3

Family Completed 2798

Maria lebih banyak diam mengamati dan mendengarkan pembicaraan suaminya dengan Harun. Tentu dia takkan lupa, bahwa pada hari celaka itu Harun lah yang tergopoh-gopoh menggedor pintu-pintu untuk memperingatkan penghuni mengenai bahaya serbuan perusuh. Dia juga yang menganjurkan dan membantu mengkoordinir pengungsian para warga ke lapangan golf. Lebih baik menyelamatkan jiwa daripada sia-sia berusaha mempertahankan harta dengan akibat cedera atau nyawa melayang. Para penjarah itu sudah kerasukan setan. Apalagi mereka pun didorong hasutan "Bunuh Cina!" Buktinya adalah apa yang telah dialami Sonny. Dia dan Henry tak pernah tahu kenapa Sonny tidak pergi mengungsi. Yang bisa menjawab pertanyaan itu cuma Sonny, padahal sudah jelas dia takkan mungkin bisa menjawab.

Ketika dia dan Henry, yang selamat pulang ke rumah meninggalkan toko yang sudah tak bisa dipertahankan lagi, tergopoh-gopoh memasukkan barang yang masih bisa dibawa ke dalam mobil, suasana sudah begitu menegangkan. Bagaikan dalam situasi perang. Mereka panik sekali. Sampai-sampai barang rongsokan yang justru mau dibawa. Tetapi dia sempat melongok ke halaman rumah Sonny yang tampak sepi. Ketika itu kedua orangtua Sonny, suami-istri Lie, kebetulan sedang berada di Amerika untuk mengunjungi Thomas, anak sulung mereka yang tinggal di sana. Sonny tinggal sendirian karena pembantunya juga sedang pulang kampung. Ketika itu Maria berteriak-teriak memanggil Sonny, tapi tak ada sahutan. Dia juga menelepon, tapi tak ada yang mengangkat. Lalu Harun yang sempat membantu mereka memasukkan barang-barang ke dalam mobil mengatakan kemungkinan Sonny tak ada di rumah. Belakangan, setelah suasana dianggap aman, mereka yang mengungsi berbondong-bondong kembali. Tentu saja mereka sangat syok melihat apa yang telah terjadi pada rumah-rumah mereka beserta isinya. Ada yang terbakar habis, ada yang terbakar tapi tak sampai habis, ada yang dirusak berat, ada yang cuma rusak ringan. Sedang harta di dalam rumah sudah tak ada lagi. Tetapi yang paling mengejutkan dan mengerikan adalah ditemukannya jenazah Sonny di dalam rumahnya yang sudah menjadi puing!

Maria jatuh pingsan melihat jasad Sonny yang mengenaskan. Tetapi Henry kuat bertahan meskipun sudah pucat pasi. Bagi mereka Sonny sudah seperti anak sendiri. Memang tak lama lagi dia akan jadi anak mereka juga bila sudah jadi menantu.

Sonny akan menikah dengan Susan bila Susan sudah selesai sekolahnya. Itu memang kehendak mereka berdua. Setelah kejutan dan guncangan teratasi, muncul kesulitan mahaberat. Bagaimana menyampaikan kabar itu kepada Susan? Betapa pun beratnya, kabar itu harus disampaikan. Sungguh menyiksa perasaan.

Lalu datang surat Susan yang menanyakan, kenapa dia dan Henry tidak mengajak Sonny ikut serta mengungsi? Kenapa begitu gampang menyimpulkan, bahwa Sonny sedang pergi hanya karena telepon tidak diangkat dan panggilan tidak disahuti? Siapa tahu ketika itu Sonny sedang tidur atau tidak enak badan hingga tidak mendengar berita kerusuhan itu. Bukankah tidak masuk akal bila orang lain pergi mengungsi sementara dia sendiri tetap diam di rumah? Satu-satunya kemungkinan adalah dia terjebak dalam ketidaktahuan dan ketidaksiapan. Tahu-tahu sudah diserbu oleh massa yang haus darah.

Pertanyaan Susan itu menambah siksaan batinnya. Dia merasa bersalah. Dia dan Henry terlalu mementingkan diri sendiri. Cari selamat sendiri. Seharusnya mereka menggedor keras-keras pintu rumah Sonny, atau mendobraknya sekalian. Dengan demikian bisa diperoleh kepastian apakah Sonny ada di rumah atau tidak.

Kemudian surat Susan berikutnya menyusul. Isinya lebih tenang dan pasrah. Dia pun menyatakan penyesalan karena surat sebelumnya bernada emosional. Sesungguhnya dia. tidak bermaksud menyalahkan kedua orangtuanya. Tetapi Maria

sudah telanjur merasa bersalah. Dia tahu, perasaan itu akan terus melekat padanya sepanjang hidupnya. Maria mengangkat kepalanya yang tertunduk lalu menatap Harun. Yang dipandangi terkejut karena sorot mata Maria yang tajam menusuk seperti mau mengorek dan menembus sampai ke dalam benaknya.

"Ada apa, Bu?" tanya Harun waswas.

"Apakah Bapak menggedor pintunya dengan keras?"

Harun bingung. Ia tak memahami makna pertanyaan Maria. Sepanjang pembicaraannya dengan Henry, Maria tak ikut berkomentar. Tahu-tahu bertanya begitu.

"Pintu siapa, Bu?" Henry segera memahami. "Maksudnya, pintu rumah Sonny waktu kerusuhan itu, Pak," katanya sebelum Maria keburu menjawab.

Harun tertegun sejenak. Ia sadar apa yang tengah dipikirkan oleh Maria dalam diamnya barusan. "Saya sudah menggedornya, Bu. Setiap rumah saya gedor sampai saya bicara dengan penghuninya. Tetapi Sonny tidak keluar atau menyahut. Maka saya memastikan perkiraan sebelumnya bahwa dia memang tak ada di rumah."

"Perkiraan sebelumnya apa, Pak?" sambar Maria. Henry pun ikut menatap Harun dengan ekspresi tegang. Melihat tatapan kedua orang itu Harun menjadi ragu-ragu. Mungkin lebih bijaksana bila ia tidak mengatakannya. Apa yang sudah terjadi tak bisa diubah lagi. Yang mati tak mungkin bisa hidup kembali. Masa lalu biarlah berlalu. Tetapi di mata Maria terlihat desakan dan permohonan yang membangkitkan iba. Ia

tahu hubungan Sonny dengan keluarga Tan. Ia juga mengenal Susan yang pernah dijumpainya beberapa kali saat pulang berlibur. Gadis itu selalu bersikap ramah kepadanya. "Eh, Bapak kok diam saja?" desak Maria dengan tatapan curiga. Harun memperbaiki duduknya. Ia merasa gerah. Dulu di rumah ini ada AC. Sekarang tidak ada.

"Begini, Bu. Waktu itu saya baru keluar dari rumah Pak A Hok di ujung sana itu." Tangan Harun menunjuk. "Dia sudah pindah sekarang. Saya melihat seseorang keluar dari rumah Pak Sonny sambil mendorong motor, merapatkan pintu pagar, lalu menaiki- nya dan pergi. Saya cuma lihat punggungnya. Dia pakai jaket dan helm. Perginya ke arah yang menjauhi tempat saya berdiri, hingga tidak sempat berpapasan. Coba kalau ketemu, tentu saya bisa sekalian memberi-tahu."

"Ya. Dia memang suka naik motor. Apa itu motornya?" tanya Henry.

"Wah, nggak jelas. Saya nggak tahu persis motornya apa," sahut Harun.

"Apa karena itu Bapak tidak menggedor pintu rumahnya?" tanya Maria.

Harun tertegun. Pertanyaan itu menjebak. "Oh, saya kan sudah bilang bahwa saya telah menggedor pintunya. Sama seperti yang lain. Soalnya saya tidak begitu pasti apakah dia memang Sonny. Saya kan lihatnya dari belakang. Pakai helm lagi. Baru setelah tak ada sahutan saya tambah yakin bahwa dia memang pergi."

"Lantas kalau dia memang pergi, yang mati terbakar itu siapa?" Maria meremas tangan Henry, yang merasa betapa dingin tangan istrinya itu. Dia jadi ikut merasa dingin. Harun bingung sesaat. Ia tak pernah berpikir ke sana.

"Jenazahnya kan sudah diperiksa. Bener dia, kan?" "Jenazah itu sudah hangus, Pak. Bagaimana mengenalinya?" tanya Henry dengan perasaan aneh.

Maria tersentak. "Jangan-jangan Sonny masih hidup, Pa!" ia berseru penuh semangat.

Henry dan Harun sama-sama terkejut. Gagasan itu mengerikan. "Tapi kalau dia masih hidup, kenapa tidak muncul setelah begitu lama? Dia tentu tidak akan pergi begitu saja meninggalkan Non Susan."

"Betul, Ma," Henry membenarkan. "Jangan sembarangan menyangka, ah. Apalagi yang mengerikan seperti itu. Mungkin orang yang dilihat Pak Harun itu bukan Sonny, melainkan tamunya."

"Kalau memang begitu, tentunya Sonny ada di rumah dan tidak sedang tidur. Kenapa tidak menyahuti panggilan atau gedoran pintu?" bantah Maria. Henry tak bisa menjawab.

"Saya pikir, Pak Sonny memang sempat pergi sebelum tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia buru-buru kembali lagi karena situasi jalan tidak aman," Harun menyimpulkan.

Henry mengangguk. "Itu paling mungkin. Jadi dia kembali untuk menyelamatkan barang atau mungkin juga menengok kita, Ma. Tetapi para perusuh keburu datang sebelum dia sempat pergi." Maria menutup muka dengan kedua tangannya karena ngeri. Ia membayangkan adegan seperti yang dikemukakan Henry itu.

Kasihan Sonny. Setiap orang memang harus mati pada suatu saat. Tapi hendaknya jangan dengan cara yang mengerikan. Pada saat Henry menghibur Maria, Harun pamitan. Ia merasa lega setelah keluar dari rumah itu. Rumah yang menyimpan kenangan duka dengan penghuni yang tabah tapi terluka. Kemunculannya telah menguak luka lama yang sulit sembuh. Dulu dialah yang mendorong mereka semua pergi mengungsi meninggalkan harta benda yang mereka sayangi. Bahkan ada yang begitu panik hingga tak sempat membawa apa-apa. Ternyata hal itu membuat para penjarah jadi leluasa mengambil apa saja dari rumah-rumah yang ditinggalkan tanpa perlawanan sama sekali. Semua yang bisa diambil mereka ambil. Yang tak bisa diambil mereka rusak. Maka warga yang tak sempat membawa milik mereka tak lagi memiliki apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuh. Harun tahu, ada di antara warga yang menyesali dan menyalahkannya. Tetapi apa artinya harta dibanding nyawa? Mereka takkan mampu melawan para penjarah yang begitu beringas, bagaikan serigala yang sudah kelaparan dan sangat bernafsu. Buktinya adalah kematian Sonny.

Sesungguhnya kunjungan yang dilakukannya ini bukan sematamata untuk promosi. Ia juga ingin tahu, bagaimana kabarnya warga Pantai Nyiur Melambai di era reformasi? Apakah mereka sudah bangkit kembali? Masih adakah orang-orang yang dikenalnya di sana?

Ia mengagumi beberapa di antara mereka yang ulet bertahan meskipun mengajukan alasan tak punya rumah lain dan tak punya uang lagi. Bagaimanapun terpaksanya, tinggal di

pemukiman yang sebagian masih porak-poranda itu membuat luka hati sulit sembuh. Orang dipaksa hidup dengan kenangan mengerikan yang selalu segar karena setiap hari terpampang di hadapan mata Mana mungkin bisa melupakan?

Ia bisa memaklumi mereka yang terus terang mengakui bahwa mereka telah mengutuk habis-habisan para penjarah. "Pak

Harun! Orang-orang yang menjarah dan membakar rumah kami itu tidak akan selamat! Tidak ada orang yang bisa bahagia di atas kesedihan orang lain. Tidak ada "yang bisa menikmati harta jarahan dengan kedamaian di hati. Tidak ada! Hukum karma akan berlaku, Pak Harun!" Ia bergidik. Kutukan itu mengerikan. Harun mengamati rumah Adam. Rumah yang bagus, pikirnya dengan kagum. Jauh lebih bagus daripada rumah sebelumnya ketika ditempati oleh keluarga Lie. Coraknya sama sekali tidak mengikuti pola rumah pada awalnya dibangun. Arsitekturnya unik. Rupanya Adam mewujudkan kemampuan dan anganangannya pada rumah pribadinya. Ia bebas melakukannya tanpa kekangan atau hambatan karena itu miliknya. Ia memang pintar.

Pasti dia sudah kaya sekarang.

Beberapa tahun yang lalu Harun mengenal Adam sebagai anak muda yang selalu mengeluh kekurangan uang. Menurut Adam, pihak proyek perumahan tidak memberinya gaji memadai. Ia juga merasa dianggap sebagai arsitek yang masih hijau hingga cuma dipercaya sebagai asisten saja. Bahkan kadang-kadang cuma jadi mandor bangunan! Tetapi Harun sendiri menganggap keluhan Adam itu tidak pada tempatnya. Sebagai sarjana yang

belum berpengalaman pantas saja kalau Adam diperlakukan begitu. Bukankah setiap orang seharusnya mulai dari bawah? Tetapi pemikiran itu tentu saja tidak diungkapkannya kepada Adam. Hubungan mereka cukup dekat, hingga keterusterangan seperti itu bisa merusak hubungan yang sudah terbina. Adam sering membagi 71

rokok atau kue-kue. Dan cuma Adam satu-satunya arsitek yang memperlakukannya sebagai teman. Lainnya menjaga jarak. Ia toh cuma satpam.

Adam punya angan-angan. "Kalau aku punya uang, kubeli tanah di sini lalu kubangun sebuah rumah yang lain daripada yang lain!"

"Yang nyentrik? Bentuk bola atau kerucut?"

"Ah, nggak begitu dong, Pak. Nggak aneh sih. Tapi sesuatu yang

spesial. Karyaku sendiri."

"Kudoakan suatu saat keinginan itu terkabul, Pak Adam!" Ternyata keinginan itu memang terkabul.

"Cari siapa, Pak?"

Harun terlonjak kaget. Lalu tersipu malu. Teguran itu tertuju kepadanya. Datangnya dari seorang perempuan setengah baya yang berada di balik pintu gerbang sebelah pinggir, terlindung dan tak terlihat olehnya. Lagi pula pikirannya sedang mengembara ke mana-mana.

"Pak Adam Jaka, Bu. Ada di rumah?"

"Bapak mah lagi pergi. Kalau Ibu ada," sahut Bi Iyah. "Lain kali saja saya mampir lagi, Bu."

Kembali Harun mengeluarkan kartu namanya lalu menyodorkannya pada Bi Iyah. "Ini kartu nama saya. Tolong berikan pada Pak Adam ya, Bu? Saya kenalan lamanya." Baru beberapa meter berjalan, Harun mendengar klakson mobil di belakangnya. Sebuah mobil sedan berada di depan pintu gerbang rumah Adam, minta dibukakan pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka lebar dan mobil itu meluncur masuk. Tak tampak pengendaranya karena kacanya gelap. Ia tahu Adam sudah pulang. Tetapi waktunya tidak ideal lagi untuk berkunjung. Masih ada hari esok. Ia toh sudah menyerahkan kartu namanya. Bila Adam berminat ia bisa menghubunginya. Maka ia meneruskan langkahnya. Jalan kaki menuju halte bus. Ia sudah mengenal betul daerah itu. Tadi Anwar menganjurkan untuk menggunakan mobil Kijang-nya daripada susah-susah menunggu bus. Tetapi ia merasa kurang enak. Di situ warga mengenalnya sebagai satpam yang hidupnya sederhana. Kalau sekarang ia datang bermobil, sepertinya mengejek orang-orang yang telah kehilangan harta secara mengenaskan, atau disangka mau pamer.

"Adam sudah mendapatkan mimpi-mimpinya," gumamnya. Kalau saja orang bisa melihat ke depan tentu Adam tidak perlu terlalu banyak mengeluh, apalagi berputus asa. Ia bertanyatanya sendiri. Apakah dalam keadaannya yang sekarang ini Adam masih ingat akan perilakunya dulu?

"Kau tahu apa yang terpikir olehku ketika melihat Harun? Apa yang terpikir itu membuat hatiku sakit," kata Maria kepada Henry. "Tidak."

"Dia kelihatan makmur, kan?" "Lantas kenapa?" "Jangan-jangan dia dulu ikut menjarah!" Henry terkejut. Belum sempat berkomentar, Maria sudah menyambung dengan bersemangat, "Coba pikir! Siapa yang tahu apa yang dilakukannya pada saat kita semua pergi meninggalkan rumah masing-masing?"

"Apa dia tidak takut di antara para penjarah ada yang mengenalinya?"

"Sudah tentu dia lepas dulu seragamnya. Dan kalau sudah menjarah beramai-ramai begitu, mana ada yang mau menuding yang lain? Nanti saling tuding dong. Maling teriak maling. Ya, sama-sama lah."

"Lalu?"

"Hasil jarahan dia jadikan modal. Tentu dia sangat memahami, siapa yang paling kaya di sini."

Henry merasa tergetar. Sulit baginya untuk mempercayai tuduhan itu. Apalagi kalau ia membayangkan sosok Harun yang riil barusan. Sepintar itukah Harun berpura-pura? "Zaman sekarang ini kulit manusia sudah semakin tebal. Tak ada rasa malu. Tak ada rasa bersalah," kata Maria setelah Henry mengemukakan pendapatnya. "Mungkin juga dia mau mengecek apakah kita mencurigainya."

"Kalau begitu, kau pintar juga berpura-pura, Ma," gurau Henry.

Maria tersenyum. "Mungkin kulitku juga sudah menebal." "Tapi sudahlah. Kita tinggalkan saja topik itu. Toh tak ada buktinya. Yang menarik bagiku adalah ceritanya tentang

Sonny."

"Betul sekali. Apa kau sepakat dengan gagasanku tadi?"

"Yang mana?" "Kemungkinan Sonny masih hidup." "Lantas ke mana dia sekarang? Kenapa tidak muncul?"

"Siapa tahu dia menderita amnesia di suatu tempat." "Ah, yang begitu cuma ada dalam cerita fiksi! Lantas siapa yang hangus terbakar itu?" "Salah satu penjarah yang sial."

Henry menggelengkan kepala. "Mana mungkin Sonny menghilang begitu saja."

"Atau dia sudah bergabung dengan Thomas dan orangtuanya?"

"Di Amerika? Tanpa memberi kabar apa-apa kepada kita atau

Susan? Orang gila namanya itu!"

"Lalu menurutmu apa?"

"Entahlah. Teori yang dikemukakan Harun itu kedengarannya logis. Tapi apa iya Sonny sebodoh itu membiarkan dirinya terperangkap? Sudah pergi kok kembali lagi."

"Ya sudahlah. Daripada pusing-pusing memikirkan sesuatu yang takkan bisa kuperoleh jawabannya, lebih baik aku melanjutkan suratku pada Susan. Ada tambahan cerita tentang pertemuan kita dengan Harun."

Henry terkejut. "Tapi jangan sekali-sekali kau-sampaikan gagasanmu barusan." Maria tidak menyahut. Adam keluar dari mobilnya, disambut Kristin. Adam memeluknya, mencium pipinya, lalu mengelus perutnya. "Apa kabar anakku? Masih tenang di dalam, kan?" guraunya. 75

Kristin tertawa. Sikap mesra Adam menghapus kekesalannya barusan. "Tenang apaan? Dia semakin sering saja menyepaknyepak, Mas!"

"Dia sudah tak sabar melihat dunia rupanya."

Adam membimbing Kristin memasuki rumah. Bi Iyah mendekat.

"Tadi ada tamu, Pak," ia melapor.

"Oh ya, ini kartu namanya, Mas." Kristin merogoh saku dasternya. "Ketemunya sama Bibi tadi."

Adam mengamati kartu nama. "Harun?" gumamnya dengan kening berkerut. Lalu ia menatap Bi Iyah. "Sudah lama atau baru saja, Bi?" "Baru saja, Pak."

"Ya. Paling juga lima menit," Kristin membenarkan. "Pas Bibi menyerahkan kartu nama itu kepadaku, klakson mobil kedengaran."

"Wah, belum lama dong. Dia pakai mobil, Bi?"

"Kelihatannya jalan kaki, Pak."

"Coba kususul, ya. Mungkin masih di halte. Pergi sebentar ya,

Kris!"

Sebelum Kristin bersuara, Adam sudah berlari pergi. Kristin cuma sempat membuka mulutnya lalu menutupnya lagi. "Kayak apa sih orangnya, Bi?" tanyanya ingin tahu. Sejak tinggal di situ mereka sangat jarang mendapat tamu.

Bi Iyah menceritakan dengan detil. Kristin tahu, orang itu bukanlah si lelaki misterius di seberang jalan yang tak pernah dilihatnya lagi.

Adam berlari melewati rumah Henry. Ia melihat tetangganya itu sedang berdiri di halaman rumahnya. Larinya terpaksa melambat lalu berhenti karena Henry bergegas keluar. "Ada apa, Dam?" tanya Henry dengan ekspresi cemas.

"Nggak ada apa-apa, Oom. Cuma mau ke situ!" sahut Adam. Tanpa menunggu pertanyaan berikut ia berlari lagi. Bisa buang waktu kalau ia menjelaskan lebih dulu. Dorongan untuk bertemu Harun saat itu juga sangat besar. Begitu melihat kartu namanya, begitu saja pertanyaan bermunculan di benaknya. Ia seperti tersengat oleh keingintahuan yang sangat besar. Kenapa dan mau apa Harun mencarinya? Bagaimana Harun bisa tahu bahwa ia tinggal di situ sekarang?

Tentu ia tak perlu menemuinya sekarang juga. Ia terlalu impulsif. Alamat dan nomor telepon Harun jelas tertera di kartunya. Ia bisa menghubunginya besok lusa di waktu luang. Tetapi dorongan itu terlalu besar. Ia tahu, pertanyaanpertanyaan yang belum ada jawabannya itu bisa membuatnya tak bisa tidur malam nanti. Ia akan gelisah semalaman. Harun adalah bagian dari masa lalunya. Memang banyak orang di situ juga merupakan bagian dari masa lalunya. Seperti Henry, Maria, keluarga Mulyono, dan beberapa yang lain. Mereka semua dikenalnya ketika ia masih bekerja di proyek, tetapi hanya sepintas lalu.

Dulu hubungannya dengan Harun cukup akrab. Ia tak punya teman lain yang bisa dijadikan keranjang sampah dari segala unek-uneknya, atau sabar mendengarkan mimpi-mimpinya.

Sekarang setelah situasi berbeda, jauh berbeda daripada dulu, ia tak berharap bisa bertemu dengan Harun lagi. Aneh rasanya.

Sebenarnya kunjungan Harun itu bisa dianggap wajar. Mungkin secara kebetulan Harun datang menemui salah seorang warga atau mantan bosnya, lalu mendapat informasi perihal dirinya. Mungkin juga dia sedang membutuhkan bantuan materi. Tentu Harun menganggap dirinya sudah kaya. Mustahil rasanya kalau kunjungan itu sekadar untuk bersilaturahmi saja. Kalau saja Adam menyempatkan diri berbincang sejenak dengan Henry dan mengutarakan tujuannya berlari itu, tentulah ia tak perlu tergesa-gesa. Ia juga tak perlu gelisah memikirkan jawaban atas pertanyaan yang bermunculan di benaknya. Ia bisa tenang menunggu sampai besok lusa untuk bertemu dengan Harun. Atau ia bisa juga tak perlu menghubungi Harun sama sekali. Tetapi ia merasa tak punya pilihan.

Henry membelalakkan matanya. Ia cepat-cepat keluar ke trotoar, mengamati arah larinya Adam. Tetapi ketika Adam berbelok ia kehilangan objek. Pikirannya bekerja. Apakah Kristin kenapa-kenapa? Tapi kalau Kristin akan melahirkan, kenapa Adam yang lari? Dan kalau Adam membutuhkan bantuan, kenapa tidak minta kepadanya?

Penuh rasa ingin tahu Henry menuju rumah Adam.

"Selamat malam, Oom," sapa Kristin yang melihatnya lebih dulu.

Ia berada di depan pintu gerbang yang dibuka sedikit.

"Oh, malam, Kris. Baik-baik saja?"

"Baik, Oom. Mau ke mana malam-malam, Oom?"

"Tadi kulihat Adam berlari." Henry menunjuk. "Mau ke mana?

Apa dia mengejar maling?" "Bukan, Oom. Dia mengejar tamu yang tak sempat ditemuinya." "Tamu?"

Kristin menceritakan perihal Harun.

"Oh, Harun." Lalu giliran Henry bercerita tentang kunjungan Harun ke rumahnya. Tentu saja ia tidak menceritakan semua materi pembicaraannya dengan Harun. Lebih-lebih tentang Sonny. "Dulu Adam cukup dekat dengan Harun. Mungkin dia kangen kepengin ketemu, Kris."

"Kangen sih kangen, tapi kok seperti itu." Kristin masih sulit memahami.

Harun masih berada di halte bus. Ia duduk santai menikmati waktunya. Tidak merasa kesal atau ingin buru-buru. Tidak ada yang menyuruhnya cepat pulang atau menunggunya dengan tak sabar di rumah. Istrinya meninggal beberapa bulan yang lalu. Sekarang ia tinggal bersama Anwar dan keluarganya. Tapi ia menempati bagian pavilyun. Dia seorang duda yang bebas dan mandiri. Dia juga tidak menumpang atau dibiayai hidupnya. Ia sangat aktif membantu pekerjaan Anwar. Banyak order cetak yang telah diperolehnya dan untuk itu ia mendapat komisi. Ia bangga akan kemampuannya sendiri.

Pikirannya masih dipenuhi pengalamannya tadi ketika berkunjung ke pemukiman Pantai Nyiur Melambai. Yang paling mengesankan adalah suami-istri Tan. Terutama Maria yang begitu emosional ketika mereka membicarakan Sonny. Sikap Maria itu juga menggugah perasaannya dan menggoyang keyakinannya. Bagaimana kalau ternyata Maria benar? Sonny- kah yang ditemukan tewas terpanggang itu? Kalau bukan Sonny, lantas siapa? Celakanya, pertanyaan itu sulit dijawab. Andaikata makamnya digali pun akan mustahil mendapatkan jawabannya.

Selama ini ia tak pernah memikirkan soal itu. Tak terpikir sedikit pun. Masalah itu, kalau memang merupakan masalah, sepertinya terlalu kecil jika dibandingkan dengan banyak peristiwa besar yang terjadi di tanah air. Sekarang masalah itu menyeruak ke dalam benaknya menuntut perhatian dan pemikiran. Ah, gara-gara Ibu Maria.

Ia memang tidak perlu terlibat atau merasa bertanggung jawab. Itu adalah urusan masa lalu yang tidak punya sangkutpaut dengan dirinya. Sonny dan keluarga Tan bukan apa-apanya. Tetapi emosi Maria yang begitu meluap membangkitkan juga rasa penasarannya. Ia seperti tergelitik dan terangsang untuk mencari jawaban atas pertanyaan tadi. Tapi bagaimana caranya? Orang yang sudah mati tak bisa ditanyai. Pada saat itu ia melihat Adam tergopoh-gopoh mendekat ke halte. Matanya mencari-cari tapi cuma sebentar mengarah kepadanya lalu berpindah ke orang-orang lain di sekitarnya. Harun segera berdiri, lalu menghampiri Adam. "Pak Adam! Cari siapa?" tegurnya setengah bergurau. Adam terbelalak. "Waduh! Pangling aku, Pak!"

"Ah, masa pangling? Mungkin penerangannya kurang. Kalau siang sih pasti jelas."

"Bapak sudah berubah. Jadi gemuk dan... mana kumisnya?" Mereka tertawa setelah bersalaman. Keakraban masa lalu terasa kembali. "Ayo ke rumah, Pak. Nanti saya anterin pulang," ajak Adam. Harun teringat akan peringatan Henry dan Maria. Ia menolak dengan alasan sudah malam. Lalu mengajak Adam untuk duduk berbincang sebentar. Adam menerima tawaran itu. Ia memang

cuma berbasa-basi saja dengan ajakannya. Memang ia bisa mengingatkan Harun untuk tidak memperbincangkan masa lalu rumahnya di depan Kristin, tapi bagaimana kalau Harun keceplosan bicara? Yang penting baginya adalah mengetahui motivasi kedatangan Harun.

Henry masih menemani Kristin di luar pintu pagar rumahnya.

Menunggu Adam.

"Lama juga perginya, ya?" kata Henry.

"Iya, Oom. Pasti ia berhasil menemukannya lalu mengobrol dulu.

Heran, kenapa tak diajaknya saja ke sini?" keluh Kristin.

"Di sini banyak nyamuk, Kris. Di rumah Oom saja nunggunya.

Kita bisa mengobrol."

"Tante ada?"

"Ada dong."

Kristin menganggap itu usul yang baik.

Maria sudah menyelesaikan suratnya. Besok bisa dibawa Henry untuk diposkan. Rasanya lega bisa bercerita banyak kepada Susan. Kata Susan, ia senang sekali membaca ceritanya. Semakin panjang semakin senang. Kalau menulis surat pendekpendek, itu sama saja dengan tidak menulis surat. Lalu seperti kebiasaannya, setiap selesai menulis surat ia mengeluarkan album foto yang disimpannya di laci. Album itu berisi foto-foto keluarga. Ia membawanya ke sofa ruang depan. Selalu begitu. Sambil mengamati foto-foto Susan, ia membayangkan bagai-mana putrinya itu membaca cerita yang ditulisnya. Ia juga mengingat kembali ceritanya. Kalau sampai ke bagian yang satu itu, bagaimana kira-kira ekspresi Susan? Kata Susan, ia punya bakat jadi penulis.

Ceritanya enak dibaca. Ah, anakku. Sebenarnya aku tidak mau terus-terusan menulis saja untukmu. Aku juga ingin bicara dan mendengar suaramu! Dan melihat langsung wajahmu, bukan fotomu! Apakah kau tidak punya keinginan yang sama terhadap diriku dan ayahmu?

Lalu ia mendengar suara Henry dan Kristin. Keningnya berkerut. Kenapa Kristin malam-malam ke sini? Apakah si Adam belum pulang? Atau Kristin memerlukan sesuatu? Cepatcepat ditutupnya album dan diletakkannya di sofa, lalu ia berdiri untuk menyambut kedua orang itu.

Henry bercerita dengan cepat dan singkat perihal Adam yang pergi mengejar Harun. Lalu Maria membimbing Kristin duduk di sofa. "Betul sekali, Kris. Mendingan nunggu di sini saja. Kebetulan aku bermaksud membuat cokelat susu. Mau, ya?

Mengobrollah dulu sama Oom."

Maria bergegas ke dapur. Henry menjadi agak canggung ditinggal berdua saja. Otaknya bekerja mencari bahan pembicaraan. Tetapi Kristin tidak merasakan kecanggungan Henry. Tatapannya tertuju kepada album foto di sebelahnya.

Ia meraihnya.

"Itu album keluarga, Kris," Henry mendapat bahan pembicaraan. Ia pindah duduk ke sisi Kristin supaya bisa menjelaskan foto siapa saja yang ada di dalam album. "Itu foto perkawinan Oom sama Tante. Sudah kuning, ya? Dan itu foto Ike dan Susan saat masih bayi. Itu Ike yang baru masuk TK di depan sekolahnya. Lalu Susan yang menyusul bersekolah di TK yang sama. Keduanya berbeda usia lima tahun."

"Aduh, lucu-lucu sekali ya, Oom. Sungguh suatu keluarga yang harmonis," puji Kristin. Terpikir apakah ibunya masih menyimpan foto-foto dirinya ketika masih bayi. "Nah, itu mereka berdua sudah jadi gadis remaja." "Cantik-cantik," kembali Kristin memuji.

"Itu foto perkawinan Ike dan Daniel. Lalu itu anak-anak mereka."

Kemudian Kristin teringat pada Susan dan kekasihnya. Ia tidak menanyakan melainkan membalik terus lembaran album untuk menemukannya sendiri. Tetapi ia menahan diri untuk tidak terang-terangan melakukannya. Pelan-pelan saja sambil mendengarkan penjelasan Henry. Mungkin juga sang kekasih tidak termasuk dalam album karena ia belum menjadi anggota keluarga, pikirnya.

Kemudian tiba halaman terakhir. Ada dua foto ukuran kartupos bersebelahan. Yang satu menampilkan sepasang gadis dan pemuda. Si gadis adalah Susan. Keduanya berdampingan dalam pose setengah badan. Wajah mereka penuh senyum. Yang satu lagi foto si pemuda yang sama sedang berdiri sendirian dalam pose seluruh badan. Dia pun sedang tersenyum. Kali ini tak terdengar penjelasan dari Henry. Entah enggan atau sudah capek bicara. Tetapi Kristin tidak memedulikannya. Tatapannya tajam mengarah kepada si pemuda dalam foto. Matanya tak mau berkedip. Ada kejutan luar biasa menyergapnya. Wajahnya memucat lalu ia memekik pelan.

Henry terkejut. Ia meraih lengan Kristin yang terasa dingin. "Kenapa, Kris? Kenapa?" tanyanya panik.

Kristin masih saja diam dengan tatapan tertuju kepada foto tadi. Ia mematung seperti kena sihir.

"Maa! Maaa...! Cepat ke sini!" teriak Henry memanggil istrinya.

Ia bingung dan takut.

Maria yang memang sedang menuju ke ruang itu diiringi pembantunya yang membawa baki dengan cangkir-cangkir berisi cokelat susu segera mendekat dengan tergopoh-gopoh. Ia melompat menubruk Kristin dan memeluknya. Segera tatapannya tertuju ke halaman album di pangkuan Kristin. Ia juga sempat melihat ke mana arah tatapan Kristin yang begitu lekat. Jantungnya jadi bergetar.

"Kris! Kriiis!" panggilnya lembut. Tangannya menepuk-nepuk pelan punggung Kristin.

Kristin tersadar. "Apa itu... itu..." Tangannya menunjuk si pemuda dalam foto. "Apa itu kekasih Susan yang sudah meninggal?" tanyanya pelan tapi jelas.

Maria bertukar pandang sejenak dengan Henry. "Betul, Kris. Jelas, kan? Mereka berfoto bersama," sahut Maria dengan perasaan aneh.

"Apakah dia punya saudara kembar?"

"Tidak."

"Punya saudara lelaki?"

"Oh ya. Ada seorang kakaknya."

"Mirip?" "Sedikit saja. Tapi kakaknya lebih tua sepuluh tahun. Tidak secakep adiknya. Memangnya kenapa, Kris?" Maria merasa cemas.

Kristin tidak menjawab. Tubuhnya terasa lemas. Sepertinya melayang. "Siapa namanya, Tante?"

"Sonny."

"Dulu dia tinggal di rumah saya, kan?"

Maria berpandangan lagi dengan Henry. Maria menggeleng kuat-kuat. Bukan aku yang mengatakan, begitu kata ekpsresinya. Ia memalingkan muka, tak mau menjawab pertanyaan Kristin.

"Benar kan, Oom?" desak Kristin, mengalihkan tatapannya kepada Henry.

"Benar, Kris," sahut Henry dengan terpaksa. Biarlah kuterima risiko dimarahi Adam, pikirnya.

"Dari mana kau tahu, Kris? Kami tidak mengatakannya, kan?" Maria bertanya dengan penasaran.

Tetapi Kristin masih merenungi foto itu. Terbayang lagi lelaki misterius yang selalu dilihatnya berdiri di seberang jalan memandangi jendelanya. Senyumnya. Gaya berdirinya. Dia ada di foto itu! Dia adalah Sonny!

Tiba-tiba Kristin memekik lagi. Album di pangkuan jatuh ke lantai. Maria memeluknya. Henry melompat untuk memungut album dan meletakkannya kembali di sofa. Kali ini Kristin memegang perutnya dan wajahnya meringis kesakitan. "Saya kira sudah dekat, Tante. Ada kontraksi. Kuat sekali! Aduh!" Hiruk-pikuk terjadi. Henry melompat dan berlari ke rumah Adam untuk mengecek apakah Adam sudah pulang. Ternyata belum. Telepon genggamnya pun tak dibawanya. Apa sebaiknya menyusul Adam ke halte bus? Bagaimana kalau Adam tidak ada di sana? Itu berarti membuang waktu saja. Padahal Kristin sudah meringis-ringis kesakitan. Maka Bi Iyah cuma dititipi pesan saja, supaya Adam segera menyusul ke rumah sakit. Untunglah Kristin sudah menyiapkan segala keperluannya di dalam tas besar, termasuk surat dokter dan rumah sakit. Tinggal mengangkatnya saja. Henry dan Maria akan mengantarkan Kristin ke rumah sakit. Adam merasa lega setelah mengetahui bahwa tujuan Harun berkunjung cuma untuk mempromosikan usaha percetakan putranya. Lagi pula bukan cuma dirinya yang dikunjungi, melainkan beberapa orang lain yang dikenal Harun. Tapi tentu saja ia tidak mengutarakan kelegaannya itu. "Aku cepat-cepat menyusul ke sini karena kangen sama Bapak," katanya memberi alasan.

Harun merasa tersanjung oleh ucapan itu. Begitu berartikah dirinya di mata Adam? Kalau begitu Adam sungguh orang yang rendah hati dan menghargai persahabatan. Jarang ada orang seperti itu. Biasanya orang yang sudah kaya cepat melupakan temannya semasa miskin. Biasanya orang yang seperti itu gampang menjadi arogan dan cepat berprasangka negatif bila dikunjungi. Sangkanya akan minta bantuan atau meminjam uang. Tetapi kemudian muncul rasa ingin tahunya kenapa Adam justru memilih rumah Sonny padahal tersedia begitu banyak pilihan. Toh semua yang ditawarkan itu sama murah dan rusak kondisinya.

"Itu yang paling murah, Pak," sahut Adam. "Oh ya? Saya baru tahu."

"Soalnya rumah itu kan bukan sekadar hangus atau tinggal reruntuhan saja. Dia tak sama dengan yang lain. Tahu sendiri kan, Pak?"

Tentu Harun paham. "Pak Adam nggak takut?"

Adam tertawa. "Kalau takut saya tidak memilihnya, Pak! Istri saya tidak tahu apa-apa. Nyatanya dia tidak merasa aneh atau takut. Berarti memang tak perlu ditakutkan. Orang yang tahu tapi merasa macam-macam pasti cuma karena dihantui perasaannya saja. Ya kan, Pak?"

Harun setuju. "Syukurlah kalau begitu. Kita memang tidak perlu percaya begituan. Barusan saya juga membicarakannya dengan Pak Henry dan Bu Maria. Mereka mengingatkan saya, hati-hati kalau bertandang ke rumah Pak Adam. Jangan sampai keceplosan bicara tentang Sonny di depan istri Pak Adam." Adam tertawa. "Ya, saya memang meminta mereka dan juga tetangga lain untuk tetap merahasiakan peristiwa itu dari istri saya."

"Tapi sampai kapan, Pak? Suatu saat bisa saja dia tahu dari orang lain."

"Memang betul. Saya ingin menunggu sampai dia melahirkan. Dia bukan orang yang penakut. Jadi bila saatnya tiba dia akan tahu bahwa sesungguhnya tak perlu takut karena dia sudah membuktikan sendiri."

"Dan Pak Adam sendiri pun sudah membuktikan." "Oh ya. Rumah itu nyaman saja. Dan terus terang sebelum menempatinya saya sudah minta orang pintar untuk membersihkan rumah itu dari apa pun yang kemungkinan

menghuninya."

Harun terkejut. "Orang pintar? Dukun?" "Iya. Bukannya saya percaya takhayul, tapi sekadar menenangkan perasaan saja."

"Kalau Pak Adam memilih rumah yang lain, kan nggak perlu susah payah begitu."

"Entahlah. Memang saya bisa saja memilih yang lain, toh perbedaan harganya juga nggak terlalu banyak, tapi saya sudah telanjur menyukai lokasinya."

Topik perbincangan itu sudah tidak menyenangkan lagi bagi Adam. Ia berpikir untuk pulang saja. Tapi yang masih ingin bicara sekarang adalah Harun. Dia terangsang oleh keingintahuan lebih lanjut. Sebelum Adam menyatakan niatnya, Harun sudah keburu bertanya, "Apakah dulu Pak Adam sudah tertarik pada rumah itu? Maksud saya, sebelum terjadinya tragedi Mei sembilan delapan?"

"Ah...," Adam tak segera menjawab. Keningnya berkerut. Terlalu jelas ekspresi ketidaksukaannya hingga Harun menyesali pertanyaannya. Ia bertanya begitu karena seingatnya dulu Adam tak pernah menunjuk secara jelas rumah yang jadi impiannya. Ia mungkin terdorong oleh perasaan takjub bahwa ternyata orang bisa juga memperoleh apa yang diimpikannya. Apakah dulu Adam juga memimpikan rumah yang dulu dimiliki keluarga Lie dan sekarang jadi miliknya itu? "Maksud saya tentu bukan rumah itu, tapi lokasinya," buruburu ia memperbaiki pertanyaannya.

"Ya, memang betul, Pak. Dan sesungguhnya rumah itu adalah salah satu rumah yang modelnya paling jelek. Bukan cuma luarnya, tapi juga dalamnya. Selalu muncul keinginan untuk merombak dan mengubahnya." Ketika itu bus yang ditunggu-tunggu Harun berhenti. Ia melihatnya juga tapi membiarkan. Ucapan Adam lagi-lagi menggelitik perasaannya. "Kalau begitu Pak Adam sering juga ke situ, ya? Kenal baik?"

"Ah, sering ke situ sih tidak. Cuma pernah saja. Saya kenal

Sonny. Dia mengajak saya bekerja sama untuk suatu proyek." "Kasihan, ya. Malang betul nasibnya. Tadi saya juga keceplosan bicara di depan Ibu Maria. Wah, seru deh."

"Keceplosan apa, Pak?"

"Ibu Maria seperti menggugat kenapa saya tidak menggedor pintu rumah Sonny. Saya bilang, tak ada orang menyahut. Mungkin pergi. Tapi aneh juga sih. Kalau memang pergi kok dia ada dan terbunuh." "Artinya dia tidak pergi."

"Saya melihatnya pergi naik motor."

Adam tertegun. "Bapak melihatnya?"

"Ah, saya juga tidak yakin apa itu dia atau bukan. Saya lihat belakangnya dan dia pakai helm." "Aneh juga, ya."

"Ya. Saya jadi penasaran."

"Apa yang mau Bapak lakukan?" "Entahlah. Tadi saya dan suami-istri Tan juga membicarakannya. Saya bilang, mungkin waktu itu Sonny kembali lagi untuk menyelamatkan barangnya. Lalu dia malah tak keburu menyelamatkan diri."

"Ya. Pasti itulah yang terjadi."

"Tapi..."

"Tapi apa, Pak?"

"Wah, itu bus saya sudah datang, Pak Adam. Tadi sudah lewat satu. Saya pulang dulu saja, ya? Besok masih bisa ketemu kok."

"Baru jam delapan lewat, Pak. Bagaimana kalau kita makan mie rebus di warteg sambil mengobrol? Kayak masa lalu?" Harun tak sampai hati menolak. Sesungguhnya ia memang sudah lapar. Sudah lewat jam makan malam, tapi tak satu pun di antara warga yang dikunjunginya tadi yang mengajaknya makan. Adam menggandeng lengan Harun. Ia tak punya firasat tentang Kristin.

Kristin sudah aman berada di dalam kamar bersalin. Henry dan Maria menunggu di ruang tunggu. Setiap lima menit Maria menjenguk Kristin di kamarnya, tetapi Kristin selalu menanyakan Adam hingga Maria jadi gelisah lalu keluar lagi untuk menyuruh Henry menelepon. Entah sudah berapa kali hal itu berlangsung, tetapi setiap kali di seberang sana Bi Iyah menjawab sama. Adam belum pulang!

"Dia bilang mau mendampingi saya, Tante," keluh Kristin. "Sabarlah, Kris. Kan ada Tante. Dia tentu nggak nyangka secepat ini. Belum waktunya, kan? Sudah, jangan mikirin yang bukan-bukan. Konsentrasi saja pada satu hal. Anakmu!" hibur Maria gundah.

Setengah jam setelah kedatangan mereka Kristin melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat dengan cara normal. Tak ada kelainan atau kesulitan apa-apa. Bahkan dokter yang menangani sempat takjub karena persalinan bisa berlangsung cepat dan mulus. Padahal itu merupakan kelahiran yang pertama bagi Kristin. Pada saat itu Adam baru meluncur dari rumahnya. Henry sempat menghubunginya lewat telepon. "Selamat, Dam! Kristin sudah melahirkan seorang anak lelaki. Mereka sehat dan baikbaik saja. Tenang. Tak usah ngebut dan gelisah." Pemberitahuan itu menenangkan perasaan Adam. Karena itu ia bisa konsentrasi pada pemikiran, alasan apa yang paling masuk akal yang bisa dikemukakan-nya kepada Kristin nanti hingga ia terpaksa tak bisa cepat pulang.

Tetapi Kristin sedang diliputi kebahagiaan. Alasan apa pun yang diberikan Adam diterimanya tanpa pikir panjang. Tak ada keluhan apa-apa. Ia terlampau takjub melihat bayinya. Tampan sekali. Jadi makhluk cantik inilah yang selama ini menghuni perutnya dan menyepak-nyepaknya. Ia teringat pada saat-saat ketika ia tak merasakan gerakannya. Betapa takut dan sedihnya. Kemudian gerakan yang terasa kembali itu benarbenar bagai keajaiban. Ah, kecil-kecil sudah bisa bercanda! Nanti bila kau sudah lebih besar, kau akan jadi teman bermainku!

Adam merasa lega karena Kristin tak memarahinya. Tetapi perhatian Kristin kepada si bayi membuat ia merasa terlupakan. Walaupun ia juga merasa bahagia, tapi ada perasaan bahwa kebahagiaannya tidak sebesar kebahagiaan Kristin. Tentu ia sadar, yang namanya kebahagiaan itu tak bisa diukur apalagi dibedakan antara yang seorang dengan yang lain. Tetapi ia menganggap sikap Kristin berlebihan. Lihat wajahnya yang berbinar dan matanya yang bercahaya. Tatapannya terusmenerus kepada si bayi. Dan mulutnya mengocehkan kata-kata sayang bagai tak mau ber- henti. Seingatnya ia tak pernah mendapatkan perhatian seperti itu.

Ia sadar, itulah sebabnya kenapa Kristin tidak mempersoalkan ketidakhadirannya saat melahirkan. Kristin seolah tidak peduli ke mana saja ia pergi dan apa saja yang dilakukannya. Padahal biasanya Kristin manja dan jengkel kalau ditinggalkan seringsering. "Aku ingin kau mendampingiku kalau melahirkan, Mas," begitu rengeknya selalu kalau ia mau meninggalkan rumah. Sekarang sama sekali tak ada penyesalan atau komplain. Padahal kata Maria, saat berada di kamar bersalin Kristin terus-menerus menanyakan dirinya. Pada awalnya ia memang merasa lega karena tidak dimarahi, tapi sekarang ia jengkel. Bukankah lebih menyenangkan bila Kristin memarahi dan menyesalinya? Itu berarti Kristin ingat dan peduli padanya. "Aku mendapatkan nama yang bagus untuknya, Mas!" seru Kristin.

"Nama? Bukankah kita sudah sepakat untuk menamakannya

Sigit kalau lelaki?"

"Nggak, ah. Itu kok kayak nama konglomerat. Ada nama lain yang bagus. Jason!"

"Apa?"

Adam terkejut.

IV New York City, awal bulan Juni.

Thomas lie atau Thomas Lee, biasa dipanggil Tom oleh teman dan rekan-rekannya. Atau Dokter Lee oleh pasien-pasiennya. Dia kelahiran Indonesia dan telah menjadi warga negara Amerika. Tetapi ke-pindahan kewarganegaraan itu bukan karena dia tidak nasionalis atau dorongan emosional. Baginya itu merupakan pilihan pribadi yang didasari kekaguman pribadi pula pada sesuatu yang bernama demokrasi.

Motivasi pilihannya itu jelas berbeda dengan motivasi sebagian orang lain yang dia ketahui. Mereka terdorong oleh dendam. Terutama sesudah tragedi Mei 1998 yang menimpa Indonesia, ketika terjadi kerusuhan rasial terhadap etnis Cina, banyak orang Tionghoa atau warga negara Indonesia keturunan Cina pergi ke negara lain dan pindah kewarganegaraan. Lalu mereka dituding tidak patriot atau tidak nasionalis. Ia sendiri menganggap tudingan semacam itu sama sekali tidak tepat dan tidak patut. Ketika orang-orang itu diinjak dan disakiti, mereka tidak melawan. Mereka hanya pergi. Di antara orang-orang yang dendam itu terdapat Susan, kekasih Sonny. Justru karena terjadi pada orang yang dekat dan dikenal baik, maka ia merasa lebih bisa memahami. Tapi bukan berarti ia setuju. Ia memang tidak berhak untuk menyatakan setuju atau tidak.

Ketika kedua orangtuanya menyatakan ingin pulang ke Indonesia, ia tidak bisa melarang. Ia juga tidak mau melarang. Mereka tidak betah di Amerika meskipun keduanya sama-sama lancar berbahasa Inggris dan ahli di bidang komputer. Mereka mengaku sulit beradaptasi secara sosial dengan lingkungan. Ada perbedaan besar antara menetap sementara dan menetap

seterusnya. Di Indonesia mereka memiliki banyak teman dari berbagai kalangan, dan segudang sanak keluarga. Bukan itu saja. Bukan cuma orang, suasana, adat kebiasaan, budaya, makanan, atau apa saja yang khas. Masih banyak yang lain. Kesemuanya sudah tertanam di dalam diri mereka. Menjadi bagian dari mereka. Tak mungkin bisa dicabut atau dihilangkan begitu saja dengan memberi sesuatu yang baru. Padahal kedua orangtuanya juga termasuk mereka yang dendam. Seperti Susan. Sonny itu bukan cuma kekasih Susan, tapi juga anak orangtuanya. "Tetapi yang jahat itu kan cuma sebagian kecil. Bukan semuanya." Demikian keyakinan mereka. Seperti keyakinannya sendiri juga. Bagaimanapun penderitaan dan sengsara yang dialami pada suatu ketika, masih ada jangka waktu lain yang jauh lebih panjang dan sangat manis untuk dikenang. Penderitaan itu mungkin kecil bila dibandingkan dengan derita etnis Albania di Kosovo, ketika mereka diteror dan dibantai 94

lalu terusir dari tanah air oleh kelompok etnis Serbia. Bahkan di Amerika sendiri yang warganya begitu heterogen masih saja dihantui oleh teror rasial. Di negara yang super ini hantu rasialis malah tak ubahnya seperti psikopat. Bila sedang sial, bisa saja dirinya yang jadi sasaran.

Kedua orangtuanya berkunjung pada bulan April 1998, sekitar sebulan sebelum pecahnya kerusuhan rasial di Jakarta. Pada saat itu pun Indonesia, terutama Jakarta sudah dilanda demonstrasi demi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Mereka mengajukan berbagai tuntutan. Puncak dari semua tuntutan adalah turunnya Soeharto dari kursi presiden. Tetapi

di samping peristiwa demonstrasi itu, terjadi pula beberapa kerusuhan rasial di berbagai daerah meskipun dalam skala terbilang kecil. Maka ketika akhirnya kerusuhan meledak pula di Ibukota, sesuatu yang tak pernah terbayangkan bisa terjadi, ada rasa syukur bahwa orangtuanya tak perlu mengalami teror itu meskipun mereka harus kehilangan Sonny. Sejak saat itu orangtuanya menetap bersamanya. Selama itu pula mereka tetap menjalin hubungan dengan sanak keluarga di Jakarta dan kota-kota lain. Kedua orangtuanya sama-sama berasal dari keluarga besar. Hubungan dijalin lewat e-mail. Mereka juga bisa memantau perkembangan lewat media televisi seperti CNN.

Lalu berdatangan berita menggembirakan. Setelah Soeharto turun, liong dan barongsai pun keluar dari kandang setelah puluhan tahun dikurung! Mereka menari-nari di jalan dengan gerakan seadanya karena pelakunya adalah orang-orang yang baru belajar. Maklumlah, para penari profesional yang benar-benar menguasai tarian liong dan barongsai sudah pada uzur, bahkan sebagian sudah almarhum. Padahal seharusnya tarian itu dilakukan oleh orangorang yang pintar kungfu dan gerakan akrobatik. Bukan cuma sekadar meloncat-loncat. Tetapi tidak apalah. Pertunjukan itu bukan dinilai dari segi keseniannya, melainkan sebagai pembebasan dari kungkungan dan pengakuan atas hak dan martabat. Sangat mengharukan. Ibunya sampai menangis sesenggukan dan ayahnya berlinang air mata.

Masih ada lagi berita menggembirakan dan juga mengharukan. Sekarang mereka dipanggil dengan sebutan "orang Tionghoa"

dan bukan lagi "orang Cina". Sudah begitu lama sebutan yang disebut belakangan itu mengakar, hingga generasi muda Tionghoa sendiri merasa kikuk dengan sebutan "baru" itu, dan generasi yang lebih tua perlu menjelaskannya. Dulu, setelah peristiwa G30S-PKI dengan terbunuhnya enam jenderal, disebutkan adanya keterlibatan atau campur tangannya Republik Rakyat Cina. Maka kemarahan ditimpakan kepada warga negara Indonesia keturunan Cina yang sebenarnya tidak tahu-menahu. Ketika itu seorang pejabat mempermaklumkan, bahwa mulai saat itu para warganegara keturunan Cina itu harus disebut sebagai "orang Cina". Suatu sebutan yang bila dilihat latar belakangnya sebenarnya mengandung penghinaan. Padahal selayaknya setiap warga negara Indonesia, tak peduli keturunan atau suku apa, haruslah disebut sebagai orang Indonesia. Sangatlah berbeda bila menyebut orang Jawa atau orang Sunda karena sebutan itu cuma menandakan suku, bukan kebangsaan. Sedang definisi "orang Cina" mestinya adalah orang asing dari negeri Cina. Tetapi selama bertahun-tahun orang menjadi terbiasa. Kehidupan berjalan terus dan mau tak mau orang harus beradaptasi.

Berita menggembirakan itulah yang membuat suami-istri Lie, kedua orangtua Tom, menjadi gelisah seperti cacing kena abu. Mereka ingin pulang! Keinginan itu tak bisa ditahan lagi. Mereka pulang setelah kerabat di Jakarta mencarikan rumah untuk dikontrak, karena rumah yang semula mereka tempati di Pantai Nyiur Melambai sudah bukan milik mereka lagi. Walaupun di atas kertas Tom sudah menjadi orang Amerika, tapi sebagian dirinya tetap merasa Indonesia. Ia tetap

memiliki keterikatan batin dengan negara di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Kenangan dari masa itu memang paling membekas dalam diri seseorang. Tak mungkin hilang. Pada saat-saat itulah seseorang mulai terbentuk sebelum menjadi benar-benar matang secara emosional dan intelektual. Jadi bukan karena kedua orangtua dan adiknya, Sonny, masih berada di Indonesia dan masih jadi orang Indonesia. Sonny memang berbeda. Misalnya dia tak mau bersekolah di Amerika mengikuti dirinya. Padahal dari segi kecerdasan adiknya itu tidak kalah. Mereka berdua mewarisi kecerdasan yang tinggi dari kedua orangtua mereka. Tetapi Sonny tidak mau menjadi ilmuwan. Dia ingin jadi pengusaha! Dengan Susan ia pun menjalin komunikasi lewat e-mail. Paling sering adalah hari-hari setelah tragedi itu terjadi. Mereka saling menghibur. Orangtuanya pun ikut dalam komunikasi itu. Bagi mereka, Susan sudah seperti anak sendiri. Sayang mereka tak bisa saling mengunjungi. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sedang Susan berusaha hemat dengan segala pengeluarannya karena dia harus mandiri. Tapi ia berjanji bila mendapat cuti ia akan mengunjungi Susan. Belakangan Susan tak begitu rajin lagi mengirimi atau membalas e-mail-nya. Ia memaklumi kesibukan Susan. Apalagi belakangan orangtuanya memintanya datang ke Jakarta bila mendapat cuti. Itu berarti ia tak bisa memenuhi janjinya kepada Susan. Mungkin Susan pun sudah melupakan janji itu, pikirnya. Atau Susan sudah punya teman dekat baru? Ayah dan ibunya menulis dengan penuh semangat. Kau harus melihat dan merasakan suasana baru di Indonesia, khususnya di

Jakarta, kata ayahnya. Dan ibunya bercerita mengenai suamiistri Tan yang mempunyai tetangga baru di rumah miliknya dulu. Ada yang aneh dengan tetangga baru itu. Mereka pasangan suami-istri muda. Sang istri sedang hamil ketika menempati rumah itu. Tahukah kau apa nama yang diberikannya kepada si bayi setelah lahir? Namanya Jason! Kenapa tidak Sonny saja, ya?

Tetapi bukan cerita-cerita itu yang membangkitkan keinginannya untuk pergi ke Jakarta, melainkan semangat yang tergambar dari cerita itu. Ia ingin menjenguk orangtuanya dan melihat semangat itu pada diri mereka. Mereka pasti lebih berbahagia daripada saat berada bersamanya. Bukan karena me- 98

reka merasa kesempitan tinggal bersamanya di apartemen kecil, tetapi karena mereka lebih merasa sebagai pengungsi! Di Jakarta mereka bertandang ke sana kemari, mengunjungi kerabat dan kenalan. Mengobrol panjang-lebar, berbagi cerita dan melepas kerinduan. Mereka merasa bebas dan lepas, terbiasa dengan segala sesuatu. Sementara di New York halhal seperti itu tidak diperoleh. Tentunya ada perbedaan besar antara perasaan sebagai turis dan sebagai "pengungsi"! Jadi menurut rencana ia akan ke Jakarta dalam waktu dekat. Mungkin awal bulan depan. Rencana itu sudah disampaikannya kepada Susan lewat e-mail. Apakah Susan mau ikut serta? Bila Susan mau, ia akan menjemputnya di Wellington, ibu kota Selandia Baru, kota tempat Susan tinggal. Mengenai ongkos perjalanan tak usah dipikirkan. Ia akan mengaturnya. Kerepotannya tidak jadi masalah bila dibandingkan dengan

kebahagiaan orangtua Susan bisa bertemu dengan putrinya. Lagi pula ia belum pernah berkunjung ke Selandia Baru dan sangat ingin ke sana. Tetapi seperti diduganya, Susan menolak meskipun berterima kasih. Belum saatnya, Tom! Tom tidak bisa memahami kekerasan hati Susan. Kepada siapakah sebenarnya dendam dan kemarahan Susan itu ditujukan? Kepada para perusuh atau negara? Logikanya, Sonny telah menjadi korban secara acak. Jadi bisa siapa saja, tergantung situasi. Apalagi bukan cuma Sonny yang menjadi korban, melainkan juga banyak orang lain. Apakah Susan akan bersikap seperti itu juga bila Sonny tidak apa-apa? Tetapi ia menyimpan pertanyaan itu. Ia tidak sampai hati mengajukannya. Itu terlalu peka. Susan terlalu mencintai Sonny. Pasti itu sebabnya. Ia merasa sayang kalau orang secerdas Susan bisa keras kepala seperti itu. Sedalam apa pun cinta kepada orang yang sudah meninggal, seharusnya tidak sampai mengorbankan diri sendiri atau orang lain yang juga dicintai dan mencintai. Susan harus ingat juga kepada orangtua-nya.

Bagi Tom, cinta tak ubahnya sampah. Itu cuma emosi kepentingan. Dia sudah merasakan dan mengalaminya juga. Lalu mengubah cara pandangnya. Tentu dia masih seorang lelaki normal dengan ketertarikan yang wajar kepada lawan jenis.

Tetapi dia tidak akan segampang dulu lagi untuk jatuh cinta.

Pendeknya dia tidak akan "jatuh"!

Tom menyandang status duda cerai. Dalam usia menjelang empat puluh, karier mapan dan cemerlang sebagai ahli bedah di rumah sakit terkemuka negara super, cerdas, dan berwawasan, serta memiliki fisik yang sehat, tidak jelek, ia bisa memperoleh pasangan hidup baru dengan gampang. Tetapi ia sudah bertekad untuk tidak "jatuh" untuk kedua kalinya. Cinta pertamanya adalah Vivian, gadis Tionghoa warga negara Indonesia yang juga bersekolah di Amerika. Mereka sudah berpacaran sejak ia masih menjadi mahasiswa di Columbia University. Vivian sendiri kuliah di sebuah perguruan yang tergolong "gurem" untuk mencari gelar MBA. Ketika itu gelar MBA dari luar negeri khususnya Amerika, tak peduli status perguruan tingginya, sedang populer di Indo- nesia. Vivian disuruh orangtuanya yang kaya untuk memperoleh gelar itu demi gengsi. Hal itu diakuinya sendiri kepada Tom. Mereka berkenalan dalam pertemuan yang dilakukan secara berkala antara para mahasiswa Indonesia di Amerika. Berada jauh dari negeri sendiri, mereka memang harus kompak bila ingin punya kekuatan. Selanjurnya perkenalan itu berkembang lebih jauh. Keduanya merasa cocok. Tak ada pula hambatan latar belakang, agama, maupun budaya. Orangtua kedua belah pihak sama-sama setuju. Maka setelah Tom lulus sebagai dokter, mereka menikah. Tom merasa berbahagia. Kehidupan telah dijalaninya dengan mulus. Apalagi setahun kemudian Vivian melahirkan. Mestinya ia tambah berbahagia. Tapi ternyata tidak demikian.

Syok berat dialaminya. Kengerian tak terhingga menerpanya. Bukan cuma dia yang mengalami seperti itu, tapi juga orangtuanya dan orangtua Vivian yang ikut mendampingi Vivian saat melahirkan. Bagi mereka si bayi adalah cucu pertama, jadi ditunggu kehadirannya dengan penuh perhatian dan

ketegangan. Tapi yang didapat bukanlah klimaks menyenangkan dari penantian panjang. Perasaan mencekam muncul. Tidak disebabkan karena si bayi berwujud monster. Sebaliknya, bayi itu sangat cantik dengan fisik yang sehat sempurna. Tapi dia berkulit putih, berambut lebat dan pirang! Tiga hari kemudian matanya yang semula terpejam terbuka lebar. Tampak indah sekali, besar dan berwarna biru! Sebegitu cantiknya bayi itu hingga dia menangis tersedu-sedu. Untuk pertama kali dalam hidupnya. Ternyata kehidupannya tidaklah mulus. Ada juga kerikil tajamnya. Ada juga jatuhnya.

Ia tidak bisa memaafkan pengkhianatan. Apalagi ia menganggap Vivian curang dengan sikap spekulatifnya. Untung-untungan dengan kehamilannya. Mudah-mudahan si bayi berwajah Asia. Tapi kalau tidak, ya sudah risiko. Jadi ia merasa dipermainkan. Tom tidak pernah tahu atau diberitahu siapa lelaki yang menjadi ayah anak itu. Vivian membiarkannya menduga-duga sendiri, berprasangka dalam kemarahan. Apakah lelaki itu salah satu dari teman-temannya yang suka datang berkunjung ke apartemen mereka? Ataukah dia teman Vivian yang tidak dikenalnya? Vivian tutup mulut.

Yang pasti ayah si bayi berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru. Apakah itu John Rowe, Danny Martin, atau Peter Rogers? Tapi, di samping ketiga orang itu, yang punya ciri fisik sama, tentunya masih ada teman-teman Viv sendiri. Jadi, yang mana?

Anak itu menyandang namanya. Deborah Lee. Panggilannya Debbie. Kelak dia akan menjadi gadis yang cantik. Tom yakin

akan hal itu. Di Indonesia gadis Indo yang cantik laris sebagai fotomodel atau bintang film. Tom berharap tidak akan bertemu lagi dengannya. Mungkin Vivian sendiri punya harapan yang sama. Apakah kelak Debbie akan menanyakan perihal ayahnya? Atau menyatakan kerinduan untuk bertemu? Bila suatu saat nasib mempertemukan mereka, pasti Viv tidak akan mengenalkan dirinya sebagai si ayah. Entah kapan Viv akan berterus terang. Bila tidak kepadanya, tentu kepada Debbie.

Viv punya tanggung jawab itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, lima tahun kemudian, ia tidak peduli lagi. Yang tersisa dan mengendap mungkin cuma sekadar rasa ingin tahu saja.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience