob."
"Ah kamu kan udah putus, pake box bekas aja yang sering papa kasih ke mama. Jangan boros, papa beli untuk mama boxnya bagus-bagus." Vannesha mengangguk.
"Van, kamu udah putus tapi masih sayang?" Dallbert mencoba menarik perhatian Vannesha untuk berbicara kepadanya. Dan tentu, Vannesha hanya mengangguk.
"Basi! Mendingan kamu, om kenalin sama cowok lain."
"Gausah macem-macem lo, kampret. Gue nggak sudi jadi besanan sama lo. Ingat kalimat gue," ucap Alex penuh dengan penekanan.
"Ngapain juga gue ngenalin anak gue, orang udah kenal. Gua mau kenalin anaknya si Louis. Ada-ada aja lo."
Vannesha menatap 2 orang di depannya dengan bingung. Kalau disekolah ajang Katakan Putus maka ia akan mendapatkan kesialannya dirumah untuk ajang Katakan Cinta?
"Apaan, bego. Orang Charles aja saudara sepupu dia. Otak lo udah mulai menciut parah sih. Jauh lebih kecil dibandingkan yang dulu."
"Dulu otak gue 7 kg, semenjak ketemu lo langsung kebakar 1 kg. Masih ada 6 kg. Sedangkan otak lo cuman 1 kg. Sulit ya emang berbagi otak yang kebakar sama orang yang nggak tau bertrima kasih."
Dallbert memalingkan matanya menatap Vannesha lagi. "Ayo, Van. Masa kamu nggak inget om sih? Dulu om sering banget gendong kamu waktu masih kecil. Kamu bilang om ini ganteng loh."
Vannesha membelalak matanya. Ternyata saat kecil dia sudah memiliki jiwa ibunya untuk menilai ketampanan lelaki.
"Dulu kamu juga sering main sama anak om. Bahkan kalian pernah bersumpah untuk menikah suatu saat."
"Hah, masa, om?" Ucap Vannesha menahan malu untuk hal yang ia perbuat dulu. Demi apapun, otaknya memiliki memori jangka pendek seperti Cella. Bahkan kejadian 3 tahun yang lalu ia sudah melupakannya.
"Iya, namanya Ballbert North Tamflakes."
Vannesha membulatkan matanya saat mendengar kata "Tamflakes". Ia mengingat guru ekonominya yang membuatnya kesal hari ini. Dan ia juga teringat akan kelupaannya mencuci toilet.
"Tamflakes?" Tanya Vannesha bingung.
"Iya, Boni. Dulu kamu manggilnya Belbet"
Vannesha menatapnya dengan kaget. Astaga naga, dia melihat Boni hidup saja rasanya ingin membuangnya ke dasar sungai. Apalagi menikahinya. Lebih baik ia menyemplung ke samudra dan tidak kembali lagi.
"Ogah! Nggak mau! Mending saya jadi perawan tua daripada harus nikah sama dia."
"Lah, padahal dulu kalian yang janji, sambil pegangan tangan di samping kolam renang buat nikah bareng."
"Ada-ada aja. Aku percaya itu pasti aku lagi kerasukan setan."
"Ya, setannya diri kamu sendiri."
"Nggak, pokoknya aku nggak mau. Titik nggak pake koma atau pun tanda seru!"
Alex mentertawakan anaknya dan Dallbert yang daritadi melanjuti perdebatannya tentang Boni. Tidak jauh beda dengan dirinya, ia menuruni sifat Alex yang dari dulu sampai sekarang tidak pernah henti-hentinya debat dengan Dallbert.
"Emangnya Boni terlalu jelek ya?"
"Bukan jelek lagi! Bahkan kata jelek aja udah terlalu bagus untuk mendeskripsikan muka dia." Vannesha masih melongo tidak percaya. Sedangkan Dallbert mengalah, sama seperti Boni setiap kali bertengkar dengan Vannesha.
"Udah, anak gue aja gamau. Emang sih, kalo bapaknya aja manusia monyet, anaknya gimana ya?" Alex ikutan menyudahi pertengkaran itu. Sedangkan Dallbert langsung menjitaknya.
Alex membalasnya dengan tertawa. Walaupun sebetulnya Alex masih tidak percaya bahwa anaknya yang dulu sangat jatuh cinta pada Boni sekarang menajis-najiskan cinta pertamanya di depan ayahnya sendiri.
Mungkin lebih tepatnya yang dikatakan Dara salah.
Bukan benci jadi cinta,
Tapi cinta jadi benci.
Share this novel