"Harusnya kemaren kamu nggak usah ke rumah sakit dulu. Sekarang kalau sakit. Emang enak?" Alex membelai rambut Vannesha yang sebetulnya sudah sangat berminyak. Vannesha mengambil obat yang Alex berikan dan meminumnya tanpa membalas pernyataan Alex tadi.
"Mau makan apa lagi? Masih pusing nggak?" lanjut Alex bertanya.
Vannesha menggeleng.
"Yaudah tidur lagi aja, biar ntar agak mendingan." Alex mencium kening Vannesha dan beranjak dari tempat tidur. Namun, ia menghentikan langkahnya saat Vannesha mulai mengeluarkan suara.
"Pa," ujarnya dengan volume suara yang cukup pelan, berbeda dari biasanya. Alex membalas dengan gumaman, bermaksud untuk bertanya ada apa.
"Temenin aku dong," mohon Vannesha yang hanya dijawab senyuman kecil oleh ayahnya. Pria berumur 41 itu duduk di kursi biru samping tempat tidur Vannesha. Ia menatap Vannesha layaknya seorang kekasih yang menemani pacarnya sakit.
"Pa, dulu waktu aku kecil, aku gimana?"
Alex tertawa kecil saat mendengar kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut anaknya. "Kamu itu, nyebelin banget. Keras kepala, nggak mau ngalah. Papa sama mama sampe cape kalo ngomong sama kamu."
"Oh, ya?"
Alex mengangguk, lalu melanjutkan ceritanya,
"Dulu kamu suka lempar-lempar mainan ke temen kamu. Sampe Bram sama Dara nangis karna kamu lemparnya ke kerasan."
Vannesha tertawa kecil, lalu menatap Alex yang masih tersenyum ke arahnya. "Kalau, aku sama Boni, dulu gimana?"
Alex mengerjap kaget saat Vannesha bertanya tentang Boni. Ia melemparkan pandangan curiga yang ditangkap dengan naikkan alis dari Vannesha.
"Kamu dulu kenal dia karna udah buat Dara nangis. Terus Charles marahin kamu, suruh kamu minta maaf, tapi kamu malah lempar mainannya ke Charles."
"Waktu itu, kamu lempar-lempar terus ke Charles, sampe si Ballbert meluk kamu. Baru kamu berhenti."
"Dari situ kalian kenal deh."
Vannesha terkekeh sambil mengingat kejadian itu yang sudah ia lupakan bertahun-tahun. Kini ia mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi muka Charles yang sedang marah, Dara dan Bram yang menangis, juga Boni yang memeluknya dari belakang.
"Habis dari situ, kamu sama Ballbert kemana-mana selalu bareng. Makan bareng, main bareng, jalan-jalan bareng, tidur bareng, mandi bareng. Sampe-sampe tangan kamu sama Ballbert kayak di lem besi."
"Mandi bareng?!" tanya Vannesha melotot ke arah Alex.
Alex mengangguk, "Gapapa, masih kecil kok. Asalnya kalo sekarang mau mandi bareng lagi, harus nikah dulu, ya?"
"Papa nggak waras."
"Kamu sama ya kayak mama mu."
"Bunga tidak akan jatuh jauh dari pohonnya."
"Terserah."
"Oh, ya, Pa..." ujar Vannesha pelan bermaksud takut untuk menanyakan hal selanjutnya.
Alex menaikkan alis, "Kenapa?"
"Ceritain tentang first kiss aku dong." Mendengar itu, untuk kesekian kalinya Alex tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Vannesha yang sekarang mukanya merah menahan malu.
"Waktu itu, mainan kamu papa sita karna kamu lemparin terus. Habis itu kamu marah-marah, terus malah ngelempar biskuit yang lagi di makan sama Charles."
"Terus?"
"Terus kamu ngomel-ngomel terus sambil ngelempar biskuit Charles. Akhirnya Ballbert gak bisa tidur karna kamu berisik banget. Jadi dia langsung keluar kamar, banting pintu. Cium kamu."
Vannesha terpaku ketika ayahnya sudah selesai berbicara. Kini kenangan itu secara perlahan muncul lagi di otaknya. Bahkan, ia bisa mengingat hampir semua adegan yang ia lakukan dengan Boni dulu. Entah mungkin otaknya udah menemukan berkas-berkas yang hilang. Atau mungkin otaknya sudah lelah menyimpan itu semua.
Alex menghela nafas, lalu menatap Vannesha dengan memprihatinkan, "Maaf ya, harusnya papa nggak kasih box kamu ke Dara biar kamu masih inget sama Ballbert.
"Papa, cuman gamau kamu galau terus."
"Emang nya aku pernah galau karna dia?"
"Kamu sampe mogok makan dan nggak mandi seminggu karna dia pergi."
Vannesha terkekeh lalu menyudahi percakapan mereka dengan menyuruh Alex kembali ke kamarnya. Wanita itu kembali memeluk guling dan merenungkan harinya hari ini. Terlebih argumen Lily yang membuat dirinya jatuh sakit.
Andai saja ia bisa menolak, pasti dirinya tidak akan terbebani saat ini. Ia teringat ketika Lady merelakan Jacob untuknya saat mereka masih pacaran. Apakah itu terlalu sopan untuk mengambil Boni lagi dari nya? Itu akan menjadi masalah besar, khususnya untuk Lily.
Lily yang dulu selalu memohon kepada Lady agar ia memutusi Jacob. Lily selalu berkata, bahwa Vannesha sampai tidak mau makan 2 minggu, semenjak tau Jacob dan Lady berpacaran.
Hasilnya pun, Lady dan Lily menjadi tidak akur sampai sekarang.
Apalagi, kalau membandingkan Lady dengan Vannesha. Tentu—
Vannesha kalah telak.
Coba lihat dari postur tubuhnya, tidak menutup kemungkinan kalau Boni pun juga berfikir, bahwa Lady sangat seksi. Berbalik dengan Vannesha yang memiliki berat kelebihan 7 kilo dari berat ideal semustinya.
Wajah. Tidak perlu dijelaskan secara spesifik.
Lady cantik bukan main, sedangkan Vannesha hanya memiliki wajah lugu yang kalau sedang bengong, jeleknya amat sangat.
Lebih-lebih, saat Vannesha menyadari bahwa Lady adalah salah satu kakak kelasnya yang sangat famous. Ia memiliki banyak teman yang mendukungnya. Sementara Vannesha, ia hanya memiliki Lily, Yessie, dan Dara. Itu pun sudah berkurang 1.
"Tuhan memberi apa yang kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan."
Kalimat yang keluar dari mulut mamanya 11 tahun lalu, kini terlintas di kepalanya. Dan kebetulannya lagi, perkataan itu keluar saat Vannesha selalu nangis sehabis Boni pergi ke New York.
Vannesha menggeleng kepalanya kuat. Ia menegaskan pada dirinya sendiri, kalau ia tidak boleh memikirkan Boni lagi. Karna, meskipun ia mencintainya, itu sudah berlalu. Dan mungkin—
Tidak akan kembali lagi.
Namun disisi lain, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa ia masih memiliki rasa cinta yang terpendam di rongga hatinya, meskipun kecil.
• • •
"Enak?" ujar Bram sembari melihat Vannesha yang masih asyik menyantap ice cream yang ia beli kurang lebih 20 menit tadi. Ia menatap Vannesha sambil tersenyum senang, setidaknya untuk pertama kali Bram membuatnya tertawa.
Vannesha mengangguk cepat, lalu memberikan jempol andalannya jika tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Besok udah mulai sekolah?" tanya Bram membuka dialog baru. Sementara Vannesha masih mengangguk.
"Em.. Lusa jadi kan berangkat bareng?" ucapnya penuh ketakutan untuk menerima jawaban. Vannesha yang melihat muka Bram berubah raut itu langsung tertawa kecil, lalu menghentikan memakan ice cream yang kini ia pegang.
"Boleh. Sekaligus memperirit ongkos," jawab Vannesha diakhiri senyuman ajal.
Bram tersenyum bangga untuk ke-dua kalinya. Yang pertama, ia senang karna akan menghabiskan banyak waktu dengan Vannesha. Yang kedua, Boni tidak akan mengganggunya lagi dengan Vannesha untuk menjalin suatu hubungan baru.
Waktu kecil, Vannesha tidak terlalu berarti untuk Bram, begitu sebaliknya. Mereka terlalu sibuk dengan pasangan masing-masing. Sehingga mereka juga melupakan satu sama lain. Namun, Bram tidak se pikun Vannesha, setidaknya ia masih mengingat kalau Vannesha pernah melempar mainan ke arahnya sampai ia menangis.
"Nggak ada yang marah lagi kan?" kata Bram sengaja untuk membuka topik tentang Boni. Sekaligus untuk memastikan bahwa Vannesha tidak memiliki perasaan apapun lagi.
Vannesha yang tadi terlihat gembira langsung murung sesaat. Ia kembali mengingat ucapan Lily dan Dara yang berbeda di waktu berdekatan. Ia memijit pelipisnya, sementara Bram langsung mengubah suasana karna ekspetasinya tidak berjalan sesuai dengan rencana.
"Gausah dipikirin lagi deh, makan lagi tuh es krimnya. Udah mau tumpah." Bram mengambil tissue di samping tempat tidur Vannesha, lalu memberikannya kepada Vannesha.
Suasana yang kini canggung tiba-tiba berubah sejak Lily dan Yessie masuk ke kamar Vannesha. Mereka berteriak heboh menyaksikan temannya yang diduga berpacaran. Akhirnya, demi mempercepat proses penyembuhan Vannesha, Bram pamit pulang dengan alasan banyak tugas.
"Kalian buat malu aja tau nggak?" ucapnya setelah Bram keluar dari kamarnya. Ia menatap ke-dua orang yang berdiri di depannya secara bergantian. Kemudian menyantap suapan terakhir es krimnya.
"Nggak, selagi gue pake baju." Yessie mengambil cemilan lain yang di beri Bram. Lalu memakan seakan-akan itu miliknya. Yang di ikuti juga oleh Lily sehabis membuka jaket kulit yang dipakai.
"Emang ya, lo berdua kurang ajar total."
"Gua diajarin sama Tante Cella sih untuk saling berbagi. Ye gak, Yes?" cibir Lily guna meledek Vannesha. Vannesha hanya mendengus dengan sabar, lalu mengalihkan matanya menjadi kosong.
"Mike ngajak gue balikan." Yessie memulai dialog, dan juga menghilangkan suasana asing agar kembali menjadi biasanya.
"Terima nggak?" tanya Vannesha.
"Terima lah, tapi diem-diem. Biar nggak ketauan sama si Boni."
Lily menepuk tangannya sekali, bermaksud ingin memberitahu suatu hal yang hasilnya membuat Vannesha terdiam seribu bahasa untuk ke-dua kalinya atas perbuatan Lily. Ia menelan ludahnya, lalu berusaha menanggapi seakan tidak terjadi apapun.
"Mingdep, Lady bakal nembak Boni."
Share this novel