14

Family Completed 2798

Malam itu Tom merasa gelisah. Ia mondar-mandir saja tanpa bisa berkonsentrasi pada satu kegiatan. Ia belum mengantuk. Malam belum terlalu larut. Baru sekitar pukul sepuluh. Kedua orangtuanya sudah tidur. Ia masih saja memikirkan Kristin. Apa yang sebenarnya mau dikatakan Kristin tapi lalu diurungkannya tadi? Mestinya itu sesuatu yang berat diungkapkan.

Apakah Kristin baik-baik saja? Kenapa pembantu yang ditugaskan Adam memata-matai Kristin malah diusir? Itu berarti si pembantu tak diperlukan lagi. Kenapa? Mungkin Adam punya rencana lain. Kenapa Kristin dibohongi? Pasti berkaitan dengan rencana itu. Tiba-tiba Tom ketakutan. Ia menggigil. Ia memutar telepon rumah Kristin. Ia tak peduli lagi bila Adam yang menerima. Yang penting ia harus mendengar suara Kristin. Bila ia bisa mendengarnya, berarti Kristin baikbaik saja. Tapi tak ada yang mengangkat telepon di rumah Kristin. Sudah tidurkah mereka? Tom tidak yakin. Ia ganti menelepon Maria. Lama menunggu.

Dering telepon di rumah Maria sangat gigih. Terus berbunyi. Maria dan Henry yang bara saja tertidur, segera terbangun. Henry mengangkatnya. Tapi saat itu juga Maria mendengar lengking tangis Jason. Ia terkejut, lalu lari ke luar. Henry melihatnya, tapi ia harus menjawab telepon Tom, "Oh, Kristin? Dia baik-baik. Tadi..." Ia tak bisa meneruskan karena terdengar jeritan Maria,

"Paaa! Cepat, Paaa! Aduh! Tolong! Tolong! Kebakaran!

Kebakaran!" Henry melepas gagang pesawat telepon. Ia membiarkannya saja tergantung, lalu segera berlari ke luar.

Tom mendengar jeritan itu. Jantungnya serasa mau copot. Ia berlari ke dalam, menggedor pintu kamar orangtuanya. "Paaa! Saya ke rumah Oom Henry! Ada kebakaran!" serunya. Tanpa menunggu jawaban ia berlari ke luar. Untung masih sempat menyambar dompetnya. Lalu ia berlari di jalan seperti maling

dikejar warga. Untung ada taksi yang tak mencurigainya dan bersedia ditumpangi. "Cepat ya, Pak! Ada kebakaran!" Sopir taksi bingung, tapi memutuskan untuk tidak bertanya. Ikuti saja kehendak penumpang. Yang penting dia bukan perampok.

Ketika Tom tiba, suasana di sekitar rumah Kristin sudah hirukpikuk. Terdengar sirene mobil pemadam kebakaran. Tom lemas. Bagian atas rumah Kristin sudah seperti obor! Di sana ada kamar bayi dan kamar tidur Kristin! Tom merangsek maju menerobos kerumunan sambil berteriak, "Kris! Kristiiiiin....!

Kristiiiin...!"

Sebelum berhasil memasuki rumah ada yang menarik tangannya. Ia meronta. "Tom! Tenang, Tom!"

Tom menoleh. Henry di sampingnya. "Oom, bagaimana Kristin dan Jason?"

"Mereka baru saja diselamatkan. Ada di sana, Tom! Tolong mereka, ya?" Henry menunjuk rumah di seberangnya. Lalu Henry berlari ke rumahnya sendiri. Ia bermaksud menyelamatkan barang-barangnya andaikata api menjalar ke rumahnya. Tom berlari ke seberang. Di sana Maria sedang menangis sambil menggendong Jason. Betapa terkejutnya Tom ketika melihat Kristin terbaring diam di sofa. Wanita pemilik rumah tampak bingung.

"Saya dokter, Bu!" Tom mengenalkan dirinya ketika memeriksa Kristin. Ia lega karena Kristin masih hidup. Tapi gejalanya memperlihatkan kondisi terbius. Ada juga kemungkinan menghirup asap. Lalu ia memeriksa Jason. Anak itu tenang

meskipun tidak tidur. Dan tampaknya baik-baik saja. Tom meminta tolong pada pemilik rumah untuk memanggil ambulans. Setelah itu baru ia teringat. "Adam! Apakah dia...?" tanyanya kepada Maria.

"Dia lagi pergi. Oh ya, dia harus diberitahu, ya?" Maria seperti orang linglung. "Tadi Kristin memberi-tahu nomor telepon teman Adam yang mau dikunjunginya. Kalau rumahku selamat, tentu catatan nomornya pun ada." "Malam-malam kok pergi," gerutu Tom.

Maria menjadi lebih tenang melihat pemadam kebakaran sudah datang dan mulai bekerja. Untunglah rumahnya dengan rumah Kristin tidak berdempetan. Dan angin pun tidak bertiup kencang. Sambil menunggu ia bisa bercerita.

"Aku yang menggendong Jason. Oom dan si Iyem menggotong

Kristin. Kamarnya penuh asap."

Maria menciumi Jason. Ia membasahi wajah Jason dengan air matanya.

Rumah Maria selamat. Yang terbakar hanya rumah Kristin, dan hanya ruang bawahnya saja yang tersisa. Kristin sadar di rumah sakit. Ia menangis bukan karena rumahnya yang hancur, tapi oleh rasa bersyukur bahwa Jason pun selamat. "Apakah Adam sudah tahu?" tanyanya. "Kok belum datang?"

"Dia sudah ditelepon di alamat yang kauberikan itu, Kris," jelas Maria. "Tapi menurut yang punya rumah, Adam tidak ada di sana. Adam tidak pernah ke sana!"

Tom sangat geram. Apalagi ketika ia melihat kesan yang sama muncul di wajah Kristin.

"Setelah aku minum jus yang diberikannya, rasanya kok mengantuk dan berat sekali."

"Kita harus melaporkannya, Kris. Ia pasti tertangkap. Mau lari ke mana sih?" kata Tom. "Tapi belum tentu dia pelakunya, Tom."

"Ketika masuk kamar bayi, rasanya aku melihat tangga." Henry mengingat-ingat. "Dan... dan plafonnya bolong. Pas di atas tangga!"

"Oh ya." Maria pun teringat. "Ada celana panjang dan kemeja

Adam di dekat kakimu, Kris."

"Betul. Itu yang dipakai Adam ketika kulihat meninggalkan rumah," Henry menyambung.

"Kalau begitu, dia kembali lagi. Tapi saat itu aku sudah tidak sadar jadi tidak tahu lagi apa yang dikerjakannya," keluh Kristin.

Lalu mereka berpandangan. Kesan sama muncul di wajah mereka.

"Masa dia pergi dengan baju dalam? Kenapa repot tukar baju dulu?"

Pertanyaan itu terjawab kemudian. Petugas yang memeriksa tempat kejadian menemukan sesosok tubuh yang hangus. Dan untuk sementara mereka memperkirakan penyebab kebakaran adalah arus pendek listrik. "Itu pasti Adam!" seru Lien, yang sudah datang bergabung bersama suaminya di rumah sakit untuk menjenguk Kristin dan Jason.

"Siapa lagi?" sambung Maria dengan kesal. Si Adam itu pasti sudah gila.

"Kok tega, ya?" Bun Liong tak habis pikir.

"Itulah yang namanya hukum karma!" seru Lien lagi. Penuh semangat dan kepuasan.

"Sudahlah, Ma!" kata Tom. Tatapannya tertuju kepada Kristin. Tampak wajah pucat Kristin penuh air mata. Mereka yang ribut tadi segera tersadar. Sempat terlupakan bahwa Kristin adalah istri Adam. Satu per satu mereka memeluk Kristin untuk meminta maaf. Kristin cuma terpaku. Yang terpikir olehnya adalah kenangan masa lalu. Ketika dia untuk pertama kalinya menatap rumah bagus itu. Dan Adam berdiri bangga di sisinya. "Ini persembahanku untukmu, Sayang!" kata Adam. Betapa bahagianya dia.

Ternyata kebahagiaan itu begitu singkat. Dengan bantuan dana dari Tom, rumah Kristin segera diperbaiki. Semula Kristin bersikeras akan memperbaiki dengan tabungannya sendiri. Adam juga memiliki simpanan di bank, yang bisa digunakannya untuk memperbaiki rumahnya. Tapi Tom mengingatkan, bahwa masa depannya bersama Jason membutuhkan dana juga. Itu lebih penting. Padahal Kristin tidak bekerja.

Untuk sementara Kristin tinggal bersama Maria. Maka harihari menjelang kepulangannya ke Amerika, lebih banyak dihabiskan Tom di rumah Maria. Tak ada lagi yang perlu disembunyikannya dari peng- amatan Maria setelah datang e-mail dari Susan untuk orangtuanya.

"Mama dan Papa tersayang, luar biasa berita yang terakhir itu!

Tak salah lagi. Pastilah Adam yang membunuh Sonny. Sudahlah.

Dia sudah menerima hukumannya. Saya jadi berpikir keras. Sepatutnya kita tidak menghukum siapa pun dengan dendam kita. Ada yang lebih berkuasa daripada kita, yang kelak akan menjatuhkan hukumannya. Saya akan datang ke Jakarta pada awal September sebagai warga negara Indonesia! Tapi saya tidak datang sendiri. Rencananya bersama seseorang. Dia kekasih saya. Terimalah dia dengan terbuka, ya Ma, Pa?" Jadi Susan sudah punya kekasih? Dan dia bukan Tom? Maria dan Henry kecewa, tapi terobati. Susan sudah pulih dan menghapus sumpahnya. Mereka akan segera bertemu dengannya. Tapi siapa gerangan kekasihnya itu?

Tom menggelengkan kepala. Ia juga merasa sur-prise. Rupanya Susan pintar menyimpan rahasia.

"Mungkin orang Selandia Baru, Tante. Habis Susan tak pernah cerita."

"Apakah dia bule?"

"Wah, nggak tahu juga, Tante."

Meskipun Susan meninggalkan teka-teki, Tom merasa gembira mendengar berita itu. Ia bisa mendekati Kristin tanpa dicurigai. Kedua orangtuanya maupun suami-istri Lie bisa menerima hubungannya dengan Kristin secara wajar.

Kristin mendapat pekerjaan sebagai penerjemah free lance bahasa Inggris. Dengan demikian ia bisa bekerja di rumah tanpa harus meninggalkan Jason. Ia memang tak bisa bekerja full time di kantor seperti dulu. Biarpun honornya tak terlalu besar, tapi sebagai awal itu sudah cukup. Dengan bekerja ia juga bisa melupakan tragedi yang menimpanya. Tom

juga mendukung hal itu. Pengalamannya sendiri membuktikan, bahwa mengisi waktu dengan bekerja bisa mengobati luka hati. Pada suatu kesempatan, Tom bertanya kepada Kristin, "Maukah nanti kau tinggal di Amerika, Kris?"

Kristin tertegun. "Amerika? Uh, ngapain aku di sana?

Maksudmu, tinggal atau jalan-jalan?"

"Mulanya jalan-jalan. Kalau kau suka, bisa tinggal di sana. Sama

Jason tentunya."

"Tapi aku kerja apa, ya?"

"Itu kan gampang. Kalau sudah punya green card bisa cari kerja. Kau pintar." "Tapi..."

"Aku memang muter-muter, ya? Sebenarnya waktunya kurang tepat. Adam belum lama meninggal. Kau tentunya masih bersedih. Tapi waktuku tinggal sedikit. Begini, Kris. Aku... ah... I love you so much! Maaf, ya. Mungkin aku kurang peka. Egois." Kristin tersenyum. "Tidak apa-apa. Waktumu memang tinggal sedikit. Aku mengerti."

"Kau mengerti? Jadi, adakah harapan untukku?" "Ya, ada," sahut Kristin terus terang.

"Oh!" Tom bersorak.

"Tapi berilah aku waktu selama enam bulan." "Berapapun akan kuberikan. Asal jangan terlalu lama." Tom merasa bagai bermimpi. Kristin pun serasa mendapat kejutan. Kebahagiaan memang bisa saja singkat. Tapi selama masih ada kehidupan, kemungkinan meraih kebahagiaan itu kembali tetap ada. XIII New York City, awal bulan Agustus. Ketika Tom kembali pada kegiatan rutin profesinya ia menemukan perubahan. Danny Martin sudah berhenti dari Presbyterian Hospital dan pindah kerja ke rumah sakit lain di New Jersey.

Ron yang memberitahu hal itu. Ia pun menyerah-kan sepucuk surat dari Danny.

Dear Tom, kau sudah tahu, bukan? Forgive me. Aku sudah menghancurkan rumah tanggamu. Aku juga pengecut. Tapi aku tak ingin kehilangan seorang sahabat yang baik. Menyesal pun percuma, ya? Kau pasti akan bilang begitu. Percayalah, Tom.

Penyesalanku selangit. Aku memang sakit. Aku seorang maniak.

Susan berkata begitu juga. Katanya aku perlu terapi.

Penyakitku itu disebabkan karena aku merasa terlalu tampan. Penasaran kalau ada perempuan yang tak bisa kutaklukkan. Ternyata Susan lain sendiri. Dia sama sekali tidak terpikat olehku. Dia malah kasihan sama aku! Katanya, ketampananku itu bukan karunia, melainkan kutukan! Duh, mengerikan sekali! Meskipun aku dibuatnya takut, tapi dia perempuan yang hebat. Katakan itu kepadanya.

Aku baru masuk kerja bulan depan. Jadi sebulan penuh aku menganggur. Aku mau ke Jakarta, Tom! Tentu kau bisa menebak apa tujuanku ke sana. Aku ingin menjenguk Debbie dan Viv.

Sekali lagi maafkan aku. Jangan mengutukku, ya? Please!

Tom termenung lama sesudah membacanya. Danny cukup bijak dengan menghindar darinya. Biarpun dendam sudah tak ada lagi, tapi rasanya jadi kurang enak untuk berdekatan dan bekerja sama dengannya setelah semuanya terbuka. Mau tak mau kenangan pahit itu muncul lagi kalau melihatnya. Tentu bukan cuma dirinya yang merasa begitu. Danny akan lebih menderita. Mengherankan juga bagaimana dia bisa tahan berpura-pura begitu lama. Mungkin juga dia malah menikmatinya. Lalu menunggu dengan senang campur tegang kapan tabir terkuak. Setiap orang punya keunikan dan juga keanehan sendiri.

"Apakah kau memaafkannya, Tom?" Ron ingin tahu.

"Ya. Dia memang sakit." "Seperti kata Susan."

"Ya. Susan memang hebat. Seperti diakui Danny sendiri. Oh ya, kabarnya Susan sudah punya kekasih. Dia mengirim e-mail kepada orangtuanya. Aku sempat diberitahu. Ada lagi kabar gembira lain. Dia akan ke Jakarta bulan depan bersama kekasihnya itu."

Ron tersenyum. "Jadi bukan kau orangnya." "Ah, bukan. Dia selalu menganggapku sebagai kakak. Tapi aku heran. Waktu ke sini tempo hari dia tidak pernah bercerita soal itu. Malah dia mengaku belum punya kekasih. Apa ketemunya baru-baru saja, ya? Cinta kilat rupanya." "Sebenarnya dibilang cinta kilat juga tidak, Tom. Semuanya berlangsung wajar saja. Dalam hal seperti itu biasanya kita punya indera keenam."

Tom bingung sejenak. Ia mengamati Ron dengan tatapan selidik. "Hei! Kamukah orangnya?" tanyanya takjub.

Ron mengangguk dengan ekspresi berbinar. "Ya. Akulah orangnya!" sahutnya bangga.

"Waduh, kapan kalian menjalin hubungan?" Tom hampir tak percaya.

"Tempo hari kan dia ke sini," kata Ron.

"Sesingkat itu?" Tom tak mengerti bagaimana Susan bisa bersikap ceroboh dengan menjalin cinta kilat. Ia memang sudah tahu kualitas seorang Ronald Brown, tetapi seharusnya Susan menemukannya sendiri. Bukan lewat perantara. Ron masih tersenyum. "Oh, ada prosesnya dong, Tom. Kami tetap berhubungan lewat e-mail"

"Cukupkah itu?"

"Tentu cukup."

Tom tersadar. Ia segera menubruk Ron lalu me-meluknya dan menepuk punggungnya. "Selamat, Ron! Selamat! Maaf, terlambat."

"Ia akan mempertahankan kewarganegaraannya," kata Ron.

"Ya. Kudengar juga begitu. Orangtuanya bahagia tak kepalang. Apa dia bilang padamu tentang alasannya?" "Katanya dia mulai berpikir lain setelah mendengar cerita tentang barongsai turun ke jalan." "Barongsai?" "Menurut Susan, itu simbol tentang harapan dan semangat." Tom yakin, Susan belum pernah melihat barongsai menari di jalan-jalan Jakarta. Ia sendiri tidak ingat lagi apakah di awal usianya ia masih sempat melihat. Tak ada kenangan tentang itu dalam memorinya. Ia lebih banyak mendengar cerita orangtuanya.

Lalu giliran Tom bercerita mengenai pengalaman hebatnya di Jakarta. Ron pun memberinya selamat.

"Oh, aku tak sabar menunggu saat itu! Aku akan mengajak

Susan berkenalan dengan Kristin bila ke sana nanti!" seru Ron.

"Akan sabarkah kau menunggunya? Enam bulan kan lama.

Mestinya kau menawar."

"Pada saat itu aku tak berada dalam posisi mampu menawar. Diterima saja sudah syukur. Tapi aku akan mengundangnya berlibur ke sini Desember nanti."

"Bersama anaknya?"

"Eh, anakku juga lho!"

Mereka membagi kebahagiaan bersama. Andaikata Danny ada di situ, mungkin dia bisa ikutan berbahagia. Sebagai sahabat, Danny menyenangkan. Tom yakin, Danny akan jatuh hati kepada Debbie. Anak itu memang mewarisi keindahan fisik ayahnya.

Mudah-mudahan saja tidak mewarisi "penyakitnya" juga.

Tom tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Maria dan Henry bila Susan datang bersama Ron. Ternyata sang kekasih bukan berkulit kuning, sawo matang, atau putih, melainkan hitam! Mudah-mudahan mereka bisa menerima dengan penuh ketulusan, bahwa warna kulit bukanlah penentu baik-buruknya seseorang.

Seharusnya Susan mempersiapkan orangtuanya dulu sebelum pertemuan itu terjadi. Membiarkannya sebagai misteri bisa mengejutkan mereka. Tom memutuskan akan menasihati Susan lewat e-mail. Ternyata dia jadi sibuk sekali dengan pekerjaan yang satu itu. Bukan cuma Susan yang perlu dikirimi e-mail, tapi

juga orangtuanya, orangtua Susan, dan tentu saja Kristin. Ia akan mendahulukan Kristin dari semuanya!

TAMAT

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience