2

Family Completed 2798

"Kau kenal keluarga yang dulu pernah tinggal di sini, Mas?" tanya Kristin saat mereka makan malam.

Adam meletakkan sendoknya. Ia mempelajari wajah Kristin sejenak sebelum menjawab, "Ya. Tapi tidak mendalam. Cuma sekadar tahu saja. Dulu kan aku pernah bekerja di proyek perumahan sini saat awal pembangunannya." "Oh ya? Rasanya kau tak pernah bercerita" Kristin tampak tertarik.

"Malu sih. Aku sering cerita padamu tentang inginnya aku punya rumah di tempat ini, tapi tak bisa. Yah, mana mungkin? Gajinya cuma cukup untuk hidup."

Kristin mengangkat bahu. "Ah, kenapa mesti malu? Memangnya setiap orang yang bekerja di proyek perumahan, termasuk ikut merencanakan pembangunannya, harus mampu memiliki juga? Aku maklum kok. Nyatanya sekarang kau berhasil juga." "Ya, memang. Tapi keberhasilan itu tercapai setelah tempat ini menjadi puing."

Kristin mengerutkan kening. Ucapan itu sepertinya kontradiktif dengan kebanggaan Adam akan rumah mereka itu. Ketika akan berbicara ia memekik pelan. Ada sepakan keras di perutnya. Ia cepat tersenyum menanggapi tatapan kaget Adam.

"Biasa. Dia nyepak, Mas," katanya.

Mereka melanjutkan makan. Adam makan lebih cepat daripada sebelumnya.

Lalu Kristin teringat akan pertanyaannya tadi. "Apakah keluarga Lie pindah ke Amerika semuanya?" Kembali Adam meletakkan sendoknya dan menatap Kristin dengan selidik. "Siapa?" tanyanya.

"Keluarga yang dulu tinggal di rumah ini." Kristin merasa tak enak melihat ekspresi Adam. "Aku merasa simpati pada para penghuni kawasan ini. Kasihan sekali. Bagaimana rasanya kalau dibegitukan orang?"

"Sudahlah, Kris. Sebaiknya jangan membicarakan itu kalau sedang makan. Jadi susah menelan nih."

"Jadi mereka pindah semuanya?"

"Mereka siapa?"

"Keluarga Lie itu."

"Mana aku tahu? Bukan urusanku," sahut Adam dengan ekspresi tak senang.

Kristin tak senang juga. Apa susahnya menjawab pertanyaan itu? Sebelum bereaksi, kembali ia merasakan sepakan di dalam perutnya. Seperti mengingatkan. Emosinya mereda.

"Sori," katanya singkat.

Mereka menyelesaikan makan dengan diam.

Adam berdiri. "Aku pergi dulu ya, Kris."

"Pergi?" Kristin terkejut. Tadi Adam tidak mengatakan akan pergi sesudah makan.

"Aku lupa memberitahu. Ada janji dengan rekan. Tapi nggak lama kok. Paling juga dua jam. Rumahnya nggak jauh," jelas Adam.

"Pakai mobil?"

"Iya dong. Masa jalan kaki."

Adam mencium dahi Kristin. Lalu menekan bahunya. "Kau tak usah mengantarku keluar. Bi Iyah bisa membukakan pintu," katanya, lalu melangkah cepat sambil meneriaki Bi Iyah. Kristin tertegun sejenak, tak tahu harus menjawab apa. Baru kemudian, setelah Adam tak tampak lagi ia berseru, "Hati-hati ya, Mas!" Tetapi suaranya tak bisa keras. Kristin tiba-tiba merasa seperti orang yang kehilangan semangat. Ia masih saja duduk di depan meja makan sampai terdengar deru mobil Adam yang menjauh. Sepakan di dalam perutnya menyadarkannya. Belakangan si bayi sering benar menyepak-nyepak. Waktunya memang sudah dekat. Sesaat terpikir olehnya, betapa teganya Adam meninggalkannya pada saat seperti itu.

Bi Iyah masuk, tertegun sejenak melihatnya. "Ibu kenapa?" tanyanya penuh perhatian.

"Ah, nggak apa-apa. Memangnya kenapa, Bi?" tanya Kristin kesal. Memang pertanyaan seperti itu menandakan perhatian, tapi kalau sering-sering diamati dan ditanyai, jadi menjengkelkan juga.

Bi Iyah tersipu. "Saya takut kalau-kalau sudah saatnya, Bu.

Atau Ibu kenapa-kenapa."

"Lantas?"

"Saya mesti menelepon Bapak."

"Oh, begitu? Memangnya tadi Bapak berpesan lagi ya, Bi?

Ngomong apa dia?" Perasaan Kristin agak terhibur karena Adam masih memperhatikannya. Tetapi perasaan itu segera lenyap ketika mendengar jawaban Bi Iyah. "Kata Bapak, mestinya Ibu jangan sering-sering ngobrol sama Bu Maria."

"Lho, kenapa begitu, Bi?"

"Katanya, Bu Maria itu begini...." Bi Iyah menempelkan telunjuknya di dahinya. Lalu tertawa geli. "Sembarangan!" bentak Kristin. Bi Iyah terkejut. "Jangan melecehkan orang, Bi! Bibi tahu nggak apa saja yang telah dialami Ibu Maria?"

"Nggak tahu, Bu." Bi Iyah bersiap diri mendengar cerita menggemparkan.

Tetapi Kristin tidak berminat menceritakan. "Nah, kalau nggak tahu jangan melecehkan."

Bi Iyah tersipu. "Maaf deh, Bu. Nggak tahu sih." Kristin tak sampai hati. Bagaimanapun, Bi Iyah adalah teman dan pembantu satu-satunya. Ekspresinya melembut. "Ya sudah, Bi. Kita harus belajar menghargai orang karena kita tidak tahu tentang dia."

Bi Iyah tidak mengerti, tapi ia senang karena Kristin tidak marah lagi.

Saat melewati rumah Henry, Adam melihat Henry sedang berangin-angin di halaman rumahnya. Ia menghentikan mobilnya di tepi jalan lalu keluar dan mendekati Henry. Mereka berbincang sejenak kemudian Adam kembali ke mobilnya dan meluncur pergi.

Pada saat Henry mengamati kepergian Adam, Maria mendekatinya. "Adam cerita apa, Pa?"

"Dia cuma menitipkan Kristin sama kita."

"Cuma itu? Kok ngomongnya banyak?"

"Dia juga minta kita memegang janji untuk tidak menceritakan perihal Sonny kepada Kristin. Katanya dia takut kau keceplosan bicara sama Kristin. Ingat-ingat ya, Ma. Jangan sampai melanggar janji. Kalau mereka sampai pindah, kita akan kehilangan tetangga yang baik."

Maria memonyongkan mulutnya. "Aku nggak melanggar janji. Kenapa tiba-tiba dia mencurigai aku?" "Katanya, tiba-tiba saja Kristin bertanya perihal keluarga Lie.

Apa kau yang bercerita tentang mereka?"

"Sama sekali tidak. Kristin yang nanya duluan. Habis aku mesti gimana? Bilang nggak tahu? Kan aneh. Dia justru akan heran dan curiga. Semakin dia curiga semakin dia berusaha untuk tahu. Kalau bukan kita atau Adam yang jadi sumbernya, bisa saja dia mencari sumber lain. Misalnya dari ketua RT, si Mul.

Atau tetangga yang lain. Jadi tidak seharusnya Adam cuma menyalahkan kita."

"Memang benar, Ma. Kata Adam, dia sudah minta sama Mul untuk menjanjikan hal yang sama. Sebagai ketua RT, si Mul akan menyampaikan permintaannya kepada warga sekitar kita." Maria menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh si Adam itu. Apa salahnya sih berterus terang sama istrinya? Itu kan sudah risiko. Kenapa pula dia mau tinggal di situ?"

"Orang yang tidak tahu tidak akan berpikir macam-macam."

"Tapi si Adam kan tahu."

"Dia sih berani, Ma."

"Ah, Papa kayak yang tahu aja"

Henry tertawa. "Nah, itu buktinya. Dengan tetap memilih rumah itu padahal tahu riwayatnya, sudah menandakan keberaniannya. Coba, ada banyak rumah kosong yang sama hancurnya, tapi dia justru memilih yang itu." "Yang itu paling murah dibanding yang lain." "Nyatanya dia masih punya duit untuk merenovasi."

"Justru itu. Sisa duitnya untuk renovasi."

"Tapi kalau dia nggak berani menempati juga percuma, Ma."

"Kalau dia memang berani, seharusnya dia terus terang sama

Kristin."

"Dia akan menunggu sampai Kristin betah dan kerasan tinggal di situ."

"Kris senang tinggal di sini."

"Mungkin nanti kalau sudah melahirkan baru dia boleh tahu, Ma. Kan nggak lama lagi. Yang penting kita harus berusaha untuk tidak melanggar janji."

Maria menarik napas panjang. "Si Sonny memang anak yang baik."

Henry mengamati wajah istrinya dengan bingung. "Tentu saja dia memang baik. Lantas kenapa?"

"Dia tidak akan mengganggu orang yang menempati rumahnya." Henry terkejut. "Aduh, ngomong apa sih kau, Ma? Jangan sembarangan, ah. Ayo kita masuk!"

Dengan berbimbingan tangan mereka melangkah masuk rumah.

"Jadi mau nulis surat buat Susan, Ma?"

"Jadi dong!"

"Biar besok aku poskan. Mau cerita apa, Ma?" "Yang pasti cerita tentang tetangga baru kita." "Jangan singgung tentang si Sonny, ya?" "Maksudmu?"

"Itu. Yang tadi kaukatakan sebelum masuk."

"Oh, itu. Nggak dong. Nanti dia jadi sedih. Oh ya, Pa. Apa perlu kuingatkan dia supaya jangan tergoda lelaki bule?" "Ah, jangan. Justru kalau diingat-ingatkan begitu dia malah berbuat sebaliknya. Apalagi kalau dilarang."

"Habis ceritanya yang terakhir itu kan tentang teman baiknya yang bule. Apakah teman baik itu sama artinya dengan teman dekat?" "Kayaknya begitu."

"Dan teman dekat sama artinya dengan pacar?"

"Wah, nggak tahulah aku. Bisa iya, bisa nggak. Sudahlah.

Bagaimana maunya dia saja. Dia sudah dewasa, kan? Sudah

bagus dia mau bergaul. Itu artinya dia sudah pulih." Maria tak sepenuhnya menyetujui. Tetapi ia akan mengikuti permintaan Henry. Oh, betapa dia merindukan Susan!

Berubahkah anak itu setelah per-, jumpaan terakhir mereka dua tahun yang lalu? Masihkah dia selembut dulu? Salah satu hal yang masih disesali Maria adalah ketidakmampuannya menghibur Susan saat berita duka di pertengahan bulan Mei tahun 1998 itu menerpanya. Kalau saja dia ada di sisinya saat itu, pastilah ia bisa memeluknya dan menghiburnya. Ia juga bisa tahu apa akibat berita itu bagi Susan. Pingsankah dia? Menangis berhari-hari? Kalau ada di sisinya, pasti ia bisa menolong atau melakukan apa saja untuk meringankan beban batinnya. Biarpun ia di Jakarta juga dalam keadaan menderita dan terguncang, tapi bila bersama-sama mereka bisa saling menghibur. Duka dan derita Susan pastilah lebih besar. Kehilangan harta masih bisa direlakan, tapi kehilangan kekasih?

"Papa dan Mama, bila kita selalu dimusuhi di negara yang selama ini kita sebut Tanah Air, buat apa bertahan tinggal di sana? Mereka memang ingin kita pergi. Itulah tujuannya meneror, bukan? Prinsip saya, kalau saya tidak dikehendaki maka saya tidak akan merengek dan memohon agar diterima. Orang lain bisa saja bertahan dengan alasan mereka. Itu hak setiap orang. Biarlah saya dengan prinsip sendiri. Saya bersumpah, Ma! Bila nanti saya datang ke sana, maka saya bukan lagi orang Indonesia! Orang apa pun, warga negara mana pun, tak jadi soal. Yang penting saya dihargai sebagai manusia yang punya martabat dan harga diri...."

Kalimat-kalimat di dalam surat Susan itu sering muncul dalam pikiran Maria. Nadanya yang emosional bisa dipahami karena surat itu ditulis tak lama setelah terjadinya tragedi Mei 1998.

Susan masih berkabung, masih diliputi dendam dan amarah. Tetapi dengan berlalunya waktu, ternyata prinsip Susan tak berubah. Ia masih bertahan dengan pendirian yang dinyatakannya dalam surat itu. Keras kepala!

Menilik hal itu memang besar kemungkinan Susan akan mencari jodoh di sana, karena dia akan menjadi warga negara sana. Jadi tipis kemungkinan dia akan beroleh menantu seseorang dari kalangan sendiri. Seperti suami Ike, Daniel. Dengan kesamaan yang ada, maka penyesuaian lebih mudah. Bila perbedaan terlalu banyak, risiko perpecahan juga besar. Tetapi Susan memang tak bisa disamakan dengan Ike. Keduanya memiliki keunikan sendiri-sendiri.

Sebelum mengenal Daniel, Ike pernah berpacaran

dengan Amir, seorang pemuda pribumi yang berbeda agama. Hubungan itu membuat dia dan Henry resah. Tetapi mereka tidak tega melarang. Henry selalu berpendapat, bila seseorang ditentang, maka tekadnya justru semakin mantap. Tak ada jalan lain mereka cuma bisa berharap dan berdoa semoga hubungan itu tidak langgeng. Mereka terpaksa bersikap munafik dengan bersikap ramah terhadap Amir dan menerimanya dengan tangan terbuka. Ike sendiri tidak pernah bercerita bagaimana tanggapan keluarga Amir terhadap dirinya.

Masalah itu baru jelas setelah mereka menerima telepon bernada makian yang mengandung penghinaan dari orang yang mengaku keluarga Amir. Telinga memerah dan bulu roma pun berdiri. Mereka dimaki sebagai Cina-Cina tak tahu diri dan sebagainya. Betapapun menyakitkan, mereka sepakat tidak

akan memberitahu Ike. Bila benar keluarga Amir tidak menyukainya mustahil dia tidak tahu atau tidak merasakan. Biarlah Ike memutuskan dan berinisiatif sendiri. Sementara Amir sendiri tidak pernah mengungkapkan masalah itu. Dia selalu bersikap sopan dan pada tempatnya. Tak ada alasan untuk membenci atau antipati kepadanya.

Henry dan istrinya sepakat untuk memasang re-ceiver pada pesawat telepon supaya dapat menyaring telepon yang masuk. Toh selama ini yang sering menerima telepon adalah Maria, yang paling banyak berada di rumah. Dan tampaknya si penelepon gelap itu pun sengaja memilih waktu dan orang yang mau diajaknya bicara. Pada hari dan jam Ike tak ada di rumah karena berada di kantornya. Mereka memper- kirakan si penelepon ingin mereka menjadi marah lalu melarang Ike melanjutkan hubungannya dengan Amir.

Tetapi suatu ketika Maria lupa menghapus rekaman. Ike yang berniat mengecek telepon yang masuk mendengar makian itu. la menjadi pucat dan ter-mangu-mangu bagai orang kehilangan semangat.

"Mama! Jadi itu sebabnya dipasangi receiver? Oh, kenapa

Mama tidak terus terang dari semula?" Maria tak tahu mesti bilang apa. Ia belum melakukan kesepakatan dengan Henry, apa yang harus dilakukan bila Ike mengetahui hal itu. "Mama... Mama... tak mau menyakiti hatimu," jawabnya kemudian.

Ike memeluknya. "Tapi saya tidak ingin menyakiti hati Mama," katanya sedih.

"Kau tidak pernah menyakiti hati Mama. Kenapa bilang begitu, Ke?" bantah Maria dengan perasaan pilu.

"Saya tidak mau Mama dan Papa dihina orang. Apalagi karena saya."

Maria tertegun. Ia takut memberi komentar. Takut salah. Padahal saat itu paling baik untuk mengeluarkan pemikirannya mengenai hubungan Ike dan Amir. "Saya akan membicarakannya dengan Amir, Ma." Apa yang diputuskan Ike sangat mengejutkan. Ia memutuskan hubungannya dengan Amir. "Saya memang harus tahu diri, Ma," jelasnya singkat.

Maria dan suaminya merasa iba tapi juga senang. Barangkali mereka perlu juga berterima kasih kepada si peneror itu.

Biarpun demikian, rasa sakit di hati karena dikatai sebagai Cina-Cina tak tahu diri tak bisa sembuh sepenuhnya. Padahal selama ini mereka yakin telah menjalani kehidupan sebagai warga negara dengan cukup tahu diri. Pajak selalu dibayar dengan sepatutnya, karyawan dan pembantu diperlakukan dengan baik, tak pernah ribut dengan siapa pun, tak pernah absen dalam kegiatan amal, siskamling, atau apa saja bila diminta. Mereka selalu berhati-hati karena sadar sepenuhnya, bila melakukan kesalahan maka bukan cuma mereka yang menanggung. Satu Cina berbuat buruk, maka semuanya ikut menanggung. Itu memang tidak adil. Tapi mau apa lagi? Mereka tidak punya kuasa untuk mengubah citra atau opini yang sudah terbentuk begitu lama.

Kemudian Amir menemuinya. Mereka cuma bicara berdua. Amir meminta maaf dan merasa menyesal. Ekspresinya

memperlihatkan rasa malu dan khawatir. Mungkin takut dimarahi. Tetapi Maria menerimanya dengan baik dan juga respek. Sebenarnya Amir orang yang baik dan bertanggung jawab. Pantas kalau Ike memilihnya. Tetapi di Indonesia seseorang tak selalu bisa mandiri sepenuhnya. Seluruh keluarganya, besar atau kecil, merasa ikut memilikinya. Kemudian merasa berhak pula untuk ikut campur dalam masalah pribadinya. Dan bagi sebagian orang masalah membentuk keturunan itu sangat penting.

Maria memasukkan kertas ke dalam mesin tik. Benda itu dipinjam Henry dari kantornya. Aduh, kalau saja mereka bisa membeli komputer. Tetapi sekarang uang susah dicari. Ia juga menolak keras niat Susan untuk mengiriminya uang. Ia bukan tak memerlukan uang. Selalu ada kebutuhan. Tetapi selama kebutuhan itu bukan kebutuhan primer, tak perlu dipenuhi. Ia juga bukan tak punya uang. Ada sedikit tabungan. Tapi itu penting untuk hari tua. Kedua jari telunjuk Maria lincah menari-nari di atas tuts mesin tik. Ia punya cerita banyak untuk Susan. Sekarang biaya pos ke luar negeri sangat mahal. Jadi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Tak boleh ada cerita yang terlupakan. Tentang situasi ekonomi, politik, anak-anak Ike, tetangga.... Tepukan Henry di pundaknya mengagetkan. "Ma, interupsi sebentar. Ada tamu."

"Tamu? Siapa?" Maria terkejut. Sekarang mereka sangat jarang kedatangan tamu. Teman-teman lama mereka entah pada ke mana.

"Pak Harun," bisik Henry dekat telinga Maria.

"Oh, dia. Ada apa? Mau ketemu aku?"

Harun adalah mantan satpam di kawasan itu. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998 di tempat itu dia masih menjadi satpam.

Saat mereka mengungsi ke lapangan golf di dekat kawasan itu, Harun banyak membantu. Sejak itu mereka tak pernah bertemu lagi. Sekarang kawasan itu tak lagi memiliki satpam.

Mereka menjaga sendiri lingkungan masing-masing.

"Iya, Ma. Ayolah."

Maria merasa segan menghentikan kegiatannya. "Pa, palingpaling dia mau pinjam uang. Berikan sajalah. Asal jangan banyak-banyak."

"Ah, kamu. Sembarang nyangka. Dia bilang, ingin ketemu karena kangen."

"Kangen?" Maria tak bisa menghilangkan nada sinis dari suaranya. Kenapa orang seperti Harun bisa merasa kangen kepadanya? Jangan-jangan cuma ingin tahu apakah mereka berdua masih waras!

III Maria tak segera mengenali Harun. Lelaki setengah baya yang dulu selalu dilihatnya mengenakan seragam satpam berwarna putih kini bercelana panjang hitam dan kemeja batik lengan panjang. Rapi seperti mau ke resepsi. Rambutnya cepak seperti tentara. Kumisnya yang dulu lebat sekarang kelimis. Dan yang paling mencolok, tubuhnya yang dulu kerempeng sekarang gemuk. Perutnya tampak menggembung di balik kemejanya.

Matanya yang kecil terlihat ceria di balik kacamata yang frame-nya modis. Dulu dia tak berkacamata. Sungguh penampilan yang berbeda. Demikian pula kesan yang ditimbulkannya. Dulu penampilannya cocok dengan profesinya, satpam yang tampak angker dan galak. Sekarang ia tampak intelek. Seperti dosen atau pejabat?

Kalau saja Henry tak mengatakan lebih dulu bahwa tamu ini adalah Harun, pastilah ia butuh waktu lama untuk bisa mengenalinya. Benar-benar pangling. Tetapi kesan berbeda itu mendadak terasa menyakitkan. Sepertinya ada hunjaman pisau tajam persis di tengah ulu hatinya. Nyeri dan ngilu. Menyakitkan dan memilukan. Kalau saja ia tak berusaha sekuatnya me- 60 nahan perasaan, pastilah ia sudah berbalik dan lari ke dalam. Dengan mengerahkan segala kekuatannya ia mampu menutupi perasaan sebenarnya, lalu tersenyum penuh keramahan. Ia menyambut uluran tangan Harun.

"Apa kabar, Bu Maria? Sehat-sehat saja?" tanya Harun. "Oh, baik-baik saja, Pak. Anda sendiri pasti lebih dari sekadar baik, ya? Kelihatannya wah!"

Harun tersipu. Ia tak bisa memastikan apakah komentar itu pujian atau sindiran. "Sekarang saya memang sudah ganti profesi, Bu. Jadi sales. Maka penampilan nggak boleh galak lagi."

"Wah, jualan apa, Pak?" Maria ingin tahu.

Harun mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya, lalu mengulurkannya kepada Henry. "Saya membantu Anwar, anak saya, mencari order. Dia punya percetakan kecil," jelasnya.

Henry mengingat-ingat. "Oh, si Anwar? Dulu dia pernah ke sini mengantarkan surat edaran siskamling. Ingat, Ma?" Henry menoleh kepada Maria.

Maria menggelengkan kepalanya. Dia tak ingat. "Sekarang dia sudah sarjana muda, Pak. Lulusan akademi grafika," kata Harun bangga. "Maju usahanya, Pak?" tanya Maria.

"Lumayan, Bu. Kalau Bapak dan Ibu sendiri bagaimana?" tanya Harun dengan nada simpati. Ia sudah mendengar tentang nasib toko Henry dari warga lain yang barusan dikunjunginya. "Sekarang saya kerja, Pak. Jadi karyawan di pabrik garmen," sahut Henry tanpa beban. Tak ada gunanya merasa minder.

Nasibnya sudah seperti itu. "Terbalik ya, Pak?" kata Maria. "Dulu suami saya bos, sekarang kuli. Sedang Pak Harun dulu kuli, sekarang bos."

Henry melirik kurang setuju. Harun tersenyum canggung. "Saya bukan bos, Bu," katanya merendah. "Yang bos itu anak saya. Tapi dia cuma bos kecil, Bu. Oh ya, bagaimana Non Susan?"

"Dia nggak mau pulang, Pak. Hatinya masih sakit." "Saya maklum, Bu. Mudah-mudahan dia cepat pulih." "Entahlah. Kayaknya susah," kata Maria sedih. Henry mengalihkan persoalan. "Sudah ketemu Pak Mul di sebelah? Dia masih ketua RT, Pak."

"Belum. Tadi saya ke sana. Kata pembantunya lagi pergi." "Sudah tahu siapa yang menghuni rumah sebelah sini, Pak?" Henry menunjuk arah rumah Adam.

Harun menggeleng. "Warga baru, Pak?"

"Dia Adam Jaka yang dulu kerja di kantor proyek."

Harun tampak heran. "Insinyur Adam itu?"

"Ya. Dia tinggal bersama istrinya yang sedang hamil. Anak pertama."

"Apakah dia tidak tahu bahwa Pak Sonny meninggal di situ?" Setelah bertanya baru Harun teringat bahwa Sonny adalah kekasih Susan atau calon menantu suami-istri Tan. Mestinya dia tidak mengungkit soal itu.

"Oh, dia tahu," sahut Henry.

"Kok dia berani tinggal di situ? Maksud saya, kan nggak enak rasanya." Harun merasa kelepasan ngo-mong. Maria merasa tidak senang. Dia memang pernah mempertanyakan masalah yang sama. Tapi bila Harun ikut-ikut mempertanyakan, dia menjadi jengkel. "Memangnya kenapa,

Pak? Apakah Sonny menjadi hantu?"

Henry menepuk lengan Maria yang duduk di sisinya di sofa.

Menenangkan.

Harun tersipu. "Maaf, Bu. Bukan begitu maksud saya. Tapi... tapi..."

"Nggak apa-apa, Pak. Sebenarnya kami juga heran. Apalagi istrinya nggak diberitahu," Henry tidak keberatan menceritakan masalahnya.

Harun terperangah keheranan.

"Jadi kalau Bapak bermaksud ke sana, ingatlah akan hal itu. Jangan sampai membicarakannya di depan istrinya. Dia sudah meminta kami semua berjanji untuk merahasiakan hal itu. Sulit memang. Tapi mereka adalah tetangga yang baik."

"Wah, kalau begitu sebaiknya saya tidak ke sana. Takut kelepasan ngomong. Tapi boleh saya tahu, apakah Bu Adam sendiri betah tinggal di situ?"

"Katanya sih betah. Dia akrab dengan kami."

"Masih banyak rumah kosong dan terbengkalai di kawasan ini. Waktu saya ke rumah Pak Gondo, saya juga ditawari untuk membeli salah satu. Katanya dijual murah. Tapi biar murah juga, mana sanggup saya beli?" Harun tertawa ringan. Dia juga teringat betapa geli perasaannya ketika berhadapan dengan Pak Gondo. Dulu Gondo suka melecehkannya. Sekarang dia dianggap bonafid hingga ditawari rumah. Kalau dulu, sewaktu dia masih menjadi satpam, siapa yang mau menawari kecuali bermaksud mengejek?

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience